Pages

Senin, 02 Mei 2016

Musa sang Hafidz Cilik Indonesia


Seorang Musa, beruntung sekali berada di madrasah yang sesuai. Di usia emasnya, beliau rutin diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Secara behavioral, Musa ini akan merasa tidak nyaman atau seperti lapar bila tidak ada asupan bacaan Al-Qur’an setiap harinya. Ini karena beliau sudah dibiasakan oleh madrasah pertamanya.

Peran madrasah pertama beserta kepala sekolahnya sangat menentukan perkembangan  seorang anak. Dua peran inilah yang dengan kehendak-Nya menjadikan seorang Imam Syafi’i bisa hafal suatu bab hanya dengan izin-Nya membuat Imam Bukhari bisa melafalkan sanad dan matan hadits yang salah dan membetulkannya pada waktu itu juga.

Kedua peran ini tak butuh kemahiran akting. Cukup kemahiran untuk taat dan menjauhi maksiat. Tidak mudah, namun juga tidak mustahil. Semoga kita dimudahkan untuk menjalani keduanya. Aamiin.

Pantas umur 7 tahun Musa sudah hafal 30 juz, ternyata seperti ini tipsnya!

Berikut perjalanan Musa meraih Peringkat 3 dunia

Pada awalnya Musa kata beliau juga sulit menghafal sebagaimana umumnya anak, namun dengan ketekunan akhirnya hafal juga. Kunci paling penting adalah murajaahnya alias mengulang-ulang hafalan. Perlu diketahui juga Abu Musa tidak hafal semua itu, namun bisa menjadikan Musa hafal dengan kuat.

Pergaulan dijaga. Bisa dikatakan Musa kurang bergaul dengan banyak anak, karena memang niat abinya untuk menjaga hafalan.

Televisi jauh jauh dah. Musa sangat dijaga jangan sampai nonton televisi. Bukti, pas ana ngobrol dengn beliau di ruang tunggu kebetulan pas di depan televisi beliau minta pindah. Pindah yuk akh, takut Musa nantinya lihat televisi, kata beliau.

Makanan dijaga. Sari kurma, madu, dan propolis selalu diberikan kepada Musa dan adik-adiknya. Menghafal membutuhkan banyak energi.

Rutinitas harian Musa adalah pagi setengah jam sebelum shubuh, tahajjud menjadi imam untuk adik-adiknya. Kemudian shubuh berjamaah di masjid. Setelah shubuh murajaahnya sampai jam 9 pagi. Musa kuat murajaahnya sampai jam 9 pagi. Musa kuat murajaah 10 juz dalam sehari secara rutin! Antum berapa hayoo.

Jam 9-10 makan pagi, dan lain-lain.

Jam 10 dhuhur, tidur siang. Tidur ini hukumnya wajib untuk Musa.

Habis dhuhur nambah hafalan baru sampai Ashar.

Bada Ashar sekarang Musa sedang menghafal Bulughul Maram.

Jam 5 sampai magrib: waktu bermain.

Magrib sampai Isya’ ikut taklim abinya. Sebelum abinya menyampaikan taklim, Musa mengawali dengan membaca hafalannya. Dan terkadang hadirin dipersilahkan bertanya atau mengetes. Ini berjalan hamper setiap hari.

Dan unik dan kadang bikin geli, banyak sekolah-sekolah yang mengundang Musa dan ayahnya karena ingin belajar cara menghafal. Padahal semua tahu, Musa kan tidak sekolah. Jadi yang sekolah malah belajar sama yang tidak bersekolah. Saat bertemu, saya langsung Tanya, Abu Musa ya? Kemudian langsung menebak beliau mau ke Mesir untuk lomba Tahfidz sedunia. Dan benar. Dia satu-satunya yang mewakili Indonesia.

Melihat Musa dengan segala prestasinya, kita semua pasti berharap kelak punya anak seperti bocah ini. Tetapi hal yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita memang pantas dan mampu?

Siapapun bisa punya anak hafal Al-Qur’an, karena menghafal tidak membutuhkan nasab. Mempunyai anak hafal Al-Qur’an tidak harus kita hafal terlebih dahulu. Yang paling penting dari proses edukasi terhadap anak usia dini adalah teladan.

Bagi kita yang sudah menjadi orang tua apakah kita mampu member teladan kepada anak-anak kita dalam keseharian? Minimal meluangkan waktu mendampingi si buah hati membaca Al-Qur’an setiap hari ?

Atau bagi kita yang masih muda dan merupakan calon orang tua di masa depan, apakah kita benar-benar sesuai dengan persyaratan tersebut? Atau jangan-jangan kita masih termasuk generasi yang suka mengisi waktu dengan huru-hara, main-main, pacaran dan aktifitas sia-sia yang lain ?

Semoga obrolan ini menginspirasi semua orang tua.
Oleh: Ustadz Rohmanto Abu Al-Laits

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer