Seorang
Musa, beruntung sekali berada di madrasah yang sesuai. Di usia emasnya, beliau
rutin diperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Secara behavioral, Musa ini akan
merasa tidak nyaman atau seperti lapar bila tidak ada asupan bacaan Al-Qur’an
setiap harinya. Ini karena beliau sudah dibiasakan oleh madrasah pertamanya.
Peran
madrasah pertama beserta kepala sekolahnya sangat menentukan perkembangan
seorang anak. Dua peran inilah yang dengan kehendak-Nya menjadikan seorang Imam
Syafi’i bisa hafal suatu bab hanya dengan izin-Nya membuat Imam Bukhari bisa
melafalkan sanad dan matan hadits yang salah dan membetulkannya pada waktu itu
juga.
Kedua
peran ini tak butuh kemahiran akting. Cukup kemahiran untuk taat dan menjauhi
maksiat. Tidak mudah, namun juga tidak mustahil. Semoga kita dimudahkan untuk
menjalani keduanya. Aamiin.
Pantas
umur 7 tahun Musa sudah hafal 30 juz, ternyata seperti ini tipsnya!
Berikut
perjalanan Musa meraih Peringkat 3 dunia
Pada
awalnya Musa kata beliau juga sulit menghafal sebagaimana umumnya anak, namun
dengan ketekunan akhirnya hafal juga. Kunci paling penting adalah murajaahnya
alias mengulang-ulang hafalan. Perlu diketahui juga Abu Musa tidak hafal semua
itu, namun bisa menjadikan Musa hafal dengan kuat.
Pergaulan
dijaga. Bisa dikatakan Musa kurang bergaul dengan banyak anak, karena memang
niat abinya untuk menjaga hafalan.
Televisi
jauh jauh dah. Musa sangat dijaga jangan sampai nonton televisi. Bukti, pas ana
ngobrol dengn beliau di ruang tunggu kebetulan pas di depan televisi beliau
minta pindah. Pindah yuk akh, takut Musa nantinya lihat televisi, kata beliau.
Makanan
dijaga. Sari kurma, madu, dan propolis selalu diberikan kepada Musa dan
adik-adiknya. Menghafal membutuhkan banyak energi.
Rutinitas
harian Musa adalah pagi setengah jam sebelum shubuh, tahajjud menjadi imam
untuk adik-adiknya. Kemudian shubuh berjamaah di masjid. Setelah shubuh
murajaahnya sampai jam 9 pagi. Musa kuat murajaahnya sampai jam 9 pagi. Musa
kuat murajaah 10 juz dalam sehari secara rutin! Antum berapa hayoo.
Jam
9-10 makan pagi, dan lain-lain.
Jam
10 dhuhur, tidur siang. Tidur ini hukumnya wajib untuk Musa.
Habis
dhuhur nambah hafalan baru sampai Ashar.
Bada
Ashar sekarang Musa sedang menghafal Bulughul Maram.
Jam
5 sampai magrib: waktu bermain.
Magrib
sampai Isya’ ikut taklim abinya. Sebelum abinya menyampaikan taklim, Musa
mengawali dengan membaca hafalannya. Dan terkadang hadirin dipersilahkan
bertanya atau mengetes. Ini berjalan hamper setiap hari.
Dan
unik dan kadang bikin geli, banyak sekolah-sekolah yang mengundang Musa dan
ayahnya karena ingin belajar cara menghafal. Padahal semua tahu, Musa kan tidak
sekolah. Jadi yang sekolah malah belajar sama yang tidak bersekolah. Saat
bertemu, saya langsung Tanya, Abu Musa ya? Kemudian langsung menebak beliau mau
ke Mesir untuk lomba Tahfidz sedunia. Dan benar. Dia satu-satunya yang mewakili
Indonesia.
Melihat
Musa dengan segala prestasinya, kita semua pasti berharap kelak punya anak
seperti bocah ini. Tetapi hal yang perlu kita perhatikan adalah apakah kita
memang pantas dan mampu?
Siapapun
bisa punya anak hafal Al-Qur’an, karena menghafal tidak membutuhkan nasab.
Mempunyai anak hafal Al-Qur’an tidak harus kita hafal terlebih dahulu. Yang
paling penting dari proses edukasi terhadap anak usia dini adalah teladan.
Bagi
kita yang sudah menjadi orang tua apakah kita mampu member teladan kepada
anak-anak kita dalam keseharian? Minimal meluangkan waktu mendampingi si buah
hati membaca Al-Qur’an setiap hari ?
Atau
bagi kita yang masih muda dan merupakan calon orang tua di masa depan, apakah
kita benar-benar sesuai dengan persyaratan tersebut? Atau jangan-jangan kita
masih termasuk generasi yang suka mengisi waktu dengan huru-hara, main-main,
pacaran dan aktifitas sia-sia yang lain ?
Semoga
obrolan ini menginspirasi semua orang tua.
Oleh:
Ustadz Rohmanto Abu Al-Laits