Maha Karya Literasi
Islam merupakan agama yang mendorong untuk membudayakan budaya literasi
di kalangan umatnya. Hal ini tak lepas dari sejarah turunnya kitab suci Al
Quran itu sendiri.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan pelantaraan kalam. Dia mengajarkan
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Qs. Al-‘Alaq 1-5).
Dari intisari ayat di atas memberi inspirasi dan motivasi pada baca tulis
yang setelah dipilah menjadi empat hal. Pertama, perintah membaca dan
menulis. Membaca sangat penting dalam kehidupan seorang Muslimin,
karena membaca merupakan pintu gerbang bagi masuknya berbagai ilmu pengetahuan.
Untuk membuka wawasan pengetahuan tersebut, perlulah kiranya menggunakan
perantara ilmu melalui buku-buku pengetahuan ataupun belajar dengan guru secara
langsung. Membaca tentu tidak bisa dipisahkan dari proses menulis. Hal ini bisa
disebut sebagai literasi. Literasi sendiri menurut KBBI dapat diartikan sebagai
kemampuan menulis dan membaca serta kemampuan individu dalam mengolah informasi
dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dari pengertian di sini, untuk meraih
kecakapan dalam hidup tersebut, diperlukan sebuah kemampuan dalam mengolah
pengetahuan yang diperolehnya. Kemampuan yang diperlukan itu dinamakan sebagai
kemampuan membaca dan menulis.
Sementara menurut Quraish Shihab, membaca adalah syarat utama guna
membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi pula
peradaban. Begitu pula sebaliknya. Selain itu apabila dilihat dari sejarah
terkait dengan tradisi bac-tulis, maka umat manusia bisa dikelompokkan kedalam dua
periode utama yaitu sebelum penemuan tulis- baca dan sesudahnya: sekitar lima
ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya sistem baca-tulis peradaban manusia
tidak harus mengulang dan mengulang dari nol; merambah jalan dan
merangkak-rangkak. Tetapi, peradaban yang datang mempelajari peradaban yang
lalu melalui jejak tertulis yang dapat dibaca oleh generasi saat itu. Dan satu
hal yang harus dicatat, melalui kemampuan baca –tulis manusia tidak harus
memulai segalanya dari nol, tetapi bisa belajar dari prestasi dan kegagalan
orang-orang pendahulunya.
Kedua, perintah mencari ilmu pengetahuan. Ketiga,
inspirasi tradisi manajemen dan administrasi. Keempat, bahasa-bahasa al-Qur’an
yang identik dengan tradisi literasi. Kenapa dalam alquran menyerukan agar umat
Islam memperkuat tradisi baca dan tulis? Karena dengan membaca akal pikiran
semakin berpengaruh untuk belajar menjadi bijaksana, sedangkan menulis adalah
sebuah cacatan sejarah soalnya waktu tak mungkin terulang kembali. Sebuah
peradaban zaman akan dapat di nilai dan juga dijadikan rujukan setelahnya tak
lain karena peninggalan karya-karya dalam tulisan. Ada pepatah bilang yang
terucap akan terbawa dengan angin dan yang tertulis akan tetap mengabadi.
Dalam sejarahnya, Islam tidak lepas dari budaya membaca dan menulis.
Meskipun Bangsa Arab Pra-Islam kurang bersentuhan dengan budaya menulis dan
membaca, namun setelah Al Quran turun kepada mereka, tradisi membaca dan
menulis mulai tumbuh di kalangan Bangsa Arab. Banyak dari mereka mulai
menuliskan ayat – ayat Al Quran di berbagai media seperti kulit kayu, batu,
tulang, pelepah kurma, dan kulit hewan. Beberapa sahabat Rasulullah juga sudah
mulai belajar membaca dan menulis. Salah satu tokoh yang pandai membaca dan
menulis pada masa itu adalah Hafshah binti Umar bin Khattab yang merupakan anak
dari Umar bin Khattab sekaligus Istri Rasulullah.
The cultural atlas of Islam, karya Ismail R. al –Faruqi dan
Lois Lamya’ al-Faruqi (New York: Macmillan Publishing Compani, 1986). Buku ini
menjelaskan pada wal abad ketujuh Masehi tradisi penulisan telah ada di kawasan
Jazirah Arab. Namun tradisibaca-tulis belum banyak dipraktikkan oleh
orang-orang sezaman Nabi Muhammad. Karya sastra berbentuk sya’ir dan prosa yang
biasa diciptakan sebagian besar masyarakat ini pun ditulis. Melainkan hanya
dihafal dan dibaca dalam bentuk sebenarnya. Nabi sendiri juga tidak pernah
mempelajari ilmu baca -tulis, meskipun beberapa di antara keluarga dan
sahabatnya dapat menulis. Sampai akhirnya wahyu pertama turun dan Nabi
memerintahkan beberapa sahabat untuk menulis ayat demi ayat yang turun secara
kontinyu.
Budaya membaca dan menulis yang berkembang pada masa Rasulullah tidak
lepas dari kemuliaan akhlak Rasulullah itu sendiri. Dikisahkan setelah Perang
Badar, pasukan Kaum Musyrikin mengalami kekalahan sehingga banyak dari mereka
menjadi tawanan kaum Muslimin. Rasulullah memulai musyawarah untuk mencari tahu
apa yang akan dilakukan terhadap tawanan tersebut. Umar r.a. mengusulkan agar
para tawanan dibunuh saja. Abu Bakar Ash Shidiq mengusulkan agar para tawanan
dibebaskan saja. Dari musyawarah yang menguras tenaga itu, didapat keputusan
Rasulullah bahwa para tawanan dapat bebas dengan syarat harus mengajarkan
membaca dan menulis kepada anak-anak kaum Muslimin. Keputusan yang cemerlang
ini tentu sangat berdampak besar bagi masa depan kaum Muslimin karena dengan
anak-anaknya yang dapat belajar membaca dan menulis, di masa depan mereka akan
menjadi pejuang dakwah yang cerdas dan bertaqwa. Sungguh betapa mulianya akhlak
Rasulullah ini yang memilih untuk memperlakukan tawanan secara adil.
Sebagai contoh, kita dapat melihat tradisi literasi ini pada masa
Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq memimpin, semangat literasi dari para sahabat
pada masa itu sudah terpupuk baik, sejarah pembukuan Al Quran terjadi pada masa
ini. Para sahabat –selepas meninggalnya Nabi– berusaha dengan baik menyatukan
ayat-ayat Al Quran yang terpisah dari berbagai media sebelumnya ke dalam satu
kumpulan surah Al Qur’an atau dikenal dengan istilah pembukuan Al Quran. Proses
pembukuan ini juga didasari oleh kekhawatiran jika nanti banyak dari para
penghafal Quran meninggal dunia, maka Al Quran juga akan hilang dari hadapan
mereka. Oleh karena itulah, proses pembukuan atau kodifikasi.
Al Quran ini dilakukan dan hingga
sekarang, manfaatnya sungguh besar dapat kita rasakan. Dalam tafsir Al-Maraghi “Al
Qur’an telah merubah suatu bangsa yang sangat rendah menjadi paling mulia,
dengan perantaraan keutamaan kalam. Jika tidak ada tulisan, tentu pengetahuan
tidak terekam, agama akan sirna dan bangsa belakangan tidak akan mengenal
sejarah umat sebelumnya”. Uraian tersebut diambil dari intisari (Qs.
Al-Alaq 1-5) yang mana ayat tersebut adalah wahyu pertama yang turun untuk Nabi
Muhammad Saw. Karena tanpa menulis kesadaran manusia tidak bisa mencapai
potensi yang sebenarnya, tidak bisa menghasilkan ciptaan-ciptaan yang luar
biasa dan indah kata J. Ong dalam bukunya; Orality and Literacy: Speaking
Writing, Technology, and the Mind (London: Routledge, 2002).
Sejatinya, tradisi literasi di kalangan kaum Muslimin lah yang mengantarkan
umat Islam mencapai masa puncak kejayaannya. Pada masa Dinasti Abbasyiah,
terdapat perpustakaan utama yaitu Baitul Hikmah yang memiliki ratusan ribu
koleksi buku. Ketika Baitul Hikmah menjadi pusat intelektual dunia, setiap
karya tulis ditimbang kemudian dihargai dengan emas sesuai dengan beratnya.
Pada masa itu, koleksi buku dari berbagai bahasa dan bidang keilmuan sangat
banyak beredar di Baitul Hikmah. Banyak ilmuwan-ilmuwan Muslim yang bermunculan
dan produktif dalam menghasilkan karya yang menjadi sumbangsih dalam
perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ilmu-ilmu pengetahuan juga berkembang
pesat pada era ini, mulai dari ilmu agama, ilmu pengetahuan, filsafat,
kedokteran, seni, sastra, matematika, fisika, sosial, bahkan ilmu politik.
Usaha penerjemahan berbagai buku dari Yunani maupun wilayah Eropa lainnya
digencarkan untuk mendukung tersebarnya ilmu pengetahuan kepada kaum Muslimin
pada masa itu.
Kejayaan di Dinasti Abbasyiah juga diikuti oleh kejayaan literasi umat
Islam pada masa Bani Umayyah di Andalusia. Penggerak dari kemajuan literasi di
Andalusia sendiri tak lepas dari peran pemimpinnya, yakni Sultan Al Hakam II
yang mencintai ilmu pengetahuan. Beliau memiliki koleksi buku pribadi sebanyak
600.000 buku. Beliau juga turut andil dalam pendirian Perpustakaan Kordoba yang
terinspirasi dari Baitul Hikmah di Baghdad. Kegiatan penerjemahan buku-buku
berbahasa Latin ke Bahasa Arab pun terus digencarkan.
Tidak berhenti sampai disitu, bahkan pusat ilmu pengetahuan banyak
bertumbuh pada masa-masa itu. Pada tahun 859, berdiri sebuah universitas
pertama di dunia yang bernama Universitas Al-Qarawiyyin, yang didirikan oleh
Fatimah Al Fihri di kota Fez, Maroko. Pada tahun 97, berdiri pula Universitas
Al Azhar di Kairo, Mesir yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan agama Islam
yang bahkan masih awet sampai sekarang. Semangat literasi dalam peradaban Islam
juga tersebar hingga Afrika Barat. Kota Timbuktu, Mali menjadi pusat
pengetahuan dan literasi di barat Afrika. Buku-buku dari berbagai genre dan
bidang banyak terdapat di sana. Hal yang unik di sana adalah para pedagang
terkaya justru adalah pedagang buku. Hal ini karena masyarakatnya memiliki
minat baca yang sangat tinggi dan haus akan ilmu pengetahuan.
Peradaban Islam pada masa itu tak lepas dari eksistensi perpustakaan.
Perpustakaan pada masa itu digolongkan menjadi perpustakaan akademik, pribadi,
sekolah/madrasah, masjid dan universitas. Perpustakaan-perpustakaan pada masa
itu menjadi penggerak peradaban Islam dengan adanya kegiatan literasi di sana.
Jumlah koleksi yang mencapai ribuan dan terus bertambah membuat semakin apik
perkembangan perpustakaan pada masa itu. Seorang Menteri pada masa kekuasaan
Shalahuddin Al-Ayubi, Al Fadilah bahkan menyumbangkan 200 ribu koleksi buku
untuk penyelenggaraan perpustakaan madrasah.
Di samping itu, kemajuan literasi dalam peradaban Islam juga tak lepas
dari peran pemimpinnya yang juga senang dengan ilmu pengetahuan. Beberapa figur
pemimpin yang senang akan perkembangan ilmu pengetahuan seperti Harun Al Rasyid
yang mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad dan Sultan Al Hakam II yang mendirikan
perpustakaan Kordoba di Andalusia. Tentu dengan adanya sosok pemimpin seperti
mereka, rakyat akan termotivasi untuk turut mencintai ilmu pengetahuan dan
perkembangan akan semakin maju dan berkembang. Namun, pada akhir masa kejayaan
Islam, kita menyadari satu hal yang pahit nan memilukan. Perkembangan peradaban
Islam mengalami stagnansi yang luar biasa ketika para pemimpinnya justru kalap
dengan kekuasaan, berorientasi pada perang, hidup dengan kemewahan, dan
meninggalkan tradisi literasi. Peradaban Islam akhirnya mundur dan jatuh
tercerai-berai memasuki abad 20.
Dengan demikian, pada akhirnya kita menyadari, sejarah peradaban Islam
adalah sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan literasi. Literasi
sendiri bahkan menjadi api penyala peradaban dengan perpustakaan sebagai dapur
pacu peradaban. Namun, saat ini umat Islam masih kalap dengan kenyamanan, masih
kehilangan jati dirinya untuk menghidupkan kembali tradisi pengetahuan. Umat
Islam kehilangan semangat dalam membaca, berdiskusi, dan menulis yang justru
hal tersebut tumbuh pada bangsa-bangsa eropa. Tentu saja, hal inilah yang
mungkin menjadi penyebab mengapa kini umat Islam menjadi umat yang
memprihatinkan di berbagai belahan dunia. Jika ingin meraih kejayaan Islam
kembali, tentu semangat literasi dan mencintai ilmu pengetahuan harus bertumbuh
di kalangan umat Islam, bukannya justru menolak ilmu pengetahuan. Tentu dengan
berlandaskan Akidah Islamiyyah, semangat literasi, dan mencintai ilmu
pengetahuan bukan tidak mungkin kejayaan Islam pada masa lalu akan terulang
kembali.
“Ingin merebut kejayaan Islam kembali? Yuk Giatkan Membaca!”
NB: Berbagai sumber