Pages

Minggu, 31 Maret 2019

Kimia Kebahagiaan



Manusia merupakan ciptaan Tuhan yang paling sempurna, baik secara rohani maupun jasmani, dengan segala kelebihannya manusia dituntut untuk menciptakan kehidupan yang seimbang dan serasi di dunia ini. Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan membutuhkan hubungan secara vertikal. Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hubungan dengan yang lainnya. Kebahagiaan merupakan hal yang relatif, tergantung pada tujuan dan orientasi kehidupan seseorang.

Apabila tujuan dan orientasi dalam kehidupannya adalah mengkodifikasi harta, meraih kekuasaan dan kenikmatan lainnya dalam kehidupan dunia, maka keberhasilannya meraih tujuan-tujuannya itu merupakan kebahagiaannya. Tetapi apabila tujuan dalam kehidupan ini untuk berpegang pada tali keimanan, takwa dan amal saleh agar dapat memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan akhirat maka hal itu merupakan sumber kebahagiannya.

Sayangnya, tidak setiap manusia bisa menemukan jalan yang mudah dan benar untuk meraih tujuan hidupnya. Sebagian orang harus menempuh jalan yang berliku, sebagian yang lain dengan jalan bebas hambatan. Masalah kebahagiaan sendiri merupakan topik yang tidak akan pernah habis diperbincangkan orang. Mulai dari bagaimana hakikatnya hingga jalan-jalan yang ditempuh untuk mendapatkannya. Ada begitu banyak paradigma mengenai kebahagiaan.

Phitagoras, Socrates, dan Aristoteles berpendapat bahwa bahagia itu tersusun dari empat unsur utama yaitu hikmat, keberanian, kehormatan, dan keadilan. Apabila keempatnya telah berkumpul pada diri seseorang, maka orang itu bahagia.

Sebagaimana disebutkan di atas, definisi bahagia tidak memiliki bentuk baku. Kadang-kadang sesuatu yang dipandang bahagia oleh seseorang, tidak demikian bagi orang lain. Adagium Jawa mengatakan urip niku mung sawang sinawang (hidup itu hanya saling memandang dan dipandang, belum tentu yang dipandang itu merasakan bahagia, justru sebaliknya).

Kebahagiaan merupakan tumpuan cita dan harapan dalam kehidupan, oleh sebab itu kebahagiaan menjadi sangat berharga dan diburu, sehingga menjadi tumpuan dalam setiap langkahnya.

Dalam mewujudkan kebahagiaan, Al Ghazali menekankan pentingnya arti cinta kepada Allah. Pengetahuan tentang Tuhan merupakan kunci untuk mencintai Allah karena tidak mungkin lahir cinta jika tidak mampu mengetahui dan merasakan indahnya berhubungan dengan sesuatu yang menyenangkan.

Bahagia menurut Al Ghazali akan dapat dicapai apabila manusia sudah bisa menundukkan nafsu kebinatangan dan setan dalam dirinya serta menggantinya dengan sifat malaikat. Sedangkan kebahagiaan tertinggi menurut Al Ghazali adalah ketika manusia telah terbuka hijabnya dengan Allah, ia bisa melihat Allah dengan mata hatinya atau dalam bahasa Al Ghazali telah sampai pada tahap ma’rifatullah.

Al Ghazali mempunyai konsep kebahagiaan tersendiri yang kita kenal dengan Kimia Kebahagiaan (kimiatus sa’adah). Kitab ini memuat 8 sub bab yakni mengenal diri, mengenal Allah, mengenal dunia, mengenal akhirat, spiritualitas dalam musik dan tarian, muhasabah dan dzikir, perkawinan: Pendorong ataukah perintang kehidupan beragama?, dan cinta kepada Allah.

Berikut kami sajikan link buku kimia as sa’adah di bawah ini
Kimia Kebahagiaan

Khilafah Islamiyah: Catatan Kritis dari Aspek Teologis hingga Pendapat Ulama

 

Tema yang cukup mengandung perdebatan di kalangan publik hari-hari ini adalah term kekhalifahan dalam Islam. Perdebatan menguat karena banyak kalangan tidak memahami makna khilafah dalam al-Quran, serta rujukan pendapat (aqwal) para ulama yang sering keliru dipahami.

Ada banyak sekali perubahan kata dan asosiasi maknanya dalam sejarah Islam. Term khilafah sendiri tidak digunakan kecuali pada masa Sahabat Nabi. Bahkan bisa dikatakan jarang, untuk mengatakan tidak ada. Apa lagi sebagai sebuah sistem sosial dan politik yang menggunakan term ‘khilafah’ pasca kekhalifahan yang 4.

Abdul Aziz dalam bukunya The Chiefdom of Madinah Salah Paham Negara Islam, menerangkan bahwa banyak pihak menyatakan bahwa piagam madinah merupakan salah satu preseden dari cita-cita negara Islam. Bahwa Negara Madinah yang diciptakan dan dibuat oleh Nabi Muhammad dipahami sebagai ilustrasi atas bentuk tidak adanya suatu negara yang dibangun atas primordialisme, suku (tribalism) bahkan agama tertentu. Buku ini termasuk layak untuk dibaca terutama bagi setiap kalangan.

Negara Madinah adalah bentuk ideal dari pemerintahan yang melampaui sistem tribalisme sebagai corak paling dominan dari kultur masyarakat arab pada saat itu. Sistem berikutnya, tepatnya pada masa Abu Bakar al-Shiddiq lahir dari kekosongan pemerintahan, lalu selanjutnya mengedepankan sistem pemilihan melalui Ahlul Halli wa al-Aqdi. Hingga bentuk sistem tersebut mulai berubah pasca Bani Umayyah.

Dari perbedaan pemilihan pemimpin sejak dari sahabat Nabi hingga berdirinya kerajaan Umayyah, Muhammad Abid al-Jabiri dalam Negara Islam mengatakan bahwa tidak ada role model khusus yang ditentukan oleh Nabi Muhammad saw sendiri dan para sahabat terkait sistem politik. Dari pembacaan historis seperti ini, kemudian para ulama mengatakan bahwa persoalan sistem politik merupakan bentuk itjihad.

Persoalan lain adalah adanya perbedaan sebutan bagi para pemimpin umat Islam. Hal ini terbukti pada masa pemerintahan Sayyidina Umar bin Khattab. Ia dikenal dengan nama Amir al-Mukminin (pemimpin kaum muslimin). Gelar pemimpin Amir al-Mukminin, cukup lekat dipakai oleh tiga khalifah Islam awal yaitu Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mengenai perubahan dan pergantian nama/ gelar jabatan pemimpin dalam tubuh umat Islam ini bisa dilihat dari buku Sirah Ibnu Hisyam, Sirah Ishaq dan sebagainya.

Konteks gelar Amir disini merefer kepada pemimpin pasukan perang pada kala itu. Konteks inilah yang dipahami oleh para ulama bahwa pemimpin kala itu identic dengan kuda, kemampuan berperang secara langsung dan seterusnya. Banyak sekali unsur maskulinitas dalam karakter pemimpin yang diciptakan oleh sistem sosial umat Islam kala itu. Dari konteks gelar dan pembedaan pemilihan kepemimpinan Islam awal bisa disimpulkan tidak adanya sistem baku dan paten dalam Islam soal kepemimpinan.

Dalam buku ini dijelaskan tentang makna khalifah dalam alquran, pandangan al-Qurthubi tentang khilafah dan pandangan Imam al-Mawardi. Di tengah masyarakat yang terus berubah dan berkembang, gagasan negara Islam merupakan bentuk ilusi dalam dirinya (Abdurrahman Wahid: Ilusi Negara Islam). Untuk mengatakan bahwa utopis, khilafah Islamiyah dikaji dalam buku ini dengan melihat konteks tafsiran dan pendapat para ulama tentang khilafah.

Berikut link unduhan buku Khilafah Islamiyyah di bawah ini:
Sumber: Mukaddimah Khilafah Islamiyah: Catatan Kritis dari Aspek Teologis hingga Pendapat Ulama

Selasa, 26 Maret 2019

Maha Karya Literasi


 

Maha Karya Literasi

Islam merupakan agama yang mendorong untuk membudayakan budaya literasi di kalangan umatnya. Hal ini tak lepas dari sejarah turunnya kitab suci Al Quran itu sendiri.

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan pelantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Qs. Al-‘Alaq 1-5).

Dari intisari ayat di atas memberi inspirasi dan motivasi pada baca tulis yang setelah dipilah menjadi empat hal. Pertama, perintah membaca dan menulis. Membaca sangat penting dalam kehidupan seorang Muslimin, karena membaca merupakan pintu gerbang bagi masuknya berbagai ilmu pengetahuan. Untuk membuka wawasan pengetahuan tersebut, perlulah kiranya menggunakan perantara ilmu melalui buku-buku pengetahuan ataupun belajar dengan guru secara langsung. Membaca tentu tidak bisa dipisahkan dari proses menulis. Hal ini bisa disebut sebagai literasi. Literasi sendiri menurut KBBI dapat diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca serta kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dari pengertian di sini, untuk meraih kecakapan dalam hidup tersebut, diperlukan sebuah kemampuan dalam mengolah pengetahuan yang diperolehnya. Kemampuan yang diperlukan itu dinamakan sebagai kemampuan membaca dan menulis.

Sementara menurut Quraish Shihab, membaca adalah syarat utama guna membangun peradaban. Semakin luas wilayah pembacaan maka semakin tinggi pula peradaban. Begitu pula sebaliknya. Selain itu apabila dilihat dari sejarah terkait dengan tradisi bac-tulis, maka umat manusia bisa dikelompokkan kedalam dua periode utama yaitu sebelum penemuan tulis- baca dan sesudahnya: sekitar lima ribu tahun yang lalu. Dengan ditemukannya sistem baca-tulis peradaban manusia tidak harus mengulang dan mengulang dari nol; merambah jalan dan merangkak-rangkak. Tetapi, peradaban yang datang mempelajari peradaban yang lalu melalui jejak tertulis yang dapat dibaca oleh generasi saat itu. Dan satu hal yang harus dicatat, melalui kemampuan baca –tulis manusia tidak harus memulai segalanya dari nol, tetapi bisa belajar dari prestasi dan kegagalan orang-orang pendahulunya.

Kedua, perintah mencari ilmu pengetahuan. Ketiga, inspirasi tradisi manajemen dan administrasi. Keempat, bahasa-bahasa al-Qur’an yang identik dengan tradisi literasi. Kenapa dalam alquran menyerukan agar umat Islam memperkuat tradisi baca dan tulis? Karena dengan membaca akal pikiran semakin berpengaruh untuk belajar menjadi bijaksana, sedangkan menulis adalah sebuah cacatan sejarah soalnya waktu tak mungkin terulang kembali. Sebuah peradaban zaman akan dapat di nilai dan juga dijadikan rujukan setelahnya tak lain karena peninggalan karya-karya dalam tulisan. Ada pepatah bilang yang terucap akan terbawa dengan angin dan yang tertulis akan tetap mengabadi.

Dalam sejarahnya, Islam tidak lepas dari budaya membaca dan menulis. Meskipun Bangsa Arab Pra-Islam kurang bersentuhan dengan budaya menulis dan membaca, namun setelah Al Quran turun kepada mereka, tradisi membaca dan menulis mulai tumbuh di kalangan Bangsa Arab. Banyak dari mereka mulai menuliskan ayat – ayat Al Quran di berbagai media seperti kulit kayu, batu, tulang, pelepah kurma, dan kulit hewan. Beberapa sahabat Rasulullah juga sudah mulai belajar membaca dan menulis. Salah satu tokoh yang pandai membaca dan menulis pada masa itu adalah Hafshah binti Umar bin Khattab yang merupakan anak dari Umar bin Khattab sekaligus Istri Rasulullah.

The cultural atlas of Islam, karya Ismail R. al –Faruqi dan Lois Lamya’ al-Faruqi (New York: Macmillan Publishing Compani, 1986). Buku ini menjelaskan pada wal abad ketujuh Masehi tradisi penulisan telah ada di kawasan Jazirah Arab. Namun tradisibaca-tulis belum banyak dipraktikkan oleh orang-orang sezaman Nabi Muhammad. Karya sastra berbentuk sya’ir dan prosa yang biasa diciptakan sebagian besar masyarakat ini pun ditulis. Melainkan hanya dihafal dan dibaca dalam bentuk sebenarnya. Nabi sendiri juga tidak pernah mempelajari ilmu baca -tulis, meskipun beberapa di antara keluarga dan sahabatnya dapat menulis. Sampai akhirnya wahyu pertama turun dan Nabi memerintahkan beberapa sahabat untuk menulis ayat demi ayat yang turun secara kontinyu.

Budaya membaca dan menulis yang berkembang pada masa Rasulullah tidak lepas dari kemuliaan akhlak Rasulullah itu sendiri. Dikisahkan setelah Perang Badar, pasukan Kaum Musyrikin mengalami kekalahan sehingga banyak dari mereka menjadi tawanan kaum Muslimin. Rasulullah memulai musyawarah untuk mencari tahu apa yang akan dilakukan terhadap tawanan tersebut. Umar r.a. mengusulkan agar para tawanan dibunuh saja. Abu Bakar Ash Shidiq mengusulkan agar para tawanan dibebaskan saja. Dari musyawarah yang menguras tenaga itu, didapat keputusan Rasulullah bahwa para tawanan dapat bebas dengan syarat harus mengajarkan membaca dan menulis kepada anak-anak kaum Muslimin. Keputusan yang cemerlang ini tentu sangat berdampak besar bagi masa depan kaum Muslimin karena dengan anak-anaknya yang dapat belajar membaca dan menulis, di masa depan mereka akan menjadi pejuang dakwah yang cerdas dan bertaqwa. Sungguh betapa mulianya akhlak Rasulullah ini yang memilih untuk memperlakukan tawanan secara adil.

Sebagai contoh, kita dapat melihat tradisi literasi ini pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq memimpin, semangat literasi dari para sahabat pada masa itu sudah terpupuk baik, sejarah pembukuan Al Quran terjadi pada masa ini. Para sahabat –selepas meninggalnya Nabi– berusaha dengan baik menyatukan ayat-ayat Al Quran yang terpisah dari berbagai media sebelumnya ke dalam satu kumpulan surah Al Qur’an atau dikenal dengan istilah pembukuan Al Quran. Proses pembukuan ini juga didasari oleh kekhawatiran jika nanti banyak dari para penghafal Quran meninggal dunia, maka Al Quran juga akan hilang dari hadapan mereka. Oleh karena itulah, proses pembukuan atau kodifikasi.

Al Quran ini dilakukan dan hingga sekarang, manfaatnya sungguh besar dapat kita rasakan. Dalam tafsir Al-Maraghi “Al Qur’an telah merubah suatu bangsa yang sangat rendah menjadi paling mulia, dengan perantaraan keutamaan kalam. Jika tidak ada tulisan, tentu pengetahuan tidak terekam, agama akan sirna dan bangsa belakangan tidak akan mengenal sejarah umat sebelumnya”. Uraian tersebut diambil dari intisari (Qs. Al-Alaq 1-5) yang mana ayat tersebut adalah wahyu pertama yang turun untuk Nabi Muhammad Saw. Karena tanpa menulis kesadaran manusia tidak bisa mencapai potensi yang sebenarnya, tidak bisa menghasilkan ciptaan-ciptaan yang luar biasa dan indah kata J. Ong dalam bukunya; Orality and Literacy: Speaking Writing, Technology, and the Mind (London: Routledge, 2002).

Sejatinya, tradisi literasi di kalangan kaum Muslimin lah yang mengantarkan umat Islam mencapai masa puncak kejayaannya. Pada masa Dinasti Abbasyiah, terdapat perpustakaan utama yaitu Baitul Hikmah yang memiliki ratusan ribu koleksi buku. Ketika Baitul Hikmah menjadi pusat intelektual dunia, setiap karya tulis ditimbang kemudian dihargai dengan emas sesuai dengan beratnya. Pada masa itu, koleksi buku dari berbagai bahasa dan bidang keilmuan sangat banyak beredar di Baitul Hikmah. Banyak ilmuwan-ilmuwan Muslim yang bermunculan dan produktif dalam menghasilkan karya yang menjadi sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern. Ilmu-ilmu pengetahuan juga berkembang pesat pada era ini, mulai dari ilmu agama, ilmu pengetahuan, filsafat, kedokteran, seni, sastra, matematika, fisika, sosial, bahkan ilmu politik. Usaha penerjemahan berbagai buku dari Yunani maupun wilayah Eropa lainnya digencarkan untuk mendukung tersebarnya ilmu pengetahuan kepada kaum Muslimin pada masa itu.

Kejayaan di Dinasti Abbasyiah juga diikuti oleh kejayaan literasi umat Islam pada masa Bani Umayyah di Andalusia. Penggerak dari kemajuan literasi di Andalusia sendiri tak lepas dari peran pemimpinnya, yakni Sultan Al Hakam II yang mencintai ilmu pengetahuan. Beliau memiliki koleksi buku pribadi sebanyak 600.000 buku. Beliau juga turut andil dalam pendirian Perpustakaan Kordoba yang terinspirasi dari Baitul Hikmah di Baghdad. Kegiatan penerjemahan buku-buku berbahasa Latin ke Bahasa Arab pun terus digencarkan.

Tidak berhenti sampai disitu, bahkan pusat ilmu pengetahuan banyak bertumbuh pada masa-masa itu. Pada tahun 859, berdiri sebuah universitas pertama di dunia yang bernama Universitas Al-Qarawiyyin, yang didirikan oleh Fatimah Al Fihri di kota Fez, Maroko. Pada tahun 97, berdiri pula Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dan agama Islam yang bahkan masih awet sampai sekarang. Semangat literasi dalam peradaban Islam juga tersebar hingga Afrika Barat. Kota Timbuktu, Mali menjadi pusat pengetahuan dan literasi di barat Afrika. Buku-buku dari berbagai genre dan bidang banyak terdapat di sana. Hal yang unik di sana adalah para pedagang terkaya justru adalah pedagang buku. Hal ini karena masyarakatnya memiliki minat baca yang sangat tinggi dan haus akan ilmu pengetahuan.

Peradaban Islam pada masa itu tak lepas dari eksistensi perpustakaan. Perpustakaan pada masa itu digolongkan menjadi perpustakaan akademik, pribadi, sekolah/madrasah, masjid dan universitas. Perpustakaan-perpustakaan pada masa itu menjadi penggerak peradaban Islam dengan adanya kegiatan literasi di sana. Jumlah koleksi yang mencapai ribuan dan terus bertambah membuat semakin apik perkembangan perpustakaan pada masa itu. Seorang Menteri pada masa kekuasaan Shalahuddin Al-Ayubi, Al Fadilah bahkan menyumbangkan 200 ribu koleksi buku untuk penyelenggaraan perpustakaan madrasah.

Di samping itu, kemajuan literasi dalam peradaban Islam juga tak lepas dari peran pemimpinnya yang juga senang dengan ilmu pengetahuan. Beberapa figur pemimpin yang senang akan perkembangan ilmu pengetahuan seperti Harun Al Rasyid yang mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad dan Sultan Al Hakam II yang mendirikan perpustakaan Kordoba di Andalusia. Tentu dengan adanya sosok pemimpin seperti mereka, rakyat akan termotivasi untuk turut mencintai ilmu pengetahuan dan perkembangan akan semakin maju dan berkembang. Namun, pada akhir masa kejayaan Islam, kita menyadari satu hal yang pahit nan memilukan. Perkembangan peradaban Islam mengalami stagnansi yang luar biasa ketika para pemimpinnya justru kalap dengan kekuasaan, berorientasi pada perang, hidup dengan kemewahan, dan meninggalkan tradisi literasi. Peradaban Islam akhirnya mundur dan jatuh tercerai-berai memasuki abad 20.

Dengan demikian, pada akhirnya kita menyadari, sejarah peradaban Islam adalah sejarah yang tidak dapat dilepaskan dari kegiatan literasi. Literasi sendiri bahkan menjadi api penyala peradaban dengan perpustakaan sebagai dapur pacu peradaban. Namun, saat ini umat Islam masih kalap dengan kenyamanan, masih kehilangan jati dirinya untuk menghidupkan kembali tradisi pengetahuan. Umat Islam kehilangan semangat dalam membaca, berdiskusi, dan menulis yang justru hal tersebut tumbuh pada bangsa-bangsa eropa. Tentu saja, hal inilah yang mungkin menjadi penyebab mengapa kini umat Islam menjadi umat yang memprihatinkan di berbagai belahan dunia. Jika ingin meraih kejayaan Islam kembali, tentu semangat literasi dan mencintai ilmu pengetahuan harus bertumbuh di kalangan umat Islam, bukannya justru menolak ilmu pengetahuan. Tentu dengan berlandaskan Akidah Islamiyyah, semangat literasi, dan mencintai ilmu pengetahuan bukan tidak mungkin kejayaan Islam pada masa lalu akan terulang kembali.

“Ingin merebut kejayaan Islam kembali? Yuk Giatkan Membaca!”

NB: Berbagai sumber

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer