Pages

Rabu, 05 Agustus 2020

Paradigma Integrasi-Interkoneksi Keilmuan dan Transformasi Islamic Studies


Sumber gambar: dictio.id

Transformasi IAIN menjadi UIN –dalam kasus UIN Sunan Kalijaga secara formal terjadi pada tahun 2004—jelas merupakan titik sejarah yang tidak boleh dilewatkan begitu saja dalam sejarah panjang pendidikan Islam di Indonesia. Tentu saja transformasi IAIN menjadi UIN ini hakikatnya adalah transformasi dalam dimensi akademikkeilmuannya, dan bukan sekedar perubahan fisik bangunan atau manajerial pengelolaannya. Di sinilah kemudian menjadi penting bagi setiap civitas akademik UIN untuk bisa menjawab pertanyaan tentang “bagaimana struktur keilmuan  pra-UIN dan apa bedanya dengan struktur keilmuan UIN?”.

 

UIN Sunan Kalijaga agaknya melihat aspek yang krusial ini, sehingga sejak sangat awal rencana transformasi, aspek struktur dan epistemologi keilmuan ini menjadi perhatian utama. Tercatat sejak tahun 2002, upaya pembahasan ini mulai serius dilakukan. Pada tahun tersebut dilaksanakan Seminar Nasional dalam rangka mensyukuri kelahiran IAIN ke 51, yang diselenggarakan pada tanggal 18-19 September 2002 tentang epistemologi keilmuan yang tepat untuk UIN. Proceeding seminar tersebut kemudian diterbitkan SUKA Press dengan judul Menyatukan ilmu-ilmu Agama dan Umum: Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum.

 

Tidak hanya itu, berbagai ahli dan pakar pun diundang, mulai dari para tokoh level nasional hingga yang memiliki level internasional. Dalam hal ini bisa dicatat misalnya Roundtable Discussion pada tanggal 28 Juni 2004, yang dilanjutkan dengan perumusan Kerangka Dasar Kurikulum UIN Sunan Kalijaga oleh Tim Perumus pada tanggal 3 – 5 Juli 2004. Kemudian diselenggarakan Dialog Interaktif bersama Pakar, yaitu Prof. John Haught dari Amerika, Prof. Mehdi Golshani dari Iran, juga Prof. H.M. Amin Abdullah sendiri pada tanggal 26 Juli 2004 mengenai topik Islamic Studies, Humanities, and Social Sciences: An Integrated Perspective.

 

Pada akhirnya disepakatilah sebuah paradigma keilmuan baru yang dikenal sebagai Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Dengan dipelopori oleh M. Amin Abdullah selaku rektor UIN Sunan Kalijaga dan sekaligus penggagas paradigma ini, struktur keilmuan IAIN yang hampir lima puluh tahun berjalan mulai direformulasi.


Saat ini, lebih sepuluh tahun Paradigma yang dimaksud diterapkan. Tentu saja rentang waktu yang cukup panjang tersebut dalam dunia akademik yang progresif dan dinamis menuntut dilakukannya sebentuk evaluasi, revitalisasi, bahkan redefinisi dalam konteks relevansi dan kompatibilitasnya dengan berbagai perkembangan keilmuan terkini. Tidak dipungkiri pula bahwa saat ini mulai pula bermunculan pertanyaanpertanyaan seperti sejauh mana paradigma yang dimaksud berjalan dalam aplikasinya; bagaimana praksis ideal integrasi-interkoneksi dalam bidang-bidang keilmuan di UIN Sunan Kalijaga saat ini; masihkah selaras antara ideal yag diimpikan dengan pelaksanaan dan hasilnya?; bagaimana pengalaman para civitas akademik UIN Sunan Kalijaga adakah anomali-anomali yag lahir dari penerapan paradigma tersebut?; serta adakah kemungkinan tesis-tesis baru dan ide-ide baru untuk menyempurnakan paradigma yang dimaksud?

 

Anakronisme Dikotomi Keilmuan

 

Belum tentu orang atau kelompok yang merasa menguasai ilmu keagamaan secara baik secara otomatis akan dapat memahami dan mengenal perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang keahliannya secara baik pula. Linearitas bidang ilmu, khususnya dalam ilmu-ilmu keagamaan, rupanya mengandung resiko tinggi dalam hidup bermasyarakat secara luas, khususnya di ruang publik seperti saat sekarang ini, setelah berkembangnya teknologi informasi dan jejaring sosial yang dibawa serta.

 

Ilmu agama atau ilmu fikih yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dapat mengguncang dan menurunkan kedudukan, martabat dan jabatan seseorang. Ilmu Kalam/Aqidah yang tidak dibarengi ilmu sosiologi dan antropologi menjadikan keimanan seseorang penuh dengan rasa tidak nyaman, jika hidup berdampingan  dengan orang lain yang berbeda keyakinan dan agama. Begitupun sebaliknya, keahlian dalam bidang antropologi, sosiologi, kedokteran yang tidak memahami persoalan fikih dalam berhubungan sosial dengan wanita juga dapat mendatangkan madarat atau resiko yang tidak terduga. Kesalehan individual yang tercermin dalam ketaatan beribadah secara ritual, belum tentu menjamin terbentuknya kesalehan sosial, apalagi kesalehan publik. Kesalehan publik yang antara lain menghargai orang atau kelompok lain yang berbeda, kesetaraan di depan hukum, menghormati  hak asasi manusia belum tentu dapat berdialog dan terintegrasi dalam way of thinking, budaya pikir sosial-keagamaan secara utuh. Dalam konteks inilah maka diskusi akademik bagaimana hubungan antara agama, sains dan budaya mendapat momentum untuk terus menerus dibicarakan, diperdalam dan dikembangkan.

 

Integrasi-interkoneksi keilmuan

 

Seperti sekilas dijelaskan di atas bahwasanya hubungan yang bercorak Konflik dan atau Independensi tidak lah nyaman untuk  menjalani kehidupan yang semakin kompleks. Banyak lobang-lobang yang menjebak, penuh resiko, jika pilihan hubungan antara agama dan ilmu adalah Konflik dan atau Independensi. Idealnya hubungan antara keduanya adalah Dialog dan jauh lebih baik jika dapat berbentuk Integrasi. Secara teoritik, dengan mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada 3 kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan Integratif, yaitu Semipermeable, Intersubjective Testability dan Creative Imagination.

 

Pertama, Semipermeable. Konsep ini berasal dari keilmuan biologi, dimana isu Survival for the fittest adalah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu yang berbasis pada “kausalitas” (Causality) dan agama yang berbasis pada “makna” (Meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni, antara keduanya saling menembus. (The conflicts between scientific and religious interpretations arise because the boundary between causality and meaning is semipermeable).

 

Hubungan antara ilmu dan agama tidaklah dibatasi oleh tembok/dinding tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat atau terpisah sedemikian ketat dan rigidnya, melainkan saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi dan saling menerima masukan dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif  maupun transformatif.

 

Dalam menggambarkan proses transformasi akademik dari IAIN ke UIN tahun 2003/2004, saya melukiskan pola hubungan antar disiplin keilmuan keagamaan dan keilmuan non-keagamaan secara metaforis mirip-mirip dengan “jaring laba-laba keilmuan” (Spider web), dimana antar berbagai disiplin yang berbeda tersebut saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. Yaitu, corak hubungan antar berbagai disiplin dan metode keilmuan tersebut bercorak integratif-interkonektif. Yang jarang terbaca atau luput dari pengamatan dalam melihat gambar metaporis “jaring laba-laba keilmuan” itu adalah adanya garis putus-putus, menyerupai pori-pori yang melekat pada dinding pembatas antar berbagai disiplin keilmuan tersebut.

 

Dinding  pembatas yang berpori-pori tersebut tidak saja dimaknai dari segi batas-batas disiplin ilmu, tetapi juga dari batas-batas ruang dan waktu (space and time), corak berpikir (worldview) atau ‘urf dalam istilah teknis keilmuan Islam. Yakni, antara corak dan budaya berpikir era classical, medieval, modern dan post-modern. Pori-pori tersebut ibarat lobang angin pada dinding (ventilasi) yang berfungsi sebagai pengatur sirkulasi keluar-masuknya udara dan saling tukar informasi antar berbagai disiplin keilmuan. Masing-masing disiplin ilmu, berikut world view, budaya pikir, tradisi atau ‘urf yang menyertainya, dapat secara bebas saling berkomunikasi, berdialog, menembus-mengirimkan pesan dan masukan temuan-temuan yang fresh di bidangnya ke disiplin ilmu lain di luar bidangnya. Ada pertukaran informasi keilmuan dalam suasana bebas,nyaman dan tanpa beban disitu.

 

Masing-masing disiplin ilmu masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin ilmu lain. Tidak hanya dapat berdiskusi antar rumpun disiplin ilmu kealaman secara internal, namun juga mampu dan bersedia untuk berdiskusi dan menerima masukan dari keilmuan eksternal, seperti  dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ilmu-ilmu agama atau yang lebih populer disebut dengan Ulum al-din tidak terkecuali disini. Ia juga tidak dapat berdiri sendiri, terpisah, terisolasi dari hubungan dan kontak dengan keilmuan lain di luar dirinya. Ia harus terbuka dan membuka diri serta bersedia berdialog, berkomunikasi, menerima masukan, kritik dan bersinergi dengan keilmuan alam, keilmuan sosial dan humaniora.

 

Tidak ada disiplin ilmu apapun yang menutup diri, tidak ada disiplin ilmu yang tertutup oleh pagar dan batas-batas ketat yang dibuatnya sendiri. Batas masing-masing disiplin ilmu masih tetap ada dan kentara, tapi batas-batas itu bukannya kedap sinar dan kedap suara. Tersedia lobang-lobang kecil atau pori-pori yang melekat dalam dinding pembatas disiplin keilmuan yang dapat dirembesi oleh dimasuki oleh disiplin ilmu lain. Gambaran Scientific commmunity dan community of researchers sekarang memang bukan lagi seperti gambaran scientific community dan community of researchers di era dulu yang hanya menghimpun keahlian dalam satu disiplin ilmu, tetapi menghimpun dan siap mendengarkan masukan dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Disini, konsep linearitas bidang ilmu – meskipun sah-sah saja jika ditinjau dari administrasi birokrasi keilmuan, tapi secara pandangan  keilmuan (scientific world view) konsep tersebut dipertanyakan oleh banyak kalangan ilmuan itu sendiri. Berikut kutipan dari pendapat Holmes Rolston, III:

 

“The religion that is married to science today will be a widow tomorrow.  The sciences in their multiple theories and forms come and go. Biology in the  year 2050 may be as different from the biology of today as the religion of today is from the religion of 1850. But the religion that is divorced from science today will leave no offspring tomorrow. From here onward, no religion can reproduce itself in succeeding generations unless it has faced the operations of nature and the claims about human nature with which confronts us. The problem is somewhat like the one that confonts a living biological species fitting itself into its niche in the changing environment: There must be a good fit to survival, and yet overspecialization is an almost certain route to extinction. Religion that has too thoroughly accomodated to any science will soon be obsolete. It needs to keep its autonomous integrity and resilience. Yet religion cannot live without fitting into intellectual world  that is its environment. Here too the fittest survive.”


Dari kutipan ini sekilas tampak jawaban mengapa banyak tokoh publik, termasuk ilmuan non-agama terpandang dan tokohtokoh agama - yang sempat terliput oleh media masssa - di tanah air berguguran dari jabatan tinggi yang disandangnya, antara lain karena belum mampu, bahkan mungkin belum bersedia, mendialogkan apalagi mengintegrasikan dan menginterkoneksikan keilmuan agamanya (yang mungkin keilmuan agama yang dikuasainya sekarang diperolehnya sejak lama dan belum sempat diperbaharui file dan data keilmuan keagamaan yang ada) dengan keilmuan alam, sosial dan humaniora yang menjadi lingkungan intelektual barunya ketika berada di posisi puncak karir kehidupan birokrasi dan ketokohannya di ruang publik.

 

Kedua, Intersubjective testability (Keterujian intersubjektif). Rambu-rambu kedua yang menandai hubungan antara ilmu dan agama yang bercorak dialogis dan integratif adalah Intersubjective subjectivity. Istilah tersebut datang dari Ian G. Barbour dalam konteks pembahasan tentang cara kerja sains kealaman dan humanities, namun dalam tulisan ini akan saya kembangkan dengan menggunakan ilustrasi yang diambil dari pendekatan fenomenologi agama. Menurut Barbour baik Objek maupun Subjek masing-masing berperan besar dalam kegiatan keilmuan. Data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari penglihatan pengamat (The data are not “independent of the obsever”), karena situasi di lapangan selalu diintervensi oleh ilmuan sebagai experimental agent itu sendiri.

 

Oleh karenanya, Concepts bukanlah diberikan begitu saja oleh alam, namun dibangun atau dikonstruk oleh ilmuan itu sendiri sebagai pemikir yang kreatif (creative thinker). Oleh karenanya, pemahaman tentang apa yang disebut dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh  peneliti dan ilmuan dari lapangan.

 

Dalam dunia logika ilmu pengetahuan sekarang, khususnya yang terkait dengan bahasan ilmu dan agama, dikenal istilah subjektif, objektif dan berikutnya intersubjektif. Dalam studi agama, khususnya kajian penomenologi agama - lewat bantuan penelitian antropologi melalui grounded research (etnografi) - para peneliti (observer; researchers) dapat mencatat apa yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari di lapanganhal-hal yang dapat dideskripsikan secara objektif.

 

Para peneliti antropologi agama menemukan dan mencatat dengan cermat bahwa apa yang  disebut agama antara lain meliputi unsur-unsur dasar sebagai berikut : 1) doktrin (believe certain things), 2) ritual (perform certain activities), 3) kepemimpinan (invest authority in certain personalities), 4) nass/teks kitab suci (hallow certain texts), 5) sejarah (tell various stories), 6) moralitas (legitimate morality) dan bisa ditambah 7) Alat-alat (tools). Ketujuh unsur ini pada umumnya ada secara objektif dalam masyarakat pengikut kepercayaan dan agama di manapun mereka berada. Namun, para  pengamat, researchersdan ilmuwan (subjek) lah yang mengkonstruk dan mencatat adanya unsur-unsur dasar (fundamental structure) dalam agama  tersebut.


Namun, ketika ke tujuh unsur dasar dalam agama, yang menurut penglihatan para pengamat (researchers; religious scholars) bersifat objektif-universal - karena dapat ditemui dimana-mana - tersebut telah dimiliki, diinterpretasikan, dipahami, dipraktikkan dan dijalankan oleh orang per orang, kelompok per kelompok dalam konteks budaya dan bahasa tertentu (community of believers), maka secara pelan tapi pasti, apa yang dianggap objektif oleh para pengamat tadi akan berubah menjadi subjektif menurut tafsiran, pemahaman dan pengalaman para pengikut ajaran agama masing-masing. Community of believers ini seringkali sulit sekali memahami sisi objektifitas dari keberagamaan manusia, karena kepentingan-kepentingan memang selalu melekat dalam dunia subjek dan para pelaku di lapangan.

 

Pergeseran dari objektivitas-peneliti ke subjektifitas-pelaku, setidaknya, dapat ditandai ketika apa yang diyakini, dipahami, ditafsirkan dan dijalani oleh orang per orang, kelompok per kelompok dan golongan per golongan atau masyarakat tertentu dianggap dan dipercayai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diperdebatkan sama sekali (non-falsifiable) dan tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain (incommensurable). Ketika terjadi proses sosiologis seperti itu, maka apa yang dulunya tampak objektif oleh para pengamat, researchers, scholarstelah  bergeser ke wilayah subjektif oleh para pelaku dan penganut agama-agama dan kepercayaan yang ada di lapangan. Disini letaknya tikungan tajam, dimana orang apalagi kelompok seringkali  kehilangan kompas dan petunjuk arah perjalanan ke depan. Jika para pengamat, peneliti, ilmuan dan sarjana agama (religious scholars) melihat kepelbagaian dan kemajemukan interpretasi dalam agama-agama (baik secara eksternal antar pengikut agamaagama dan secara internal, dalam lingkungan dalam agama itu sendiri) sebagai suatu hal yang secara sosiologis wajar belaka dan kemudian para pengamat dan ilmuwan berusaha mencari “esensi” dari kepelbagaian dalam keberagaman (Essences and Manifestations), maka sebaliknya bagi para pelaku dan aktor agama dan kepercayaan di lapangan (believers dan confessionalist). Bagi para believers,apa yang dipercayai dan diyakininya adalah yangpaling benar dan tidak dapat dipertanyakan, apalagi dipersalahkan oleh kelompok lain yang berbeda (Non-falsifiable).

 

Letak tikungan tajam dan krusialnya disini. Menurut pandangan keilmuan (scholarly perspective), di tengah kepelbagaian dan kebhinnekaan agama secara sosiologis(Manifestations), maka yang perlu dicari adalah “Essences” (Hakekat dan Ma’rifat dalam bahasa Tasawwuf/Sufismnya) dari berbagai agama yang berbeda tersebut, sedang menurut pola pikir agama-fiqhiyyah (Islamic/Christian/Buddhist perspective, atau agama  dan kepercyaan yang lain), maka hanya agama dan kepercayaannya yang dimiliki oleh diri dan kelompoknya (Manifestations; Syari’ah) sajalah yang paling benar (Non-falsifiable). Implikasi dan konsekuensi dari dua model berpikir ini sudah dapat diperkirakan. Indonesia dan dunia agama-agama di manapun berada menghadapi persoalan dan permasalahanpelik yang sama seperti itu. Ketegangan (Tension) selalu ada antar kedua corak berpikir tersebut. Para religious leaders dan community leaders perlu memperoleh bekal yang lebih dari cukup untuk dapat mengelola dan menjembatani perbedaan penafsiran dan tension tersebut.

 

Dengan begitu, apakah agama dan kehidupan beragama bersifat objektif atau subjektif? Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan bagaimana corak kehidupan beragama dalam masyarakat multietnis, multibahasa, multireliji, multiras dan multikultural seperti di tanah air. Penelitian agama dan pemahaman agama memang unik, sui generis. Tidak dapat disamakan begitu saja dengan penelitian di bidang sains kealaman dan juga sains sosial. Karena dalam agama ada unsur yang hampir sama sekali tidak dapat ditinggalkan, yaitu “involvement” (keterlibatan penuh) dan “unreserved commitment” (komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar).

 

Oleh karenanya, penelitian dan pemahaman agama selalu bercorak objective-cum-subjective dan atau objective-cumsubjective. Dalam agama ada unsur objektifitas, namun dalam waktu yang bersamaan selalu lekat di dalamnya unsur subjektifitas. Begitupun sebaliknya, agama pada hakekatnya adalah bercorak subjektif (Fideistic subjectivism), namun akan segera menjadi absurd, jika seseorang dan lebih-lebih jika sekelompok orang agamawan yang terhimpun dalam mazhab, sekte, denominasi dan organisasi, jatuh pada fanatisme buta dan menolak koleganya yang lain yang menafsirkan, menganut dan mempercayai kepercayaan dan agama yang berbeda.

 

Untuk menghindari keterjebakan subjektifitas yang akut, maka para agamawan perlu mengenal adanya unsur-unsur objektif (Scientific objectivism) yang ada dalam agama-agama. Dengan begitu, ketegangan yang ada dalam wilayah a dire subjectivism dapat diredakan dengan pencerahan keilmuan (einlightenment) lewat pengenalan wilayah objektif dalam agama-agama lewat penelitian empiris. Wilayah objektif dan subjektif dalam studi agama tidak dapat dipisahkan.

 

Setelah mengenal pergumulan antara dunia objektif dan dunia  subjektif dalam studi agama, yang dapat diformulasikan menjadi objective-cum-subjective dan atau subjective-cum-objective, maka klaster berpikir berikutnya, yaitu “intersubjektif” akan lebih mudah dipahami. Intersubjektif adalah posisi mental keilmuan (scientific mentality) yang dapat mendialogkan dengan cerdas antara dunia objektif dan subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan, baik dalam dunia sains, agama, maupun budaya. Intersubjektif tidak hanya dalam wilayah agama, tetapi juga pada dunia keilmuan pada umumnya. Communitiy of researchers selalu bekerja dalam bingkai intersubjective testability. Kehidupan begitu sangat kompleks untuk dapat diselesaikan dan dipecahkan hanya dengan satu bidang disiplin ilmu.Overspecialization dan linearitas bidang ilmu menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sekarang. Kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai macam kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik dari berbagai disiplin (multidicipline) dan lintas disiplin ilmu (transdicipline) menjadi sangat dinantikan untuk dapat memahami kompleksitas kehidupan dengan lebih baik. Linearitas bidang ilmu yang dipahami secara ad hoc akan mempersempit wawasan ilmuan seseorang, jika berhadapan dengan isu-isu keilmuan yang berada di luar jangkauan bidang keilmuannya.

 

Ketiga, Creative imagination (Imaginasi kreatif). Meskipun logika berpikir induktif dan deduktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayang dalam uraian tersebut umumnya meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan itu sendiri dalam kerja ilmu pengetahuan. Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika untuk menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinal.

 

Umumnya para ilmuan bercita-cita dalam karir akademisnya untuk dapat menemukan teori baru. Mahasiswa program doktor pun selalu dihimbau oleh promotornya untuk menyuguhkan temuan baru sebagai sumbangsih  pengembangan ilmu pengetahuan (contribution to knowledge). Bagaimana teori baru itu muncul? Teori baru seringkali muncul dari keberanian seorang ilmuan dan peneliti untuk mengkombinasikan berbagai ide-ide yang telah ada sebelumnya, namun ide-ide tersebut terisolasi dari yang satu dan lainnya.

 

Menurut Koesler dan Ghiselin, bahwa imajinasi kreatif baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam  dunia sastra seringkali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda. Ia mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru, menyusun kembali unsur-unsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi yang fresh, yang baru. Bahkan seringkali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali. Newton menghubungkan dua fakta yang sama-sama dikenal secara luas, yaitu jatuhnya buah apel dan gerak edar atau rotasi bulan. Sedang Darwin melihat adanya analogi  antara tekanan pertumbuhan penduduk dan daya tahan hidup species binatang. Ada paralelitas antara kreativitas dalam bidang ilmu pengetahuan (scientist) dan seni (artist). Campbell, sebagaimana dikutip Ian G. Barbour, menulis sebagai berikut:

 

“For it has been admitted that though discovery of laws depends ultimately not on the fixed rules but on the imagination of highly gifted individuals, this imaginative and personal element is much more prominent in the development of theories; the neglect of theories leads directly to the neglect of the imaginative and personal element in science. It leads to an utterly false contrast between “materialistic” science and the “humanistic” studies of literature, history and art. ... What I want to impress on the reader is how purely personal was Newton’s idea. His theory of universal gravitation, suggested to him by the trivial fall of an apple, was a product of his individual mind, just as much as the Fifth Symphony (said to have been suggested by another trivial incident, the knocking at a door) was a product of Beethoven’s.”

 

Bagaimana jika uraian tersebut dihubungkan dengan kondisi pemikiran, hukum pendidikan dalam budaya masyarakat Muslim kontemporer? Adalah waktunya sekarang untuk mulai berani berpikir ulang tentang pemikiran dan praktik kependidikan keagamaan dan keislaman dengan memandang perlunya menggunakan imajinasi kreatif dalam proses pembelajaran dan perkuliahan. Ilmu-ilmu keagamaan Islam era sekarang, sebutlah sebagai contoh seperti fikih, ibadah, kalam/aqidah/tauhid, tafsir, hadis, tarikh, akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan dan pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya.

 

Pendidikan keagamaan secara umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan kepada peserta didik  dalam  keterisolasiannya dan ketertutupannya  dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain dan begitu juga sebaliknya.Guru dan dosen perlu berpikir kreatif dan memiliki imajinasi kreatif, berani mengkaitkan, mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan lain. Apabila langkah ini tidak dilakukan, maka pelajaran agama di sekolah, apalagi perkuliahan di perguruan tinggi, lambat laun akan terancam kehilangan relevansi dengan permasalahan kehidupan sekitar yang sudah barang tentu semakin hari semakin kompleks.

 

Kasus-kasus yang disebut dalam pengantar di bagian depan tulisan ini mencerminkan tiadanya creative imaginationyang mampu menghubungkan dan mendialogkan antara keilmuan fikih dan kelimuan sosial kontemporer, dan lebih spesifik lagi, antara keilmuan fikih pernikahan dan gender issues di era sekarang. Tidak dapat berdialogdan terintegrasikannya keilmuan Kalam/Aqidah/Tauhid (Ulum al-din) dengan pengalaman dan keilmuan baru dalam mengelolatatanan kehidupan berbangsa-bernegara dalam bingkai konstitusi negara modern (the idea of constitution) menjadikan kasus di Sampang Syiah dan kasus-kasus lain seperti Cikeusik-Ahmadiyah, dan hubungan antar pemeluk agama-agama di berbagai daerah di tanah air menjadi tidak atau kurang harmonis, mudah retak (fragile), sehingga mudah disulut dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan dari luar daerah setempat, apapun motif  dan asal usul peristiwa itu semula terjadi.

 

Tidak adanya proses intersubjective testability antara dua bidang ilmu atau lebih (multidiciplinary approach) menjadikan pemahaman dan penafsiran agama – yang umumnya hanya mendasarkan dan mengikuti nas-nas atau teks-teks keagamaan yang telah tersedia - menjadi terisolasi dari kehidupan sekitar – baik dalam arti lokal, regional, nasional maupun global - sehingga mudah terasa obsolete atau outdated (tidak relevan; krisis relevansi; kadaluwarsa) dan bahkan dapat menimbulkan korban sosial yang sesungguhnya tidak perlu. Kehidupan dan keilmuan agama terjebak dalam mindset lama yang tertutup dan tidak mampu berdialog secara jujur dan terbuka dengan disiplin dan pengalaman keilmuan lain. Kriteria semipermeable dalam format integrasi-interkoneksi keilmuan tidak jalan sama sekali sehingga untuk era multikultural lebih banyak menimbulkan masalah dari pada manfaat.

 

Dikutip dari Prof. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga dalam Praksis Paradigma Integrasi-Interkoneksi dan Transformasi Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Praksis Paradigma Integrasi-Interkoneksi dan Transformasi Islamic Studies di UIN Sunan Kalijaga pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer