Sumber gambar: liputan6.com |
Rasanya ada yang kurang lengkap jika
hadirnya hari raya idul fitri tanpa adanya ketupat. Makanan khas itu semakin
bermakna ketika bersamaan dengan tradisi hari raya ketupat. Tentu ada makna
mendalam di dalamnya.
Masyarakat
muslim Indonesia memiliki banyak bahasa untuk mengungkapkan nama Idul Fitri.
Hampir setiap daerah memiliki bahasannya sendiri-sendiri. Bahasa Indonesia
menyebutnya Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah,
“Riyaya” (baca: “Riyoyo” atau “Badha” (baca: Bhodho).
Riyaya
merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha
berasal dari bahasa Arab dari akar kata ba’da yang berarti setelah,
selesai. Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya
pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri.
Ada
pula istilah lebaran yang sudah menjadi istilah nasional. Lebaran berasal dari
akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu. Maksud kata
“Lebar” di sini adalah sudah berlalunya bulan Ramadhan, selesainya pelaksanaan
ibadah puasa wajib hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.
Sedangkan
ketupat adalah makanan khas yang biasa dihidangkan pada saat hari raya. Makanan
itu berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari daun
kelapa (janur) atau gidang (daun siwalan/ lontar). Selongsong itu
dianyam sedemikian rupa sehingga membentuk empat persegi (diagonal) kemudian
direbus.
Untuk
menghidangkan ketupat, setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi
berbeda-beda. Umumnya, ketupat dihadirkan bersamaan dengan hari ke delapan
bulan Syawal yang biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat, Riyoyo Kupat
atau Lebaran Ketupat. Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan
ratusan tahun, dan terus dilestarikan secara turun temurun.
Lebaran
ketupat merupakan salah satu akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam.
Lebaran ketupat atau yang dikenal istilah lain syawalan sudah menjadi tradisi
masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dari mulai Jawa, Madura, Sumatera,
Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan lain-lain. Lebaran ketupat hanya bisa
dijumpai di masyarakat Indonesia dengan tujuan pelaksanaannya sama seperti
tujuan berhari Raya Idul Fitri, yaitu saling memaafkan dan bersilaturahim.
Istilah saling memaafkan ini di kalangan masyarakat Indonesia lebih terkenal
dengan sebutan “Halal Bi Halal”.
Tradisi
lebaran ketupat ini juga biasa disebut sebagai “hari raya kecil”. Sebab,
lebaran ketupat merupakan ekspresi setelah melakukan puasa sunnah Syawal selama
6 hari. Sesuai dengan sunnah Nabi saw, setelah memperingati Idul Fitri, umat
Islam disunnahkan puasa selama 6 hari, yang bagi umat Islam di Indonesia
kemudian diperingati sebagai Lebaran Ketupat atau Riyoyo Kupat.
Banyak
sumber menyebutkan tradisi ini mulanya berasal dari orang Jawa kemudian
menyebar ke seluruh pelosok Nusantara yang dibawa oleh orang Jawa sehingga
menjadi tradisi nasional yang membumi. Makna tradisi lebaran ketupat ini sangat
mendalam bagi orang Indonesia, mengandung filosofi kehidupan yang berharga.
Di
Saudi Arabia yang merupakan cikal bakal agama Islam tidak mengenal tradisi
lebaran ketupat. Karena itu, wajar jika penyebutan tradisi ini dianggap bid’ah
atau sesuatu yang baru yang tidak ada dan tidak diajarkan maupun dicontohkan
oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw. Namun tradisi ini termasuk kategori bid’ah
hasanah (hal baru yang baik) sebagaimana menurut para ulama, ada bid’ah
sayyi’ah (hal baru yang jelek) yang dilarang dan ada bid’ah hasanah
yang dianjurkan.
Adanya
tradisi ini sebagai bukti bahwa pasa salafusshalih yang mensyiarkan ajaran
Islam di persada Nusantara menggunakan metode asimilasi dengan budaya setempat,
tidak radikal dan frontal, yang dalam kalangan Nahdliyyin dikenal sebagai
prinsip tasamuh (toleran), tawassuth (jalan tengah), tawazun
(seimbang) dan i’tidal (keadilan).
Tradisi
yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, selama tidak keluar dari koridor
syariat yang berakibat pada rusaknya tauhid dan i’tiqad islamiyah tetap
dipertahankan dan dipersilakan mengembangkannya dengan bingkai syariat. Islam
inilah yang kemudian dikenal sebagai al muhaafdzatu ala qadiimis shalih wal
akhdzu bil jadiidil ashlah (melestarikan tradisi lama masih layak dan baik
dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Cara-cara
tersebut ditempuh oleh para wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa tempo
dulu. Metode dakwah yang dikembangkannya secara arif dan bijaksana. Penyebaran
agama Islam di Indonesia tidak berdarah-darah, tidak melalui pengeboman atau
tindak ekstrimisme, teror, dan sebagainya, namun bisa diterima oleh penduduk
asli dengan mudah dan sepenuh hati. Ajaran islam disampaikan dengan penuh
kebijaksanaan dan toleran, sebagaiamana yang termatub dalam Q.S. An Nahl ayat
125, Allah swt berfirman, “ Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan
mauidhah hasanah serta ajakalah tukar pikiran atau diskusi dengan cara yang
lebih bagus”.
Para
ulama terdahulu telah memberikan suri tauladan terbaik bagi terjaganya budaya
lokal yang juga menyelamatkan nuansa religiusitas tanpa harus berbenturan.
Inilah pesan dakwah rahmatal lil ‘aalamiin. Dan ketupat adalah salah satu
personifikasi dan kearifan tersebut. Sudah saatnya kita belajar dari para
pendahulu untuk menyebarkan ajaran agama Islam secara damai di bumi Nusantara.