Pages

Rabu, 26 Februari 2020

Kitab Kasyifatus Saja Fis Syarh Safinatun Naja


 
Sumber gambar: dokumen pribadi
Bagi para pemula, kitab Safinatun Najah atau Safinah karangan Syaikh Sumair al-Hadrami al-Batawi merupakan kitab fikih biasa yang membahas dasar ibadah dan ditulis dengan bahasa sederhana. Namun ketika dilihat dari sejarah intelektual, kitab tersebut memiliki peran besar bagi gugusan intelektual yang tidak terputus. Hal itu dapat dilihat dengan banyaknya usaha untuk mensyarahi kitab tersebut, baik oleh ulama Nusantara maupun Timur Tengah dengan berbagai bahasa dan corak.

Kitab Safinatun Najah merupakan kitab yang dikarang pada abad ke-19 oleh seorang Hadrami yang memilih hidup di Batavia. Jika diteliti secara seksama, maka banyak ditemukan salinan manuskrip dari kitab tersebut di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PERPUSNAS).

Salah satu pensyarah dari kitab Safinatun Najah adalah muridnya Syaikh Sumair yakni Syeikh Nawawi Al Bantani dalam bahasa Arab dengan judul Kasyifatussaja fi Syarakh Safinatin Najah yang ditulis pada tahun 1875. Kitab tersebut banyak dicetak di Timur Tengah, Saudi, Libanon, Turki, dan lain-lain.

Syarah lain dari kitab tersebut juga ditulis ulama Nusantara yang mengajar di Makkah dengan judul Sullamul Raja karangan Syaikh Utsman bin Said Tangkil, Jambi pada tahun 1932. Kitab ini selain ditulis di Makkah, juga menjadi pegangan di madrasah Shaulatiyyah Makkah, tempat mengajar Syaikh Utsman. Sayangnya, kitab tersebut tidak terkenal di Tanah Air. Dari kitab tersebut kemudian digubah dalam bentuk nadzam dengan bahasa Arab yang puitis oleh Kiai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pasuruan sewaktu masih remaja dengan judul Tanwir al Hija Nazham Safinahun Naja.

Sosok Kiai Nusantara menjadi Mufti Makkah

Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani (w. 1314 H) merupakan ulama kelahiran asli Banten, Nusantara yang sudah dikenal karyanya di berbagai dunia bahkan menjadi rujukan. Beliau menulis penjelasan (syarh) atas kitab Safinatun Naja karya Syaikh Salim ibn Abdullah ibn Sumair al-Hadh- rami (w. 1271 H). Kitab syarh fiqh syafii ini selesai ditulis pada tahun 1277 H.

Sebagaimana matannya, kitab syarh ini hanya mengulas pembahasan asas Islam dan iman melalui uraian tauhid, kemudian membahas thaharah, shalat, zakat dan shaum saja.

Syaikh Muhammad Nawawi menjelaskan setiap teks dengan sangat terperinci. Setiap tema diberikan batasan dan definisi, ayat al-Quran dan hadits yang menjadi dalil, kemudian permasalahan yang mungkin timbul dan penekanan atas tema tertentu disajikan dalam uraian faidah, tanbih ataupun khatimah.

Bagian terbesar dalam pembahasan kitab ini adalah mengenai shalat dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Sedangkan pembahasan yang paling sederhana adalah menyangkut zakat. Syaikh Muhammad Nawawi memilih kata-kata yang mudah diingat dan dimengerti oleh pembaca, karena itu kitab ini layak dipelajari oleh pengkaji fiqh dari masyarakat awam hingga kelompok terpelajar

Dikutip dari nu.or.id dan dkislamiyah.co.id

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Kitab Kasyifatus Saja pdf di bawah ini.

Sastra Sebagai Ekspresi Berpendapat


 
Sumber gambar: pelayananpublik.id
“Jika saja sejarah disampaikan dan diajarkan dalam bentuk kisah dan cerita, maka sejarah itu akan selalu diingat.” Demikianlah seorang penerima Nobel Sastra di tahun 1907, Ruyard Kupling, berpandangan.

Sejarah akan lebih mudah dikenang, diambil hikmah, jika ia sampai pada kita dalam bentuk drama, dengan plot, karakter, dan kuat sisi human interest-nya. Sejarah, bahkan aneka peristiwa apa saja, memang lebih mudah menyentuh hati jika ia datang dalam bentuk film, teater, sastra, baik puisi ataupun novel.

Ilmu sejarah acapkali menyampaikan sejarah lewat kronologi peristiwa, nama tempat, nama tokoh, riwayat pelaku, dan konteks sosialnya. Sisi batin dan psikologis masyarakat, dan kesadaran kolektif kurang tergambarkan melalui pendekatan keilmuan yang kering. Sisi batin dan pergolakan kesadaran lebih bisa didapatkan inti sarinya lewat kisah dan cerita.

Kutipan ini yang saya ingat ketika selama tiga bulan terakhir saya menghabiskan waktu membaca sejarah melalui serial docu-drama Netflix. Mulai dari drama politik Inggris melalui film The Crown (sudah ditayangkan 30 episode dengan masing-masing episode berdurasi 50 menit). Saya terkesan pula dengan tragedi politik Rusia melalui kisah punahnya kerajaan terakhir dengan datangnya komunisme lewat Vladimir Lenin (The Last Czars, 6 season).

Kerajaan Roma begitu perkasa dan megah. Begitu banyak asal muasal perkara politik terjadi di sana, di awal masehi. Lima belas episode docu-drama Roman Empire membawa saya seolah-olah hidup di masa itu. Seolah saya menyaksikan dari dekat sekali kegilaan kekuasaan, dan kearifan para raja. Saya lama pula terpana merenungkan lahirnya peradaban dari kacamata pertarungan dan inovasi para jenius. Itu mulai dari lahirnya jurnalisme koran, televisi, senjata, listrik, pesawat udara, hingga komputer. Bill Gates, Steve Jobs, Thomas Alfa Edison, Nikola Tesla, Pulitzer, hingga The Wright Brothers, hadir di sana sebagai sosok yang hidup. Tak hanya tergambar sisi jenius sang tokoh, determinasi dan kehendak diri yang kuat. Namun tergambar juga suasana ketika mereka sedih, putus asa, dan marah.

Saya membaca buku sejarah dan biografi tentang sebagian peristiwa dan tokoh di atas. Namun ketika kisah sejarah itu disampaikan melalui cerita, drama, dan kadang disertai bumbu fiksi untuk menegaskan peristiwa, hikmah dan learning to learn lebih mudah sampai dan tertinggal lebih lama.

Lima tahun saya menghabiskan waktu mempelajari ilmu politik hingga tingkat Ph.D di Amerika Serikat. Namun hikmah dari peristiwa politik lebih saya dapat bukan dari sekolah itu, tapi dari dramatisasi sejarah dalam serial film dan buku sastra.

Sejarah memang lebih cepat sampai pada kita jika dikatakan lewat sastra. Bahkan lebih jauh lagi, opini tentang gagasan besar, bisa lebih masuk hingga ke tulang sumsum kita jika disampaikan lewat sastra.

Berkisah lewat film, bercerita lewat sastra, beropini lewat puisi, itu pula yang menjadi awal langkah saya. Di tahun 2012, saya sudah menulis lebih dari seribu kolom di aneka media massa. Saya sudah pula menuliskan puluhan makalah riset melalui Lingkaran Survei Indonesia.

Selaku aktivis, saya disentuh oleh banyak problem diskriminasi yang masih hadir. Padahal reformasi politik tahun 1998 sudah mengubah wajah politik Indonesia. Namun reformasi, sebagaimana semua perubahan politik, memang lebih mudah mengubah wacana. Kultur politik yang sudah mengakar tetap di sana. Perubahan kultur politik selalu sangat lambat.

Diskriminasi terhadap etnis, paham agama, wanita, juga orientasi seksual terjadi di sana dan di sini. Begitu banyak etnis Tionghoa yang berlari ke luar negeri. Mereka menjadi korban amuk massa. Fang Yin (bukan nama sebenarnya), menjadi korban perkosaan massal hanya karena ia Tionghoa.

Saya angkat kisah itu dalam puisi panjang, Sapu Tangan Fang Yin. Diselipkan kisah cinta di dalamnya.

Sebagian penduduk Indonesia berpaham Ahmadiyah. Sejak zaman pergerakan, paham Ahmadiyah itu sudah tumbuh. Selama ini mereka nyaman saja karena dilindungi konstitusi.

Namun setelah reformasi suasana berbeda. Terjadi huru hara di Cikeusik, Jawa Barat. Mesjid mereka dirusak. Pemukiman mereka dihancurkan. Korban jatuh. Mati. Itu semata hanya karena mereka berpaham Ahmadiyah. Saya ekspresikan kisah itu di balik drama cinta, dalam puisi panjang: Romi dan Yuli dari Cikeusik.

Juga di era setelah reformasi. Begitu banyak tenaga kerja yang tak terserap. Sebagian wanita mengadu nasib menjadi TKW. Di antara mereka, dengan senang hati bekerja di Arab Saudi, negeri Nabi besar Muhammad. Di sana umat Islam melabuhkan batin, untuk haji dan umroh.

Namun kultur di Arab Saudi agak berbeda. Tradisi budak masih kuat tertanam pada sebagian keluarga. Tak jarang terjadi kasus. TKW indonesia diperkosa berkali-kali oleh majikan pria. Sang majikan merasa itu dibolehkan.

Tapi banyak TKW melawan. Itu yang terjadi pada diri Minah (bukan nama sebenarnya). Minah diperkosa berkali-kali. Hingga akhirnya, ia membela diri dan membunuh majikan pria.
Hukum di sana tak memihak sang korban. TKW itu pun dihukum mati, dipancung. Saya lukiskan pula itu dalam puisi panjang: Minah Tetap Dipancung.

Juga setelah reformasi, masih banyak keluarga yang hilang. Diduga mereka korban penghilangan paksa rezim Orde Baru. Di tahun 2019 ini, sudah lebih dari sepuluh tahun keluarga dari aktivis yang hilang, berdemo.

Setiap hari Kamis, di seberang istana, dalam diam mereka berdiri di bawah payung hitam. Mereka menunggu pemerintah menuntaskan kasus keluarga mereka yang hilang paksa.

Saya angkat kisah itu dalam puisi panjang: Kutunggu Di Setiap Kamisan. Saya selipkan pula drama asmara.

Di atas adalah contoh beberapa puisi esai yang beropini. Berbeda dengan umumnya puisi lain, puisi esai sangat panjang dan berbabak. Ia mencantumkan banyak catatan kaki di dalam puisi. Saya memilih satu jenis puisi yang berbasis pada kisah yang sebenarnya. Ini semacam historical fiction. Atau lebih tepat lagi fictionalized true story. Yaitu dramatisasi dari kisah sebenarnya. Ada fakta keras yang tercantum pada catatan kaki. Ada pula fiksi yang muncul pada teks puisi.

Awalnya puisi esai panjang dan berbabak. Namun kemudian muncul pula puisi esai versi pendek yang disebut puisi esai mini. Keduanya tetap dengan catatan kaki.

Pada mulanya, puisi esai murni dramatisasi dari true story. Namun muncul pula varian lain: isinya prinsip hidup, renungan, yang dituangkan dalam bentuk puisi esai.

Empat buku puisi esai saya sudah diterbitkan: Atas Nama Cinta, Roti untuk Hati, Kutunggu Di Setiap Kamisan, dan Jiwa yang Berzikir. Keempat buku itu menggambarkan puisi esai awal dan variannya kemudian.

Munculnya puisi esai menimbulkan kontroversi yang lumayan heboh dalam jagad sastra Indonesia di tahun 2014-2018. Kehebohan itu sebagian besar dipicu oleh klaim puisi esai sebagai genre baru. Juga karena terbitnya buku “33 Tokoh Yang Paling Berpengaruh dalam Sastra Indonesia.”

Buku itu diterbitkan Gramedia untuk PDS HB Jassin, di tahun 2014. Tebal buku itu lebih dari 700 halaman. Ia disusun oleh 8 sastrawan dan kritikus sastra, antara lain: Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Maman S. Mahayana dan Nenden Lilis Aisyah.

Buku itu memasukkan Denny JA sebagai satu dari 33 tokoh sastra paling berpengaruh. Denny JA dianggap masuk dalam kategori tokoh berpengaruh karena ia membawa tradisi baru, dan ikut membuat gelombang lahirnya puluhan buku puisi esai.

Lahirlah aneka demonstrasi di aneka kota, malam seni, bahkan komunitas facebook, termasuk acara bakar buku, menentang puisi esai dan Denny JA, dan buku itu.

Kini di tahun 2018, banyak sudah ulasan yang dibuat mengenai puisi esai. Atas Nama Cinta dianggap buku pertama yang membawa tradisi puisi esai itu.

Aneka pakar dalam dan luar negeri mengulas soal puisi esai, terutama yang tertulis dalam buku Atas Nama Cinta dan Roti untuk Hati. Bahkan pernah diselenggarakan seminar sehari di Malaysia, pada tahun 2016, dengan pembicara pakar sastra dari negara-negara Asean.

Di tahun 2019, AGBSI (Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia) berinisiatif menyelenggarakan lomba kritik sastra untuk para guru, murid, dan umum. Empat buku puisi esai saya dijadikan bahan untuk dikritik dan di-review.

Yang unik dari lomba itu, para siswa SMA menampilkan review-nya dalam bentuk vlog, video blog. Menurut panitia, ini lomba kritik sastra pertama di mana perserta diberi ruang pula menyampaikan review-nya dalam bentuk oral yang direkam video.

Buku ini mewadahi aneka review dan kritik tentang puisi esai yang tercantum dalam empat buku puisi esai saya di atas. Tak hanya sastrawan dan kritikus Indonesia seperti Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Ignas Kleden, Jakob Sumardjo, Leon Agusta, Ashadi Siregar, Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono. Tapi juga kritikus negara lain seperti Jasni Matlani dari Malaysia dan Berthold Damshauser dari Jerman.

Dikutip dari Pengantar Buku Beropini Melalui Sastra yang ditulis oleh Denny JA.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Beropini Melalui Sastra pdf di bawah ini.

Historisitas Indonesia


Sumber gambar: thejakartapost.com
Sejarawan M.C. Ricklefs dikenal karena tiga hal: buku "Sejarah Indonesia Modern", penelitian mengenai politik Jawa pasca-Mataram, dan teori tentang islamisasi Jawa.
Tanpa harus bertatap muka langsung, Marle Calvin Ricklefs adalah guru—bahkan juga kawan—dari para mahasiswa sejarah yang mendalami mata kuliah Sejarah Indonesia. Buku karyanya, Sejarah Indonesia Modern, yang dalam bahasa aslinya berjudul A History of Modern Indonesia since c. 1300, menjadi bacaan wajib bagi mereka.
Sebagai dosen tak resmi dari ribuan mahasiswa sejarah, Ricklefs adalah dosen yang baik dengan tidak menyajikan bahan kuliah yang itu-itu saja. Ia beberapa kali memperbaharui buku tersebut dengan catatan-catatan baru soal perkembangan mutakhir. Edisi terakhir buku itu dalam bahasa Indonesia diperpanjang periodisasi pembahasannya dari zaman Ken Arok dan masuknya Islam hingga 2008.
Setelah Ricklefs, sebetulnya sudah banyak sejarawan asing yang menulis buku soal garis besar Sejarah Indonesia. Salah satunya Adrian Vickers dengan A History of Modern Indonesia yang terbit pertama kali pada 2005. Tapi soal popularitas, Ricklefs termasuk yang sering disebut-sebut mahasiswa. Entah dalam diskusi dan juga catatan kaki dari tugas ilmiah. Buku babon sejarah Indonesia yang merupakan pesaing terberatnya adalah enam jilid Sejarah Nasional Indonesia (SNI) suntingan Mayor Jenderal Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro.
Ricklefs mengakui kepada Tempo (25/6/2007) bahwa “Buku itu [A History of Modern Indonesia since c. 1300] masih bersifat umum.” Karya tersebut memang cocok sebagai pengantar bagi mahasiswa sejarah pemula atau masyarakat umum untuk mendalami sejarah Indonesia.
Jawa, Islam dan Islamisasi

Di luar buku tersebut, Ricklefs meneliti juga mengenai Islam dan Jawa pasca-Kerajaan Mataram. Soal ini, karya Ricklefs yang terkenal dan sudah dibukukan dalam bahasa Indonesia adalah Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang—yang edisi bahasa Inggrisnya berjudul Islamisation and its opponents in Java: A political, social, cultural and religious history, c. 1930 to the present (2012).

Dari judulnya terlihat bagaimana Jawa yang abangan mengalami islamisasi selama ratusan tahun. Ricklefs menelisik kepercayaan-kepercayaan yang belakangan dianut orang-orang Jawa dan menerangkan bagaimana kaum abangan menghadapi situasi politik setelah Indonesia merdeka. Buku tersebut dianggap sebagai salah satu karya ilmiah ambisiusnya.
“Pada tahun 1950-an kelompok abangan itu ada yang merepresentasikan mereka, yakni dua partai yang sangat kuat sekali pada waktu itu PNI dan PKI,” aku Ricklefs dalam wawancara dengan CRCS UGM.

Ricklefs juga mengamati perkembangan kelompok Islam Indonesia kontemporer, termasuk Laskar Jihad pada awal 2000-an dan Front Pembela Islam (FPI). Pada 2007, kepada majalah Tempo, Ricklefs menyebut kelompok-kelompok itu berada di pinggir dan bukan penentu situasi. Mereka mirip kelompok Baader Meinhof di Jerman era 1970-an. Bedanya, Baader Meinhoff jelas kelompok pembunuh. “Persamaan yang lebih cocok mungkin dengan Angkatan Muda NAZI,” terangnya.

Ricklefs melihat ada proses Islamisasi yang luar biasa di Indonesia dari waktu ke waktu. “Saya ingat cerita dari seorang yang berada di sini lama sekali, Romo Zoetmoelder. Sebelum Perang Dunia II tidak pernah terdengar suara azan di Yogya. Sesudah revolusi (1945-1949), kadang-kadang terdengar azan. Sekarang hampir setiap hari terdengar azan dan dengan pengeras suara,” lanjut Ricklefs kepada Tempo.

Ricklefs melihat sejak 1960-an di seluruh dunia sudah ada kebangkitan kembali pengaruh agama. Di Amerika Serikat sudah mengalami sejak George Walker Bush jadi Presiden. Dan di Indonesia sudah begitu hebatnya, bahkan sebelum ada kelompok 212.

Pentingnya Babad

Ricklefs pertama kali datang ke Indonesia pada 1969. Kala itu, sebagai mahasiswa doktoral, ia sedang menyusun disertasi tentang politik Jawa di era Hamengkubuwana I alias Mangkubumi, pendiri Kesultanan Yogyakarta. “Khususnya lagi dalam dunia gaib Jawa. Baru setelah itu saya melihat bahwa pemahaman mengenai agama Islam akan penting sekali artinya dalam memahami masyarakat secara keseluruhan,” tuturnya pula kepada Tempo.

Disertasi itu kemudian berhasil dipertahankan di Cornell University dan dibukukan sebagai Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (1974). Puluhan tahun kemudian, buku itu terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah Pembagian Jawa.

"Ricklefs punya keistimewaan lebih dibandingkan dengan ilmuwan sejarah sebelumnya," kata guru besar sejarah UGM Djoko Suryo, seperti dikutip Gatra (23/12/2002).

Guru besar sejarah UGM lain, Sri Margana, dalam Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial (2004), menyebut Ricklefs adalah sejarawan asing yang menganggap teks-teks Jawa seperti babad sebagai sumber penulisan sejarah penting.

Biografi

Merle Calvin Ricklefs, laki-laki kelahiran Fort Dodge, Iowa, 17 Juli 1943, sempat mengajar sebagai profesor sejarah di Universitas London, Universitas Monash, Universitas Melbourne, Universitas Nasional Singapura (NUS), dan Universitas Nasional Australia (ANU). Ricklefs mengaku bisa 8 hingga 10 kali keluar-masuk Indonesia dalam setahun. Tak heran, dia mampu berbahasa Indonesia dengan lancar.

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Perorangan Asing 2016 ini tutup usia pada Minggu, 29 Desember 2019 pukul 10.30 waktu setempat di Melbourne. Ia lama bergelut dengan kanker prostat yang dideritanya. Pada 2018, dalam keadaan sakit-sakitan, ia masih sempat menulis karyanya yang terakhir: Soul Catcher: Java's Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-1795—sebuah buku semibiografis tentang petualangan politik Pangeran Sambernyawa.

Sejarah Indonesia Modern

Tahun 2009 telah berlalu. Dua belas bulan mengandung berbagai peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indonesia. Setiap waktu menyimpan sejarah yang mesti ditulis agar generasi berikutnya mengetahui apa saja yang terjadi. Harus diakui, kita berhutang budi pada para sejarawan luar negeri yang mendedikasikan hidupnya untuk menulis sejarah Indonesia.

Salah satunya, M.C. Ricklefs, Profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapore. Ricklefs melakukan penelitian serius terhadap puluhan jurnal dan lebih dari lima ratus buku. Direktur Sekolah Penelitian tentang Asia dan Pasific (Universitas Nasional Australia) ini mengisahkan perjalanan bangsa Indonesia dari zaman ke zaman yang penuh warna, lengkap dengan aneka persoalan dan pertikaian baik internal maupun eksternal. Hasilnya sebuah buku berjudul A History of Modern Indonesia, ca. 1200 to the present. (London & Basingstoke: Macmillan; Bloomington: Indiana University Press, 1981). Cetakan berikutnya dengan beberapa perubahan diterbitkan tahun 1993 dan 2001 oleh Palgrave and Stanford University Press. Buku ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1991 oleh Gadjah Mada University Press. Dan edisi revisinya diterbitkan pada tahun 2005 oleh Penerbit Serambi.

Menurut Ricklefs, perjalanan panjang Indonesia sejak masuknya Islam hingga kini merupakan sebuah unit historis terpadu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern. Terdapat tiga unsur fundamental menjadi perekat bagi periode historis itu. Satu, unsur kebudayaan dan keberagamaan: islamisasi Indonesia yang dimulai sejak tahun 1200 dan berlanjut sampai sekarang. Dua, unsur topik: keadaan saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat yang masih berlangsung hingga sekarang sejak tahun 1500. Tiga, unsur historiografi: sumber-sumber primer bagi sebagian besar periode ini ditulis dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (Jawa, Melayu, dll., bukan dalam bahasa Jawa Kuno atau Melayu Kuno) dan bahasa-bahasa Eropa. Karena roda sejarah terus berputar, Ricklefs terus memperbarui bukunya. Segala hal dalam periode sejak 1999 telah ditulis ulang secara substansial atau sama sekali baru. Kehadiran versi Indonesia ini terasa semakin lengkap karena pengarangnya khusus menuliskan perkembangan Indonesia sejak pemilu 2004 sampai tragedi Monas pada 1 Juni 2008.

Pada 2018, dalam keadaan sakit-sakitan, Ricklefs masih sempat menulis karyanya yang terakhir

Sumber : tirto.id dan nasional.kompas.com

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) Sejarah Indonesia Modern pdf di bawah ini.

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer