KITA
sudah dijejali banyak informasi soal pandemi yang sedang terjadi saat ini.
Mulai dari data, berita resmi, cerita orang-orang yang terdampak, hingga opini
para intelektual. Akan tetapi, kita akhirnya berhadapan dengan sesuatu yang
kita sendiri tak yakin dan harus bertanya lagi dan lagi: Apa sih sebenarnya
pandemi itu? Pada situasi ini, berita resmi yang biasa dianggap sebagai
kebenaran telah jadi rumor, solusi sains jadi mentah, cerita orang-orang
berlalu begitu saja, dan opini-opini yang lahir diperlakukan tak lebih dari
esai singkat sarjana parno. Tidak tergoda mencari jawaban tunggal dan
mempertimbangkan banyak hal yang memungkinkan terjadinya pandemi, seharusnya
bukanlah persoalan sulit dan layak untuk diuji. Kita harus memilih memercayai
ilmu pengetahuan dan pakar kesehatan dibanding konspirasi tak berdasar.
Kita ingat satu fakta yang kemudian jadi lelucon di awal
merebaknya virus ini di Indonesia: bermula dari teori temulawak berujung
penggunaan masker dan rajin cuci tangan. Seolah bukanlah manusianya yang lugu,
tapi si virus. “Oh ya, warga kampung ini rajin minum jamu, ayo kita serang
orang lain saja!”. Žižek mendapat lelucon serupa dari temannya Dejan Kršić yang
ia kutip dalam buku barunya Pandemic! (2020). Kali ini virus dalam versi paling
polos: “Halo, teman!” “O, halo, profesor! Kenapa Anda memakai masker? Dua
minggu yang lalu Anda menjelaskan bahwa tak sepenuhnya masker dapat melindungi
diri dari virus?” “Ya, saya tahu masker tak berguna, tetapi apakah virus
mengetahuinya?” Hari ini, wabah virus korona membuat kita berhadapan dengan
pengetahuan yang tak bisa kita sangkal: sains. Percaya pada sains tak akan
membuat kita semakin lugu. Di tahap ini, bukan hanya perkara apa kata sains
pada kita, tetapi minimal memahami bagaimana cara sains bekerja. Pemahaman ini
memungkinkan manusia memiliki respons terbaik menghadapi situasi krisis.
Ambil contoh perilaku kita saat ini. Kita membasuh
tangan dengan sabun dan air atau hand sanitizer apabila kita menyentuh
permukaan benda-benda yang telah disentuh oleh orang lain. Berdasar usulan
sains, begitulah cara paling aman dan efektif untuk mengurangi dan memperlambat
penyebaran Covid-19. Semua rekomendasi ini, dan semua riset yang canggih, hanya
mungkin karena sains yang datang sebelumnya. Di sini kita tidak sekadar
mengikuti aturan, tapi juga sedang menjalankan (mungkin juga menghargai) temuan
dalam perjalanan sains hingga sekarang. Inilah tahap pertama—Ethan Siegel,
seorang Ph.D. ahli astrofisika menyebutkan ada tiga tahap—bagaimana sains bisa
membantu kita.
Tahap kedua, dunia saat ini bergantung pada riset yang
didorong oleh rasa ingin tahu, tidak serta merta karena proyek tanggap darurat
atau gagah-gagahan. Para ahli virologi evolusioner, ahli ekologi penyakit, ahli
biofisika, dan ilmuwan di banyak bidang penelitian lainnya memberi informasi
pada dokter dan pembuat kebijakan, dan juga pada penelitian-penelitian
termutakhir saat ini. Di bidang ilmu sosial, struktur antropologis dari kultur
yang berbeda dan observasi para psikolog perilaku tentang bentuk-bentuk interaksi
sangatlah penting untuk memahami bagaimana orang-orang merespons situasi
pandemi. Selain itu, ada sesuatu yang lebih mendasar yang memungkinkan atau
membatasi apa yang mungkin: sains dasar. Sains dasar adalah tahap ketiga
bagaimana sains dapat menjawab persoalan kita. Bayangkan, kita sedang mencoba
untuk menyingkap struktur molekuler atau urutan DNA dari patogen yang menular
jika kita tidak memiliki teori atom sebagai fondasi.
Cara kerja sains menolong kita dari drama yang dengan vulgar
menyajikan alam pikir pra-modern. Lanskap media berada pada pergulatan besar
antara kebenaran dan kepalsuan, fakta dan informasi yang salah, berita benar
dan berita palsu. Dalam drama ini, musuh-musuh kebenaran hadir. Kemudian para
ahli terkepung oleh buzzer, kaum populis, daninfluencer bayaran. Anda bisa
bayangkan apa yang diharapkan oleh tangan-tangan seperti itu selain “dunia
tanpa pakar”. Para ahli perlu merebut kembali kepercayaan publik—melalui
pengecekan fakta yang lebih baik. Terang datang dari dunia kepastian, dunia
para ahli yang penting untuk dimanfaatkan. Tetapi terang itu tidak memenuhi
seluruh ruang yang gelap. Artinya kita harus siap untuk meraba-raba dan
bergerak untuk menerobos kegelapan.
Mencomot istilah “Sains yang Mengasyikkan” akan menarik
di sini (tanpa konteks khusus pada Nietzsche, tapi saya comot dengan bangga).
Bahwa membahagiakan bagi kita untuk semangat mencari kebenaran tanpa beban
fondasi seperti ideologi atau agama tertentu. Pada poin ini, berpikir tentang
sesuatu yang jauh, misalkan kehidupan setelah kematian, azab, dan lain
sebagainya bukanlah waktu yang tepat. Yuval Noah Harari, punya sentimen khusus
menggapi persoalan tersebut, “Selama berabad-abad, orang-orang menggunakan
agama sebagai mekanisme pertahanan, meyakini bahwa mereka akan hidup selamanya
dalam kehidupan setelah kematian. Hari ini mereka beralih ke sains sebagai
mekanisme pertahanan alternatif, mempercayai bahwa para dokter akan
menyelamatkan mereka, dan bahwa mereka akan hidup selamanya di apartemen
mereka. Kita memerlukan pendekatan yang seimbang di sini. Kita harus memberikan
kepercayaan kepada ilmu pengetahuan untuk mengatasi epidemi, tapi kita juga
tetap harus menanggung beban ketidakberdayaan saat berhadapan dengan
keterbatasan dan kefanaan kita sendiri.”
Fakta bahwa di luar sana masih ada orang-orang bekerja
di pasar, yang kerja mereka itu memastikan orang lain tetap bisa dengan aman
berada dalam isolasi; fakta bahwa di luar sana, ada seorang dokter tua yang
tetap ingin mengabdikan tenaganya, tak bisa membuat kita hanya berpikir jauh-jauh,
bahkan ke kehidupan setelah kematian. Seorang dokter bedah, Henry Marsh, siap
sedia untuk bekerja membantu pasien dan ribuan dokter-dokter lain di dunia,
meskipun ia sadar para dokter tetap menghadapi dilema putusan tentang siapa
yang akan bertahan hidup dan siapa yang akan meninggal. Gambaran dilema itu
diperlihatkan oleh George Bernard Shaw dalam lakon di The Doctor’s Dilemma.
Sebagai seorang dokter, Marsh mengatakan sesuatu yang tak bisa kita tolak,
“Pengorbanan diri sendiri selalu menjadi bagian dari seorang dokter. Hal
tersebut menjadi kebanggaan sekaligus penderitaan, dan itu mengapa, diantara
semua, para dokter dan perawat seharusnya betul-betul dihargai. Sungguh jarang
terjadi bila bukan karena krisis Covid-19 yang terjadi.”
Jika Harari menyebut bahwa Covid-19 memaksa kita untuk
menggandakan upaya kita untuk melindungi manusia lain dan bukanlah sikap
pasrah—melainkan gabungan antara penyesalan (menjauh dari eskatologi) dan
harapan (mendekati sains)—Arundhati Roy menyebut pandemiini memaksa manusia
untukputus dengan masa lalunya. Membayangkan dunianya yang baru. Pandemi adalah
sebuah portal, sebuah pintu gerbang menuju dunia berikutnya. Dunia seperti apa?
Kita mungkin akan berpikir sekeras Arundhati Roy. Sebagai seorang penulis, ia
melihat bayangan dunia baru adalah kebalikan dari situasi krisis. Bentuk
jelasnya seperti apa dunia baru itu, tidak ada yang tahu. Mungkin dunia tanpa
krisis ekonomi, krisis politik, atau narsisisme politisi yang semakin kelihatan
jelas dan menunjukkan kelemahannya di masa pandemi. Lebih dari itu, dunia tanpa
kambing hitam. Dalam konteks India, media arus utama memasukkan cerita tentang
Covid-19 ke dalam kampanye anti-Muslim. Sebuah organisasi Jamaah Tabligh, yang
mengadakan pertemuan di Delhi sebelum karantina wilayah diumumkan, ternyata menjadi
“penyebar utama”. Hal itu digunakan untuk menstigmatisasi kaum Muslim. Dalam
konteks global, kita tahu skema serupa juga berlaku, banyak orang mulai memberi
warna kulit pada virus. Wabah akhirnya juga berubah ke arah rasisme.
Ketakutan akan dampak virus korona melebihi dampak dari
virus itu sendiri. Mulai dari sistem pengawasan digital, aturan negara yang
masuk ke ranah privat, pemantauan ketat dan hukuman bagi yang melanggar, dan
ketakutan dunia yang tak akan kembali seperti sedia kala. Perangkat seperti
pengawasan ketat dan banjir himbauan menandakan hilangnya rasa kepercayaan satu
sama lain. Kepercayaan pemerintah ke rakyat dan sebaliknya. Kesukarelaan dan
kerjasama tak akan tumbuh dari kondisi tidak saling percaya seperti itu, bahkan
dari aturan ketat. Kita harus tetap mengingat bahwa kehidupan telanjang kita,
kehidupan sehari-hari bergulat dengan orang lain masih menyimpan rasa percaya
dan persahabatan. Dalam situasi krisis, kita sering melihat saudara atau teman
(meski dipenuhi konflik) dan bergegas menolong satu sama lain. Ketimbang
membangun rezim totaliter, membangun kembali kepercayaan publik terhadap ilmu
pengetahuan, otoritas publik, dan media masih mungkin sekali kita lakukan.
Kepercayaan menjanjikan penanganan jangka panjang tidak
hanya pada krisis saat ini, tapi juga di masa depan dan lingkup global.
Kepercayaan yang diolah memungkinkan kita untuk membangun solidaritas. Harari
menyebutnya “solidaritas global” dengan beberapa poin kerjasama: seperti
berbagi informasi secara global atau keterbukaan informasi antarnegara,
kesepakatan ekonomi dan lalu lintas perjalanan. Žižek membawa istilah lain,
menyebutnya sebagai komunisme global. Kita tidak perlu terganggu dengan istilah
ini. Apa yang dimaksud Žižek bukanlah politik suatu negara, melainkan sebuah
kerjasama. Komunisme dalam pengertian paling sederhana, koordinasi dan
kolaborasi global. Solidaritas bentuk ini bukanlah solidaritas yang diidealkan diantara
orang-orang. Sebaliknya, krisis pandemi menunjukkan bagaimana solidaritas dan
kerja sama global demi kepentingan bertahan untuk semua dan kita masing-masing.
Disarikan dari Pengantar Anatomi, Wabah, dan Sains oleh Khoiril
Maqin.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Anatomi,
Wabah, dan Sains pdf