Pages

Sabtu, 25 Juli 2020

Tadarus Litapdimas: Sebuah Terobosan Baru Kemenag di Era Pandemi

Sumber gambar: diktistv

Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) telah menyelenggarakan “Tadarus Litapdimas” secara onlie. Litapdimas merupakan kependekan dari penelitian, publikasi ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Tadarus Litapdimas ini merupakan ikhtiar Direktorat Jenderal Pendidikan Islam untuk mendiseminasikan dan mensosialisasikan karya akademik dosen perguruan tinggi keagamaan Islam,  baik berupa riset, publikasi ilmiah (buku, artikel jurnal), pengabdian kepada masyarakat, maupun karya keilmuan lainnya,sehingga masyarakat luas dapat mengambil manfaat secara maksimal. Hal ini terungkap dalam Rapat Koordinasi antara Diktis dengan Wakil Rektor/Ketua PTKIN, LP2M/P3M PTKIN seluruh Indonesia yang digelar secara online, pada Selasa, 14 April 2020.


“Langkah ini menjadi terobosan penting bagi keluarga besar perguruan tinggi keagamaan Islam agar bagaimana hasil atau karya dosen itu, baik riset, publikasi ilmiah, pengabdian kepada masyarakat itu bisa memiliki dampak secara signifikan, termasuk melalui media online. Ia bisa diketahui, memberi inspirasi, dan dapat ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Meski dalam suasana Covid-19, ikhtiar untuk memberikan yang bersifat akademik tetap penting untuk kita lakukan”. Tutur Arskal Salim, Dirjen Diktis.

Masih tentang Arskal, dunia pergurun tinggi keagamaan Islam memiliki produktivitas yang amat tinggi. “Jika dikalkulasi, setiap tahun sekurang-kurangnya terdapat 4.000-an hasil riset yang dihasilkan. Belum lagi, buku dan artikel yang terpublikasi di berbagai jurnal itu juga massif. Di koleksi portal moraref.kemenag.go.id saat ini terdapat 54.087 artikel. Demikian juga best-practices pengabdian kepada masyarakat serta temuan-temuan yang dilakukan oleh perguruan tinggi keagamaan Islam juga demikian besar. Oleh karenanya, perlu untuk disosialisasikan dengan berbagai macam media, tak terkecuali melaui media sosial”, ungkap Arskal lebih lanjut.


Kepala Subdit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Suwendi, menambahkan tradisi baru dalam platform “Tadarus Litapdimas” ini dibangun atas dasar kesadaran perlunya silaturahim akademik dan kebermanfaatan temuan serta karya akademik dosen kepada masyaerakat secara luas.

Menurut Suwendi, secara teknis, Tadarus Litapdimas akan diselenggarakan secara rutin hari Selasa dan Kamis, pukul 10.30 hingga 11.30 WIB, secara online. “Insya Allah, untuk pertama kalinya, akan diselenggarakan pada hari Kamis, 23 April 2020. Semoga Tadarus Litapdimas ini menambah keberkahan puasa di bulan suci Ramadan”, ungkap Suwendi.

Sebaga informasi, tadarus litapdimas ala Kemenag telah berlangsung hingga saat ini 12 seri, dan jumlah seri-seri ini tentu akan bertambah seiring perkembangan situasi kekinian. Semoga tadarus litapdimas ini tetap langgeng tidak hanya di masa pandemi tapi seterusnya sehingga masyarakat baik akademis, milenial hingga awam mampu mengambil manfaat dari terobosan ini. Aamiin.

Dikutip dari pendis.kemenag.go.id

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Materi Tadarus Litapdimas Seri 1-12 pdf

Selasa, 14 Juli 2020

Moderatisme Islam

kompasiana.com

Hingga saat ini, sebagian besar penulis dan sarjana muslim Indonesia merujukkan konsep “moderasi” pada konsep wasathiyah, yang secara harfiah berarti tengah atau pertengahan. Ummah wasathâ berarti umat yang pertengahan atau yang berada di tengah. Namun, makna etimologis kata wasatha tidak sesederhana itu. Beberapa kamus utama bahasa Arab mengindikasikan makna yang lebih khusus. Kamus al-Ghanîy, Mu‘jam alLughah al-Arabiyyah al-Mu‘âshirah, juga al-Wasîth menunjukkan bahwa kata itu tidak hanya berarti di tengah, menengahi, atau pertengahan. Ketiga bersepakat menyatakan bahwa dalam kata wasath terkandung makna alhaqq (kebenaran), al-‘adl (keadilan), dan al-syarafah (kemuliaan).

 

Dengan kata lain, seorang wâsith adalah orang yang dianggap berpegang pada kebenaran, keadilan, dan sekaligus juga menjadi orang yang dihormati di tengah kaumnya, atau di tengah kelompoknya. Dengan demikian, berdiri di tengah atau menjadi ummah wasatha adalah tugas yang besar dan berat untuk dijalani. Sebab, ummah wasatha bukanlah kelompok atau komunitas yang hanya berdiri di tengah, di antara berbagai kelompok lain, lalu diam tidak melakukan apa-apa. Komunitas wasatha bukanlah umat yang diam tidak berpihak.

    

Komunitas wasathâ adalah komunitas yang secara istikamah berpihak pada kebenaran dan keadilan sehingga dua karakter itu melekat pada diri mereka. Jika keduanya telah melekat, pada gilirannya mereka menjadi komunitas yang syarîf—kelompok yang mulia dan dihormati kelompok lain. Lebih jauh, kamus-kamus itu menjelaskan bahwa kata wasatha adalah kata kerja aktif yang sekaligus menunjukkan posisi. Karenanya, untuk mengatakan “Zaid duduk di antara para tamu” cukup dengan ungkapan “wasatha zaid al-dhuyûfa”, tidak perlu menggunakan kata “jalasa fî wasath al-dhuyûfi” atau duduk di antara para tamu.

 

Jadi, bisa dikatakan, ummah wasathâ bukanlah ummah yang berdiam diri, tidak punya kecenderungan, dan tidak punya keberpihakan. Pribadi wasathâ juga bukanlah pribadi yang tidak berpihak, tetapi pribadi yang selalu berpegang pada kebenaran, bersikap adil, dan menjaga kemuliaan dirinya. Maka, predikat wasathâ itu bukanlah predikat yang bisa dengan mudah dilekatkan pada satu atau sekelompok orang. Predikat itu lahir berkat perjuangan sepanjang hayat membela kebenaran dan keadilan. Jadi, butuh waktu yang panjang untuk mewujudkan ummah wasathâ.

 

Salah satu ayat Al-Quran yang kerap dirujuk ketika berbicara tema moderasi adalah Q.S. al-Baqarah 143. Dalam ayat tersebut Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami menjadikan kamu ummah wasathâ dan agar kalian menjadi saksi atas manusia…”  Menarik untuk dicermati bahwa ayat ini muncul setelah ayat tentang konflik orientasi, perbedaan paham tentang qiblah, arah pikiran, arah cita-cita dan arah tujuan. Seakan-akan Allah hendak mengatakan, tidak penting orientasimu ke mana, karena kebenaran itu ada di mana-mana (qul lillâh al-masyriq wa al-maghrib). Ketika ada begitu banyak orientasi, begitu banyak arah yang dituju, yang harus dilakukan adalah istikamah menempuh jalan petunjuk yang paling kokoh rambu-rambunya (yahdî man yasyâ’ ilâ shirâth mustaqîm).

 

Berkaca pada makna etimologis kata wasathâ, bisa dikatakan bahwa menjadi pribadi yang moderat tidak cukup hanya dengan berada di tengahtengah tanpa cenderung pada salah satu pihak atau golongan. Sosok yang moderat tetap berpihak dan memiliki pilihan, bahkan kokoh di jalan pilihannya, tetapi ia pun mengakui dan menerima perbedaan orang lain. Jadi moderasi adalah bagaimana “menerima” perbedaan dan keragaman.

 

Sikap penerimaan itu dilandasi oleh al-haqq dan al-‘adl. Karena itulah Grand Syekh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Thayyib, dalam acara World Forum of Wasthiyah Islam, mengatakan bahwa tidak penting lagi memperdebatkan apa makna wasathiyyah. Sebab, yang paling penting adalah bagaimana menarik pembicaraan ini dari ruang teoretis ke arah praktis. Kita semua membutuhkan solusi daripada sekadar memperdebatkan satu istilah di ruang akademis yang kaku dan penuh teori.

 

Dikutip dari Buku Moderatisme Islam.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Moderatisme Islam pdf


Minggu, 12 Juli 2020

Moderasi Beragama: Arah Baru Pendidikan Islam Indonesia


Adanya pandemi covid-19 juga memberikan hikmah yang lainnya. Salah satunya, Jumat 2 Juli 2020 menjadi goresan sejarah diluncurkannya modul moderasi beragama untuk RA-MI dan MTs-MA. Memang, moderasi beragama digadang-gadang oleh banyak pihak guna menampilkan lanskap Islam rahmatan lil a’lamin, selain bertujuan meng-counter gerakan radikalisme yang bercokol di negeri ini. Sebagai informasi, moderasi beragama merupakan kebijakan strategis kemenag yang diinisiasi oleh mantan menag, Lukman Hakim Saifuddin. Di penghujung masa jabatannya, Lukman berhasil menginput kebijakan moderasi beragama dalam Rencana Jangka Menengah Nasional (2020-2024). Itu artinya kementerian agama sebagai leading sector mempunyai tanggungjawab moral untuk mengawal dan memastikan kebijakan ini terdeliver dengan baik.

Baru-baru ini, Jumat 10 Juli 2020 Kemenag meluncurkan KMA 183 Tahun 2019 dan KMA 184 Tahun 2019 sebagai tindak lanjut dari kebijakan moderasi beragamanya, maka secara resmi mulai Tahun Pelajaran 2020/2021 KMA Nomor 165 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI dan Bahasa Arab di Madrasah sudah tidak berlaku lagi. Madrasah akan memulai tahun pelajaran 2020/2021 mulai 13 Juli mendatang baik Ibtidaiyah (MI), Tsanawiyah (MTs), maupun Aliyah (MA), akan menggunakan kurikulum baru untuk Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab.

Dilansir dari kemenag.go.id, modul moderasi beragama yang dimaksud adalah modul kedua pasca launching buku moderasi beragama yakni diperuntukkan kepada siswa RA dan madrasah siap digunakan untuk tahun ajaran baru 13 Juli 2020. “Modul ini hadir sebagai guidebook (buku panduan) bagi guru dalam rangka memperkuat karakter moderat pada siswa. Pengetahuan nilai moderasi yang terinternalisasi dalam sikap dan karakter siswa penting dikenalkan sejak dini dalam rangkat merawat kebhinekaan Indonesia.” Ucap Umar, selaku Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah.

Modul ini disusun bersama para akademisi Pusat Kajian dan Pengembangan Pesantren Nusantara (PKKPN) IAIN Surakarta beserta guru-guru. Sejalan apa yang disampaikan oleh Direktur PKKP-IAIN Surakarta M. Zainal Anwar, bahwa modul ini dapat menjadi instrumen pembelajaran generasi muda Indonesia agar memiliki karakter moderat dan bermental kuat, tidak mudah menyerah, serta senantaisa optimis menghadapi tantangan zaman.

Jika diamati, kedua modul ini terdapat tujuh topik yang menjadi principal element (elemen utama) yaitu pembangunan karakter moderat, pengenalan kebangsaan, berlaku adil terhadap sesama, menjaga dan menjalin persaudaraan, bersikap santun dan bijak serta pribadi inovatif, inklusif, kreatif dan mandiri.

Moderasi Beragama ala Lukman Hakim Saifuddin

Dalam Webinar Internasional Rumah Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh IAIN Jember, Rabu 1 Juli 2020 bertajuk “Masa Depan Bangsa dalam Bingkai Moderasi Beragama”. Lukman menjadi pemateri kunci dalam webinar tersebut, selain kedua pemateri Greg Barton dan Imam Shamsi Ali. Ia menjadi eksponen penting moderasi beragama di Indonesia. Kita tahu bahwa hampir pasti di setiap pidatonya Lukman selalu konsisten menyelipkan pesan moderasi beragama.

Dalam webinar via zoom juga, Ia memaparkan “setiap agama diyakini sebagai kebenaran dengan karakternya yang moderat. Masalahnya, bagaimana kita memahami agama? Sebab, ketika agama membumi, hakikatnya menjadi sesuatu yang dipahami oleh manusia yang terbatas dan relatif. Agama kemudian melahirkan aneka ragam pemahaman dan penafsiran. Oleh karena itu, moderasi beragama  merupakan keniscayaan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan dan paham keagamaan yang ekstrim baik ekstrim kanan maupun kiri.” Tutur mantan Menag era SBY dan Jokowi.

Ia juga memungkasi bahwa yang dimoderasi bukan agamanya, karena agama sudah pasti moderat. Yang dimoderasi adalah cara kita beragama. Karenanya, sembari tetap mengawal kebijakan moderasi beragama di setiap lini, penting kiranya bagi stakeholders terkait untuk menjaga dan menciptakan keseimbangan di kalangan umat beragama dengan melibatkan pesantren dan ormas (NU, Muhammadiyah, dkk) serta universitas/ PTKI. Akhirnya, sebagai bagian dari strategi sosialisasi, kebijakan moderasi beragama harus menjadi model keberagamaan mainstream di tengah meletupnya klimaks politik identitas, ujaran kebencian (hate speech), dan berita bohong (hoax).

Disarikan dari bincangsyariah.com

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Implementasi KMA 792 Tahun 2018, KMA 183 Tahun 2019 dan KMA 184 tahun 2019 pdf

Modul Moderasi Beragama pada Madrasah RA-MI pdf

Modul Moderasi Beragama pada Madrasah MTS-MA pdf

Juknis Penyelenggaran Pembelajaran PAI di Sekolah Pada New Normal pdf

KMA No 183 Tahun 2019 Tentang Kurikulum PAI dan Bahasa Arab Pada Madrasah pdf

KMA No 184 Tahun 2019 Tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Pada Madrasah pdf

KMA No 165 Tahun 2014 Tentang Pedoman Kurikulum Madrasah 2013 Mapel PAI dan Bahasa Arab pdf

Jumat, 10 Juli 2020

Sains Sebagai Guidance

Sumber gambar: asumsi.co

KITA sudah dijejali banyak informasi soal pandemi yang sedang terjadi saat ini. Mulai dari data, berita resmi, cerita orang-orang yang terdampak, hingga opini para intelektual. Akan tetapi, kita akhirnya berhadapan dengan sesuatu yang kita sendiri tak yakin dan harus bertanya lagi dan lagi: Apa sih sebenarnya pandemi itu? Pada situasi ini, berita resmi yang biasa dianggap sebagai kebenaran telah jadi rumor, solusi sains jadi mentah, cerita orang-orang berlalu begitu saja, dan opini-opini yang lahir diperlakukan tak lebih dari esai singkat sarjana parno. Tidak tergoda mencari jawaban tunggal dan mempertimbangkan banyak hal yang memungkinkan terjadinya pandemi, seharusnya bukanlah persoalan sulit dan layak untuk diuji. Kita harus memilih memercayai ilmu pengetahuan dan pakar kesehatan dibanding konspirasi tak berdasar.

 

Kita ingat satu fakta yang kemudian jadi lelucon di awal merebaknya virus ini di Indonesia: bermula dari teori temulawak berujung penggunaan masker dan rajin cuci tangan. Seolah bukanlah manusianya yang lugu, tapi si virus. “Oh ya, warga kampung ini rajin minum jamu, ayo kita serang orang lain saja!”. Žižek mendapat lelucon serupa dari temannya Dejan Kršić yang ia kutip dalam buku barunya Pandemic! (2020). Kali ini virus dalam versi paling polos: “Halo, teman!” “O, halo, profesor! Kenapa Anda memakai masker? Dua minggu yang lalu Anda menjelaskan bahwa tak sepenuhnya masker dapat melindungi diri dari virus?” “Ya, saya tahu masker tak berguna, tetapi apakah virus mengetahuinya?” Hari ini, wabah virus korona membuat kita berhadapan dengan pengetahuan yang tak bisa kita sangkal: sains. Percaya pada sains tak akan membuat kita semakin lugu. Di tahap ini, bukan hanya perkara apa kata sains pada kita, tetapi minimal memahami bagaimana cara sains bekerja. Pemahaman ini memungkinkan manusia memiliki respons terbaik menghadapi situasi krisis.

 

Ambil contoh perilaku kita saat ini. Kita membasuh tangan dengan sabun dan air atau hand sanitizer apabila kita menyentuh permukaan benda-benda yang telah disentuh oleh orang lain. Berdasar usulan sains, begitulah cara paling aman dan efektif untuk mengurangi dan memperlambat penyebaran Covid-19. Semua rekomendasi ini, dan semua riset yang canggih, hanya mungkin karena sains yang datang sebelumnya. Di sini kita tidak sekadar mengikuti aturan, tapi juga sedang menjalankan (mungkin juga menghargai) temuan dalam perjalanan sains hingga sekarang. Inilah tahap pertama—Ethan Siegel, seorang Ph.D. ahli astrofisika menyebutkan ada tiga tahap—bagaimana sains bisa membantu kita.

 

Tahap kedua, dunia saat ini bergantung pada riset yang didorong oleh rasa ingin tahu, tidak serta merta karena proyek tanggap darurat atau gagah-gagahan. Para ahli virologi evolusioner, ahli ekologi penyakit, ahli biofisika, dan ilmuwan di banyak bidang penelitian lainnya memberi informasi pada dokter dan pembuat kebijakan, dan juga pada penelitian-penelitian termutakhir saat ini. Di bidang ilmu sosial, struktur antropologis dari kultur yang berbeda dan observasi para psikolog perilaku tentang bentuk-bentuk interaksi sangatlah penting untuk memahami bagaimana orang-orang merespons situasi pandemi. Selain itu, ada sesuatu yang lebih mendasar yang memungkinkan atau membatasi apa yang mungkin: sains dasar. Sains dasar adalah tahap ketiga bagaimana sains dapat menjawab persoalan kita. Bayangkan, kita sedang mencoba untuk menyingkap struktur molekuler atau urutan DNA dari patogen yang menular jika kita tidak memiliki teori atom sebagai fondasi.

 

Cara kerja sains menolong kita dari drama yang dengan vulgar menyajikan alam pikir pra-modern. Lanskap media berada pada pergulatan besar antara kebenaran dan kepalsuan, fakta dan informasi yang salah, berita benar dan berita palsu. Dalam drama ini, musuh-musuh kebenaran hadir. Kemudian para ahli terkepung oleh buzzer, kaum populis, daninfluencer bayaran. Anda bisa bayangkan apa yang diharapkan oleh tangan-tangan seperti itu selain “dunia tanpa pakar”. Para ahli perlu merebut kembali kepercayaan publik—melalui pengecekan fakta yang lebih baik. Terang datang dari dunia kepastian, dunia para ahli yang penting untuk dimanfaatkan. Tetapi terang itu tidak memenuhi seluruh ruang yang gelap. Artinya kita harus siap untuk meraba-raba dan bergerak untuk menerobos kegelapan.

 

Mencomot istilah “Sains yang Mengasyikkan” akan menarik di sini (tanpa konteks khusus pada Nietzsche, tapi saya comot dengan bangga). Bahwa membahagiakan bagi kita untuk semangat mencari kebenaran tanpa beban fondasi seperti ideologi atau agama tertentu. Pada poin ini, berpikir tentang sesuatu yang jauh, misalkan kehidupan setelah kematian, azab, dan lain sebagainya bukanlah waktu yang tepat. Yuval Noah Harari, punya sentimen khusus menggapi persoalan tersebut, “Selama berabad-abad, orang-orang menggunakan agama sebagai mekanisme pertahanan, meyakini bahwa mereka akan hidup selamanya dalam kehidupan setelah kematian. Hari ini mereka beralih ke sains sebagai mekanisme pertahanan alternatif, mempercayai bahwa para dokter akan menyelamatkan mereka, dan bahwa mereka akan hidup selamanya di apartemen mereka. Kita memerlukan pendekatan yang seimbang di sini. Kita harus memberikan kepercayaan kepada ilmu pengetahuan untuk mengatasi epidemi, tapi kita juga tetap harus menanggung beban ketidakberdayaan saat berhadapan dengan keterbatasan dan kefanaan kita sendiri.”

 

Fakta bahwa di luar sana masih ada orang-orang bekerja di pasar, yang kerja mereka itu memastikan orang lain tetap bisa dengan aman berada dalam isolasi; fakta bahwa di luar sana, ada seorang dokter tua yang tetap ingin mengabdikan tenaganya, tak bisa membuat kita hanya berpikir jauh-jauh, bahkan ke kehidupan setelah kematian. Seorang dokter bedah, Henry Marsh, siap sedia untuk bekerja membantu pasien dan ribuan dokter-dokter lain di dunia, meskipun ia sadar para dokter tetap menghadapi dilema putusan tentang siapa yang akan bertahan hidup dan siapa yang akan meninggal. Gambaran dilema itu diperlihatkan oleh George Bernard Shaw dalam lakon di The Doctor’s Dilemma. Sebagai seorang dokter, Marsh mengatakan sesuatu yang tak bisa kita tolak, “Pengorbanan diri sendiri selalu menjadi bagian dari seorang dokter. Hal tersebut menjadi kebanggaan sekaligus penderitaan, dan itu mengapa, diantara semua, para dokter dan perawat seharusnya betul-betul dihargai. Sungguh jarang terjadi bila bukan karena krisis Covid-19 yang terjadi.”

 

Jika Harari menyebut bahwa Covid-19 memaksa kita untuk menggandakan upaya kita untuk melindungi manusia lain dan bukanlah sikap pasrah—melainkan gabungan antara penyesalan (menjauh dari eskatologi) dan harapan (mendekati sains)—Arundhati Roy menyebut pandemiini memaksa manusia untukputus dengan masa lalunya. Membayangkan dunianya yang baru. Pandemi adalah sebuah portal, sebuah pintu gerbang menuju dunia berikutnya. Dunia seperti apa? Kita mungkin akan berpikir sekeras Arundhati Roy. Sebagai seorang penulis, ia melihat bayangan dunia baru adalah kebalikan dari situasi krisis. Bentuk jelasnya seperti apa dunia baru itu, tidak ada yang tahu. Mungkin dunia tanpa krisis ekonomi, krisis politik, atau narsisisme politisi yang semakin kelihatan jelas dan menunjukkan kelemahannya di masa pandemi. Lebih dari itu, dunia tanpa kambing hitam. Dalam konteks India, media arus utama memasukkan cerita tentang Covid-19 ke dalam kampanye anti-Muslim. Sebuah organisasi Jamaah Tabligh, yang mengadakan pertemuan di Delhi sebelum karantina wilayah diumumkan, ternyata menjadi “penyebar utama”. Hal itu digunakan untuk menstigmatisasi kaum Muslim. Dalam konteks global, kita tahu skema serupa juga berlaku, banyak orang mulai memberi warna kulit pada virus. Wabah akhirnya juga berubah ke arah rasisme.

 

Ketakutan akan dampak virus korona melebihi dampak dari virus itu sendiri. Mulai dari sistem pengawasan digital, aturan negara yang masuk ke ranah privat, pemantauan ketat dan hukuman bagi yang melanggar, dan ketakutan dunia yang tak akan kembali seperti sedia kala. Perangkat seperti pengawasan ketat dan banjir himbauan menandakan hilangnya rasa kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan pemerintah ke rakyat dan sebaliknya. Kesukarelaan dan kerjasama tak akan tumbuh dari kondisi tidak saling percaya seperti itu, bahkan dari aturan ketat. Kita harus tetap mengingat bahwa kehidupan telanjang kita, kehidupan sehari-hari bergulat dengan orang lain masih menyimpan rasa percaya dan persahabatan. Dalam situasi krisis, kita sering melihat saudara atau teman (meski dipenuhi konflik) dan bergegas menolong satu sama lain. Ketimbang membangun rezim totaliter, membangun kembali kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan, otoritas publik, dan media masih mungkin sekali kita lakukan.

 

Kepercayaan menjanjikan penanganan jangka panjang tidak hanya pada krisis saat ini, tapi juga di masa depan dan lingkup global. Kepercayaan yang diolah memungkinkan kita untuk membangun solidaritas. Harari menyebutnya “solidaritas global” dengan beberapa poin kerjasama: seperti berbagi informasi secara global atau keterbukaan informasi antarnegara, kesepakatan ekonomi dan lalu lintas perjalanan. Žižek membawa istilah lain, menyebutnya sebagai komunisme global. Kita tidak perlu terganggu dengan istilah ini. Apa yang dimaksud Žižek bukanlah politik suatu negara, melainkan sebuah kerjasama. Komunisme dalam pengertian paling sederhana, koordinasi dan kolaborasi global. Solidaritas bentuk ini bukanlah solidaritas yang diidealkan diantara orang-orang. Sebaliknya, krisis pandemi menunjukkan bagaimana solidaritas dan kerja sama global demi kepentingan bertahan untuk semua dan kita masing-masing.

 

Disarikan dari Pengantar Anatomi, Wabah, dan Sains oleh Khoiril Maqin.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Anatomi, Wabah, dan Sains pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer