Pages

Senin, 28 Maret 2022

Pencarian Islam Otentik dan Islam Nusantara: Trajektori dan Sejarahnya

Diambil dari nu.or.id


Para Indonesianis maupun orang-orang Indonesia benar-benar kehilangan atas wafatnya antropolog dan humanis Cliford Geertz pada akhir Oktober 2006. Geertz telah melanglang buana melampaui Jawa dan Bali serta menggeluti cakrawala yang jauh lebih luas sehingga ada perasaan di kalangan para Indonesianis bahwa, entah sepakat atau tidak dengan gagasan-gagasannya, dia adalah salah seorang dari kita. Tak syak lagi dia sudah memberikan banyak hal untuk dipertimbangkan pada bidang kajian ini. Dalam berbagai kontribusi seperti Agricultural Involution (1963), Islam Observed (1968), dan Negara (1980), kesemuanya dibangun atas reputasi yang dibentuk oleh Religion of Java-nya yang sangat berpengaruh sejak 1960, gagasan-gagasan Geertz tak pernah gagal membangkitkan gairah.

 

Semasa hidup hingga lama setelah wafatnya, Geertz kerap dibandingkan seorang cendekiawan lain yang kontribusinya menurut saya sangat memengaruhi cara pandang orang terhadap Indonesia. Sebuah majalah Indonesia ternama bahkan menyebut mereka sebagai dua dari delapan orang asing dalam daftar seratus “tokoh Indonesia abad kedua puluh”. Tokoh kedua (atau lebih tepat, pertama) adalah Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936); seorang orientalis Belanda, muslim pura-pura, penjajah. Berbeda dari Geertz yang disambut hangat oleh orang-orang Indonesia yang menulis biografnya dalam edisi majalah tersebut, Munawar Khalil menyatakan si orang Belanda ini sebagai “tikus air yang menyusup ke dalam masyarakat Muslim untuk mencuri ‘rahasia’ perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial”.

 

Meski buku ini bukanlah sebuah kritik terhadap Geertz maupun pembelaan untuk Snouck, berbagai sumbangan penting Snouck bagi pembentukan kajian Indonesia akan dibicarakan seiring buku ini menyelami tema-tema utamanya, yaitu: Apa yang dianggap sebagai unsur-unsur Islam Indonesia? Dan, siapa yang bisa kita sebut telah membuatnya? Seperti yang akan saya perlihatkan, proses, atau tepatnya proses-proses, yang memberikan fondasi bagi sebuah konsensus mengenai pertanyaan-pertanyaan ini digerakkan oleh keeratan hubungan Muslim Asia Tenggara dengan sesama pemeluk Islam di Tanah Air dan di luar negeri, baik sebelum maupun di bawah kolonialisme Belanda yang menjadikan mereka bangsa Indonesia. Jauh melampaui sekadar fakta hegemoni latar belakang, keterlibatan langsung para penasihat orientalis seperti Snouck, yang bertindak atas nama negara kolonial dan berpura-pura menguntungkan umat Islam, merupakan sebuah alur utama yang memperumit kisah tersebut.

 

SUFISME DAN YANG MODERN

 

Berbekal pengetahuan akan masa lalu, kita bisa dengan mudah menyatakan bahwa skeptisisme yang digemari Geertz mengenai vitalitas jangka panjang proses Islamisasi, yang diungkapkan dalam Islam Observed-nya, barangkali sekarang tampak keliru. Namun, kita juga bisa menantang penggambarannya terhadap sejarah Islam Indonesia sebagai “hingga belakangan ini, sangat lentur, tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”. Jika, bagi Geertz, watak multisuara Islam Indonesia adalah yang paling penting, dengan menengok ke sekitar empat dekade kemudian, kita bisa menyatakan bahwa syarat “hingga belakangan ini” itulah yang sebenarnya merupakan pengamatan paling relevan. Bisa dibilang bahwa Geertz membaca bidang-bidang kajiannya dengan memperhatikan kecendekiawanan modernis dan penjelasan para informan yang tampaknya merupakan pencela banyak praktik lokal yang dia dokumentasikan. Sebagaimana akan kita lihat, para informan semacam itu dan juru bicara mereka dari Barat memiliki sejarah yang berkelindan.

 

Dalam sebuah kritik mutakhir terhadap bidang kajian kolonial, Frederick Cooper mempertanyakan kegunaan trinitas kudus “identitas”, “globalisasi”, dan “modernitas”. Dia menuntut tingkat kespesifkan yang lebih tinggi dalam wacana akademik dan menuntut kajian yang membaca kolonialisme bukan sebagai sebuah kisah yang dituturkan dengan latar belakang bangkitnya modernitas, melainkan lebih sebagai perjumpaan-perjumpaan tempat konsep-konsep seperti “bangsa”, “yang modern”, dan “agama” diberi makna.3

 

Buku ini sebagiannya dimaksudkan untuk mendorong tantangan ini. Sebelumnya saya sudah berusaha menunjukkan kontribusi Islam terhadap terbentuknya Indonesia, sekarang saya ingin beralih untuk menyelidiki bagaimana Islam ditafsirkan dan dibentuk oleh beragam aktor di kawasan ini; termasuk orang-orang Kristen Belanda. Yang sangat penting bagi penyelidikan saya adalah perdebatan mengenai posisi praksis tarekat—berbagai ritual perenungan mistis yang diorganisasi di bawah bimbingan seorang guru yang dikenal sebagai syekh—yang hanya mewakili satu aspek dari Sufsme sebagai sebuah bidang pengetahuan Islami.

 

Dalam perjalanannya, sebuah kisah yang jauh lebih luas dan kerap lebih politis harus dituturkan, kisah yang secara implisit mempertanyakan pemahaman yang berlaku saat ini bahwa Sufsme adalah bentuk Islam yang paling menerima terhadap kontak dengan Barat. Dengan menyatakan semua itu, saya tidak sedang menawarkan sebuah narasi mengenai bagaimana Sufsme dan anti-Sufsme dimainkan pada abad kedua puluh secara keseluruhan, juga bukan mengenai bagaimana Islam dan politik saling beririsan di Indonesia saat ini. Sebaliknya, ini akan tetap merupakan sebuah kisah kolonial, meski sebuah kisah yang sesekali tampak tak terlalu berbeda dari yang dimainkan dengan taruhan yang sangat tinggi hari ini.

 

KERANGKA NARASI Dalam menyatakan bahwa seseorang atau sesuatu memiliki “bahan-bahan pembuatan” dari sesuatu yang lain dan menyiratkan sebuah proses pembentukan yang terus berlanjut, saya akan mengatakan bahwa Islam Indonesia merupakan sebuah proyek nasional yang terus-menerus didefnisikan kembali oleh pemeluknya. Namun, pada tingkat yang lebih jelas, judul buku ini menunjukkan bahwa terdapat banyak proses yang bekerja dalam perjalanan menuju proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945—di antara proses-proses itu, proyek reformis dan kolonial barangkali adalah yang dinyatakan secara paling eksplisit. Meskipun proyek kolonial mendominasi dalam buku ini, saya rasa penting untuk tidak mengawalinya dengan mengistimewakan pengalaman Barat. Oleh karena itu, tiga bab pertama (Bagian Satu) menggambarkan tren-tren utama dalam pembentukan wacana Islam Asia Tenggara, berawal dari langkah pertama ke arah Islamisasi kawasan ini pada 1200-an, dan berlanjut hingga 1880-an ketika Belanda akan membuat berbagai intervensi de jure yang lebih eksplisit dalam Hukum Muslim. Latar belakang ini diperlukan untuk membuat unsur-unsur dalam kisah kolonial berikutnya menjadi jelas.

 

Bab 1 mendokumentasikan proses Islamisasi di seluruh Nusantara. Bab ini juga menguraikan argumen bahwa pengetahuan kita saat ini sebagian besar dibentuk oleh penerimaan terhadap pembingkaian dan validasi retrospektif atas ajaran-ajaran Suf abad ketujuh belas. Ajaran-ajaran tersebut menekankan hubungan mistis antara Nabi dan sekelompok elite terpelajar yang dilindungi oleh otoritas kerajaan. Bab 2 meninjau bagaimana, pada abad kedelapan belas, struktur pembelajaran yang lebih formal terbentuk di Nusantara ketika para cendekiawan Asia Tenggara mulai lebih berpartisipasi dalam jaringan Timur Tengah. Saya akan menyatakan bahwa saat itu terdapat sebuah upaya yang lebih eksplisit dari pihak kerajaan untuk mengalihkan publik yang tengah mengalami Islamisasi menjauh dari daya tarik Sufsme spekulatif dan menuju komitmen yang lebih kuat terhadap hukum Islam (dan dengan demikian terhadap pemerintahan). Selanjutnya, Bab 3 mengkaji kebangkitan, terutama pada abad kesembilan belas, sebuah bentuk baru otoritas populis yang memperluas cakupan aktivitas Islami melampaui jangkauan istana-istana yang semakin terpinggirkan. Secara khusus bab ini memeriksa implikasi praktis penggunaan pers litografs oleh beberapa persaudaraan mistis dengan koneksi Mekah yang lebih baru.

 

Bagian kedua dari buku ini, sebaliknya, berkenaan dengan pengalaman paralel jangka panjang Belanda (dan, hingga tingkat tertentu, Inggris) dengan Islam di Asia Tenggara, dengan memberikan penekanan yang setara pada berbagai interaksi di Hindia dan cara interaksi-interaksi ini dipahami di metropolis. Bab 4 berfokus pada berbagai gagasan yang sangat kabur mengenai Islam yang terbentuk selama pelayaran pertama pada 1590-an, dengan menekankan posisi Protestantisme dalam mengembangkan pemahaman mengenai Islam dan hubungan problematisnya dengan VOC.

 

Dengan menurunnya imperium-imperium perdagangan pada pengujung abad kedelapan belas, Bab 5 mengkaji berbagai perubahan yang terbentuk pada abad kesembilan belas di bawah pengaruh budaya ilmu pengetahuan yang baru dan konsep baru mengenai imperium yang dikembangkan oleh pemerintah Den Haag dan Batavia. Berbagai perkembangan intelektual ini mengakibatkan upaya yang kian aktif dari kalangan orang-orang Barat dalam mengukur dan memahami bagaimana Islam diorganisasikan di Nusantara. Mereka juga berusaha untuk mendidik para pejabat mereka untuk mempelajari bidang Hukum Islam sebagai persiapan penempatan mereka di lapangan. Usaha keras untuk menunjukkan pembingkaian yang paralel terhadap Hindia sebagai sebuah ladang misi penting dalam membentuk dan kadang menantang upaya-upaya kolonial ini dipaparkan di Bab 6.

 

Setelah menjelaskan dua alur utama sejarah Indonesia—alur Islam dan Kolonial—buku ini beralih ke per empat ketiga yang membicarakan berbagai implikasi berkelindannya kecendekiawanan pribumi dan Belanda mengenai pertanyaan tentang agama. Di sini, fokus kita adalah kepada Snouck Hurgronje serta jaringan sekutu dan informannya. Kita akan menyelidiki aktivitas mereka secara mendetail dan dalam periode waktu yang agak singkat karena berada dalam hitungan tahun, bukannya dekade atau abad.

 

Bab 7 bermula dengan berbagai intervensi Snouck Hurgronje dalam bidang kajian ini di Belanda, berbagai kritiknya terhadap serangan yuridis dan misiologis atas ortopraksi Islam di Hindia, serta persekutuannya dengan mereka yang dianggapnya memiliki penafsiran yang lebih terdidik mengenai Islam. Oleh karena itu, pandangan-pandangan tersebut disokongnya sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi kesejahteraan publik yang saat itu masih berupa Hindia Belanda. Secara khusus bab ini akan membicarakan ketidaksukaan Snouck dan para sekutunya terhadap beragam mistisisme populis yang oleh para guru muslim pesaing—yang tidak terlalu peduli pada hukum—dapat digunakan untuk tujuan mereka sendiri.

 

Bab 8 menyelami hubungan-hubungan ini secara lebih mendalam, dengan mengikuti Snouck ketika tiba di Batavia pada 1889 dan melakukan kerja lapangan di Jawa dan Aceh, memeriksa posisinya baik dalam masyarakat Belanda maupun masyarakat pribumi. Sementara oleh para atasannya dia dipandang sebagai seorang informan mengenai kaum Muslim, orang-orang Muslim sendiri bisa melihatnya sebagai seorang mediator bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, Bab 9 menjelaskan posisi mereka yang tidak begitu terpikat, dan yang menentang otoritas Snouck karena memandang kebijakan-kebijakan “etis”-nya (demikian berbagai kebijakan tersebut dikenal) untuk memodernisasi Hindia Muslim sebagai bagian dari proyek Kristenisasi dalam jangka yang lebih panjang.

 

Bagian terakhir buku ini membahas hubungan antara para cendekiawan Belanda dan pembaharu muslim pada paruh pertama abad kedua puluh dan konsensus mereka yang nyata bahwa sebuah Islam baru sedang muncul di tanah Hindia. Bentuk baru inilah yang akan menggantikan tradisi kuno mistisisme “India” di kawasan ini. Bab 10 melanjutkan apa yang terhenti di Bab 3, melacak perdebatan yang terus berlangsung mengenai Sufsme dalam kaitannya dengan gagasan mengenai ortodoksi yang terus berubah.

 

Sementara itu, Bab 11 akan membicarakan cara para penerus Snouck, yang dididik dalam sejarah Islam melalui penggunaan berbagai manuskrip yang telah dia kumpulkan, mengunggulkan sebuah alur aktivisme muslim tertentu yang oleh orang-orang saat itu semakin kerap disebut “Indonesia”. Bab ini juga akan menyelidiki bahwasanya dukungan itu sebenarnya problematis bagi otoritas kolonial, bahkan meskipun mereka mengandalkan hubungan yang terbentuk antara para penasihat dan pemimpin keagamaan lokal untuk mengendalikan berbagai situasi yang berpotensi meledak.

 

Bab 12 menunjukkan bahwa dengan bangkitnya sebuah gerakan nasional yang dirumuskan oleh sebagian aktornya dalam kerangka Islam, para penasihat dan reformis yang menjadi teman sepemahaman mereka akan disalahkan dan dipinggirkan oleh sebuah negara kolonial yang reaksioner, persis sebelum pendudukan Jepang.

 

Dikutip dari Kata Pengantar dalam buku Sejarah Islam di Nusantara.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Sejarah Islam di Nusantara pdf

Sejarah Islam yang hilang pdf

Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer pdf

Filsafat Moral pdf

Kuliah-kuliah tasawuf pdf

Pengantar Filsafat Islam pdf


Dekonstruksi Tradisi Intelektual Islam: Sebuah Pembacaan Filosofis Hassan Hanafi

Diambil dari Islamlib.com

Membaca, secara filosofis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal maupun kesadaran eksternal. Mengapa? Karena membaca adalah memahami. Dalam konteks ini, aktivitas membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, menndalami, mengidentifikasi, dan menginterpretasi dalam orientasi praksis. Untuk itu, terdapat relasionalitas antara pembaca dan yang dibaca dalam orientasi realitas sehingga tidak ada kesenjangan antara teks dan konteks, subjek dan objek. Dengan demikian, membaca adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap objek dengan sentuhan orientasi perubahan.

 

Bahkan, membaca adalah tanggung jawab moral subjek terhadap realitas yang mengelilinginya. Oleh karena itu, seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran hermeneutis. Proses membaca yang demikian itu akan berimplikasi pada terciptanya pola dialog interaktif, bebas dominasi, dan inklusif. Implikasi selanjutnya adalah terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas. Sebab, filsafat bukan semata-mata pikiran yang a-historis, a-sosial, dan a-kultural, melainkan merupakan sistem pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masa tertentu, dibangun oleh suatu generasi bangsa tertentu, dan melayani komunitas sosial tertentu serta mengekspresikan peradaban.

 

Filsuf adalah orang yang memiliki sikap kebudayaan dengan mengambil sikap terhadap tradisi klasik dan mengambil sikap kritis terhadapnya sehingga ia dapat menyingkap selubung persepsi klasik dalam rangka proses teoretisasi lain dengan menggunakan ratio (nalar) dan nature (alam) sebagai dua poros utama ilmu pengetahuan baru. Selain itu, ia juga mengambil sikap kritis terhadap tradisi Barat dengan mereduksikannya ke dalam batas-batas lokalnya. Dengan kata lain, seorang filsuf selalu melakukan internalisasi nilai untuk diproyeksikan pada wilayah praksis. Ia adalah orang yang cenderung pada bendanya sendiri, sebagai orang yang melepaskan diri dari al-manqûl menuju al-ma’qûl melalui observasi, sensasi, dan pengalaman empirik.

 

Sudah saatnya sekarang ini kita (baca: masyarakat muslim) mengeksplorasi perjalanan sejarah, beralih dari merujuk ke masa lampau menuju masa depan dengan berpijak pada pencapaian solusi-solusi yang telah ditawarkan untuk mengatasi problematika masa kini. Peralihan itu bukan berarti mencerabut kehendak masa kini dan mengabaikan tendensi atau kompensasi non-kesadaran dan melarikan kesadaran dari krisis-krisis zaman. Kembali pada masa lampau ataupun berorientasi menuju masa depan kadang merupakan sikap yang menyenangkan apabila di dalam sikap itu mengabaikan masa kini, desersi, tenang, melupakan dan mengompensasikannya. Bahkan sikap kembali pada masa lampau itu merupakan sikap yang tepat apabila bertujuan untuk membahas akar-akar sejarah krisis-krisis zaman sampai pada pencapaian solusi secara mendasar atau planning ke masa depan dan mempersiapkannya sehingga tidak terjebak dalam chaos, anarkisme yang membabi buta, dan kebimbangan.

 

Perspektif yang demikian ini bukan semata-mata berrtujuan mengetahui peristiwa-peristiwa masa lalu dan akumulasi informasi dari dokumen-dokumen, prasasti-prasasti, manuskrip-manuskrip, dan sumber-sumber pokok sebagaimana yang terdapat dalam aliran historisisme yang dominan di Barat pada abad yang lampau dan dalam Historical Reductionism yang mulai dijauhi oleh kajian sejarah kontemporer. Sebab, model ini hanya mengamati peristiwa satu persatu tanpa memberikan makna, signifikansi ataupun hukum (sejarah), lebih mengedepankan ruang daripada waktu, discontinuance daripada continuation. Ia bukan sekadar mengamati berbagai peristiwa seolah-olah kita berada dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang dituangkan ke dalam kesadaran individual. Sejarah merupakan akar dan dasar bagi kesadaran. Ia bukan sekadar memori masa lalu, melainkan alur dan hukum, semangat sejarah. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran sejarah sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran nasional yang memberikan pengalaman-pengalaman sejarah masa lampau untuk melihat masa kini dan beberapa faktor pembentuknya.

 

Masa kini merupakan akumulasi dari masa lampau. Kendatipun berbagai peristiwa terjadi dalam rangkaian waktu, diachronism, namun hal itu mempunyai struktur, synchronism. Masa kini memberikan pencerahan pada masa lampau melalui pemilihan objek dan penarikan kesimpulan. Relasionalitas masa lampau dengan masa kini terjadi hanya dalam satu kesadaran nasional untuk memanifestasikan kontinuitas dalam kepribadian sejarah, untuk mengeksplorasi dan mengamati fase-fase dan alur-alur perkembangannya dalam sejarah. Masa lampau juga dapat membaca masa kini karena masa lampau sebenarnya merupakan faktor pembentuk masa kini. Masa lampau bisa jadi lebih partisipatif pada masa kini daripada masa kini itu sendiri. Manusia ada dalam sejarah dan hidup di dalamnya sedemikian rupa sehingga kesadaran sejarah yang merupakan kesadaran atas masa lampau mendominasi kesadaran atas masa kini dan kesadaran atas masa depan. Oleh karena itu, muncul gerakan-gerakan konservatif yang menyerukan kembali ke masa lampau sebagai satu-satunya jalan menuju kebangkitan masa kini dan mengejar masa depan. Pembacaan masa kini terhadap masa lampau dan pembacaan masa lampau terhadap masa kini merupakan dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan secara berkelindan. Keduanya merupakan dua orientasi untuk satu gerak: “bolak-balik”.

 

Hassan Hanafi, seorang filsuf kelahiran Mesir 13 Februari 1935 M., selalu menjadikan karya tulisnya sebagai persaksian atas dinamika zamannya. Ia selalu mengalunkan nada dekonstruksi-rekonstruksi terhadap realitas yang dibangun berdasarkan atas sikap kritis pada ‘diri’ (baca: tradisi intelektual Islam), sikap kritis terhadap ‘yang lain’ (baca: Barat), dan sikap kritis terhadap realitas. Untuk itu, ia selalu melakukan dialektika ‘diri’ dan ‘yang lain’ dalam orientasi praksis pada realitas aktualnya melalui analisis fungsional-efektif. Tujuannya adalah menyandingkan “tradisi” dan “modernitas” dalam gerak sejarah.

 

Sekarang ini, yang menjadi persoalan utama di dunia Islam bukanlah tajdîd at-turâts (memperbarui tradisi) atau at-turâts wa at-tajdîd (tradisi dan pembaruan), sebab yang menjadi starting point (pijakan) adalah ‘tradisi’. Pembaruan dilakukan dalam rangka kontinuitas kebudayaan nasional, peletakan landasan bagi masa kini, motivasi menuju kemajuan, dan keterlibatan dalam perubahan sosial. Tradisi adalah titik awal sebagai tanggung jawab budaya-kebangsaan, sedangkan pembaruan merupakan reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan tuntutan zaman. Yang lama mendahului yang baru, dan otentisitas menjadi landasan bagi konteks masa kini. Tradisi bukan merupakan fakta tunggal, melainkan ia adalah berbagai kecenderungan dan aliran yang mengekspresikan sikap, kekuatan sosial, ideologi-ideologi, dan berbagai macam pandangan. Untuk itu, tradisi tidak mempunyai eksistensi yang independen, terlepas dari realitas yang dinamis dan selalu berubah, yang mengekspresikan semangat zaman, dan pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Ia merupakan kumpulan interpretasi yang diberikan oleh masing-masing generasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zamannya. Lebih-lebih, bahwa landasan primer yang menjadi sumber kemunculan tradisi itu memungkinkan bagi munculnya kemajemukan (pluralitas). Sebab, yang menjadi landasan dasarnya adalah realitas. Tradisi bukanlah kumpulan akidah yang bersifat teoretis-statis dan fakta-fakta mati yang tidak menerima perubahan, melainkan ia adalah sejumlah realisasi dari banyak teori yang muncul dalam situasi tertentu, dalam kondisi sejarah tertentu, dan dalam kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pandangan mereka tentang alam. Tradisi adalah potensi yang tersembunyi dalam psikologi public.

 

Seorang pemikir harus memiliki jiwa nasionalis dan tidak banci. Itulah pernyataan yang sering kali diucapkan oleh Hassan Hanafi dalam berbagai kesempatan. Dalam konteks inilah dia, yang sejak kecil dirisaukan oleh realitas dunia Islam, khususnya Mesir, yang stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan, berusaha mengembangkan kesadaran, baik kesadaran keagamaan maupun kesadaran filosofis. Ia sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berkutat dan berhenti pada teks dan warisan masa lampau. Di sini ia tidak berhenti pada analisis historis dalam pengertian kembali ke masa lampau maupun analisis epistemologis, melainkan berlanjut pada analisis fungsional-praksis. Ia mempunyai sense of reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya, seperti Ad-Dîn wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqîdah ila ats-Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Qadhâya Mu’âshirah (terdiri atas 2 jilid), dan yang lainnya. Ia sangat konsen pada persoalan-persoalan riil masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan perampasan hak-hak dasar manusia yang banyak terjadi di dunia Islam. Ia sangat risih dengan sistem pelajaran dan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang tidak beranjak dari hafalan dan penumpukan materi klasik tanpa adanya inovasi-kreatif dan penghadapan pada tantangan realitas kontemporer. Bagi Hassan Hanafi, sebuah pemikiran, bahkan risalah keagamaan, tidak ada artinya, bahkan bukan merupakan pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan. Dengan pernyataan tersebut, Hassan Hanafi menunjukkan dirinya tidak hanya sebagai pemikir muslim progresif garda depan, melainkan juga sebagai seorang pengusung strategi kebudayaan yang sangat kritis. Inilah yang membedakannya dari pemikir-pemikir muslim kontemporer lain, seperti Fazlur Rahman yang lebih terfokus pada pencarian metodologi memahami Al-Qur’an dan penyelidikan sejarah intelektual muslim masa Nabi hingga Abad Pertengahan, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang sangat kompeten pada kritik dekonstruktif terhadap nalar Islam klasik; bahkan Nasr Hamid Abu Zaid yang belum banyak beranjak dari posisinya sebagai pengamat pemikiran Islam.

 

Sejak semula Hassan Hanafi selalu mencurahkan perhatiannya pada realitas masyarakat muslim yang stagnan dan terbelakang. Perkembangan pemikiran kritisnya berbarengan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Jerman.

 

Kesadaran Hassan Hanafi atas realitas kehidupan terbangun sejak kecil, yakni sejak masih dalam usia bermain di sekolah dasar. Dari sini, perhatian utamanya adalah seni, tulisan formal, dan pada masa berikutnya adalah musik, yakni ketika ia berada di madrasah tsanawiyah. Kesadaran religius, yakni kesadaran atas hidup, muncul ketika ia berhubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islâm Harkah Ibdâ’iyyah fî al-Fann wa al-Hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Barangkali kekagumannya terhadap Iqbal, Bergson, Guyau, Nietzsche, dan setelah itu Dilthey, Driesch, dan Husserl hanyalah karena mereka adalah filsuf-filsuf kehidupan. Inilah yang pada akhirnya membangun hermeneutika Hassan Hanafi yang berangkat dari pengalaman yang dinamis dan kekaguman terhadap kaum romantisme Jerman, yaitu orang-orang yang keluar dari dan sekaligus melawan Hegel, seperti Schleiermacher dan Kierkegaard, dan seluruh peletak hermeneutika kontemporer. Hassan Hanafi tenggelam dalam sejarah filsafat. Dia sangat gandrung kepada tokoh-tokoh “murtad”, seperti Spinoza dan Kierkegaard.

 

Kesadaran (pemikiran) filosofis Hassan Hanafi sudah dimulai sejak ia berkenalan dengan Idealisme Jerman, terutama Fichte, filsafat perlawanan dan ego yang menempatkan subjek ego berlawanan dengan non-ego dan pelajaran tentang petunjuk yang simetris antara subjek, objek, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl. Idelisme-tran[1]sendentalisme Jerman dijadikan sebagai titik permulaan filsafat Barat bersama-sama dengan filsafat esensialisme Iqbal. Diskursus tentang kesadaran adalah diskursus hati ke hati. Pada tahap ini, Hassan Hanafi adalah penganut idealisme-esensialisme. Itulah yang pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek At-Turâts wa at-Tajdîdâh (Tradisi dan Modernitas).

 

Namun demikian, konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi pada dasarnya ditemukan dan dibentuk di Prancis pada paro akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, Paris menjadi pusat utama pemikiran filsafat kontemporer di dunia. Di sinilah tempat pemikiran-pemikiran yang dominan pada era 1970-an diformulasikan. Di tempat ini Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealisme ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoretis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zurück zu den Sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri)-nya Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai esensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi: manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan, kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being and Time (Ada dan Waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontologi).

 

Namun demikian, sebagaimana yang diakuinya sendiri, Hassan Hanafi sejak semula (baca:kecil) cenderung lebih mengagumi Geist (spirit) dan idealisme Jerman, dan penyatuan spirit dan fisik daripada yang lain. Makalah pertama yang ditulis semasa di universitas adalah Al-Khashâ’ish al-Musytarikah bain ar-Rûh al-‘Arâbiyyah wa ar-Rûh al-’Ilmâniyyah. Spiritualitas kedua peradaban itu adalah seruan kepada ide, alam, potensi, nalar, otoritas, dan sistem. Kekaguman itu terus berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu, ketika ia memahami idealisme Jerman dengan sempurna maka ia menjadi fenomenolog, menjadi “Fichte”, sang filsuf tanah yang handal, filsuf oposisi, filsuf penggerak nasionalisme, dan menjadi Hegelian Kiri pasca neo-Kantian. Demikian itu jika dikaitkan dengan kondisi objektif kehidupan bangsa Arab yang didominasi oleh tradisi klasik. Artinya, Hassan Hanafi hendak mentransformasikan agama ke dalam filsafat berdasarkan filsafat Hegel, mentransformasikan filsafat ke dalam dunia berdasarkan filsafat Feuerbach.

 

Perhatian Hassan Hanafi terhadap filsafat Islam sudah terbangun semenjak dia masih di Mesir, sebelum berangkat ke Prancis. Di luar kampus ia membaca karya-karya Hassan al-Banna, Sayyid Quthub, Abu al-Hassan an-Nadwi, Muhammad al-Ghazali dan pemikir-pemikir muslim kontemporer ternama lainnya. Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari akan kebangkitan Islam dan umat Islam, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa depan, dan misi kehidupannya. Dalam graduasi pengalaman kampus ia mendengar pengetahuan tentang sepuluh akal, akal aktif, esensi dan atribut, dan fisika Ibn Sina. Semua pengetahuan itu terasa asing dan seolah-olah bukan merupakan bagian dari tradisi Islam. Jiwanya berada di tengah-tengah kaum pembaru, namun nalar (rasio kritis)-nya berada di kampus yang kosong dari diskursus tentang problematika dan tantangan yang dihadapi umat Islam dan dunia Islam. Kenyataan seperti ini muncul akibat metode pengajaran di universitas yang menggunakan sistem imla’ dan talqin. Saat itu ia mencabut diri dari filsafat Islam sebagaimana ia melepaskan diri dari Ilmu Kalam yang semata-mata bersifat teoretis dan tidak menyentuh realitas kehidupan umat Islam. Pengajaran hanya diberikan untuk membaca dan menghafal masa lampau, sama sekali tidak ada refleksi terhadap masa kini. Metode pengajaran dan materi kuliah tidak bersentuhan sama sekali dengan realitas di luar kelas. Dalam konteks ini ia berada pada posisi minoritas. Ketika mempelajari tasawuf, untuk yang pertama kalinya ia menyadari urgensi kembali pada Al-Qur’an sebagai neraca utama, urgensi relasi antara tauhid Islam dan wahdah asy-syuhûd wa wahdah al-wujûd sebagaimana yang dinyatakan kaum Sufi.

 

Pada tahun yang sama, yakni ketika Hassan Hanafi berada pada tingkat tiga, dia mendengar Iqbal yang berbicara tentang makna hidup, penciptaan, inovasi, potensi, jihad, esensialisme, dan masyarakat. Di situ ia menyadari bahwa pemikiran Islam itu mengakumulasikan masa lampau dan masa kini, dan melakukan konseptualisasi terhadap realitas umat Islam. Hal ini berbeda dengan teori-teori sepuluh akal, esensi dan atribut, serta maqâmât dan ahwâl. Inilah jenis filsafat yang diinginkan Hassan Hanafi. Dia menempatkan Iqbal vis-a-vis Kierkegaard, Sartre, Marcel dan kaum eksistensialis lainnya. Dari sini ia mulai aktif untuk membuat sebuah paradigma Islam yang universal, yang didasarkan pada nalar baik dan buruk, kesatuan kebenaran, kebaikan dan keindahan (estetika).

 

Krisis kehidupan intelektual di berbagai universitas di Mesir, penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin, dan krisis penelitian intelektual Islam yang dikombinasikan dengan krisis diri Hassan Hanafi pada akhirnya memberi dukungan kepada dirinya untuk berkonsentrasi pada proyek pembaruan Islam. Pada titik ini ia menyatakan:

“aku ke masjid Umar dan membaca Al-Qur’an. Di sinilah untuk pertama kalinya aku merasakan intuisi filosofis Al-Qur’an, urgensi dunia kesadaran dan kepekaan, dan tuntutan kontinuitas perjuangan ...” “Tak ada waktu luang untuk musik maupun bermain biola. Ide Islam kontemporer mulai berdengung di telingaku seperti sebuah melodi. Melodi musik itu kosong tanpa muatan ide-intelektual. Aku tidak bisa tetap di Mesir. Apa yang akan aku pelajari?”

 

Oleh karena itu, di dalam diri Hassan Hanafi mengalir dua kesadaran, yakni cogito rasionalisme dan ego eksistensialisme yang direpresentasikan dalam delapan tahun masa hidupnya: idealisme[1]rasionalisme (1956–1960) dan realisme-eksistensialisme (1961–1966). Namun demikian, dia tetap menjaga optimisme idealisme dan mengabaikan pesimisme eksistensialisme, menjaga peranan nalar (‘aql) dalam idealisme dan meninggalkan irasionalitas dalam eksistensialisme, mempertahankan argumentasi pragmatisme dalam idealisme dan menggusur ketidakbergunaan dalam eksistensialisme. Menurutnya, nalar dan realitas sama-sama berorientasi pada satu tindakan: praksis. Adapun yang membuatnya bahagia adalah ketika ia menemukan pandangan tersebut di dalam salah satu bab dari buku Logische Untersuchungen jilid I karya Husserl. Ketika ia melepaskan tradisi agama dari sumber wahyu, maka sempurnalah kesatuan wahyu, nalar, dan realitas. Kesatuan ini menjadi bagian terakhir dari karyanya yang bertitel Manâhij at-Tafsîr (Les Méthodes d’Exégèse). Inilah yang mendorong Hassan Hanafi melakukan penerjemahan karya-karya tentang “agama rasional” (Kant) dan “agama natural” (Lessing). Pada saat itu, Hassan Hanafi lebih dekat pada wahdah al-wujûd (unitas eksistensi) dalam pengertian kehendak subjektif sebagaimana dalam pandangan Ficthe, bukan dalam pengertian abstrak dalam pandangan Schelling, yang melakukan singkronisasi idealisme-subjektif Fichte dan idealisme-objektif Hegel dalam membentuk filsafat identitas. Dia membaca, hidup, berpikir, dan beraksi. Sampai sekarang, baginya, romantisme adalah titik pertemuan antara idealisme dan eksistensialisme, titik pertemuan antara kesadaran dan kehidupan. Di sini, proyek Hassan Hanafi yang ingin menciptakan metodologi dan teologi Islam baru yang universal-komprehensif terus berlanjut namun pendekatannya berubah.

 

Orang yang memiliki andil besar dalam konstruk filosofis Hassan Hanafi adalah Jean Guitton. Ia adalah murid Bergson yang menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat di Sorbonne University dan sebagai tokoh pentolan modernis Katolik Roma. Dialah yang memandu Hassan Hanafi dalam membaca dan mengkaji filsafat Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam hal-hal praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton sangat tepat bagi pengembangan pemahaman Hassan Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hassan Hanafi banyak belajar dari Guitton tentang urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan yang diperdalam oleh seorang filsuf dan setelah itu digeneralisasikan sedemikian rupa sampai pada metafisika murni. Dialah yang sangat berpengaruh bagi kesadaran Hassan Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari idealisme ke realisme, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi. Dengan demikian, relasi Hassan Hanafi dengan Guitton adalah seperti relasi Aristoteles dengan Plato, Marx dengan Feuerbach, dan Feuerbach dengan Hegel. Dia mengembangkannya dari idea ke realitas, dari spirit ke dunia, dari kesadaran personal ke kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dari agama ke revolusi, dari Barat ke Timur, dari Masehisme ke Islam.

 

Hassan Hanafi menggunakan kritik negatif padahal Guitton ingin melestarikan kaidah-kaidah keimanan. Dia mengonstruk Teologi Revolusi padahal Guitton takut menjadi Marxisme dan bahwa ia takut kekerasan (violence) dan keimanan akan dirasuki hal-hal yang bukan merupakan bagian dari iman. Karena itu, aliran-aliran filsafat akan berkembang melalui kontradiksi dan akan mati dan berakhir melalui keseragaman.

 

Hassan Hanafi berangkat dengan metode dasar sosio-legal pemikiran Islam, memanfaatkan perspektif yang mengakumulasikan perspektif-perspektif Islam tentang ta’wîl (interpretasi esoteris) dan tafsîr (Quranic exegesis) dengan pendekatan-pendekatan kontemporer, yakni dengan menggunakan analisis filsafat dalam rangka membongkar kebekuan (stagnasi) generasi muslim. Untuk itu, ia menulis karya monumental bertitel Les Méthodes d’Exégèse: essai sur La Science des Fondements de la Compréhension “’Ilm Ushul al-Fiqh” (Metode Penafsiran: Essai tentang Ilmu Pengetahuan Dasar-Dasar Pemahaman dalam Bidang Ushul Fiqh). Karya ini merupakan upaya pertamanya merekonstruksi peradaban Islam pada level kesadaran untuk mengeksplorasi diri-subjektif sehingga dapat melakukan pemilihan kembali terhadaap sumber dan pusat peradaban dan mentransformasikannya dari teosentris, yakni peradaban yang berpusat pada Tuhan, ke antroposentris, yakni peradaban yang berpusat pada manusia. Introduksi yang ditulis adalah permulaan bagi proyek At-Turâts wa at-Tajdîd tentang kritik terhadap metode-metode kaum orientalis dan Islamisis dalam mengkaji “tradisi”, pembuatan metode analisis pengalaman-pengalaman kesadaran, dan deskripsi praksis-praksis pseudo-morfologi linguistik. Dalam hal ini ia tidak hanya berkutat pada aras epistemologis, tetapi ia ingin melakukan pembebasan manusia dari berbagai penindasan dan ketidakberdayaan. Inilah yang membedakannya dari Arkoun maupun Al-Jabiri.

 

Hassan Hanafi tidak menutup mata terhadap fenomena riil Dunia Islam yang tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat. Oleh karena itu, ia melakukan kajian terhadap perkembangan kesadaran filosofis Eropa dengan kacamata kesadaran non-Eropa. Orientasinya adalah melihat kesadaran Eropa dengan kesadaran distingtif yang netral-objektif. Hal ini dilakukan setelah ia melakukan pembacaan kritis terhadap filsafat Eropa yang bermula pada cogito-eksklusif Descartes dan berakhir pada cogito-inklusif Husserl, dan mengkomparasikan rasionalisme dengan eksistensialisme. Ia ingin mendeklarasikan akhir dari kesadaran Eropa dan permulaan kesadaran Dunia Ketiga yang direpresentasikan oleh peradaban bangsa-bangsa non-Eropa: Mesir, Cina, dan India. Pada saat itu Mesir telah mendominasi dunia dengan pembebasan dan sosialismenya. Seluruh dunia berbicara tentang gerakan-gerakan pembebasan nasional yang terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Perang kemerdekaan nasional Aljazair sangat dominan di Prancis dan dinamika Latin menjadi sumber revolusi dunia.

 

Hassan Hanafi merelasikan aliran-aliran filsafat Eropa dengan hukum aksi dan reaksi. Untuk itu, konstruk kesadaran Eropa terdiri atas gelombang kesadaran imanen (nâzil) yang direpresentasikan oleh empirisme dan gelombang transenden (shâ’id) yang direpresentasikan oleh rasionalisme serta aliran-aliran filsafat kehidupan dan filsafat ke[1]hendak yang bergelayutan di antara empirisme dan rasionalisme. Di situlah terdapat naturalisme, spiritualisme, dan eksistensialisme. Sumber utama evolusi kesadaran Eropa adalah Yunani-Romawi dan Yahudi-Masehi. Di sini Hassan Hanafi berkonsentrasi pada perkembangan pemahaman agama bangsa Eropa yang berawal dan berakhir pada Kant (agama rasional) dan Kierkegaard (agama eksistensial).

 

Setelah melakukan pembacaan atas Husserl, berkenalan dengan fenomenologi, dan permulaan kesadaran personal-individual dan kesadaran peradaban, Hassan Hanafi melahirkan karya yang bertitel L’Exégèse de la Phénoménologie, L’ Etat actuel de la Méthode Phénoménologique et son application au phénomène religieux (Tafsir Fenomenologi: Status Quo Metode Fenomenologi dan Implikasinya pada Fenomena Agama). Di dalam karya ini ia menggunakan metode interpretasi untuk memahami fenomenologi dan mentransformasikannya ke dalam fenomenologi implikatif-dinamis dan menginterpretasikannya sebagai intuisi-religius-ideal. Rujukan implikasinya adalah dalam fenomena agama, filsafat agama, filsafat mediasi, dan filsafat konsepsi, dalam fenomenologi agama, fenomenologi objek, aksi, ataupun interpretasi. Jika diasumsikan bahwa fenomenologi adalah teori tentang konsepsi kesadaran personal dan kesadaran peradaban Eropa, terutama yang berkaitan dengan upaya peletakan kaidah-kidah metodologi fenomenologi dalam tiga hal: penangguhan, pembangunan, dan penjelasan nilai yang dahulu Bangsa Eropa hanya mengenal dua hal, maka ia membawa angin baru. Dalam kerangka ini, filsafat Barat dalam pandangan Hassan Hanafi, khususnya idealisme transendental, adalah reinkarnasi Khatbah di Atas Bukit-nya Al-Masih, sedangkan Kant dan Fichte hanyalah neo-al-Masih.

 

Dengan menggunakan kekuatan analisis fenomenologis Hassan Hanafi juga melahirkan karya ilmiah yang ketiga dengan titel La Phénoménologie de L’Exégèse, Essai d’une Herméneutique existentielle a partior du Nouveau Testament (Fenomenologi Interpretasi: Upaya Penafsiran Eksistensialis yang Dimulai dari Perjanjian Baru). Karya ini merupakan implikasi khusus dari metodologi fenomenologi dalam fenomena agama. Ia menggunakan Perjanjian Baru sebagai starting point yang disignifikansikan dengan tiga teori kesadaran, yakni historis, spekulatif, dan praksis. dari situ kemudian lahirlah karya yang bertitel Pengantar Studi Filsafat. Di sini, Hassan Hanafi mencoba menemukan korelasi teks dan realitas dalam kasus Perjanjian Baru. Di sinilah ilmu kritik historis terhadap kitab suci mulai dikenal di samping aneka ragam kritik, khususnya yang konservatif, liberal, dan aliran sejarah bentuk sastra. Realitas adalah basis teks dan teks berkembang mengikuti perkembangan realitas. Di samping itu, pengalaman manusia juga berada di belakang teks. Bahkan sebenarnya, kalam Tuhan adalah kalam manusia yang terbentuk oleh eksperimen dan pengalamannya. Jadi, eksistensi manusia, baik personal maupun komunal, merupakan sumber kelahiran teks.

 

Proyek untuk menyandingkan ‘tradisi’ dan ‘modernitas’ direalisasikan oleh Hassan Hanafi dengan melakukan pembacaan kritis terhadap tradisi dengan landasan analisis fungsional-efektif. Ia sangat menghindari generalisasi dan reduksi. Sebab ia menyadari bahwa intensionalitas pembaca (al-qâri`) memberikan peluang terhadap “relativitas sebab yang melahirkan pluralitas akibat”. Tekanan pada intensionalitas subjek berakibat pada pengorbanan objektivitas teks demi kepentingan subjek (al-qâri`). Subjek sangat dominan dalam menentukan makna teks. Dari sinilah akan muncul pluralitas tafsir yang berarti juga pluralitas intensionalitas dan prestasi. Akibatnya, aroma stagnasi pemikiran dan strategi kebudayaan dapat dibongkar. Masyarakat tidak lagi berselimut dalam ketidakberdayaan, melainkan akan selalu bergerak mewarnai gerak zaman dan berlomba menorehkan tinta emas dalam sejarah.

 

Pemikiran Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek diri (al-Ana, Self) dan yang lain (al-Akhar, Other) dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer. Teori pengetahuan Hassan Hanafi mempunyai paradigma kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Untuk itu, terjadi sebuah relasi kesadaran subjek dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-unifikatif di antara subjek, objek, dan kesadaran.

 

Kesadaran manusia terhadap apa yang dilakukan akan menghasilkan keabadian. Keabadian merupakan perbuatan manusia dalam sejarah peradaban. Melalui perbuatan atau tindakan, manusia dapat mengenali kesatuan antara yang faktual dan yang ideal, dan dapat mentransformasikan kesatuan yang hanya merupakan proyeksi menjadi kesatuan yang sebenarnya. Tauhid bukanlah sebuah fakta, realitas, ataupun gagasan, melainkan merupakan sebuah proses yang tercipta melalui tindakan manusia. Dalam hal ini, subjek merupakan pusat kesadaran; realitas dipandang sebagai fenomena yang ditangkap sebagai data, dan data, bagi Hassan Hanafi, merupakan dasar praksis manusia.

 

Kesadaran tidak pernah bersifat pasif. Menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Sesuatu yang disadari dijadikan sebagai sesuatu yang-ada-bagi-saya. Kesadaran tidak seperti cermin atau foto. Kesadaran merupakan praksis, tindakan. Untuk itu terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek kesadaran (noema). Kendatipun demikian, interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur yang sama-sama penting karena pada akhirnya yang tersisa hanya kesadaran. Objek yang disadari (noema) hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Di sini tidak ada bipolaritas ‘kesadaran dan alam’, ‘subjek dan objek’ dan mengatasi cogito Cartesian yang tertutup.

 

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bagaimana corak atau watak pemikiran Hassan Hanafi yang hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai anak zaman, Dia merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis intelektual dengan penekanan pada rasionalitas.

 

Hassan Hanafi merupakan seorang reformis pemikiran Islam yang telah berusaha keras untuk mengakumulasikan pemikiran fenomenologi dengan aplikasi metodologi dialektika yang didasarkan pada kesadaran. Semua ini dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat muslim dari keterbelakangan dan determinasi, baik internal maupun eksternal. Sebagai pemikir yang menyadari urgensi historisitas, dia senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam rangka menapaki kehidupan kontemporer. Oleh karenanya, ia senantiasa berupaya melakukan rekonstruksi terhadap tradisi yang merupakan fakta sejarah dalam menjawab problema kontemporer. Inilah yang membuat corak pemikirannya berwatak dinamis dan progresif yang dibingkai dalam proyek At-Turâts wa At-Tajdîd (Tradisi dan Modernitas). Dengan demikian, ia adalah salah seorang pemikir post-tradisionalis yang berupaya melakukan dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi terhadap tradisi.

 

Hassan Hanafi memandang dirinya sebagai “penyulut obor” bagi zamannya dalam upaya memberi pencerahan (at-tanwîr, aufklarung). Ia merupakan seorang pemikir yang menggunakan rasionalitas di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan aspek perasaan manusia. Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan kekuatan perasaan selalu diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu mampu lebih aktual. Artinya, di samping tuntutan relevansi dengan jalan pikiran manusia, ia sekaligus memberi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia. Aspek rasio dan konteks tuntutan umat harus menjadi starting point bagi sebuah pemikiran.

 

Buku Studi Filsafat ini, yang diterjemahkan dari buku Dirâsât Falsafiyyah, merupakan buku yang memuat eksplanasi dan eksplorasi tentang transformasi yang terjadi dalam upaya mengarahkan cita-cita masyarakat pada tahun 80-an tentang strategi kebudayaan maupun siklus-siklus keilmuan. Buku ini tidak berisi tentang teori-teori filsafat yang idealistik dan terkesan mengawang-awang, melainkan berisi tentang filsafat Islam, terutama pemikiran Islam kontemporer dalam tema-tema pokok tentang tradisi dan reformasi. Pada bagian ini Hassan Hanafi berbicara tentang persoalan-persoalan tradisi, strategi kebudayaan, kebangkitan kebudayaan, filsafat, politik, dan perubahan sosial yang didasarkan pada pengalaman Mesir. Hassan Hanafi juga melengkapi tulisannya dengan mengupas persoalan tentang Filsafat Barat Modern dalam pandangan Kant dan Vico serta Filsafat Barat Kontemporer dalam pandangan Feuerbach dan Ortega. Dengan demikian, pembaca diajak untuk melanglang buana dalam proses dialektika menuju identitas sebagai pribadi-pribadi yang berpikiran sehat dan mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang sedang menyelimuti realitas yang mengelilinginya

 

Dikutip dari Miftah Faqih dalam Pengantar Penerjemah buku Studi Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Studi Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer pdf

Studi Filsafat II; Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern pdf

Trajektori Historisitas Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 140-1680

Diambil dari spotwisata.com

Sejarawan Perancis, Lucien Febvre, dalam mengkritik pendekatan Toynbee yang terlalu disederhanakan, memberikan tamsil. Seorang raja pada menit terakhir sebelum maut datang menjemput, meminta wazir istana menceritakan keseluruhan sejarah dari dahulu sampai sekarang. "Baginda," kata wazir yang bijaksana itu, "manusia-manusia itu lahir, mencintai, dan meninggal."

 

Begitu naifnya pendekatan sejarah semacam itu, seakan-akan orang (termasuk raja) tidak butuh makan dan minum, tidak perlu busana, kecuali lahir-kawin-mati. Memang dapat dimengerti sikap wazir tersebut, sang raja sedang sekarat, tidak punya waktu lagi untuk mendengar sejarah yang berpanjang lebar. Namun dalam keadaan normal yang dibutuhkan adalah sejarah total. Sejarah yang tidak hanya terpaku kepada raja dan lingkungan istana. Tidak terbatas kepada persoalan politik dan perang, tetapi menyangkut semua aspek kehidupan, dengan kata lain berdimensi multidispliner.

 

Buku yang ditulis oleh Anthony Reid ini termasuk dalam jenis sejarah total, bahkan termasuk yang pertama mengenai Asia Tenggara yang memakai pendekatan tersebut. Buku ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama (terbit tahun 1988) telah diterjemahkan oleh Mochtar Pabottingi ke dalam bahasa Indonesia tahun 1992 dengan judul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid l· Tanah di Bawah Angin (dengan kata pengantar dari Onghokham). Sedangkan jilid II terbit tahun 1993 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun ini (1999).

 

Kedua volume pernah diterbitkan dalam satu buku oleh Silkworm Press (Chiang Mai, 1995) dengan tujuan memberikan kesempatan untuk menilai sumbangan buku ini bagi studi Asia Tenggara. Tidak diragukan lagi bahwa kajian Reid yang ambisius dan berlingkup luas telah menarik perhatian ilmuwan Asia Tenggara bahkan yang berada di luar wilayah ini. Ini menjadi pendorong untuk membuat studi lanjutan tentang wilayah ini pada periode yang lain.

 

Menurut Norman G. Owen, sejarah Asia Tenggara dapat dibagi menjadi tiga periode panjang. Pertama, era klasik yang menghasilkan candi besar seperti Borobudur, Angkor, dan Pagan. Kedua, zaman modem yang ditandai dengan kolonialisme dan pascakolonialisme. Terjepit di tengah adalah masa tradisional, dari abad ke-13 sampai ke-18. Periode ini cenderung tampil statis, kontras dengan masa pembangunan monumen pada negara klasik dan dinamika perdagangan dari kolonialis modern.

 

Namun kesimpulan kita akan berubah dengan munculnya buku Reid. Jilid 1, The Landt; Below the Wmds, dilengkapi dengan rincian tentang kehidupan sehari-hari dari makanan sampai minuman, perbudakan serta praktik seksual di kerajaan-kerajaan dengan bahasa, agama, dan adat yang berlainan. Jilid II lebih ambisius. Reid mencoba menggambarkan kurun niaga yang disertai urbanisasi, revolusi keagamaan dan kebangkitan monarki absolut yang berkembang abad ke-15 dan runtuh abad ke-17 di kawasan ini. Jilid I ibarat gambar (lukisan) sedangkan jilid II adalah kisah.

 

Buku ini memiliki berbagai kelebihan. Mengumpulkan data saja dari masyarakat berbagai negara di Asia Tenggara sudah merupakan pekerjaan luar biasa. Kepustakaannya terdiri 500 sumber dari lebih 20 bahasa Eropa dan Asia. Juga disertakan peta dan ilustrasi (kapal, senjata, tanaman rempah dan benteng, raja, saudagar, kuil, dan masjid).

 

Pendekatan komparatif sering memperjelas sesuatu yang tampak kabur bila dilihat dalam konteks terbatas pada satu negara: kejayaan alat tukar perak, "revolusi kemiliteran" (senjata api dan perahu bermeriam), kebangkitan dan kejatuhan komunitas pedagang asing, kecenderungan penguasa memeras warganya (dengan meminta sepersepuluh sampai sepertiga dari seluruh hasil tanah mereka). Reid juga menengarai kesejajaran di antara agama-agama baru dalam hubungannya dengan kesejahteraan, keberanian berperang, tulisan, dan penyembuhan.

 

Upaya untuk mencocokkan pengembangan khas lokal dengan pola umum regional tentu menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi di sinilah terletak kekuatan buku Reid, bukan kelemahannya. Sebagaimana halnya karya Fernand Braudel La Mediterranee et le monde mediterran een a /' epoque de Philippe (Mediterania dan Dunia Mediterania pada Masa Philip II) menjadi sebuah model bagi satu generasi sejarawan Eropa, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, berdasar model Braudel, untuk tahun-tahun mendatang, menjadi titik tolak kajian sejarah total kawasan ini.

 

Reid melontarkan ide bahwa Asia Tenggara yang miskin, rural, dan inward-looking yang dihadapi oleh para kolonialis Eropa abad XIX adalah produk dari defisit budaya yang inheren. Padahal sebelurnnya, Asia Tenggara relatif sejahtera, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi dan terbuka terhadap serangkaian ide dan teknologi yang menjanjikan peningkatan kebutuhan material dan spiritual. Jauh dari kekurangan etos ekonomi seperti diklaim belakangan oleh kolonialis: seorang Jawa, seperti dikatakan oleh seorang penjabat Belanda tahun 1600, "mau menjual ayahnya sendiri untuk mendapatkan sedikit uang."

 

Era kesejahteraan yang berlandaskan perdagangan ternyata tidak berumur panjang. Kurun Niaga Asia Tenggara yang pertama dihancurkan oleh krisis abad XVII yang disebabkan oleh alasan yang sekarang cukup familiar: pemerintah yang lebih kuat dan lebih boros memeras sampai mati para saudagar yang telah berjasa membangun ekonomi negara; penurunan secara umum dalam perdagangan dunia, yang berkaitan dengan krisis moneter internasional; dan upaya penciptaan monopoli regional dan perubahan iklim global.

 

Tidak ada buku sebelum ini yang begitu memerhatikan kehidupan sehari-hari orang biasa di Asia Tenggara. Jilid dua dapat dibaca tersendiri sebagai penjelasan tentang apa makna abad perdagangan itu sebagai suatu periode bagi Asia Tenggara. Tetapi bersamaan dengan jilid pertama, The Lands Below the Winds tujuannya adalah menyampaikan sebuah "sejarah total" yang di dalamnya peperangan, dinasti kerajaan dan pedagang asing tidak lagi menjadi prioritas melebihi masalah makanan, kesehatan, dan hiburan bagi orang awam.

 

Anthony Reid berkeyakinan bahwa memandang Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan, memungkinkan kita untuk menerangkan sejumlah bidang ke hidupan yang, jika tidak, akan tetap tinggal kabur. Ini lantaran, untuk setiap bidang budaya, sumber-sumbernya sangat fragmentaris. Jika kita menelaahnya bersama-sama, suatu gambaran yang padu tentang gaya hidup di kawasan tersebut secara keseluruhan mulai muncul. Sekalipun sangat beragam dalam ha! bahasa dan kebudayaan, kawasan ini berhadapan dengan keadaan cuaca, lingkungan dan perdagangan yang sama, dan karena itu mengembangkan seperang· kat kebudayaan material yang sangat mirip.

 

Tujuan studi ini ialah untuk menunjukkan bagaimana sejarah total dapat menampilkan masalah-masalah yang penting selama dua abad sebelum tegaknya hegemoni niaga Belanda di Asia Tenggara. Sejauh dimungkinkan oleh ketersediaan sumber, penulisnya telah memusatkan perhatian pada hal-hal dan perubahan-perubahan yang paling memengaruhi penduduk secara luas. Jadi perhatian bukan lagi ditujukan semata-mata kepada para penguasa atau tokoh-tokoh asing sebagaimana dalam buku sejarah Asia Tenggara lazimnya.

 

Buku jilid II ini menjelaskan proses keterlibatan Asia Tenggara dalam pe.rdagangan intemasional pada bab pertama. Fokus bah kedua adalah kota-kota maritim dan pelaksanaan perdagangan di bawah perlindungan raja. Bab ketiga menguraikan interaksi kompleks antara lingkungan ekonomi dengan agama dunia (terutama Islam dan Kristen), dan bagaimana peningkatan "rasionalisasi" kepercayaan lokal dapat membantu semangat dagang. Bab keempat mendiskusikan implikasi keberhasilan ekonomi tersebut. Penguasa absolut yang menguasai pelabuhan besar menjadi kuat karena kemampuan mereka memonopoli perdagangan lokal dan akses mereka terhadap teknologi militer Eropa. Meskipun demikian, penguasa kerajaan itu meninggalkan persoalan mendasar, karena kurun niaga "gagal menciptakan model yang memuaskan bagaimana pemerintah dapat kuat dan sekaligus mematuhi hukum."

 

Bab lima membahas asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara. Kemiskinan yang berasal dari kontrol Eropa terhadap kota-kota yang dominan di pesisir Asia Tenggara, kemunduran politik, pola musim yang tidak menguntungkan, penarikan diri dari perdagangan internasional, membantu menciptakan "krisis abad ke-17" yang dari situ dapat ditelusuri "keterbelakangan" (underdevelopment) Asia Tenggara yang masih tersisa sampai hari ini.

 

Tesis dasar dari buku jilid dua adalah perubahan dalam ekonomi maritim internasional mulai tahun 1450 mendorong kesejahteraan perdagangan yang sebelumnya tidak memiliki preseden, bersama-sama dengan kosmopolitan isme kultural clan suatu kecenderungan menuju politik yang tersentralisasi di seluruh Asia Tenggara yang berlanjut sampai penurunan ekonomi medio abad ke-17. (Victor Lieberman, 1995, halaman 797)

 

Reid memulai buku ini dengan menggambarkan pertumbuhan permintaan Eropa, Lautan India, clan Cina terhadap produk Asia Tenggara. Stimulus perdagangan maritim disajikan sebagai penggerak utama perubahan. Dengan mempergunakan sumber primer clan sekunder dari 5-6 bahasa yang berbeda, Reid secara kuantitatif menggambarkan perdagangan lada, rempah-rempah, tekstil, dan perdagangan intraregional. Kemudian ia secara sistematis menganalisis dampak dari ekspansi perdagangan terhadap monetisasi lokal, kredit clan struktur pasar, organisasi pedagang, kehidupan perkotaan, praktik agama.

 

Berbeda dengan periode sesudahnya, antara tahun 1450..1630, pedagang clan pelaut Asia Tenggara (orang Melayu, Mon, clan Pesisir Utara) menjadi aktor utama, bersaing dengan Portugis clan India. Urbanisasi memperlihatkan vitalitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 1650 sekitar sejuta penduduk atau 5 O/o dari keseluruhan populasi di wilayah ini, tinggal di kota yang berpenduduk 30.000 orang atau lebih, sebuah proporsi yang jauh lebih besar dari Eropa Utara.

 

Kemudian, di Nusantara, kota-kota baru dan pasar menciptakan jaringan untuk penyebaran Islam clan Kristen yang disebut Reid sebagai revolusi agama. Animisme yang selama ini menjadi agama Asia Tenggara berhadapan dengan agama kitab suci. Reid menggambarkan bagaimana konversi agama ini terjadi dari animisme menjadi Islam atau Kristen.

 

Perubahan clan Kesinambungan

 

Kurun niaga telah mengubah Asia Tenggara clan memungkinkannya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Cengkih, pala, lada, clan kayu cendana yang dihasilkannya merupakan komoditas utama dalam perdagangan antarbenua: geografinya memungkinkan banyak terlibat dalam perdagangan maritim, sistem politiknya sangat terbuka bagi pengaruh dari luar. Melonjaknya jumlah rempah-rempah Maluku di Laut Tengah, sangat banyaknya armada Cina yang dikirim ke Asia Tenggara dan ekspor lada secara besar-besar, tampaknya berawal di sekitar tahun 1400. Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu berlangsung dalam tahun 1570-1630. Setelah itu mulai berlangsung penurunan yang mencapai titik bawahnya pada tahun 1680.

 

Braudel mengatakan dengan tanpa mengecilkan peranan dari individu dan keadaan, ia yakin bahwa masa pertumbuhan ekonomi selama abad ke-15 dan ke-16 menciptakan situasi yang senantiasa bermanfaat bagi negara-negara yang besar dan kecil. Dalam kurun niaga terjadi perubahan besar, kota-kota bermunculan dan menjadi makmur, daerah tertentu di Asia Tenggara beralih menganut agama besar yang universal dan sebagian besar penduduknya bergantung kepada perdagangan internasional untuk sumber hidup, pakaian bahkan makanan.

 

Kurun niaga ditandai oleh inovasi berkesinambungan, oleh penggunaan dan penerimaan secara terus-menerus gagasan-gagasan baru. Kota-kota berpasar yang multietnik itu menentukan derap perubahan dan menyebabkan orang-orang Asia Tenggara terlibat dalam perdagangan dunia.

 

Baik kaum Marxis maupun nasionalis generasi masa lalu, sama-sama percaya bahwa pernah ada evolusi yang "wajar" dari masyarakat-masyarakat Asia ke arah kapitalisme namun kemudian terhalang di sekitar masa modern karena distorsi kolonialisme. Untungnya, kini makin sedikit pendapat bahwa kapitalisme merupakan tahapan yang harus dilalui setiap masyarakat dalam perkembangannya. Dipisahkan dari feodalisme Eropa dan sosialisme seperti diramalkan Marxisme, maka kapitalisme kehilangan sebagian besar manfaatnya sebagai suatu kategori. Seperti dikemukakan Braudel, kapitalisme (istilah yang tidak pernah digunakan oleh Karl Marx) tidak ada dalam masyarakat praindustri kecuali sebagai "sesuatu yang terpisah, yang berbeda dan sesungguhnya asing dari konteks sosial dan ekonomi yang mengitarinya."

 

Namun dalam kenyataannya, kata sifat itu banyak manfaatnya. Di Asia Tenggara sedikit banyaknya terdapat pelaku-pelaku kapitalis (khususnya dalam perdagangan antarbenua), institusi-institusi kapitalis dan metode-metode kapitalis, seperti juga di Eropa dan tempat-tempat lain. Bahkan kawasan ini dalam puncak kurun niaga telah berkembang lebih jauh dibanding dengan bagian dunia lain yang juga bertumpu pada perdagangan maritim, hanya saja kurang berkembang ke arah akumulasi dan mobilisasi modal milik pribadi dan perusahaan-perusahaan.

 

Sementara itu, institusi kapitalis yang paling berhasil di Asia Tenggara (dan mungkin di seluruh dunia) dalam abad ke-17 adalah voe (Vereenigde Oost Jndische Compagnie). Permintaan dunia akan rempah-rempah yang telah mendorong komersialisasi sepanjang kurun niaga itu, menjadi sebab mengapa kekuatan dunia kapitalis yang pertama itu mendirikan pusatnya di Jawa.

 

Para pedagang maritim Asia Tenggara bukan satu-satunya yang dirugikan oleh perdagangan Belanda yang kaya dan solid itu dalam paruh pertama abad ke-17; nasib yang sama juga menimpa sebagian orang Eropa. Namun kerugian yang diderita orang Asia Tenggara jauh lebih parah.

 

Kota-kota di Asia Tenggara juga berkepentingan atas pasar yang baik fungsinya, keamanan hak milik, pemerintahan berdasar hukum, tetapi heterogenitas menyebabkan mereka lebih sulit mewujudkan hal-hal itu. Mereka tidak sanggup bertahan menghadapi persaingan ketat dalam abad ke-17, kecuali bila mereka bersatu dalam sebuah negara yang kuat demi kepentingan-kepentingan mereka yang berbeda. Kurun niaga berakhir dalarn krisis abad ke-17, ketika kota-kota dagang yang diperintah orang-orang Asia kehilangan tempatnya baik dalam perdagangan dunia maupun dalam masyarakatnya sendiri. Krisis itu lebih permanen di Asia Tenggara dan mungkin di seluruh Asia, dibandingkan dengan Eropa. Pernah diperkirakan bahwa peranan Asia Tenggara dalam perdagangan antarbenua jatuh baik abad ke-17 maupun abad ke-18 sementara Eropa hanya terhambat dalam abad ke-17 saja dan naik lagi dalam abad ke-18 (Wallerstein II: 17-18).

 

Narnun pergeseran yang paling penting dalam jangka panjang bukannya menurunnya perdagangan secara mutlak, melainkan berkurangnya kepen[1]tingan perdagangan, para pedagang, kota-kota dan kosmopolitanisme dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Abad ke-17 tidak saja ditandai dengan pengunduran diri dari ketergantungan pada pasar internasional namun juga meningkatnya kebencian atas gagasan-gagasan asing. Negara-negara absolut yang terbentuk dalam persaingan perdagangan, perang dan tenaga kerja, makin banyak beralih pada penonjolan simbolis keunggulannya dalam bidang-bidang yang tidak memerlukan persaingan keras.

 

Perubahan yang paling nyata tetapi juga paling mendasar dalam kurun niaga adalah bidang agama dan budaya masyarakat (mentalitas). Orang Islam dan Kristen seperti halnya orang Yahudi dan pengikut agama Cina, pada mulanya berada dalam keadaan yang di Afrika dinamakan "status karantina," diterima sebagai minoritas pedagang tetapi tidak diharapkan akan mengubah agama penduduk setempat atau menerima mereka. Keberhasilan utama Islam di wilayah bawah angin terjadi antara tahun 1400 dan 1650. Periode islamisasi dan kristenisasi yang paling kuat bertepatan dengan puncak kurun niaga yaitu masa membanjirnya perak tahun 1570-1630.

 

Perubahan-perubahan dalam loyalitas keagamaan sedikit banyaknya ber· sifat permanen. Masyarakat Islam, Kristen, Budha T heravada, Konfusius tetap tidak berubah dan pada satu pihak identitas-identitas itu memisahkan Asia Tenggara dan di pihak lain menyatukannya dengan umat agama yang sama di belahan bumi lain. Namun bila diperhatikan ciri-ciri kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut kepercayaan masyarakat, tampak bahwa dalam kurun niaga muncul sikap menolak pada dunia nyata (material), jarak yang makin besar antara manusia dan yang suci dan bangkitnya ukuran-ukuran lahiriah mengenai moralitas personal, di samping persekutuan yang makin jelas antara negara-negara yang makin besar dan norma·norma lahiriah dari agama.

 

Dalam permasalahan pemahaman mengenai manusia yang demikian rumit itu, seperti halnya mengenai dimensi luar di mana perdagangan dan kekuasaan saling menyilang, krisis abad ke-17 menandai perubahan ke arah yang tidak pernah diubah lagi hingga munculnya krisis lain dalam pertengahan abad ke-20. Kalau dimulai dengan daerah-daerah yang lebih jelas ukurannya, maka tampak bahwa kota·kota dagang kosmopolitan mendominasi kehidupan orang· orang Asia Tenggara baik dalam hal demografis, ekonomis, maupun kultural antara akhir abad ke-17 dan pertengahan abad ke20.

 

Pulihnya kekuasaan negara·negara pribumi atas berbagai sumber daya utama dan jalur-jalur niaga di kawasan ini tidak dicapai tanpa melalui pergolakan di daerah-daerah yang sangat besar yang terjadi dalam masa hidup kita, namun hal itu akhirnya berakibat pada berulangnya pertumbuhan ekonomi yang pesat, pertumbuhan kota-kota, sentralisasi negara dan perubahan-perubahan dalam kehidupan dan mentalitas.

 

Perubahan-perubahan dalam soal agama dan nilai-nilai dalam masa kita, sekalipun terjadi dalam wadah loyalitas-loyalitas agama yang telah mapan, tidaklah kurang mendasar dibandingkan dengan yang terjadi dalam kurun niaga. Sekali lagi norma-norma lahirilah mengenai moralitas personal kembali menentukan dibandingkan dunia spiritual yang mengagumkan itu, negara yang berkembang kini kembali telah menciptakan persekutuan dengan norma-norma lahiriah-bukan saja dengan agama-agama kitab suci, melainkan juga dengan modernitas, ilmu pengetahuan, kesehatan, pembangunan, nasionalisme-untuk menghasilkan identitas yang beraneka ragam.

 

Reid tidak bermaksud mengagung-agungkan kurun niaga itu atau meng· gambarkan masa akhirnya sebagai kekalahan atau kegagalan. Bagaimanapujuga hubungan yang kurang mendalam dengan sistem perdagangan dan intelektual dalam abad ke-18 dan bahkan dalam abad ke-19 terlepas dari laporan kolonialnya, menyebabkan keanekaragaman di Asia Tenggara tetap terpelihara.

 

Perbedaan tingkat hidup antara Asia Tenggara dan Eropa baru tampak sejak abad ke-19. Sebelum akhir abad ke-17 sudah jelas bahwa Asia Tenggara tidak akan menempuh jalan yang ditempuh negara-negara kuat yang bersikeras menuntut bagiannya dalam perdagangan dunia.

 

Karena kini Asia Tenggara telah kembali pada jalan tersebut sekali lagi, apa pun hasilnya, maka tahapan pertama kurun niaga kini menjadi lebih relevan. Sementara orang-orang Asia Tenggara secara bersemangat sedang membentuk masa kininya, maka mereka tidak perlu diusik oleh era kolonial, dengan kenangan mengenai melemahnya kekuatan politik, stratifikasi sosial dan kekayaan ekonomi yang terpaksa harus dilepas pada orang-orang lain. Zaman yang lebih awal lagi membuktikan bahwa penduduk Asia Tenggara temyata telah memberikan tanggapan yang kreatif terhadap perubahan ekonomi yang pesat, adanya beraneka ragam bentuk sosial serta kemungkinan politik dan intelektual.

 

Asal-usul Kemiskinan di Asia Tenggara

 

Reid memulai bah mengenai asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara dengan mengutip de Rovere van Bruegel (1787: 350) "Kalau membandingkan Banten di masa lampau, ketika bangsa-bangsa Eropa muncul di Asia, dengan keadaannya yang miskin sekarang, maka orang harus pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan kerajaan-kerajaan dan menghancurkannya lagi sekehendakNya, Pusat perdagangan yang terbesar di Ttmur itu telah menjadi tempat orang-orang sial."

 

Uraian pada bagian sebelumnya dari buku ini seharusnya sudah bisa menghilangkan kesan bahwa dunia Timur tidak berubah sementara unsur-unsur dinamika pertumbuhan kapitalis dan perkembangan teknologi hanya terpusat di Eropa. Perkembangan pesat di Eropa abad ke-16 memang secara mendasar mengubah cara-cara interaksinya dengan wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk cara orang Eropa memandang orang-orang Asia.

 

Pada dasamya perubahan-perubahan yang terjadi di Asia Tenggara itu berupa interaksi yang intensif dengan ekonomi global di abad ke 15 dan ke-16 dan pengunduran diri dari ekonomi global di pertengahan abad ke-17. Kedua tahapan itu membawa dampak yang sangat besar dalam setiap aspek kehidupan. Tahapan ekspansif yang dikemukakan sebelumnya memiliki persamaan-persamaan maupun perbedaan dengan perkembangan di Eropa.

 

Persarnaannya antara lain integrasi dalam perdagangan global, komersialisasi produk dan konsumsi, pertumbuhan kota-kota, spesialisasi dalam fungsi-fungsi ekonomi, monetisasi perpajakan, perkembangan teknologi transportasi dan militer yang pesat dan pertumbuhan negara absolut. Sebagai akibat dari pengaruh perdagangan global itu Asia Tenggara memiliki persamaan yang lebih besar dengan Eropa Barat dan Jepang dibandingkan sebagian besar dari daratan Asia.

 

Perbedaan antara Asia Tenggara dengan wilayah lainnya di awal era modern ini tidak kurang penting. Dibandingkan tidak saja dengan Eropa tetapi juga dengan bagian lain dari Asia, di Asia Tenggara tidak terdapat perlindungan yang tegas terhadap milik pribadi sehingga menghambat perkembangan lembaga-Iembaga keuangan dan mencegah akumulasi modal tetap. Pada satu pihak perkembangan pasar yang pesat dan kekuasaan raja pada pihak lain, justru menimbulkan ketegangan-ketegangan dan bukan persekutuan antara keduanya. Dalam jangka pendek keadaan itu dapat diatasi dengan berbagai cara, namun kelemahan penting yang terdapat di setiap pusat perdagangan tersebut tidak memungkin untuk mengembangkan solusi-solusi jangka pendek ke dalam jalur-jalur alternatif guna pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

 

Apa yang menyebabkan kemiskinan di Asia Tenggara dilihat dari hubungan antara penguasa dan rakyat? Pada masa itu, di Campa, rakyat tidak bisa memiliki barang berharga. Sedangkan orang Kamboja hanya bisa memiliki harta selama diperkenankan Raja. Di Tongking, Vietnam Utara, sudah menjadi kebijakan lstana untuk tidak membiarkan rakyat kaya karena dengan itu mereka akan sombong. ltulah sebabnya rakyat di Cochin-china, Vietnam Selatan, ingin tampak lebih miskin daripada yang sesungguhnya. Mereka menguburkan uang dan barang-barang berharga. Begitu pula di Siam (Thailand) penduduk berusaha menyembunyikan barang yang bergerak. Di Birma pemerintah meng[1]hambat rakyat jadi kaya dan di Aceh raja tidak memperkenakan rakyat kuat dan orang kaya berusaha tidak menampakkan kekayaannya. Sebab itu di Mangindanao (Filipina) rakyat tak pernah berusaha kaya kecuali mencari sesuap nasi. Demikian kutipan dari kisah perjalanan orang Eropa yang berkunjung ke berbagai tempat di Asia Tenggara.

 

Penduduk Asia Tenggara kurang berminat mengalihkan hartanya menjadi "modal terpasang" (fixed capital), seperti bangunan, kapal, barang dagangan, atau mesin. Harta biasanya dalam bentuk permata dan pakaian indah yang mudah dibawa bila harus melarikan diri. Kebiasaan membangun rumah panggung dari kayu-mudah hancur dan mudah dibangun kembali-menghambat penumpukan harta dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Mundurnya perdagangan Asia Tenggara dalam abad ke-17 biasanya dijelaskan sebagai kemenangan militer dan ekonomi dari voe, kadangkala ditambahkan dengan munculnya negara-negara pedalaman agraris yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan. Sejak itu Jawa ditandai dengan sikap penolakan atas pelayaran, kelas pedagang yang lemah dan masyarakat yang hierarkis. Faktor ini tampaknya spesifik untuk Asia Tenggara.

 

Yang menarik dalam buku Reid ini adalah dimasukkannya unsur iklim sebagai penyebab krisis ekonomi. la menjelaskan bahwa pada masa itu sifat global dari proses pendinginan itu negatif terhadap panen dan jumlah produksi gandum. Faktor iklim dapat memengaruhi angka ke.matian karena penyakit dan paceklik karena kekeringan.

 

Namun di tengah krisis itu terdapat satu kelompok yang masih bisa bertahan yaitu etnis Cina. Mereka terkenal ulet dan gigih. Di Cina ada pepatah: "Pribumi buta dalam soal dagang, Belanda punya mata satu, sedangkan orang Cina memiliki dua mata."

 

Urbanisme dan Kapitalisme

 

Kapitalisme didukung oleh kelompok pedagang di perkotaan. Selain itu lembaga tertentu seperti perbankan juga ikut menyokong. Kota-kota temama di Eropa telah mengembangkan lembaga impersonal untuk membuat andil dan melindungi modal, sesuatu yang tidak terdapat sama sekali di Asia Tenggara. Ini meliputi bank yang fungsinya di Asia Tenggara masih dilakukan para tukang emas dan orang yang meminjamkan uang. Bursa perdagangan, bank dan perusahaan berizin resmi di Amsterdam, Antwerpen, London dan Paris memungkinkan mobilisasi tabungan bukan hanya dimanfaatkan pangeran dan minoritas pedagang untuk tujuan yang produktif, tetapi juga bagi penduduk kota dan elite pedesaan dalam strata yang luas.

 

Di balik masalah teknik kapitalis ini terletak persoalan politik yang mendalam: Keamanan pribadi dan hak milik, tidak dapat diukur dengan uang, perbedaan ini sangat besar antara Asia Tenggara dengan Eropa.

 

Bagaimanapun negara-kota meliputi pasar dan juga istana dan keduanya memiliki nilai-nilai yang berbeda. Ketika pertumbuhan perdagangan sangat cepat, mungkin pasar mendapat hasil yang lebih besar dari istana. Pendapat Johns tentang Hikayat Bayan Budiman, pada abad ke-16, dengan cerita tentang seorang saudagar yang pergi berdagang dan meninggalkan seekor burung beo untuk menjaga kesucian istrinya, mungkin produk dari individualis yang baru muncul dan etos merkantilisme.)

 

Pilihan budaya dan strategi ekonomi selalu sating memengaruhi dan saling mendongkel. Memang Asia tidak berbeda dengan Eropa dalam perkembangan evolusi tertentunya. Tetapi ada perbedaan mencolok dalam hubungan erat antara kekuasaan dan perdagangan. Di Asia Tenggara para penguasa dan menteri bergiat sepenuhnya dalam perdagangan dan sastra. Mereka menghargai hat itu. Para pedagang cenderung berhasil menjadi pemegang kekuasaan, baik dengan cara bersekutu dengan kekuasaan yang sudah ada maupun dengan membentuk kekuasaan baru. Baik Van Leur maupun Meilink Roelofsz mengemukakan bahwa tidak terdapatnya kelas pedagang dengan etosnya sendiri yang membedakan dengan pihak istana adalah hambatan ke arah perkembangan kapitalisme. Pada masyarakat India atau Eropa Timur, pembedaan kasta pedagang atau minoritas agama dengan para pemegang kekuasaan yang merendahkan mereka juga dianggap sebagai hambatan bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.

 

Perjumpaan antara orang Barat dan Timur terjadi dalam situasi damai dan perang. Orang-orang Portugis dan Eropa lainnya menyadari bahwa mereka memiliki keunggulan tertentu dalam teknologi militer serta organisasi dan menggunakannya untuk memperoleh mata dagangan yang tidak bisa mereka peroleh dengan cara lain. Keunggulan orang Eropa: a) senjata api yang lebih unggul terutama di kapal-kapal, b) benteng yang hampir tidak tertembus, c) orang-orang Asia yang menjadi sekutu-sekutunya.

 

Tahun 1629 sebagai titik balik kemunduran Asia Tenggara, pada waktu itu terjadi kekalahan Aceh semasa Iskandar Muda dan kekalahan Mataram di bawah Sultan Agung dari Belanda. Taktik yang paling disenangi VOC adalah menentukan seorang "raja Kompeni" yang bisa dipaksa untuk menyerahkan hak tunggal pada voe untuk mengekspor lada dengan harga yang rendah dan mengimpor tekstil India dengan harga yang tinggi.

 

Akhirnya penguasa nusantara itu dapat ditaklukkan oleh Belanda meskipun sebelumnya telah menunjukkan perlawanan dan kemampuannya. Sultan Ageng dari Banten aqalah perwujudan dari semangat independensi usaha perdagangan dan inovasi teknologi, terutama sebelum dihancurkan oleh voe. Ageng menjadi pahlawan dalam tragedi klasik Belanda yang ditulis pada tahun 1769. Tampaknya ia adalah orang Asia Tenggara pertama yang mendapat kehormatan semacam itu (Lombard 1990: I: 401).

 

Masalah Negara-Negara Absolut

 

"Raja-raja ini, yang menguasai secara absolut keberuntungan dan hidup warganya, sangat goyah kekuasaannya. Tidak seorang pun atau paling banyak hanya segelintir saja, yang setia dan mencintai rajanya seperti halnya kami mencintai raja kami." (La Loubere, 1691 ; 106)

 

Sanjungan atas penguasa Asia Tenggara senantiasa bertentangan dengan lemahnya keadaan mereka yang sesungguhnya. Kekuasaan penguasa atas rakyat demikian besar dan raja memiliki kekuasaan langsung atas hidup dan mati warganya. Namun semua negara berada dalam proses pembentukan koalisi di antara para penguasa lokal seusai penaklukan. Hubungan antara penguasa dan vasal selalu dirundingkan kembali. Dasar hukum dan birokrasi dari semua negara masih rapuh. Belum banyak batas wilayah yang dinyatakan di antara berbagai penguasa yang penuh ambisi itu. Negara-negara muncul dan hilang secara cepat.

 

Di antara sesama negara absolut itu sendiri seakan terdapat perbedaan peringkat. Semua negara di Asia Tenggara mengakui bahwa Cina lebih besar dan lebih kuat dari mereka sendiri. Dalam abad ke-15 semua penguasa Asia Tenggara akan merasa puas bila memegang surat pengakuan di mana nama negara mereka dicantumkan. Para penguasa dari negara kecil tertentu bahkan pergi sendiri ke Cina untuk menyatakan takluknya dan menerima status vasal dari sang Kaisar. Upeti adalah cara satu-satunya untuk berdagang secara legal dan aman dengan Cina. Dan ternyata cara itu sangat menguntungkan bagi penguasa tersebut dan juga bagi mereka yang mengatur pengiriman-pengiriman tersebut.

 

Dalam lingkungan Asia Tenggara, terdapat tiruan-tiruan dari sistern upeti seperti itu, yang sering hanya merupakan suatu kesernpatan untuk berdagang di pelabuhan yang lebih besar dengan irnbalan pengakuan sirnbolik atas supremasi pelabuhan tersebut.

 

Raja-raja dari negara absolut mernpunyai berbagai kekurangan. Terlepas dari kebesarannya, secara pribadi Sultan Iskandar Muda merniliki kelemahan terhadap wanita rnisalnya ia menginginkan perempuan kulit putih dan meminta dikirirni dua perernpuan lnggris. "Kalau saya bisa mendapat anak dari salah satu dari mereka dan ternyata anak itu laki-laki, saya akan menjadikannya raja Pariaman, Pasaman dan pesisir yang menghasilkan lada yang kau bawa, sehingga engkau tidak perlu lagi meminta lada pada saya, kecuali cukup pada raja Inggrisrnu itu." (Copland 1614: 13). Selain itu, Sultan Iskandar Muda mengambil perempuan sekehendaknya bagi harernnya, kalau suaminya keberatan, maka ia rnemerintahkan kemaluan sang suami dipotong." (hal. 257). Meskipun demikian ia telah berjasa meletakkan dasar hukurn. Iskandar Muda dapat dijuluki sebagai "Bapak Pernbuat Undang-Undang Tertulis" dan undang-undang tersebut dilaksanakan pada masanya dengan empat pengadilan: a) pengadilan kriminal, b) pengadilan agarna, c) pengadilan untuk menyelesaikan soal utang, d) pengadilan untuk masalah-masalah perdagangan.

 

Kelernahan raja absolut lainnya terlihat di Matararn. Arnangkurat I mengembangkan monopoli kerajaan sedemikian rupa sehingga sangat destrukti£ la rnelarang rakyatnya berdagang ke luar negeri, rnenutup pelabuhan untuk jangka waktu yang lama dan tahun 1655 menyita atau menghancurkan perahu· perahu dagang dan perahu nelayan milik penduduk pesisir. Seorang utusan VOC bercerita, "Saya pernah nekad menasihati raja agar ia mengizinkan rakyatnya berlayar, menjadi kaya". "Rakyatku tidak memiliki apa-apa seperti kalian, sernua rniliknya adalah milik saya dan kalau tidak rnemerintah dengan keras saya tidak bisa rnenjadi raja."(van Goens, 1656: 200-201). Sebelumnya, Arnangkurat I mengumpulkan 2.000 ulama penting di Mataram dan menyuruh bunuh mereka tak lama setelah ia naik tahta tahun 1646 karena ia mencurigai rnereka mendukung pernberontakan.

 

Berbeda dengan absolutisrne di Eropa di rnasa yang sama, absolutisme Asia Tenggara tidak disertai dengan institusi-institusi atau teori-teori, yang membenarkan adanya elernen-elemen lain dalam masyarakat untuk mernanfaatkan akurnulasi kekuasaan yang baru. Karena raja-raja membuat intervensi secara langsung dalam pasar, masyarakat tidak merasakan adanya kebutuhan bersekutu dengan kelas pedagang guna menghancurkan kekuasaan-kekuasaan lokal, seperti yang terjadi di sejumlah negara Eropa. Bila raja absolut itu mempunyai sekutu, maka mereka adalah orang asing yang menurut definisi terpisah dari negara. Dan sekalipun pluralisme ada di mana-mana dalam sejarah Asia Tenggara, hal itu kurang ditonjolkan dalam literatur politik wilayah tersebut.

 

Meskipun terbentuk negara absolut, para pemimpin setempat bukannya tidak memikirkan metode mengatasi masalah ini agar kekuasaan tidak seluruhnya terpusat pada satu tangan. Caranya bukan dengan menerapkan ideologi impor tetapi dengan mempergunakan struktur asli seperti monarki dualis di Goa-Tallo Makassar. Di Makassar ada keturunan raja yang jadi raja dan satu lagi menjabat perdana menteri. Konsep raja kedua dikenal di negeri-negeri yang menganut Budha Theravada di Asia Tenggara Daratan. Pada kerajaan-kerajaan di dunia melayu terdapat raja dan raja muda. Di Minangkabau ada pemisahan (trias politika?): raja alam, raja adat, dan raja ibadat.

 

Jenis kelamin memang pernah dipersoalkan terhadap penguasa tertinggi kerajaan. Eksperimen raja perempuan di Aceh dan Patani tahun 1584 dan 1641 terjadi karena tidak tersedia raja pria. Kitab Tajussafatin (Mahkota Raja-Raja) sangat menentang penguasa wanita tetapi bisa menerima sang putri menjadi raja guna menghindari keadaan yang lebih parah, dengan syarat tidak adanya ahli waris pria (Bukhari, 1603: 53-{)4). Kelemahan ratu di Aceh ada tiga; a) kekuasaannya berkurang sehingga sang ratu tidak dapat menengahi pertengkaran di antara elite politik dan ekonomi dalam negeri. b) ratu tidak begitu kuat menghadapi orang asing, tidak sanggup mencegah voe menguasai daerah taklukannya yang kaya dengan lada dan timah. c) pemerintahan ratu yang tidak pernah dianggap sah oleh para ulama itu tidak menjadi model ideal bagi generasi berikutnya. Penentangan para ulama Aceh terhadap ratu Aceh itu akhirnya berhasil setelah mereka menerima surat dari Mekah yang menyatakan pemerintahan wanita bertentangan dengan agama.

 

Basis kekuatan yang berdasarkan absolutisme mengalami kehancuran pada akhir kurun niaga. Periode ini meninggalkan warisan undang-undang tertulis dan beberapa teknik aturan birokrasi, tetapi gaga) menciptakan suatu model yang baik mengenai pemerintahan yang kuat dan juga berdasarkan undang-undang, terpusat tetapi juga konstitusional. Setelah itu pada masa berikutnya terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang praktis tetapi berbeda dengan kenangan tentang zaman kebesaran yang telah lampau tersebut.

 

Ttdak ada gading yang tidak retak. Ada satu dua kritik kecil yang dapat diajukan. Pada buku asli halaman ii Alinea ke-3 dikatakan bahwa Cochin-China adalah Vietnam Tengah, Anthony Reid keliru, seharusnya wilayah itu termasuk Vietnam Selatan. Selain itu, terdapat berbagai kutipan yang berasal dari Bahasa Melayu. Teks ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan kemudian dialihbahasakan Kembali ke Bahasa Indonesia. Tentu dalam proses alih Bahasa yang bolak-balik ini ada yang hilang bahkan janggal.

 

Namun terlepas dari kelemahan ringan tersebut, buku ini dapat dianggap sebagai bacaan wajib bagi mahasiswa dan ilmuwan yang berminat terhadap kajian Asia Tenggara untuk tahun-tahun mendatang. Bahkan, meminjam istilah John N. Miksic dari National University of Singapore, “termasuk buku klasik mengenai sejarah Asia Tenggara”. Bersama dengan Nusa Jawa karya Denys Lombard, buku Anthony Reid ini telah mengawali penulisan sejarah total di Kawasan Asia Tenggara.

 

Dikutip dari Dr. Asvi Warman Adam dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin pdf

Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer