Pages

Kamis, 17 Juni 2021

Filsafat Sebagai Basis Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer

 

Sumber gambar: Islamlib.com

Gagasan mengenai kebangkitan Islam (an-nahdah al-Islâmiyyah) di dunia Arab-Islam telah mengantarkan kaum muslimin kepada tiga persoalan utama, yakni sikap terhadap tradisi Islam, sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas kekinian. Ketiga persoalan ini, pada gilirannya, menjadi positioning sikap kultural yang menjadi poros perbincangan, perdebatan, dan pencarian para intelektual Arab kontemporer dalam upaya penggalian otentisitas tradisi yang diandaikan menjadi spirit dalam menghadapi realitas kekinian umat Islam (al-ashâlah wa al-mu’âsarah).

 

Berbagai eksperimentasi telah dilakukan, baik pada ranah politik maupun kebudayaan. Meskipun demikian, pandangan yang dominan dalam menyikapi ketiga persoalan di atas, kalau tidak apologis dan ideologis maka cenderung bersifat a-historis. Ini tampak pada frame works kalangan yang disebut tradisionalis dan fundamentalis. Kelompok ini beranggapan bahwa formula kebangkitan harus berpijak pada ranah tradisi. Mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran Islam klasik serta meresonansikannya untuk kembali pada ajaran Islam klasik secara total, dalam pandangan kelompok ini, merupakan suatu kebutuhan bagi kebangkitan Islam.

 

Demikian juga halnya dengan kalangan yang disebut modernis dan sekular. Kelompok ini mengusung asumsi yang berkebalikan dari kelompok tradisionalis. Mereka beranggapan bahwa formula kebangkitan Islam harus mengambil dari tradisi Barat, karena Islam dianggap tidak mengatur secara mendetil masalah-masalah kenegaraan selain hanya nilai-nilai universalnya saja, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan seterusnya.

 

Dalam arena inilah, Hassan Hanafi, seorang intelektual muslim yang namanya sudah sangat populer di tengah wacana keislaman di tanah air, secara serius dan konsisten, yang disertai dengan dedikasi keilmuan yang tinggi dan tanpa lelah berusaha untuk keluar dari jebakan sikap apologetik-ideologis dan a-historis dari kecenderungan dua kelompok di atas. Baginya, kebangkitan Islam tidak akan terwujud dengan hanya menonjolkan satu sikap kultural dan mengesampingkan dua sikap kultural yang lain, melainkan harus berpijak dalam keseimbangan pada ketiga sikap kultural di atas.

 

Menurut Hassan Hanafi, ketidakseimbangan di dalam sikap kultural, hanya akan menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah) dan “keretakan yang payah” di kalangan bangsa Arab sendiri, sehingga peradaban-peradaban, metode-metode pendidikan dan aliran-aliran politik saling berbenturan, yang pada gilirannya hanya mengakibatkan kesatuan nasional dan identitas kebangsaan menjadi hancur.

 

Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan salah satu eksplorasi kegelisahan Hassan Hanafi terhadap tiga sikap kultural yang tidak imbang, yang ada dalam kebudayaan Arab-Islam, terutama di ranah kajian filsafat. Sebuah identifikasi persoalan yang ia sebut dalam kerangka besar pemikirannya sebagai bagian dari “problem-problem kontemporer”.

 

Agak sedikit berbeda dengan karya Hassan Hanafi yang telah kami terbitkan sebelumnya, yakni: Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis; Islamologi 2: dari Rasionalisme ke Empirisisme; dan Islamologi 3: dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, yang lebih banyak berbicara tentang persoalan-persoalan keislaman secara umum, seperti teologi, ushul fiqh, filsafat, tasawauf, dan kesadaran sosial umat Islam, maka di dalam buku ini, Hassan Hanafi lebih memfokuskan kajiannya pada persoalan-persoalan filsafat di dunia Islam dan Barat. Namun demikian, kajian-kajian yang dilakukan oleh Hassan Hanafi (hampir di dalam seluruh karyanya) tentu memiliki keterkaitan yang erat.

 

Dalam buku ini, dia mengungkapkan betapa filsafat tengah mengalami puncak krisis di tengah-tengah masyarakat Arab-Islam. Filsafat yang seharusnya merefleksikan sebuah generasi dan peradaban, saat ini, menurutnya, justru telah menjadi dokumen dan artefak beku yang terus-menerus dibaca dan dipelajari, namun tanpa upaya mendialogkannya dengan realitas kekinian. Filsafat hanya “pajangan” pemikiran tanpa disertai pembacaan kritis dan kreatif terhadapnya.

 

Dengan demikian, filsafat seperti kehilangan konteks. Ia dianggap sebagai warisan tradisi yang taken for granted dan final serta terlepas dari konteks zamannya. Mempelajari filsafat, pada akhirnya hanya terperangkap dalam penjara-penjara pemikiran para filsuf, tanpa mengalami transformasi pemikiran dalam realitas sosial. Filsafat hanya menjadi alat analisis sosial bagi kaum intelektual dan sebagai eskapisme dari tanggung jawab intelektual mereka.

 

Kondisi di atas, menurut Hassan Hanafi, makin diperparah dengan menguatnya pandangan yang mengatakan bahwa ‘filsafat’ bersumber dari Barat, bukan dari tradisi, karena di dalam tradisi, istilah filsafat tidak populer. Istilah yang dikenal dalam tradisi adalah ‘hikmah’. Karena pemahaman seperti inilah maka terjadi dualisme dalam melihat realitas kekinian di negara-negara Arab-Islam.

 

Bagi Hassan Hanafi, baik tradisi maupun Barat dalam pemikiran filsafat harus dilihat dalam konteks dan semangat zaman sehingga tradisi tidak menjadi stagnan, dan Barat bukan menjadi acuan tanpa sikap kritis, melainkan harus dilihat dalam batas-batas peradaban dan kelahiran pemikiran-pemikiran filosofis tersebut (baca: oksidentalisme).

 

“Liberasi” Makna Membaca

 

Membaca, secara filsufis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal maupun kesadaran eksternal. Mengapa? Karena membaca adalah memahami. Dalam konteks ini, aktivitas membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, mendalami, mengidentifikasi, dan menginterpretasi dalam orientasi praksis. Untuk itu, terdapat relasionalitas antara pembaca dan yang dibaca dalam orientasi realitas sehingga tidak ada kesenjangan antara teks dan konteks, subjek dan objek. Dengan demikian, membaca adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap objek dengan sentuhan orientasi perubahan. Bahkan, membaca adalah tanggung jawab moral subjek terhadap realitas yang mengelilinginya.

 

Oleh karena itu, seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran hermeneutis. Proses membaca yang demikian itu akan berimplikasi pada terciptanya pola dialog interaktif, bebas dominasi, dan inklusif. Implikasi selanjutnya adalah terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas. Sebab, filsafat bukan semata-mata pikiran yang a-historis, a-sosial, dan a-kultural, melainkan merupakan sistem pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masa tertentu, dibangun oleh suatu generasi bangsa tertentu, dan melayani komunitas sosial tertentu serta mengekspresikan peradaban.

 

Filsuf adalah orang yang memiliki sikap kebudayaan dengan mengambil sikap terhadap tradisi klasik dan mengambil sikap kritis terhadapnya sehingga ia dapat menyingkap selubung persepsi klasik dalam rangka proses teoretisasi lain dengan menggunakan ratio (nalar) dan nature (alam) sebagai dua poros utama ilmu pengetahuan baru. Selain itu, ia juga mengambil sikap kritis terhadap tradisi Barat dengan mereduksikannya ke dalam batas-batas lokalnya. Dengan kata lain, seorang filsuf selalu melakukan internalisasi nilai untuk diproyeksikan pada wilayah praksis. Ia adalah orang yang cenderung pada bendanya sendiri, sebagai orang yang melepaskan diri dari al-manqûl menuju al-ma’qûl melalui observasi, sensasi, dan pengalaman empirik.

 

Sudah saatnya sekarang ini kita (baca: masyarakat muslim) mengeksplorasi perjalanan sejarah, beralih dari merujuk ke masa lampau menuju masa depan dengan berpijak pada pencapaian solusi-solusi yang telah ditawarkan untuk mengatasi problematika masa kini. Peralihan itu bukan berarti mencerabut kehendak masa kini dan mengabaikan tendensi atau kompensasi non-kesadaran dan melarikan kesadaran dari krisis-krisis zaman. Kembali pada masa lampau ataupun berorientasi menuju masa depan kadang merupakan sikap yang menyenangkan apabila di dalam sikap itu mengabaikan masa kini, desersi, tenang, melupakan dan mengompensasikannya. Bahkan sikap kembali pada masa lampau itu merupakan sikap yang tepat apabila bertujuan untuk membahas akar-akar sejarah krisis-krisis zaman sampai pada pencapaian solusi secara mendasar atau planning ke masa depan dan mempersiapkannya sehingga tidak terjebak dalam chaos, anarkisme yang membabi buta, dan kebimbangan.

 

Perspektif yang demikian ini bukan semata-mata bertujuan mengetahui peristiwa-peristiwa masa lalu dan akumulasi informasi dari dokumen-dokumen, prasasti-prasasti, manuskrip-manuskrip, dan sumber-sumber pokok sebagaimana yang terdapat dalam aliran historisisme yang dominan di Barat pada abad yang lampau dan dalam Historical Reductionism yang mulai dijauhi oleh kajian sejarah kontemporer. Sebab, model ini hanya mengamati peristiwa satu persatu tanpa memberikan makna, signifikansi ataupun hukum (sejarah), lebih mengedepankan ruang daripada waktu, discontinuance daripada continuation. Ia bukan sekadar mengamati berbagai peristiwa seolah-olah kita berada dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang dituangkan ke dalam kesadaran individual. Sejarah merupakan akar dan dasar bagi kesadaran. Ia bukan sekadar memori masa lalu, melainkan alur dan hukum, semangat sejarah. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran sejarah sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran nasional yang memberikan pengalaman-pengalaman sejarah masa lampau untuk melihat masa kini dan beberapa faktor pembentuknya.

 

Masa Kini dan Masa Lampau

 

Masa kini merupakan akumulasi dari masa lampau. Kendatipun berbagai peristiwa terjadi dalam rangkaian waktu, diachronism, namun hal itu mempunyai struktur, synchronism. Masa kini memberikan pencerahan pada masa lampau melalui pemilihan objek dan penarikan kesimpulan. Relasionalitas masa lampau dengan masa kini terjadi hanya dalam satu kesadaran nasional untuk memanifestasikan kontinuitas dalam kepribadian sejarah, untuk mengeksplorasi dan mengamati fase-fase dan alur-alur perkembangannya dalam sejarah. Masa lampau juga dapat membaca masa kini karena masa lampau sebenarnya merupakan faktor pembentuk masa kini. Masa lampau bisa jadi lebih partisipatif pada masa kini daripada masa kini itu sendiri. Manusia ada dalam sejarah dan hidup di dalamnya sedemikian rupa sehingga kesadaran sejarah yang merupakan kesadaran atas masa lampau mendominasi kesadaran atas masa kini dan kesadaran atas masa depan. Oleh karena itu, muncul gerakan-gerakan konservatif yang menyerukan kembali ke masa lampau sebagai satu-satunya jalan menuju kebangkitan masa kini dan mengejar masa depan. Pembacaan masa kini terhadap masa lampau dan pembacaan masa lampau terhadap masa kini merupakan dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan secara berkelindan. Keduanya merupakan dua orientasi untuk satu gerak: “bolak-balik”.

 

Hassan Hanafi, seorang filsuf kelahiran Mesir 13 Februari 1935 M., selalu menjadikan karya tulisnya sebagai persaksian atas dinamika zamannya. Ia selalu mengalunkan nada dekonstruksi-rekonstruksi terhadap realitas yang dibangun berdasarkan atas sikap kritis pada ‘diri’ (baca: tradisi intelektual Islam), sikap kritis terhadap ‘yang lain’ (baca: Barat), dan sikap kritis terhadap realitas. Untuk itu, ia selalu melakukan dialektika ‘diri’ dan ‘yang lain’ dalam orientasi praksis pada realitas aktualnya melalui analisis fungsional-efektif. Tujuannya adalah menyandingkan “tradisi” dan “modernitas” dalam gerak sejarah.

 

Sekarang ini, yang menjadi persoalan utama di dunia Islam bukanlah tajdîd at-turâts (memperbarui tradisi) atau at-turâts wa attajdîd (tradisi dan pembaruan), sebab yang menjadi starting point (pijakan) adalah ‘tradisi’. Pembaruan dilakukan dalam rangka kontinuitas kebudayaan nasional, peletakan landasan bagi masa kini, motivasi menuju kemajuan, dan keterlibatan dalam perubahan sosial. Tradisi adalah titik awal sebagai tanggung jawab budaya-kebangsaan, sedangkan pembaruan merupakan reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan tuntutan zaman. Yang lama mendahului yang baru, dan otentisitas menjadi landasan bagi konteks masa kini. Tradisi bukan merupakan fakta tunggal, melainkan ia adalah berbagai kecenderungan dan aliran yang mengekspresikan sikap, kekuatan sosial, ideologi-ideologi, dan berbagai macam pandangan.

 

Untuk itu, tradisi tidak mempunyai eksistensi yang independen, terlepas dari realitas yang dinamis dan selalu berubah, yang mengekspresikan semangat zaman, dan pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Ia merupakan kumpulan interpretasi yang diberikan oleh masing-masing generasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zamannya. Lebih-lebih, bahwa landasan primer yang menjadi sumber kemunculan tradisi itu memungkinkan bagi munculnya kemajemukan (pluralitas). Sebab, yang menjadi landasan dasarnya adalah realitas. Tradisi bukanlah kumpulan akidah yang bersifat teoretis-statis dan fakta-fakta mati yang tidak menerima perubahan, melainkan ia adalah sejumlah realisasi dari banyak teori yang muncul dalam situasi tertentu, dalam kondisi sejarah tertentu, dan dalam kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pandangan mereka tentang alam. Tradisi adalah potensi yang tersembunyi dalam psikologi publik.

 

Seorang pemikir harus memiliki jiwa nasionalis dan tidak banci. Itulah pernyataan yang sering kali diucapkan oleh Hassan Hanafi dalam berbagai kesempatan. Dalam konteks inilah dia, yang sejak kecil dirisaukan oleh realitas dunia Islam, khususnya Mesir, yang stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan, berusaha mengembangkan kesadaran, baik kesadaran keagamaan maupun kesadaran filosofis. Ia sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berkutat dan berhenti pada teks dan warisan masa lampau. Di sini ia tidak berhenti pada analisis historis dalam pengertian kembali ke masa lampau maupun analisis epistemologis, melainkan berlanjut pada analisis fungsional-praksis. Ia mempunyai sense of reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya, seperti Ad-Dîn wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqîdah ila ats-Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Qadhâya Mu’âshirah (terdiri atas 2 jilid), dan yang lainnya. Ia sangat konsen pada persoalan-persoalan riil masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan perampasan hak-hak dasar manusia yang banyak terjadi di dunia Islam. Ia sangat risih dengan sistem pelajaran dan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang tidak beranjak dari hafalan dan penumpukan materi klasik tanpa adanya inovasi-kreatif dan penghadapan pada tantangan realitas kontemporer.

 

Bagi Hassan Hanafi, sebuah pemikiran, bahkan risalah keagamaan, tidak ada artinya, bahkan bukan merupakan pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan. Dengan pernyataan tersebut, Hassan Hanafi menunjukkan dirinya tidak hanya sebagai pemikir muslim progresif garda depan, melainkan juga sebagai seorang pengusung strategi kebudayaan yang sangat kritis. Inilah yang membedakannya dari pemikir-pemikir muslim kontemporer lain, seperti Fazlur Rahman yang lebih terfokus pada pencarian metodologi memahami Al-Qur’an dan penyelidikan sejarah intelektual muslim masa Nabi hingga Abad Pertengahan, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang sangat kompeten pada kritik dekonstruktif terhadap nalar Islam klasik; bahkan Nasr Hamid Abu Zaid yang belum banyak beranjak dari posisinya sebagai pengamat pemikiran Islam.

 

Sejak semula Hassan Hanafi selalu mencurahkan perhatiannya pada realitas masyarakat muslim yang stagnan dan terbelakang. Perkembangan pemikiran kritisnya berbarengan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Jerman.

 

Kesadaran Hassan Hanafi atas realitas kehidupan terbangun sejak kecil, yakni sejak masih dalam usia bermain di sekolah dasar. Dari sini, perhatian utamanya adalah seni, tulisan formal, dan pada masa berikutnya adalah musik, yakni ketika ia berada di madrasah tsanawiyah. Kesadaran religius, yakni kesadaran atas hidup, muncul ketika ia berhubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islâm Harkah Ibdâ’iyyah fî al-Fann wa al-Hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Barangkali kekagumannya terhadap Iqbal, Bergson, Guyau, Nietzsche, dan setelah itu Dilthey, Driesch, dan Husserl hanyalah karena mereka adalah filsuf-filsuf kehidupan. Inilah yang pada akhirnya membangun hermeneutika Hassan Hanafi yang berangkat dari pengalaman yang dinamis dan kekaguman terhadap kaum romantisme Jerman, yaitu orang-orang yang keluar dari dan sekaligus melawan Hegel, seperti Schleiermacher dan Kierkegaard, dan seluruh peletak hermeneutika kontemporer. Hassan Hanafi tenggelam dalam sejarah filsafat. Dia sangat gandrung kepada tokoh-tokoh “murtad”, seperti Spinoza dan Kierkegaard.

 

Kesadaran (pemikiran) filosofis Hassan Hanafi sudah dimulai sejak ia berkenalan dengan Idealisme Jerman, terutama Fichte, filsafat perlawanan dan ego yang menempatkan subjek ego berlawanan dengan non-ego dan pelajaran tentang petunjuk yang simetris antara subjek, objek, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl. Idelisme-transendentalisme Jerman dijadikan sebagai titik permulaan filsafat Barat bersama-sama dengan filsafat esensialisme Iqbal. Diskursus tentang kesadaran adalah diskursus hati ke hati.

 

Pada tahap ini, Hassan Hanafi adalah penganut idealisme-esensialisme. Itulah yang pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek At-Turâts wa at-Tajdîdâî (Tradisi dan Modernitas). Namun demikian, konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi pada dasarnya ditemukan dan dibentuk di Prancis pada paro akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, Paris menjadi pusat utama pemikiran filsafat kontemporer di dunia. Di sinilah tempat pemikiran-pemikiran yang dominan pada era 1970-an diformulasikan. Di tempat ini Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealisme ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoretis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zurück zu den Sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri)-nya Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai esensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi: manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan, kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being and Time (Ada dan Waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontologi).

 

Sanad Keilmuan Hassan Hanafi

Orang yang memiliki andil besar dalam konstruk filosofis Hassan Hanafi adalah Jean Guitton. Ia adalah murid Bergson yang menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat di Sorbonne University dan sebagai tokoh pentolan modernis Katolik Roma. Dialah yang memandu Hassan Hanafi dalam membaca dan mengkaji filsafat Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam hal-hal praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton sangat tepat bagi pengembangan pemahaman Hassan Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hassan Hanafi banyak belajar dari Guitton tentang urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan yang diperdalam oleh seorang filsuf dan setelah itu digeneralisasikan sedemikian rupa sampai pada metafisika murni. Dialah yang sangat berpengaruh bagi kesadaran Hassan Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari idealisme ke realisme, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi. Dengan demikian, relasi Hassan Hanafi dengan Guitton adalah seperti relasi Aristoteles dengan Plato, Marx dengan Feuerbach, dan Feuerbach dengan Hegel. Dia mengembangkannya dari idea ke realitas, dari spirit ke dunia, dari kesadaran personal ke kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dari agama ke revolusi, dari Barat ke Timur, dari Masehisme ke Islam.

 

Hassan Hanafi menggunakan kritik negatif padahal Guitton ingin melestarikan kaidah-kaidah keimanan. Dia mengonstruk Teologi Revolusi padahal Guitton takut menjadi Marxisme dan bahwa ia takut kekerasan (violence) dan keimanan akan dirasuki hal-hal yang bukan merupakan bagian dari iman. Karena itu, aliran-aliran filsafat akan berkembang melalui kontradiksi dan akan mati dan berakhir melalui keseragaman

 

Dikutip dari buku berjudul, “Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer”.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih dalam buku tersebut, kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer pdf


Islam dan Modernitas: Redefinisi Terhadap Tradisi dan Peradaban Islam

 


Peradaban Islam (the Islamic civilisation) di dunia modern 'Pada abad keenam belas zaman kita, seorang pengunjung dari Mars mungkin mengira bahwa dunia manusia berada di ambang menjadi Muslim (the verge of becoming Muslim) (Hodgson 1993: 97). Dengan pernyataan ini, sejarawan komparatif Marshall Hodgson menyarankan bahwa pada awal era modern Islam adalah peradaban paling vital di dunia dan memiliki potensi hegemonik (a hegemonic potential) atas Timur dan Barat. Hodgson menyebut peradaban Islam 'Islamdom', dalam analogi dengan 'Kristen', yang berbeda dari Kristen, dimaksudkan sebagai agama. Islamdom adalah peradaban yang telah mewarisi dan secara kreatif menggabungkan kembali karakter budaya dan kota-kota politik tertentu dari unit geo-budaya (geo-cultural unit) yang luas dan lebih kuno, wilayah Irano-Semit. Menurut Hodgson, tepat pada saat dimulainya era modern, Islamdom mencapai puncaknya, tidak hanya kekuatan politiknya (political power), tetapi juga kreativitas budayanya (cultural creativity) (ibid.: 100).

 

Kekuatan khusus peradaban Islam (this particular strength of Islamic civilisation) pada awal modernitas ini tidak tiba-tiba menguap (evaporate) pada saat kekuatan Eropa Barat menegaskan keunggulan mereka dalam perdagangan dan penemuan maritim jarak jauh (long-distance maritime trade), khususnya dengan pembukaan rute transatlantik dan penciptaan koloni di Timur dan Barat dari globe yang diperbesar. Cara-cara khusus memadukan kekuasaan dan budaya yang membentuk sebuah peradaban terus membuahkan hasil yang baik ke era modern dalam kasus tiga kerajaan Islam yang berbeda, namun sama-sama berkembang: Utsmaniyah, di wilayah yang luas meliputi Anatolia, Dekat dan Tengah. Timur, Afrika Utara, Balkan dan kawasan Eropa lainnya; Safawi, di Iran; dan Mughal, di Asia Selatan.

 

Model sentralisasi negara (the models of state centralisation), kontrol wilayah dan populasi, dan gaya pemerintahan dan administrasi mereka sebagian bertahan dari trauma abad kedelapan belas dan kesembilan belas, di mana Eropa Barat membalikkan keseimbangan kekuatan dengan dunia Muslim dan memperoleh posisi hegemonik atas Euro. -Area Mediterania dan ke kedalaman Eurasia. Namun, setidaknya dalam kasus Turki dan Iran, kekuatan relatif jangka panjang dari formasi sosial-politik mereka dapat diukur dengan tingkat resistensi pusat-pusat mereka terhadap proses yang sedang berlangsung dari perambahan kolonial Barat, yang mulai menguras tenaga dan dorongannya hanya antara dua perang dunia abad kedua puluh.

 

Terlepas dari latar sejarah dan konfigurasi modern awal kekuasaan Muslim, sejumlah sejarawan dan ahli teori sosial (a host of historians and social theorists)– dari Ernest Renan (1862), melalui Max Weber ([1922] 1968), hingga Bertrand Badie (1987), Marcel Gauchet ([1985] 1997), dan Rémi Brague ([1992] 2002) – telah berteori tentang faktor budaya tertentu (specific cultural factors) yang harus bertanggung jawab atas penyumbatan (blockage) atau penundaan rasionalisasi hubungan sosial dan pembangunan politik dan ekonomi (delay of the rationalisation of social relations and political and economic) di dalam negeri Muslim.

 

Di dalam keilmuan Barat yang beraneka ragam ini, argumen tersebut mendapat perhatian (dan masih populer hingga saat ini) yang menurutnya doktrin otoritas ilahi (doctrine of divine authority) yang mencakup semua yang diproklamirkan oleh Islam secara meyakinkan berkontribusi untuk menahan legitimasi penuh (full legitimisation) kekuatan politik dan dengan demikian mencegah negara yang benar-benar modern. pembentukan. Demikian pula, anggapan-anggapan yang diperlukan untuk pertumbuhan kapitalis yang menghidupkan formasi sosial-politik modern awal Eropa Barat tidak ada atau lemah di dalam kerajaan-kerajaan Muslim yang disebutkan di atas karena mekanisme-mekanisme pembatasan diri kultural yang dibangun yang diduga melekat dalam orientasi keagamaan peradaban Islam (the religious orientation of Islamic civilisation).

 

Sepanjang garis argumen ini, ketidaksesuaian antara Islam dan modernitas (the mismatch between Islam and modernity) tampaknya terletak pada batasan doktrinal dari faktor-faktor kreativitas budaya dan otonomi politik, yang dianggap sebagai bahan yang diperlukan untuk konstitusi masyarakat modern (the constitution of a modern society), ekonomi dan politik. Menerima pendekatan ini, perambahan kolonial Barat atas tanah Muslim dapat ditafsirkan sebagai konsekuensi yang diperlukan dan hasil yang pantas dari ketidakseimbangan kekuasaan antara peradaban Barat dan Islam, diukur dalam hal kemampuan mereka untuk menghasilkan standar modern kekuatan sosial dan politik dan hegemoni budaya (cultural hegemony) melalui proses emansipasi (a process of emancipation) dari pola otoritas transenden (transcendent authority) yang membatasi diri.

 

Berlawanan dengan latar belakang teori Barat tentang kapasitas Islam yang diduga kurang untuk menyesuaikan diri dengan dunia modern – belum lagi kemampuannya untuk memulai transformasi modern yang otonom – berdiri pengamatan oleh sejarawan peradaban Islam dan khususnya Muslim modern. Imperium bahwa diferensiasi kekuasaan negara (differentiation of state power and religious authority) dan otoritas agama merupakan bagian integral dari perkembangan mereka. Baik tradisi Islam dan penegaknya, ulama, maupun pusat kekuasaan dan pemegang kekuasaan (the centres of power and power-holders) (apakah mereka diberkahi dengan legitimasi agama tertentu, seperti khalifah atau penguasa Syiah Safawi Iran, atau tidak, seperti amir, sultan, dll.) menghalangi proses pembedaan semacam itu. Sejak 1970-an dan 1980-an, para analis peradaban mulai merevisi bias lama para ahli teori sosial Barat. Sebagaimana dinyatakan secara tegas oleh seorang sarjana terkemuka di bidangnya, Johann P. Arnason (2001: 399):

 

The belief that Islamic traditions excluded any differentiation of religion and politics has not quite disappeared from public discourse, but scholarly debates have effectively demolished it; it is now widely accepted that Islamic history is characterised by specific forms and trajectories of differentiation, neither identical with those of other civilisations nor reducible to a lower degree of the same dynamic.

(Keyakinan bahwa tradisi Islam mengecualikan diferensiasi agama dan politik tidak sepenuhnya hilang dari wacana publik, tetapi perdebatan ilmiah telah secara efektif menghancurkannya; sekarang diterima secara luas bahwa sejarah Islam dicirikan oleh bentuk dan lintasan diferensiasi yang spesifik, tidak identik dengan peradaban lain atau dapat direduksi ke tingkat yang lebih rendah dari dinamika yang sama).

 

Bernard Lewis (2002) bukanlah penulis pertama yang mengajukan pertanyaan What Went Wrong? berkaitan dengan Islam. Batasan argumen di dalam pertanyaan itu sendiri, yang dirumuskan dan ditanyakan dari sudut pandang spesifik hegemoni Barat jangka panjang yang meluas ke seluruh dunia modern. Ini adalah pertanyaan yang sudah mengandaikan keunikan jalan Barat menuju modernitas.

 

Ada dua strategi yang dapat menantang bias yang sudah mengakar ini. Salah satu pendekatan menekankan pentingnya berteori tentang tradisi sebelum menganalisis pola modernitas. Pilihan lain membingkai ulang isu modernitas dalam hal pola modernitas yang sebagian bersaing dan sebagian tumpang tindih (overlapping), atau 'multiple modernitas' (Eisenstadt 2000a). Dalam kondisi tertentu, yang akan saya coba uraikan, kedua strategi tersebut mungkin akan bertemu dalam memberikan pandangan yang berbeda tentang potensi dan batasan dari sebuah 'Islamic modernity’ (modernitas Islam). Ini adalah pendekatan gabungan yang dikejar dalam bab ini dan secara lebih luas dalam buku ini, sebuah pendekatan yang sebagian besar berhutang budi pada analisis peradaban komparatif, cabang studi yang muncul yang mencoba menciptakan hubungan yang bermakna antara karya sejarawan dan refleksi sosial. ahli teori (Arnason 2003).

 

Mari kita mulai dengan pengertian 'tradition’ (tradisi). Memulihkan kembali konsep tradisi yang layak adalah kondisi yang diperlukan untuk mengatasi sudut pandang reduksionis, evolusionis, dan Eurosentris yang telah merusak sebagian besar analisis tentang hubungan antara Islam dan modernitas. Tradisi adalah konsep yang lebih spesifik daripada gagasan umum tentang 'culture’ (budaya). Tradisi tidak harus dipahami sebagai budaya primordial (primordial culture) yang tidak reflektif tetapi, lebih dinamis, sebagai ansambel praktik (ensemble of practices) dan argumen yang mengamankan ikatan sosial (social bond) dan memberikan kekompakan kepada komunitas manusia dari berbagai skala. Kita perlu mengurai pengertian tradisi dari identifikasinya yang miring dengan segala manifestasi sosio-ekonomi negara yang stagnan dan ketergantungan buta pada otoritas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dalam pengertian ini, tradisi (tradition) bukanlah lawan dari modernitas (modernity) yang dimaksudkan sebagai manifestasi dari otonomi dan kreativitas manusia (the manifestation of human autonomy and creativity).

 

Namun gagasan tentang tradisi sebagai budaya primordial (primordial culture) yang statis tersebar luas dalam ilmu-ilmu sosial. Tradisi yang dipahami dengan demikian merepresentasikan batas internal modernitas, yang menjadi sandaran modernitas ketika gagal memenuhi janji otonomi politik dan kreativitas budaya. Dengan demikian, tradisi digambarkan sebagai medan tindakan manusia yang hampir tidak bergerak (tradition is described as an almost inertial terrain of human action). Tergantung pada apakah tradisi bersarang di komunitas non-Barat atau di peradaban masa lalu, penyelidikannya diserahkan pada penelitian etnografi atau analisis filologis. Gagasan tradisi yang negatif seperti itu sering diidentikkan dengan 'religion’ (agama), yang kemudian dilihat dalam bentuknya yang paling kuno.

 

Dalam perspektif ini, tradisi tidak lebih dari pengulangan konstitusi ritual komunitas, sebuah mekanisme yang mengesampingkan kapasitas inovasi dan mencegah transformasi kohesi komunitarian (a transformation of communitarian cohesion) menjadi bentuk ikatan sosial yang lebih abstrak dan berbeda, yang dianggap pantas untuk masyarakat modern. Berlawanan dengan pendekatan ini, saya mengusulkan pemahaman tentang tradisi (tradition) dan modernitas (modernity) bukan sebagai mode antitesis makhluk sosial (antithetical modes of social being), atau sebagai formasi sosial (social formations) yang berbeda secara tipologis, tetapi sebagai bentuk ikatan sosial (social bond) yang berbeda tetapi dapat menjadi terhubung secara organik dalam berbagai cara (can become organically connected in various ways). Ini adalah kombinasi dari jenis tradisi tertentu dengan proses transformasi tertentu yang menghasilkan masyarakat khas yang kita sebut 'modern'. Masyarakat modern dapat dihubungkan satu sama lain dan membentuk kelompok peradaban sejauh mereka didasarkan pada kombinasi tradisi dan pola modern yang serupa.

 

Saya mengusulkan untuk melihat tradisi sebagai kumpulan pola praktik sosial yang ditransmisikan, diubah, dan direfleksikan oleh argumen dan wacana lintas budaya dan generasi. Kode budaya tradisi dikelola oleh elit budaya tetapi juga bergantung pada peran aktif yang dimainkan oleh para praktisi, yang terutama adalah orang biasa atau 'commoners’ (rakyat biasa). Dalam pengertian ini, tradisi relevan baik dalam komunitas pra-modern dan – dalam bentuk yang sangat bermutasi – dalam masyarakat modern (modernising societies) atau modern. Beberapa penulis telah menghargai pentingnya tradisi budaya untuk pembentukan identitas kolektif kelompok sosial (collective identity of social groups) pada saat mereka mencoba memasuki masyarakat modern dan menyesuaikan dengan parameter rasionalisasinya. Argumen ini berasal dari beberapa aliran teori sosial, terutama, namun tidak eksklusif, yang terletak di Amerika Utara (Bellah 1970; Shils 1981; Taylor 2004). Sebuah varian sederhana dari pendekatan ini juga telah diadopsi dalam studi berorientasi pembangunan, juga berkaitan dengan masyarakat mayoritas Muslim, sejak tahun 1980-an, pada dasarnya sebagai bagian dari tren kekecewaan yang lebih besar dengan pendekatan sebelumnya untuk pembangunan ekonomi dan politik untuk dirumuskan dalam paradigma teori modernisasi (the paradigm of modernisation theory). Oleh karena itu, tradisi harus dianggap sebagai sumber daya dalam proses perubahan sosial dan politik yang membantu mencegah penyebaran anomi individu, de-akulturasi kolektif, dan berbagai reaksi terkait yang mempengaruhi berbagai tingkat kehidupan sosial dan politik (traditions should be considered as resources within processes of social and political change that help prevent the spread of individual anomie, collective de-acculturation, and their related, multiple backlashes affl icting various levels of social and politi cal life). Tradisi budaya (cultural traditions) dengan demikian dianggap sebagai aset potensial untuk mengaktifkan prisma motivasi aktor lokal dan membantu pekerjaan agen modernisasi (termasuk LSM) yang mengintervensi dari dalam atau luar masyarakat tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

 

Mungkin perspektif ini tidak sepenuhnya memuaskan tujuan kita, karena masih mempertahankan daya dorong fungsionalisme yang diwarisi dari teori modernisasi. Di mana tradisi dulunya dianggap sebagai budaya terbelakang (the backward culture) yang harus diatasi melalui proses modernisasi, kini tradisi itu bercabang menjadi tradisi 'good’ (baik) dan 'bad’ (buruk): jenis tradisi yang menghalangi perkembangan dan akses ke modernitas dikontraskan dengan tradisi yang memfasilitasi jalan. dari kemajuan sosial. Garis demarkasi antara tradisi ditakdirkan untuk mengulangi siklus stagnasi dan ritual pengukuhan otoritas dan tradisi yang memberikan orientasi budaya dan bimbingan moral baik untuk elit dan praktisi umum melalui ikatan ketidakpastian kehidupan modern dan abstraksi norma-norma modern mengingatkan pada ide yang sudah ada dalam penulis klasik teori sosial: pikirkan penekanan Weber pada tradisi budaya dan lebih khusus lagi agama sebagai mesin untuk rasionalisasi perilaku hidup (religious traditions as engines for the rationalisation of life conduct) (Weber [1920] 1988), atau apresiasi Durkheim terhadap pra -agama modern untuk memberikan dasar (pre-modern religion for providing fundamental), meskipun masih cacat, gagasan solidaritas (notions of solidarity) (Durkheim [1912] 1967). Dengan memahami tradisi baik sebagai penghalang modernisasi (impediment to modernisation) atau sebagai sumbernya, tradisi dikonseptualisasikan dari sudut pandang jalur yang telah ditentukan sebelumnya menuju modernitas. Kelangsungan hidup mereka tunduk pada parameter penilaian (saat ini sering disebut 'conditionalities’ (persyaratan) dari lembaga modern yang terkait dengan negara (states), organisasi internasional (international organisations), dan pasar kapitalis (capitalist markets).

 

Kondisi yang diperlukan untuk mengatasi keterbatasan ini dan membuka jalan untuk menghargai dimensi pluralistik budaya modernitas dan khususnya cara khusus peradaban Islam telah terlibat dengan modernitas adalah untuk memperdalam upaya merumuskan kembali gagasan tentang tradisi (to reformulate the notion of tradition). Kita dapat mengambil manfaat dari pemahaman tentang tradisi sebagai sekumpulan argumen, konsep, dan praktik yang memotivasi agen sosial (a bundle of arguments, concepts and practices motivating the social agents) (MacIntyre 1988). Tradisi yang dipahami dengan demikian sangat penting untuk tindakan sosial (social action), komunikasi dan bahkan inovasi budaya dan kelembagaan (cultural and institutional innovation). Akan sulit untuk memahami ikatan sosial (social bond) tanpa mengacu pada kerja tradisi yang membatasi bidang praktik yang pemeliharaannya bergantung pada mekanisme transmisi dan pembaruan pengetahuan (renewal of knowledge) yang memadai dari generasi ke generasi (Calhoun 1992; Salvatore 2007a).

 

Pandangan tentang tradisi ini dapat diperkaya dengan pemahaman Jürgen Habermas tentang jaringan ikat yang menghubungkan agen-agen sosial (social agents), yang merupakan bagian integral dari dunia kehidupan mereka dan mendorong pengakuan timbal balik mereka (Habermas [1981] 1987). Fokus Habermas adalah pada berbagi motivasi untuk bertindak melalui pola komunikasi dan pemahaman. Denominator paling tidak umum antara pendekatan MacIntyre dan Habermas – dua di antara pemikir sosial terkemuka sepertiga terakhir abad kedua puluh – memberi kita pandangan tentang tradisi yang menekankan kompetensi komunikatif (communicative competencies) yang diperoleh agen melalui keterlibatan mereka dengan serangkaian praktik dan proses pembelajaran yang sesuai yang diaktifkan melalui komunikasi dan refleksi (Doody 1991). Di sinilah letak garis bawah definisi tradisi yang berakar pada dimensi mikro tindakan sosial dan hubungan sosial (micro-dimension of social action and social relations). Dengan demikian kita menghindari jatuh kembali ke gagasan minimalis (a minimalist notion of tradition) dari jenis tradisi yang digambarkan di atas, pandangan yang bermuatan negatif oleh penekanan sepihak pada dimensi makro-sosiologis perubahan sosial-politik (a macro-sociological dimension of socio-political change) yang pada dasarnya buta terhadap perbedaan manusia.

 

Namun tujuan kami untuk menciptakan landasan yang lebih adil untuk menilai hubungan Islam dengan modernitas tidak bisa lepas dari menangkap dimensi makro-sosiologis tradisi yang menghindari jebakan yang disebutkan di atas. Tidak mengherankan, ini dimungkinkan melalui pembukaan teoretis terhadap konsep peradaban yang telah lama kurang diteorikan. Teori peradaban (civilisational theory) Johann P. Arnason adalah kunci dalam hal ini. Pendekatan Arnason memberikan keseimbangan antara peradaban dalam bentuk tunggal, yaitu modernitas sebagai proses pembudayaan global dalam arti yang ditonjolkan oleh Norbert Elias (modernity as a global civilising process in the sense highlighted by Norbert Elias) ([1939, 1976] 1982) – sebuah proses yang juga mengonfigurasi program untuk mengatasi perbedaan peradaban (a process that also configures the programme to overcome civilisational differences)– dan peradaban dalam bentuk jamak, yaitu dunia dengan beragam peradaban yang memfasilitasi munculnya berbagai modernitas (a world of diverse civilisations facilitating the emergence of multiple modernities) (Arnason 2003).

 

Dimensi makro-sosiologis tradisi (the macro-sociological dimension of tradition) menjadi komponen budaya dari suatu peradaban tertentu. Peradaban (civilisation) selalu menggabungkan kekuatan dan budaya dengan cara yang orisinal; oleh karena itu, konstitusi dan hubungan timbal balik (mutual relations) antara elit politik dan budaya (political and cultural elites) sangat penting untuk bekerjanya peradaban. Peradaban melampaui batas tertutup dari masyarakat nasional tertentu dan mengartikulasikan melintasi waktu (epos) dan ruang (unit geo-budaya) spektrum kemungkinan organisasi masyarakat yang diizinkan dalam gagasan kekuasaan yang spesifik secara budaya dan dalam konfigurasi yang ditentukan oleh kekuasaan dari tradisi budaya (power-determined configurations of cultural traditions). Oleh karena itu, cara kekuasaan dijalankan dan dilegitimasi bergantung pada tradisi budaya: pada kode legitimasi yang dielaborasi oleh elit budaya, tetapi juga pada praktik dan penilaian konkret sehari-hari dari rakyat jelata. Dialektika kekuasaan dan budaya  (the dialectic of power and culture) adalah khas untuk setiap peradaban. Dialektika semacam itu juga menentukan kota-kota tertentu dari peradaban Islam, seperti yang akan kita lihat secara lebih rinci.

 

Dimensi budaya peradaban (the cultural dimension of civilisation), yang diwakili oleh tradisi, disoroti oleh interpretasi Arnason tentang pemahaman tradisi Marshall Hodgson, yang dikembangkan dalam studi terakhir tentang peradaban Islam (Islamic civilisation) (Hodgson 1974) dan dalam perbandingannya antara peradaban Barat dan Islam (Hodgson 1993). ). Pendekatan ini membantu menentukan hubungan antara dimensi mikro dan makro suatu peradaban, antara tradisi praktik dan komunikasi dan fondasi strukturalnya. Bukan kebetulan ide-ide Hodgson dikembangkan dalam konteks studinya tentang Islam dan karena itu kritis terhadap gagasan tradisi yang lazim dan diremehkan dikembangkan dan digunakan dalam lingkaran teori modernisasi (the modernisation theory circles). Sebaliknya ia menekankan tindakan kreatif (creative action) dan interaksi kumulatif (cumulative interaction) sebagai ciri-ciri penting dari tradisi (essential traits of traditions). Dalam pengertian ini, peradaban dengan kebutuhan bergantung pada tradisi dan ditentukan oleh mereka (Arnason 2006a), melalui kapasitas mereka untuk mendukung ikatan sosial pada tingkat mikro (Salvatore 2007a).

 

Untuk memahami dimensi kekuasaan yang melekat (the dimension of power inherent) dalam Islam sebagai sebuah tradisi atau sebagai seperangkat tradisi yang dibundel, kita dapat merujuk pada beberapa intervensi oleh Talal Asad (1986), yang menanggapi fungsionalisme (functionalism) yang masih bekerja dalam pendekatan beberapa antropolog dan sosiolog Islam. Mengevaluasi kembali tradisi tidak berarti melenyapkan struktur – atau batasan – tindakan, yang pada akhirnya ditentukan oleh bagaimana kekuasaan bekerja (how power works) dan dilembagakan dalam konteks sosial tertentu (instituted in a given social context). Ini tidak boleh mengarah pada pengabaian kekuasaan (neglect power) dan akumulasi kekayaan (accumulation of wealth) sebagai sarana khusus untuk – dan efek dari – kekuasaan sebagai faktor utama yang mempengaruhi bagaimana tradisi diartikulasikan dalam lingkungan sosial yang konkret. Namun pengejaran kekuasaan dan kekayaan itu sendiri sampai batas tertentu bergantung pada bagaimana tradisi budaya membingkai keinginan mereka dan pada bagaimana aktor sosial mengejar keuntungan mereka: pada bagaimana 'goods’ (barang) material dan immaterial didefinisikan secara budaya (culturally defined). Cara kerja kekuasaan itu sendiri tergantung pada bagaimana kekuasaan dikonseptualisasikan dan dipraktikkan dalam konteks peradaban tertentu, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh tradisi budaya (the working itself of power depends on how power is conceptualised and put into practice within specific civilisational contexts, which are in turn infl uenced by cultural traditions) (Arnason 2003).

 

Selain itu, melalui jaringan praktik dan komunikasi yang mendasarinya, tradisi memiliki potensi untuk menjinakkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan tidak pandang bulu (to tame indiscriminate, arbitrary power). Para praktisinya berjuang untuk mencegah terungkapnya rasionalitas fungsionalistik yang membabi buta di dalam masyarakat, terutama berujung pada maksimalisasi efisiensi (maximisation of efficiency), akumulasi kekayaan (accumulation of wealth), sentralisasi kekuasaan (centralisation of power), dan optimalisasi kontrol (optimisation of control). Tradisi juga memfasilitasi transmisi, dan bila perlu kontestasi, pola-pola otoritas dalam setiap formasi sosial tertentu. Dalam lingkungan modern, mereka mungkin bertahan dan terkadang berkembang. Akibatnya, otoritas dapat menjadi sah hanya jika ia mampu mengatur, secara praktis dan kognitif, jaringan praktik dan komunikasi – mengingat aliran sumber daya tertentu dan distribusinya di antara para praktisi. Yang pasti, penciptaan dan kontestasi jenis-jenis otoritas yang menyatukan tradisi juga dapat secara simultan mempengaruhi aliran dan distribusi sumber daya dan menciptakan hubungan sosial yang tidak adil (the creation and contestation of the types of authority that hold together traditions can also, simultaneously, affect the flow and distribution of resources and create unjust social relations). Tradisi bukanlah kekuasaan yang netral atau buta, karena tradisi juga memberikan orientasi pada pembentukan pola kekuasaan dan legitimasi kepada pemegang kekuasaan (traditions are not power neutral or blind, since they also provide orientation to the shaping of power patterns and legitimacy to power holders).

 

Keterbukaan tradisi vis--vis kekuasaan yang berprinsip ini menciptakan kesempatan (creates occasions) dan memberikan pembenaran (provides justifications) untuk kontestasi otoritas (a contestation of authority) oleh para praktisi yang memprotes sejauh mana kekuasaan tidak dibenarkan oleh otoritas, atau otoritas dilebih-lebihkan ditopang oleh pelaksanaan kekuasaan yang tidak terkendali. Sambil melihat tradisi, kita harus mempertimbangkan mekanisme di mana pekerjaan mereka mengimunisasi praktisi mereka – dan sampai batas tertentu juga mereka yang memegang otoritas – dari melihat kekuasaan sebagai akhir dari tindakan sosial (social action) itu sendiri. Sindrom kekuasaan yang sepenuhnya otonom (syndrome of a fully autonomous power) seperti itu biasanya diasosiasikan dengan mesin kekuasaan negara-negara modern. Michel Foucault (1991) paling baik menggambarkannya dalam karya-karyanya tentang modernitas Barat, yang menekankan produktivitas kekuasaan dalam membentuk subjektivitas yang sesuai dengan mesin kekuasaan itu.

 

Mekanisme imunisasi (the mechanism of immunisation) terhadap otonomi penuh kekuasaan yang bekerja di dalam tradisi harus berjalan dengan baik agar tradisi dapat berkembang atau setidaknya bertahan dalam kondisi modern. Harga yang harus dibayar oleh sebuah tradisi untuk kegagalan abadi dalam upaya imunisasi ini adalah keadaan gangguan (state of disturbance), krisis yang mendalam (a deep crisis), keruntuhan dan kehancuran total (an outright collapse and dissolution). Alternatifnya adalah, seperti dalam lintasan ikatan masyarakat Barat (trajectory of Western societies), ledakan tradisi yang bermutasi dan penciptaan bentuk kekuasaan baru yang otonom (creation of a new, autonomous form of power), yang berpuncak pada mesin negara modern (machinery of the modern state) (Salvatore 2007a). Cobaan dari ketegangan pembangunan peradaban yang sedang berlangsung antara budaya dan kekuasaan diselesaikan melalui penegasan budaya kekuasaan atau 'civilised power’ (kekuatan beradab). Di sinilah pendekatan Elias pada proses pembudayaan dan Foucault pada pembangunan subjektivitas dan disiplin modern tampaknya bertemu. Mengomentari pandangan seperti itu, Shmuel N. Eisenstadt (2006) baru-baru ini menegaskan kembali kelenturan yang lebih tinggi dari gagasan Weber tentang hubungan antara budaya dan kekuasaan untuk pendekatan komparatif yang menilai kombinasi dan lintasan khusus peradaban (civilisation-specific combinations and trajectories).

 

Konseptualisasi tradisi yang baru saja saya usulkan dapat digunakan untuk menginokulasi kita terhadap identifikasi yang terlalu sepihak dari pola Barat (one-sided identification of a Western) dan modern dari solusi atas puing-puing budaya dan kekuasaan dengan tout court modernitas. Inilah sebabnya mengapa konseptualisasi tradisi (conceptualisation of traditions) yang memadai – tidak hanya tentang pluralitasnya tetapi juga tentang daya saing internalnya dan dinamikanya yang terjerat – sangat penting untuk membuka cakrawala untuk berteori dan membandingkan berbagai modernitas (essential to open up horizons for theorising and comparing multiple modernities). Dengan cara ini, kita mungkin mencapai varian yang lebih bernuansa dan plastis dari pendekatan tradisi yang disebutkan sebelumnya sebagai sumber daya yang digunakan aktor sosial (social actors) untuk menafsirkan situasi sosial (interpreting social situations) dan mendapatkan orientasi di dunia, atau sebagai sumber daya untuk solusi institusional untuk masalah sosial (resource for institutional solutions to social problems). Namun kita harus menghindari penyederhanaan makro-sosiologis yang terpikat di balik pendekatan 'tradition as resource’ (tradisi sebagai sumber daya), yang dapat memperkenalkan kembali fungsionalisme (reintroduce a functionalism) yang menyamar, alih-alih membuat kita tetap fokus pada tingkat keterbukaan tradisi (openness of traditions) dan daya saing interpretasi mereka.

 

Risiko fungsionalisme baru (the risk of a new functionalism) terutama terlihat dalam lintasan refleksi yang mencoba merumuskan kembali warisan Durkheimian (reformulate the Durkheimian heritage) – yang memberikan penekanan istimewa pada agama sebagai penyedia integrasi sosial yang penting (a crucial provider of social integration)– ke dalam pendekatan yang mencoba untuk mendamaikan gagasan modern tentang agama (reconcile the modern notion of religion) dengan agama, dinamika tradisi, sekarang diringkas dalam bentuk 'shared values’ (nilai-nilai bersama) dari suatu masyarakat tertentu. Hasilnya adalah reduksi agama menjadi pencarian makna subjektif yang terekspos pada pemahaman dan komunikasi intersubjektif (a reduction of religion to a subjective search for meaning that is exposed to intersubjective understanding and communication).

 

Pujangga teori sosial terkemuka seperti sosiolog Robert Bellah dan antropolog Clifford Geertz mendukung pandangan ini dan menguraikannya, meskipun dari sudut yang berbeda. Yang paling menonjol, Geertz mencoba merekonstruksi gagasan budaya yang layak (reconstruct a viable notion of culture), bukan dalam bentuk tradisi budaya (cultural tradition), tetapi dipahami sebagai 'cultural system’ (sistem budaya), yang berakar pada agama, dan bekerja dalam berbagai bentuk praktik Muslim di tempat-tempat yang begitu jauh, seperti Maroko dan Indonesia.

 

Dengan demikian, sebagai sistem makna (a system of meaning), agama mungkin dibentuk dengan cara yang bervariasi secara budaya di berbagai belahan dunia, tetapi fungsinya untuk menstabilkan dunia kehidupan dan memberikan kohesi kepada masyarakat pada dasarnya tetap sama di mana pun (Geertz 1973: 87-125). Melalui rekonseptualisasi budaya ini, kita memperoleh pandangan tentang sistem kekuatan sosial impersonal (view of an impersonal system of social power) yang didukung oleh berbagai praktik budaya lokal, sementara keterbukaan interpretatif tradisi budaya yang lebih luas dipertanyakan (interpretative openness of wider cultural traditions is questioned): dalam pandangan neo fungsionalis Geertz tentang budaya – dan agama sebagai budaya – tidak ada yang namanya tradisi Islam, apalagi peradaban Islam (there is no such thing as an Islamic tradition, even less an Islamic civilisation).

 

Talal Asad telah menjadi kritikus yang paling tanpa kompromi dari pandangan agama sebagai budaya (the most uncompromising critic of this view of religion as culture), yang mengecilkan karakter tradisi (understates the character of tradition) sebagai ansambel praktik yang tunduk pada pengawasan melalui argumen intersubjektif (intersubjective argument) dan upaya kolektif untuk revisi, kontestasi, dan inovasi (collective endeavours to revision, contestation and innovation). Asad telah secara meyakinkan mengungkap gagasan monolitik dan jelas tentang agama, yang dimiliki oleh sosiolog dan antropolog, dengan membatasi bidang yang secara radikal terputus dari keterkaitan praktik budaya dan kekuatan institusional. Dia telah menyangkal kemungkinan mendefinisikan agama dalam istilah universal, 'not only because its constituent elements and relationships are historically specific, but because that defi nition is itself the historical product of discursive processes’ (bukan hanya karena unsur-unsur penyusunnya dan hubungannya secara historis spesifik, tetapi karena definisi itu sendiri merupakan produk historis dari proses diskursif) (Asad 1993: 29)

 

Dikutip dari buku berjudul, “Islam and Modernity”.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih dalam buku tersebut, kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Islam and Modernity pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer