Pages

Minggu, 28 Juli 2019

Dilema Rumah atau Mobil Dulu?


Sumber gambar: m.caping.co.id
Sejak zaman dulu, rumah sudah menjadi kebutuhan primer manusia disamping pakaian dan makanan, istilah kerennya trilogi sandang, papan, pangan. Dengan kata lain ketiga hal tersebut merupakan kebutuhan pokok yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Sandang jelas untuk melindungi tubuh dari berbagai ancaman baik cuaca panas atau dingin, ancaman fisik, serta estetika manusia. 

Pangan juga sangat diperlukan agar manusia dapat bertahan hidup, tumbuh dan berkembang. Sementara papan merupakan tempat berlindung dan berkembang biaknya manusia serta menjadi tempat mendidik dan melatih generasi penerus.

Di sisi lain, manusia modern semakin banyak bergerak sehingga membutuhkan moda transportasi yang aman dan nyaman. Walau sudah tersedia angkutan umum, namun tetap saja ada ranah privat yang hanya bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi. 

Lagipula pemilikan kendaraan pribadi sekaligus juga meningkatkan status sosial pemiliknya, tidak hanya sekadar untuk mengantar jemput atau bepergian jauh saja. Zaman itu orang yang punya rumah dan mobil status sosialnya terangkat dan disegani para tetangganya

Di zaman milenial sekarang ini, harga dua kebutuhan tersebut semakin melambung tinggi mengikuti deret eksponensial. Harga rumah selama duapuluh tahun terakhir melonjak hingga seribu persen! 

Dulu di pinggiran kota kita masih bisa memperoleh rumah dengan harga kurang dari 50 juta Rupiah, sekarang rata-rata sudah di atas 300 juta Rupiah, bahkan di kota-kota besar sudah mencapai 1 Milyar! 

Harga mobil juga tak mau kalah gertak, sekarang tidak ada lagi harga mobil baru di bawah 100 juta Rupiah, bahkan untuk tipe dan spek terendah sekalipun. Padahal lima tahun lalu masih ada yang dijual dengan harga di bawah 90 juta.

Sementara pendapatan rata-rata milenial atau para pegawai baru dengan masa kerja kurang dari lima tahun peningkatannya mengikuti deret hitung. 

Semakin ketatnya persaingan bisnis membuat perusahaan semakin banyak melakukan efisiensi, salah satunya adalah dengan tidak merekrut karyawan tetap, tapi terikat kontrak seperti pemain bola. 

Ketika sudah tidak diperlukan lagi, tinggal menunggu masa kontrak habis dan selesailah sudah semuanya. Kaum milenial harus kembali berjuang untuk memperoleh pekerjaan baru lagi. Wajarlah jika penerimaan ASN terutama formasi PNS sekarang menjadi dambaan para milenial, karena masa depannya jelas tanpa khawatir untuk dipecat.

Mahalnya harga kedua jenis barang pokok tersebut membuat banyak milenial terjebak untuk mengambil kredit alias utangan jangka menengah atau panjang. Fasilitas kredit semakin dipermudah namun tetap saja bayar cicilannya yang susah.

Dengan uang 500 ribu kita sudah bisa menggondol kendaraan roda dua, 20 juta sudah bisa ngegas di jalan tol dengan mobil baru, dan 50 juta sudah punya rumah mungil nan nyaman di sudut kota.

Namun jangan lupa, total besaran cicilan tak lebih dari sepertiga pendapatan pokok yang diterima calon debitur. Itulah yang menjadi dilema milenial sekarang ini karena pendapatannya relatif pas-pasan, sementara kebutuhan akan dua barang pokok tersebut tak terhindarkan. Akibatnya muncul dilema, mana yang harus didahulukan, rumah atau mobil?

Sebagian memilih untuk membeli rumah dengan alasan untuk menjamin tempat berteduh, walau kadang harus bangun subuh agar tidak terlambat datang ke kantor.

Lagipula sekarang sudah banyak pilihan moda transportasi termasuk ojek online yang bisa mengantar ke sana ke mari sehingga tidak perlu lagi punya kendaraan sendiri. Paling tidak dengan punya rumah tidak harus lagi keluar biaya ekstra untuk mengontrak, lebih baik dialihkan dananya untuk membayar cicilan rumah.

Sebagian lainnya memilih untuk membeli mobil atau minimal motor karena tingkat pergerakannya tinggi, ketemu klien sana sini sehingga perlu tampil sedikit perlente, sementara kantor tidak menyediakan kendaraan khusus. Mereka biasanya tinggal dengan menyewa apartemen atau kos-kosan dekat kantor untuk mengurangi biaya transportasi. 

Lagipula cicilan mobil lebih cepat tenggang waktunya daripada rumah, paling lama hanya lima tahun dibanding rumah yang bisa dicicil hingga dua puluh tahun. Toh suatu saat nanti dapat warisan rumah, jadi tunggu saja waktunya.

Ada plus minus apakah membeli rumah dulu atau mobil dulu. Harga rumah yang cenderung meningkat setiap tahunnya bisa menjadi investasi jangka panjang, namun harus bersusah payah dulu bekerja jauh dari rumah, bangun pagi pulang malam. 

Lagipula rumah bukan barang yang mudah untuk dijual, butuh waktu dan proses yang panjang untuk mencapai kata sepakat. Buat milenial yang menyukai kenyamanan, membeli rumah jelas lebih tepat ketimbang memiliki mobil terlebih dahulu.

Sebaliknya dengan mobil, harganya cenderung terus menerus menurun, kecuali pernah satu periode antara tahun 2007-2010 dimana harga mobil bekas justru lebih mahal dari harga waktu beli pertama kali. 

Namun kita bisa bergerak bebas tanpa harus menunggu ojol atau angkutan umum yang kadang lama sementara kita dikejar waktu. Dalam jangka pendek mobil juga lebih mudah dijual, apalagi merek-merek tertentu yang pasaran atau dikenal sebagai mobil sejuta umat, serta tidak seribet jual rumah.

Bagi milenial yang aktif, memiliki mobil (atau minimal motor) lebih tepat karena bisa memperoleh penghasilan tambahan di luar jam kerja untuk ditabung membeli rumah nantinya.

Memiliki keduanya bukanlah hal yang mudah bagi milenial, apalagi dengan gaji pas-pasan. Ketentuan BI yang ketat tentang kredit (walau kadang tetap saja bocor) membuat milenial harus memilih salah satu di antara rumah atau mobil untuk dibeli terlebih dahulu. 

Memaksakan diri untuk memiliki keduanya sekaligus merupakan tindakan bunuh diri karena menumpuk hutang dengan bunga yang relatif besar dan rawan untuk disita atau ditarik leasing.

Oleh karena itu, pilihan untuk membeli mobil atau rumah perlu disesuaikan dengan kondisi masing-masing kaum milenial. Untuk investasi jangka panjang, membeli rumah merupakan pilihan tepat, dengan resiko harus banting tulang selagi muda bangun subuh tiap hari menuju tempat kerja. 

Namun untuk jangka pendek, apalagi bagi yang kreatif seperti freelancer atau wirausaha muda, mobilitas lebih penting daripada menetap. Mobil merupakan pilihan tepat dalam kondisi seperti ini. Paling tidak mobil bisa dijual cepat bila butuh uang mendesak untuk modal proyek atau usaha lainnya yang lebih menguntungkan.

So, pilih mana, rumah atau mobil dulu?

Diambil dari kompasiana.com

Menolak Ide Khilafah

Sumber gambar: nu.or.id


"Buktikan bahwa sistem politik dan ketatanegaraan Islam itu tidak ada. Islam itu lengkap dan sempurna, semua diatur di dalamnya, termasuk khilafah sebagai sistem pemerintahan”.

Pernyataan dengan nada agak marah itu diberondongkan kepada saya oleh seorang aktivis ormas Islam asal Blitar saat saya mengisi halaqah di dalam pertemuan Muhammadiyah se-Jawa Timur ketika saya masih menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.

Saat itu, teman saya, Prof Zainuri yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, mengundang saya untuk menjadi narasumber dalam forum tersebut dan saya diminta berbicara seputar ”Konstitusi bagi Umat Islam Indonesia”.

Pada saat itu saya mengatakan, umat Islam Indonesia harus menerima sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman dari bangsa Indonesia.

Saya mengatakan pula, di dalam sumber primer ajaran Islam, Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW, tidak ada ajaran sistem politik, ketatanegaraan, dan pemerintahan yang baku. Di dalam Islam memang ada ajaran hidup bernegara dan istilah khilafah, tetapi sistem dan strukturisasinya tidak diatur di dalam Al Quran dan Sunah, melainkan diserahkan kepada kaum Muslimin sesuai dengan tuntutan tempat dan zaman.

Sistem Negara Pancasila

Khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah ciptaan manusia yang isinya bisa bermacam-macam dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Di dalam Islam tidak ada sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang baku.

Umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri. Para ulama yang ikut mendirikan dan membangun Indonesia menyatakan, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah sehingga harus diterima sebagai miitsaaqan ghaliidzaa atau kesepakatan luhur bangsa.

Penjelasan saya yang seperti itulah yang memicu pernyataan aktivis ormas Islam dari Blitar itu dengan meminta saya untuk bertanggung jawab dan membuktikan bahwa di dalam sumber primer Islam tidak ada sistem politik dan ketatanegaraan. Atas pernyataannya itu, saya mengajukan pernyataan balik. Saya tak perlu membuktikan apa-apa bahwa sistem pemerintahan Islam seperti khilafah itu tidak ada yang baku karena memang tidak ada.

Justru yang harus membuktikan adalah orang yang mengatakan, ada sistem ketatanegaraan atau sistem politik yang baku dalam Islam. ”Kalau Saudara mengatakan bahwa ada sistem baku di dalam Islam, coba sekarang Saudara buktikan, bagaimana sistemnya dan di mana itu adanya,” kata saya.

Ternyata dia tidak bisa menunjuk bagaimana sistem khilafah yang baku itu. Kepadanya saya tegaskan lagi, tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Semua terserah pada umatnya sesuai dengan keadaan masyarakat dan perkembangan zaman.

Buktinya, di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistem mamlakah (kerajaan), ada yang memakai sistem emirat (keamiran), ada yang memakai sistem sulthaniyyah (kesultanan), ada yang memakai jumhuriyyah (republik), dan sebagainya. Bahwa di kalangan kaum Muslimin sendiri implementasi sistem pemerintahan itu berbeda-beda sudahlah menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Istilah fikihnya, sudah ada ijma’ sukuti (persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al syar’iy).

Kalaulah yang dimaksud sistem khilafah itu adalah sistem kekhalifahan yang banyak tumbuh setelah Nabi wafat, maka itu pun tidak ada sistemnya yang baku.

Di antara empat khalifah rasyidah atau Khulafa’ al-Rasyidin saja sistemnya juga berbeda-beda. Tampilnya Abu Bakar sebagai khalifah memakai cara pemilihan, Umar ibn Khaththab ditunjuk oleh Abu Bakar, Utsman ibn Affan dipilih oleh formatur beranggotakan enam orang yang dibentuk oleh Umar.

Begitu juga Ali ibn Abi Thalib yang keterpilihannya disusul dengan perpecahan yang melahirkan khilafah Bani Umayyah. Setelah Bani Umayyah lahir pula khilafah Bani Abbasiyah, khilafah Turki Utsmany (Ottoman) dan lain-lain yang juga berbeda-beda.

Yang mana sistem khilafah yang baku? Tidak ada, kan? Yang ada hanyalah produk ijtihad yang berbeda-beda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Ini berbeda dengan sistem negara Pancasila yang sudah baku sampai pada pelembagaannya. Ia merupakan produk ijtihad yang dibangun berdasar realitas masyarakat Indonesia yang majemuk, sama dengan ketika Nabi membangun Negara Madinah.

Berbahaya

Para pendukung sistem khilafah sering mengatakan, sistem negara Pancasila telah gagal membangun kesejahteraan dan keadilan. Kalau itu masalahnya, maka dari sejarah khilafah yang panjang dan beragam (sehingga tak jelas yang mana yang benar) itu banyak juga yang gagal dan malah kejam dan sewenang-wenang terhadap warganya sendiri.

Semua sistem khilafah, selain pernah melahirkan penguasa yang bagus, sering pula melahirkan pemerintah yang korup dan sewenang-wenang. Kalaulah dikatakan bahwa di dalam sistem khilafah ada substansi ajaran moral dan etika pemerintahan yang tinggi, maka di dalam sistem Pancasila pun ada nilai-nilai moral dan etika yang luhur. Masalahnya, kan, soal implementasi saja. Yang penting sebenarnya adalah bagaimana kita mengimplementasikannya.

Maaf, sejak Konferensi Internasional Hizbut Tahrir tanggal 12 Agustus 2007 di Jakarta yang menyatakan ”demokrasi haram” dan Hizbut Tahrir akan memperjuangkan berdirinya negara khilafah transnasional dari Asia Tenggara sampai Australia, saya mengatakan bahwa gerakan itu berbahaya bagi Indonesia. Kalau ide itu, misalnya, diterus-teruskan, yang terancam perpecahan bukan hanya bangsa Indonesia, melainkan juga di internal umat Islam sendiri.

Mengapa? Kalau ide khilafah diterima, di internal umat Islam sendiri akan muncul banyak alternatif yang tidak jelas karena tidak ada sistemnya yang baku berdasar Al Quran dan Sunah. Situasinya bisa saling klaim kebenaran dari ide khilafah yang berbeda-beda itu. Potensi kaos sangat besar di dalamnya.

Oleh karena itu, bersatu dalam keberagaman di dalam negara Pancasila yang sistemnya sudah jelas dituangkan di dalam konstitusi menjadi suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Ini yang harus diperkokoh sebagai mietsaaqan ghaliedzaa (kesepakatan luhur) seluruh bangsa Indonesia. Para ulama dan intelektual Muslim Indonesia sudah lama menyimpulkan demikian.

Dikutip dari pendapat Moh Mahfud MD
Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2008-2013.

Kasta Tertinggi Tujuan Hidup: Bermanfaat tapi Jangan Dikalkulasi


Sumber gambar: esqtraining.com
Dengan keadaan seperti itu seakan bukan sebatas sukses dunia akhirat saja yang harusnya menjadi tujuan hidup. Karena jika yang menjadi patokan hanya kesuksesan itu, sangat rapuh ketangguhan hati kita terhadap masalah-masalah yang mungkin kelak akan kita hadapi. Jiwa kita seakan belum bersandar kepada sesuatu yang tepat. 

Mengapa Allah menakdirkan kita hidup di bumi sebagai manusia, mengapa tidak menjadi batu, gunung, angin, tumbuhan, atau hewan? Yang hanya bisa pasrah atas kodrat mereka. Tapi mengapa menjadi manusia? Kita tidak akan pernah mengenali siapa diri kita yang sebenarnya, mengapa kita hidup dan apa tujuannya?

Jawaban mayoritas yang kedua setelah kesuksesan diatas adalah dapat bermanfaat bagi orang lain. Ini betul, manusia sebagai makhluk sosial pasti punya naluri untuk dapat bermanfaat bagi orang lain, terutama bisa bermanfaat untuk orang-orang yang dicintai. Sejahat-jahatnya maling pasti dia melakukan tindakan pencurian atas dasar untuk memenuhi kebutuhan orang yang dicintainya. 

Agar dia bisa merasakan menjadi orang yang bermanfaat. Celakanya disini banyak yang ingin bermanfaat bukan karena suatu kewajiban melainkan karena ingin dipandang oleh orang lain, itulah yang terkadang membuat manusia menghalalkan segala cara untuk dapat menjadi seseorang yang terpandang.

Bermanfaat bagi orang lain merupakan awal untuk menemukan tujuan hidup yang lebih hakiki. Bermanfaat itu sendiri pasti diterapkan melalui sebuah tindakan atau perbuatan. Banyak sekali tindakan atau perbuatan itu yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain. 

Melaksanakan zakat, bersedekah, beramal, atau bahkan jika kita buang air kecil dan kita mempunyai kesadaran harus menyiramnya setelah selesai itu sudah menjadi manfaat bagi orang lain karena orang lain merasa nyaman ketika menggunakan wc setelahnya. Bayangkan jika kamu tidak menyiramnya, apalagi malam harinya kamu habis makan pete apa jengkol, pasti orang lain yang menggunakan wc setelah kamu akan merasa tidak nyaman, nggrundel, atau mungkin kamu bisa kena makikarena bau yang khas.

Setelah dulu tujuan pertama adalah sebuah kesuksesan yang maknanya pun demi menyenangkan diri sendiri, kali ini tujuan berikutnya adalah bermanfaat bagi orang lain. Lantas bagaimana mereka mempersepsikan sebuah bentuk kemanfaatan bagi orang lain tersebut? Celakanya mereka sering menggunakan ini sebagai landasan pacu mereka untuk terus ngegas mengejar dunia. Tentu hal tersebut tidaklah salah. Sungguh cerdik. Kalian akan mendapatkan keuntungan berlipat-lipat.

Pertama, anda akan dibilang kaya dan sukses karena banyak membantu orang lain. Kedua, kamu akan terkenal di mata orang lain. Yang ketiga, kamu mendapatkan banyak pahala pula darinya. Anda tidak akan direndahkan atau diremehkan. Anda tidak akan kelaparan. Anda tidak akan kesunyian. Anda mendapatkan perhatian begitu pula eksistensi di depan para hambanya 'yang ingin menapaki jalan yang sama' atau 'yang gumunan'.

Mungkin anda tipikal raja, seperti Nabi Sulaiman. Tapi apa yang didapat oleh Nabi Sulaiman pun karena dia mendapat buah dari cahaya-Nya. Ketika kita hanya hamba sahaya, justru kehatian-hatian atau sikap waspadalah ketika kita mendapatkan kecerdikan tersebut. Apakah kita sedang diuji? Atau memang fadhillah anda seperti itu? Ataukah anda menjadi pemimpin karena memang bukan semata-mata kehendakmu?

Apa kebermanfaat bisa menjadi sebuah bentuk keserakahan? Mereka mulai banyak bersembunyi pada tujuan hidup yang banyak dipilih kedua ini. Singkat saja, manfaat tak hanya sebatas materi. Sebuah senyuman pun dapat bernilai ibadah dan mengandung energi yang luar biasa ketika kita memberikan banyak senyuman kepada orang lain. Manfaat itu adalah suatu usaha bukan tujuan/hasil. Karena bermanfaat atau tidaknya hidupmu, itu tergantung kehendakNya.

Jika manfaat itu terlalu banyak anda kalkulasi dengan imbalan apapun, termasuk pahala. Keistiqomahan anda dalam melakukan suatu usaha tidak akan pernah bisa tulus. Dan jika anda memandang jika hanya dengan materi manfaat itu dapat didapat, bukankah tujuan utamanya adalah materi, bukan manfaatnya?

Karena kalau anda ingin bermanfaat bagi orang lain dengan ikhlas, di segala ruang dan waktu banyak yang membutuhkannya. Dan tidak ada celah bagimu untuk beristirahat, kecuali memohon pertolongan  dengan terus mengingatNya. Karena kekerdilanmu, karena ketidaktahuanmu, karena ketidaktegaanmu, karena ketidakmampuanmu. Pun pada akhirnya kamu hanya mengingat "rabbana zhalamna anfusana, wa in lam taghfirlana, watarhamna lanakunanna minal khasiriin." (7:23)

Dikutip dari kompasiana.com/taufansatyadharma/

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer