Pages

Sabtu, 30 Mei 2020

Islam, Institusionalisasi Khalifah dan Masa Depan Ideologi Politik Islam

Sumber gambar: publika.co.id

Kajian tentang politik dalam Islam memiliki perbedaan yang berbeda dengan isu-isu lain, seperti ibadah, akhlak dan muamalat. Pemberian perhatian dari berbagai kalangan terhadap isu ini cukup menonjol dalam rentang abad yang sesuai dengan perjalanan Islam, terutama dalam satu abad terakhir, kompilasi berbagai gejolak dan gerakan politik secara keseluruhan yang terjadi di negara-negara yang berpenduduk Muslim.

Isu politik dalam Islam masih cukup menarik untuk diperbincangkan. Hanya muncul empat alasan mengapa masalah ini masih dianggap penting untuk dibicarakan. Pertama, bahas anggapan tentang isu politik sebagai isu agama, artinya kajian tentang politik disamakan dengan kajian tentang hudud, qishas, ​​ibadah, faraid dan berbagai jenisnya yang merupakan satu-kesatuan dalam studi keagamaan. Di beberapa buku klasik, kajian politik masuk dalam bab al-siyasah, suatu kajian yang merupakan keniscayaan untuk menjadi bagian dari praktik ibadah (thalab al-ilm). Kedua, membahas berbagai hal tentang kembali pada ajaran dan praktik klasik dalam kehidupan kenegaraan, prioritas kembali pada ajaran Nabi dan khulafa 'al-rasyidin. Dua era ini dianggap sebagai era keemasan zaman keemasan dalam praktik perpolitikan yang sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunnah. Ketiga, pada saat yang bersamaan, praktik demokrasi ala Barat di berbagai negara yang melibatkan Muslim menggantikan instabilitas dan ketidaknyamanan karena dianggap prematur dan bertentangan dengan tradisi yang telah lama dibangun oleh penduduk lokal. Demokrasi kemudian melahirkan hegemoni dan negara pemaksaan tertentu yang dianggap terlalu vulgar dalam mempraktikkan demokrasi dalam kehidupan bernegara. Keempat, pada saat yang bersamaan di beberapa Perguruan Tinggi Islam, kajian Islam politik dan politik Islam yang diperoleh ruang yang sangat luas. Di beberapa IAIN / UIN ada program Studi Politik Islam yang salah satu misinya mengembangkan dan mempelajari kajian politik Islam dan Islam politik dalam ranah teoretik dan praktik.

Historical Review

Sesungguhnya, kajian tentang politik Islam adalah kajian yang masih cukup menarik. Literatur dan sumber bacaan yang dapat diakses oleh mahasiswa juga pemerhati adalah literatur yang memiliki sanad cukup kuat, berbasis literatur klasik. Selain al-Qur'an dan al-Hadis yang dapat dengan mudah ditemukan berbagai sumber kajian politik, juga beberapa tafsir dan kitab hadits yang ditulis pada abad VII dan VIII M. Di sisi lain, kita juga dapat menemukan literatur kajian politik Islam dari pemikir yang lahir pada abad IX, X dan XI M seperti al-Mawardi, Ibn Khaldun, al-Ghazali, al Farabi. Karya al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah dan Ibn Khaldun, Muqaddimah, merupakan literatur klasik yang sangat kaya akan ide dan wawasan politik yang masih hangat untuk dibicarakan sekarang. Sementara kita juga dapat mengkaji karya Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, yang merupakan pikiran-pikiran segar yang masih relevan untuk diperbincangkan hingga sekarang. Sementara di literatur pada awal era modern, kita dapat mengakses karya ‐ karya Muhammad Rasyid Ridha, Ali Abdul Raziq dan beberapa ilmuwan yang lahir pada abad XIX M.

Pada era abad ke-20, kajian politik Islam sudah cukup mewarnai studi-studi keislaman. Di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah muncul beberapa karya akademik dari dosen dan guru besar yang memiliki kepedulian terhadap isu ‐ isu politik. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Disertasi dan karya akademik IAIN pada 1980/90-an sudah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baik mengambil lokus politik Islam secara luas maupun isu-isu lokal keindonesiaan. Ada beberapa nama yang disebut disebut Deliar Noer, Munawir Sjadzali, Bachtiar Effendy, Fachry Ali dan beberapa nama lain yang cukup menonjol dalam kajian politik Islam.

Bagaimana dengan literatur yang ditulis oleh penulis Barat? Studi tentang Timur di beberapa universitas Barat sudah lama berkembang. Studi tentang Islam telah terjadi dari abad XVII hingga sekarang, sehingga muncul Studi Islam di beberapa universitas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika karya ‐ karya akademik mereka lebih menonjol dan lebih banyak dibandingkan dengan karya akademik yang diterbitkan oleh penulis dari Islam. Nama-nama populer seperti Bernard Lewis, M. Watt, Marshall G. Hudgson, HAR. Gibb, D. MacDonald, dan lain-lain akan banyak mewarnai perpustakaan kajian politik Islam. Demikian pula seperti John L. Esposito, J. Obert Voll, Charle J. Adam adalah nama-nama yang akan banyak meramaikan rak-rak perpustakaan di IAIN/UIN.

Perbincangan Lembaga politik Islam belakangan ini semakin menarik seiring dengan meluasnya pengaruh demokrasi Barat Yang hampir menyentuh setiap segmen kehidupan. Demokrasi Barat seakan menjadi pilihan akhir ideologi besar, termasuk di dalamnya, Islam.

Negara yang menarik penduduknya beragama Islam tidak mampu bertahan dari lembaga politik yang dapat mengakuisisi lembaga politik Islam, atau lembaga politik tradisional yang mengadopsi dari warisan nenek moyang. Kalaupun tetap bertahan dengan pola ketradisionalannya, friksi-friksi politik sulit terhindarkan yang pada akhirnya berakibat runtuhnya kehidupan bermasyarakat.

Keberhasilan Islam yang ditunjukkan oleh Nabi dalam menciptakan tatanan politik membuat kekaguman banyak masyarakat, etika dan budaya telah memberikan kontribusi penting bagi peradaban dunia. Namun, berhasil ini tidak diikuti oleh keberhasilan di bidang politik. Hal ini disambut oleh Oliver Roy dalam Kegagalan Islam, “Islamis telah bertransformasi menjadi sejenis neofundamentalisme yang semata-mata berkaitan, mengulas kembali hukum muslim, syariah, tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik baru.”

Hal ini tidak berarti, Roy menyatakan Nabi sebagai pembawa risalah tidak melengkapinya dengan danya sistem politik yang jelas. Namun, umat Islam setelah Nabi meninggal tidak memiliki patokan yang baku mengenai sistem politik, dan kenyataannya mereka cenderung berbeda dalam menfasirkan sistem politik Islam.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah ajaran Islam itu memberikan konsep yang jelas tentang politik atau hanya mengajarkan nilai moral agama saja?

Membuka Keran Multi-Interpretasi

Mengenai konsep politik Islam, di kalangan ulama dan pemerhati sepakat bahwa persoalan ini menjadi zhanni al-dalālah. Karena al-Qur'an menyediakan ruang penafsiran yang berbeda, begitu pula dasar hukum yang disandarkan kepada Nabi. Sebagaimana diketahui Nabi saw tidak meninggalkan wasiat tertentu tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam Madinah. Sementara itu klaim kelompok Ali, menantu Nabi bahwa ia telah mewasiati Ali sebagai penggantinya yang berdasarkan pada hadis hadis-hadis ghadir-khumm yang kesahihannya perlu ditanyakan. Ulama Sunnī cenderung menolak seluruh klaim tersebut. Di samping periwayatannya dianggap tidak perlu, hadis ini dikenal masyarakat setelah Nabi wafat, sehingga tingkat subjektivitasnya sangat tinggi. Oleh karena itu, Nabi tidak meninggalkan wasiat, sahabat ‐ sahabat senior seperti Abū Bakar, ’Umar bin Khaththāb, Abū Ub Ubaidah mendukung di Tsaqīfah Bani Sa’idah untuk membicarakan kepemimpinan umat Islam. Forum dan masyarakat memutuskan untuk mengangkat Abū Bakar sebagai pengganti Nabi, sebagai pemimpin umat Islam. Terpilihnya Abū Bakar sebagai pemimpin umat setelah Nabi, memunculkan istilah baru dalam khazanah politik Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan khalifah atau khulafā al-rāsyidīn.

Saat Abū Bakar, penggantinya ’Umar bin Khaththāb,’ Utsmān bin ’Affan dan’ Alī bin Abi Thalib yang dikenal dengan khulafā al-rāsyidīn (khalifah yang mendapat petunjuk) memakai laqob khalifah untuk menunjuk status kepemimpinannya. Keempat khalifah ini dianggap sebagai khalifah utama (ideal chalips) yang dipilih berdasarkan kesepakatan umat Islam oleh para tokoh tokoh ‐ tokoh sahabat Nabi dan pemimpin suku.

Proses pemilihan yang pertama kali dilakukan oleh khalifah empat telah mengalami penyimpangan pada masa Umayyah. Kepemimpinan umat tidak lagi pada otoritas publik, dikembalikan ke atas selera penguasa. Otoritas publik untuk menentukan pemimpin dialihkan pada otoritas keluarga, sehingga diperlukan khalifah turun-temurun.

Di samping itu, dinasti Umayyah telah mengganti fungsi khalifah dari khalîfaturrasûl yang menggantikan Rasulullah ke khalîfatullâh (wakil Allah). Penggantian istilah ini dimaksudkan untuk mencari legitimasi politik, agar kepemimpinannya diterima secara luas di masyarakat.

Khalifah: Otoritas Agama atau Politik?

Belakangan, perdebatan muncul, apakah khalifah memiliki otoritas agama atau otoritas politik, dan apakah Islam memiliki konsep yang baku tentang pemerintahan, atau persetujuan yang terkait pengembangan di masyarakat yang lalu dinamai Islam?

Penegasan teks al-Qur'an tentang khalifah, diterjemahkan disebut di awal tulisan ini membahasnya sebagai zhannī al-dalalah. Teks al-Qur’ān tersebut cenderung interpretatif. Sebagian besar, ayat-ayat tentang khalifah sama sekali tidak memiliki implikasi politis, sebagian lain setuju sebaliknya. Mengajukan Qomaruddin Khan dan ‘Alī‘ Abdurāziq mengharuskan menafikan implikasi politis ayat-ayat yang bersinggungan dengan khalifah.

Dalam pemikiran politik Islam, sebagaimana dikatakan oleh Din Syamsuddin, ada tiga paradigma konsep pemerintahan yang menandai hubungan antara agama dan negara. Pertama, kecenderungan untuk menyatukan agama dan negara, wilayah agama juga mencakup wilayah politik. Menurut konsep ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi kedaulatan ilahi (divine sovereignity), karena kedaulatan itu berasal dan ada pada tangan Tuhan. Paradigma ini dianut oleh kelompok syiah yang memandang negara mempunyai fungsi keagamaan.

Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan ini diwakili oleh para ulama Sunni, seperti al-Māwardī w. 1058, seorang kritikus politik terkemuka. Pemikir lain adalah al-Ghazali w.1111, kendati al-Ghazali tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun beberapa karyanya mengandung pemikiran politik yang signifikan.

Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integratik atau simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya para sekularistik mengajukan pemisahan agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak Islam sebagai dasar negara atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

Salah seorang pemrakarsa pemikiran ini adalah Ali Abdurraziq, seorang cendekiawan Muslim Mesir. Pada 1925, Ali menerbitkan buku yang sangat populer, al-Islam wa Ushul al-Hukm yang menimbulkan kontroversi luas waktu itu. Ketiga pemikiran di atas menjadi standar dan tarik-menarik yang cukup rentan di kalangan pemikir Muslim sampai kini.

Sementara khalifah yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Khulafa al-Rasyidin berupaya untuk menegakkan nilai inklusivitas dengan pemberian ruang gerak yang lebih terbuka terhadap sistem kekuasaan, bahwa pemimpin tidak harus datang dari kelas tertentu, melainkan seluruh komponen masyarakat serta ruang publik yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam menjunjung nilai-nilai kebersamaan. Dari sini timbul pertanyaan, mengapa bentuk idealisasi itu baru muncul setelah wafatnya Nabi saw. Ada yang berpendapat, Nabi saw. tidak membentuk sistem pemerintahan yang utuh sebagaimana yang terjadi pada generasi sesudahnya. Hal itu disebabkan oleh posisi Nabi saw sendiri sebagai rasul yang dalam beberapa hal langsung dibimbing oleh Allah. Sementara khalifah sesudahnya tidaklah demikian, kepemimpinan mereka ditentukan oleh umat. Pemerintahan ideal pada masa Nabi belum terbentuk, yang ada hanyalah sebuah cita-cita membangun masyarakat dalam komunitas negara-bangsa akan tetapi belum mencapai sistem pemerintahan ideal. Masa ini merupakan embrio yang pada tahap berikutnya diteruskan oleh para sahabat. Sebab, jika memang posisi Nabi sebagai kepala pemerintahan snagat mungkin sudah melakukan kaderisasi atau ada wasiat tertentu untuk menggantikan posisinya. Yang terjadi malah sebaliknya, Nabi tidak memberikan reaksi terhadap kemungkinan yang akan terjadi sesudahnya.

Otonomi "Piagam Madinah"

“Piagam Madinah” menegaskan bahwa, Nabi menetapkan ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan negara agama. Seluruh kelompok agama dan suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi masing-masing. Ketentuan tersebut lebih didasarkan pada konsensus daripada paksaan. Dokumen ini sama dengan teori kontraknya J.J. Rousseau yang menyatakan, bahwa kebebasan bukanlah kebebasan liberal dari individu, tetapi kebebasan untuk semua masyarakat. Kebebasan ini merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.

Sebenarnya, tidak ada pemikir-pemikir ahli yang mempersoalkan, bahwa keharusan untuk menegakkannya khalifah sebagaimana di dalam Alquran atau al-Sunnah. Dapat dijelaskan bahwa istilah khalifah beserta derivasinya yang terdapat di dalam Alquran tidak dipergunakan dalam pengertiann politik, akan tetapi sebagai “pewarisan kekuasaan” atau “yang menerima warisan kekuasaan” saja. Walaupun begitu setelah Nabi wafat, negara yang ditegakkan disebut khalifah yang berarti rezim penerima kekuasaan. Dalam tradisi sunni disepakati, bahwa Nabi tidak penah mengangkat dirinya, jadi khalifah tidak mungkin diartikan sebagai pengertian politik. Bahkan, seandainya Nabi mengangkat seseorang, maka orang tersebut tidak dapat mewakilinya karena tidak mungkin orang yang masih hidup mewakili yang sudah mati.

Karena khalifah tidak memiliki makna politik, maka posisi khalifah ditempatkan sebagai pusat pemersatu umat melalui ikatan keagamaan yang didukung oleh suprastruktur politik. Fungsi ini yang oleh Ibn Taimiyah disebut khalifah al-nubuwwah yang memiliki otoritas agama bukan politik, meskipun dijabat oleh orang yang punya otoritas politik.

Khalifah yang memiliki fungsi seperti ini, menurut Ibn Taimiyah dipilih berdasarkan empat kriteria, yaitu seorang khalifah harus dari suku Quraisy, diangkat melalui konsultasi di antara orang-orang Muslim, mendapat sumpah setia dari orang-orang Muslim dan bersikap adil. Khalifah dalam pengertian agama di atas hanya ada satu dalam dunia Islam, sementara khalifah dalam arti politik tergantung kepada kebutuhan masyarakat. Karena kehidupan ritualitas berada dalam satu pemimpin yang mengatur lalu lintas persatuan dan kesatuan umat Islam.

Dalam sejarah umat Islam khalifah difungsikan untuk menyelesaikan problem yang dihadapi umat seperti yang dllakukan oleh Abu Bakar. Persoalan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pemberian ruang dialog, tetapi menyangkut bagaimana khalifah memberikan penyelesaian persoalan-persoalan politik, sosial atau ekonomi.

Melihat realitas Muslim dan negara-negara Islam sekarang ini, mungkinkah institusi khilafah ditegakkan kembali di tengah ketidakstabilan politik negara-negara Islam?

Hanya sedikit para penulis yang mengkaji persoalan khilafah sebagai lembaga politik yang pernah ada di dunia Islam. Namun sangat jarang yang memberikan alternatif terhadap problem politik umat Islam saat ini dengan mengkaji kemungkinan dilembagakannya kembali institusi khilafah.

Khilafah dalam Pusaran Ulama Barat

Karya Bernard Lewis, The Political Language of Islam membicarakan khilafah yang muncul dalam bahasa politik Islam. Dalam buku ini Lewis menghubungkan bahasa politik dengan kejadian-kejadian politik di sepanjang sejarah dinasti Islam. Di samping khalifah, juga disinggung lembaga politik lainnya, seperti sultan, raja, dan amir. Buku ini sangat menarik karena kekayaan dan kemampuan wacana Lewis dalam menghubungkan dengan kejadian politik. Sementara itu, Patricia Crone dan Martin Hinds dalam God’s Caliph: Religious Authority in The First Centuries of Islam, yang ditopang oleh literatur yang kaya, mengulas seputar timbulnya khalifah dalam Islam. Sementara tulisan W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought 1980 lebih menitikberatkan kepada nilai universal khalifah, sehingga keberadaannya relatif diterima di awal pemerintahan Islam. Buku ini juga mengupas sifat dasar dan otoritas khalifah sebagai pemimpin politik dan agama. Tulisan-tulisan lain adalah karya Oliver Roy, The Failureof Political Islam 1994, John L. Esposito, Islam and Politics 1995, Nazih N. Ayubi, The Political Islam: Religion and Politics in The Arab World 1994 merupakan karya berbahasa Inggris lainnya yang mengupas tentang hal yang sama.

Sementara itu, Qomaruddin Khan, pemikiran politik Ibn Taimiyah 1986 edisi Indonesia mengungkap pandangan politik Ibn Taimiyah serta keberpihakannya terhadap tradisionalisme Islam. Qomarudin dalam mengulas institusi khalifah tampak terjebak ke dalam sikap apologetik. Tulisan Qomarudin lainnya adalah Political Concept in the Quran 1973, berbicara dalam hal yang sama. Sementara Hamid Enayat, dalam Islamic Political Thought, 1982 lebih memfokuskan pada pandangan ulama sunni dan syi’i tentang pemerintahan Islam. Buku ini membeberkan konsep dasar imamah serta perbedaannya dengan khilafah.

Literatur Arab klasik terkenal yang mengupas konsep khilafah ini adalah karya al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Buku ini mengulas tentang pengertian khalifah, syarat-syaratnya serta bentuk pemerintahannya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah mengulas berbagai aspek dan nilai-nilai universal khalifah. Al-Syarashtani, al-Milal wa al-Nihal dan Muhammad Rasyid Ridha, al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma 1314 H mengulas hal yang sama. Karya Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd al-Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariah, juga membahas pikiran-pikiran politik Islam. Buku ini ditulis sebagai bantahan terhadap karya Ibn Mutahhar al-Hilli, Minhaj al-Karamah fi al-Ma’rifah wa al-Imamah. Kedua buku tersebut dijadikan referensi utama dalam membandingkan perbedaan pandangan antara Sunni-Syi’i mengenai pemerintahan Islam. Buku lainnya adalah karya Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk 1978 yang membahas pandangan-pandangan dan pembelaan Maududi mengenai khlifaha. Karya Muhammad Abu Zahrab, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam 1996 juga mengulas hal yang sama. Tulisan Ozay Mehmet mengenai khalifah modern dalam Jurnal Ulumul Quran 1993 cukup representatif untuk diangkat kembal ke permukaan, serta pandangan-pandagan Isma’il al-Faruqi dalam berbagai artikelnya. Kedua tokoh intelektual Muslim tersebut banyak mengulas pentingnya pelembagaan kembali khilafah modern dengan memperhatikan lemahnya kekuatan politik di dunia Islam.

Karya-karya serupa dalam literatur Indonesia tidak banyak ditemukan, termasuk dalam bentuk Disertasi atau Tesis. Disertasi Khalid Medhat Abue El Fadhl, Trends in Islamic Political Thought: Authoritarian and Totalitarian Tendencies and Prospects for Democracy McGill Montreal merupakan salah satu sumber pembanding penulis dalam menganalisis data-data historis maupun sosiologis. Disertasi tersebut mengulas tentang kekhalifahan di dunia Islam dan beberapa catatan kritis mengenai problem pemerintahan Islam sekarang ini.

Berbeda dari karya-karya yang disebutkan di atas, tulisan ini berusaha mengangkat problem politik umat Islam, bagaimana dialektika Islam dan negara dalam perebutan ruang-ruang politik.       

Dikutip dari Pengantar Islam Negara.              

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Islam Negara pdf

Sabtu, 23 Mei 2020

Fakta dan Proposisi


Sumber gambar: billionairecoach.co.id

Mengenal F.R. Ramsey

Seri Filsafat Analitik menerbitkan terjemahan salah satu artikel yang ditulis oleh Frank Plumpton Ramsey (22 February 1903 – 19 January 1930). Dia adalah seorang matematikawan yang, meskipun hanya hidup selama 26 tahun, kontribusi pentingnya tidak hanya dalam bidang matematika, tetapi juga dalam bidang filsafat dan ekonomi. Dia juga termasuk teman dekat Ludwig Wittgenstein, dan menerjemahkan Tractatus Logico-Philosophicus ke dalam Bahasa Inggris. “Fakta dan Proposisi” (1927) adalah artikel penting Ramsey dalam teori konten pengetahuan dan teori kebenaran di luar “Kebenaran dan Probabilitas” (1926).

Terbit pertama kali dalam Suplementary Volume VII Proceedings of the Aristotelian Society, “Fakta dan Proposisi” berargumen bahwa masalah kebenaran tidak lebih dari kekacauan linguistik yang muncul karena ketidakmampuan bahasa sehari-hari untuk mengekspresikan kebenaran sehingga, karenanya, diperlukan pendekatan pragmatis untuk menjelaskan sikap meyakini dan makna ucapan dengan selalu merujuk ke peran kausal dari sikap tersebut. Dua gagasan inti tersebut, meskipun mendapat kritik serius dari G.E. Moore, terutama dalam posisi Ramsey yang dianggap cukup naif tentang acuan proposisional, berhasil menginspirasi teori kebenaran redundansi yang di kemudian hari dipegang oleh A. J. Ayer dan W.V.O Quine, dan teori semantik sukses yang saat ini dikembangkan oleh D.H. Mellor.

Pengantar Fakta dan Proposisi

MASALAH yang saya ajukan untuk dipecahkan adalah analisis logis terhadap apa yang disebut dengan istilah putusan (judgement), keyakinan (belief), dan pernyataan (assertion). Semisal, pada saat ini saya mengatakan bahwa Caesar dibunuh; maka, berdasarkan fakta tersebut, kita wajar untuk memisahkan, di satu sisi, pikiran saya, atau keadaan mental saya saat ini, atau kata-kata atau gambaran dalam pikiran saya, yang akan kita sebut faktor-faktor mental, dan, di sisi lain, Caesar atau pembunuhan Caesar, atau Caesar dan pembunuhan, atau proposisi Caesar dibunuh, atau fakta bahwa Caesar dibunuh, yang akan kita sebut faktor-faktor objektif. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian adalah pertanyaan terkait hakikat dua himpunan faktor-faktor tersebut dan hakikat relasi di antara keduanya, pembedaan fundamental di antara elemen-elemen ini nyaris tidak pernah dipertanyakan. Mari kita mulai dari faktor-faktor objektif; pandangan paling sederhana adalah hanya terdapat satu faktor, satu proposisi, yang mungkin dapat benar atau salah, kebenaran dan kesalahan menjadi atribut yang tidak dapat dianalisis. Pandangan ini pernah dipercayai oleh Tuan Russell, dan di dalam esainya, “Tentang Hakikat Kebenaran dan Kesalahan,” dia menjelaskan mengapa dia meninggalkan pandangan tersebut. Secara singkat, alasannya adalah karena ketidakmungkinan eksistensi objek-objek seperti “bahwa Caesar mati di ranjangnya,” yang dapat digambarkan sebagai kesalahan objektif, dan hakikat misterius dari perbedaan, yang dalam teori ini, antara kebenaran dan kesalahan. Oleh karena itu, Tuan Russell menyimpulkan bahwa sebuah putusan tidak memiliki objek tunggal, tetapi relasi berlipat antara faktor pikiran atau mental dan objek yang banyak, yang dapat kita sebut sebagai konstituen proposisi yang diputuskan (constituents of the proposition judged).

Namun, terdapat pandangan alternatif untuk mempertahankan bahwa sebuah putusan memiliki objek tunggal, yang sebaiknya dipertimbangkan dahulu sebelum kita pergi terlalu jauh. Dalam esai yang disebutkan di atas, tuan Russell menyatakan bahwa persepsi, yang berbeda dengan putusan yang dia anggap tidak bisa salah, memiliki objek tunggal, semisal sebuah objek kompleks “pisau-di-sebelah-kiri-buku.” Objek kompleks ini, saya pikir, dapat diidentifikasi dengan apa yang disebut banyak orang (dan juga tuan Russell sekarang) sebagai fakta bahwa pisau tersebut berada di sebelah kiri buku; semisal, kita dapat mengatakan bahwa kita memersepsi fakta ini. Dan karena kita dapat membentuk sebuah frase koresponden (corresponding phrase) yang dimulai dengan kata “fakta bahwa” dan berbicara tentang fakta bahwa Caesar tidak mati di kasurnya, dengan pertimbangan kita mengambil proposisi Caesar tidak mati di kasurnya, tuan Russell juga menganggap bahwa setiap proposisi yang benar memiliki korespondensi dengan sebuah objek kompleks.

Meskipun tuan Russell berpendapat bahwa objek persepsi adalah sebuah fakta, pada kasus putusan, kemungkinan kesalahan (the possibility of error) membuat pandangan tersebut tidak dapat dipertahankan, karena objek putusan bahwa Caesar mati di kasurnya itu tidak mungkin fakta bahwa dia mati di kasurnya, karena memang fakta tersebut tidak pernah ada. Namun, jelas bahwa kesulitan tentang adanya kemungkinan kesalahan ini dapat dihilangkan dengan mempostulatkan, dalam kasus putusan, dua relasi yang berbeda, yakni antara faktor-faktor mental dan fakta, bahwa yang satu muncul dalam putusan yang benar, dan yang lainnya muncul dalam putusan yang salah. Dengan demikian, meskipun putusan bahwa Caesar dibunuh dan putusan bahwa Caesar tidak dibunuh mungkin memiliki objek yang sama, yaitu fakta bahwa Caesar dibunuh, relasi antara faktor mental dan objek tersebut berbeda. Inilah mengapa dalam Analisis Budi, tuan Russell berbicara tentang keyakinan entah sebagai penunjuk (pointing towards) atau penjauh (pointing away from) fakta. Namun demikian, menurut saya, pandangan-pandangan tersebut, entah tentang putusan atau tentang persepsi, tidak akan memadai karena sebuah alasan yang, jika tepat, akan menjadi sangat penting. Semisal, contoh yang sederhana, persepsi, dan agar sesuai dengan argumen yang dibangun, andaikan bahwa persepsi itu tidak dapat salah, kemudian pikirkan apakah “dia mempersepsi bahwa pisau berada di sebelah kiri buku” dapat benar-benar menyatakan relasi ganda (dual relation) antara seseorang dan sebuah fakta. Anggap bahwa saya yang membuat pernyataan tersebut tidak dapat melihat pisau dan buku yang sedang dinyatakan, bahwa pisau yang saya nyatakan ternyata sebenarnya berada di sebelah kanan buku; tetapi karena sebuah ketelodaran saya menganggap bahwa pisau tersebut berada di sebelah kiri dan juga menganggap bahwa dia mempersepsinya ada di sebelah kiri, sehingga saya secara salah menyatakan “dia mempersepsi bahwa pisau berada di sebelah kiri buku.” Dengan demikian, meskipun pernyataan saya salah, pernyataan saya tetap signifikan dan memiliki makna yang sama sebagaimana jika pernyataan tersebutbenar; maknainitidakmungkin berarti terdapat relasi ganda antara seseorang dan sesuatu (sebuah fakta) yang membuat “bahwa pisau berada di sebelah kiri buku” sebagai nama, karena tidak pernah ada hal tersebut. Situasi ini mirip dengan pernyataan dengan deskripsi; “Raja Prancis bijaksana” bukan tidak masuk akal, sehingga “Raja Prancis,” sebagaimana ditunjukkan Tuan Russell, bukanlah nama, melainkan simbol yang tidak lengkap, dan hal yang sama juga benar untuk “Raja Itali.” Dengan begitu, “bahwa pisau berada di sebelah kiri buku,” entah pernyataan tersebut benar atau salah, tidak dapat menjadi nama dari sebuah fakta.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Fakta dan Proposisi.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Eko-teologi Bencana, Aktivisme Sosial dan Politik Kemaslahatan (Perspektif Islam)


Sumber gambar: merdeka.com

Akhir-akhir ini Indonesia seringkali dilanda bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, puting beliung, dan tsunami. Beberapa di antaranya menelan korban yang sangat besar, seperti gempa bumi dan tsunami Aceh (2004) dan gempa bumi Yogyakarta (2006). Sementara itu, pengetahuan masyarakat tentang bencana masih sangat terbatas, meskipun harus diakui juga bahwa masyarakat di berbagai daerah mempunyai “pengetahuan” tersendiri tentang bencana, baik yang didasarkan atas pengalaman bersama alam, kearifan lokal, mitos, agama, ataupun ilmu pengetahuan. Semua itu, dalam kapasitasnya masing-masing, mempunyai penjelasan mengenai bencana alam. Orang-orang terpelajar mungkin lebih percaya pada ilmu pengetahuan, namun masyarakat kebanyakan mungkin lebih percaya pada penga laman bersama alam, kearifan lokal, mitos, atau agama. Orang yang dekat dengan alam akan sangat peka terhadap perubahan alam di seki tarnya, seperti keluar nya hewanhewan tertentu dari habitatnya. Orang yang dekat dengan kearifan lokal—yang terkadang berbasis mitos juga—akan berpegang pada ajaran, norma, atau nilai yang dikembangkan secara turun-temurun.

Sementara itu, orang yang sangat percaya pada mitos mungkin saja abai terhadap tanda-tanda alam atau kearifan lokal non-mitos, dan lebih percaya pada cerita-cerita tertentu yang dianggap mengandung kebenaran empirik. Kelemahan mitos yang biasanya bermanfaat bagi perlindungan alam adalah kurang memadai dalam menjelaskan dan memprediksi gejala alam. Orang beragama biasanya lebih percaya pada doktrin tertentu agama, misalnya tentang hukuman atau takdir, dan pada agamawan yang dianggap mempunyai otoritas penafsiran teks keagamaan. Pengalaman-bersama-alam dan kearifan lokal, dalam hal tertentu, dapat memberitahukan apa yang sedang dan akan terjadi. Sementara mitos dan agama bergantung pada tafsir individu-individu; padahal, kejadian bencana alam sama sekali tidak tergantung pada tafsir manusia. Kendatipun mungkin tidak selalu tepat, pendekatan ilmu pengetahuan dianggap paling mendekati kebenaran. Sejumlah kearifan lokal, mitos, konsep keagamaan pun dapat dikonfirmasi dengan ilmu pengetahuan. Namun, ilmu pengetahuan yang sering kali canggih itu dapat dibahasa rakyatkan melalui kearifan lokal, mitos, dan agama.

Artikel ini membahas tentang bagaimana masyarakat beragama, terutama muslim, dapat memahami bencana yang bukan hanya relevan secara doktrinal, namun juga tidak mengabaikan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, artikel ini bukan hanya hendak memahami dan memaknai bencana an sich, namun juga melakukan sesuatu yang terkait dengan keselamatan bersama dalam situasi bencana. Ini berguna untuk menggerakkan aktivisme sosial humanitarian dari bawah. Sedangkan pada sisi pemerintah, di samping harus mempunyai kebijakan yang jelas tentang bencana, ia juga dituntut untuk memahami dengan baik pengetahuan dan aktivisme masyarakat beragama dan merespons dengan baik. Pemerintah harus mendasarkan diri pada politik kemaslahatan. dengan demikian, artikel ini berupaya memadukan antara pendekatan teologis dan ilmu sosial (terutama yang terkait dengan aktivisme sosial dan politik kebijakan). Dengan ini, penulis ingin menunjukkan adanya keterbatasan pada masing-masing pendekatan dan perlunya pendekatan-pendekatan itu berintegrasi dalam bukan hanya menjelaskan namun juga melakukan sesuatu terkait dengan masalah bencana.

Dari Keyakinan dan Struktur Nilai ke Aktivisme dan Politik Kebijakan

Peran persepsi dalam menghadapi bencana, proses mitigasi, aktivisme sosial dan pengambilan kebijakan telah diakui oleh sejumlah ilmuwan. Dalam kajiannya tentang persepsi terhadap risiko gempa bumi di Maroko, Paradise (2005) mengatakan bahwa mengaitkan bencana alam dengan “kemarahan Tuhan” dapat secara dramatis mempengaruhi bagaimana komunitas mempersepsi, mengelola dan/atau memodifikasi keterlibatan yang diperlukan dalam proses mitigasi bencana atau partisipasi dalam pembuatan keputusan. Lee (1981) dan Rosa (2003), sebagaimana dikutip Paradise (2005), berpendapat bahwa komunitas-komunitas yang menerima dengan lapang dada terhadap suatu bencana alam atau efek-efeknya biasanya lebih aktif dalam pengambilan keputusan komunitas. Pengakuan bahwa individu atau komunitas dapat mengakibatkan risiko bencana dapat menjadi kunci bagi persiapan dan mitigasi bencana. Jika persepsi saja mempunyai dampak yang begitu signifikan terhadap masalah yang terkait dengan bencana, apalagi keyakinan yang berakar pada pemahaman teologis keagamaan. Apa yang digambarkan Paradise sebagai “mengaitkan bencana alam dengan ‘kemarahan Tuhan’” tentu bukan sekadar persepsi, namun merupakan keyakinan teologis. Sikap lapang menerima tuduhan-kesalahan tentu dapat muncul di luar keyakinan agama, namun hal itu dapat pula muncul karena keyakinan teologis.

Selain masalah keyakinan teologis, ada hal lain yang juga berpengaruh pada sikap masyarakat terhadap bencana, yakni struktur nilai. Oleh karena itu, sangatlah tepat apa yang dikatakan oleh Ziauddin Sardar (2006) bahwa akar dari krisis ekologis yang melanda dunia bersarang pada “keyakinan dan struktur nilai kita, yang membentuk hubungan kita dengan alam, dengan sesama manusia dan gaya hidup yang kita jalani.” Struktur nilai biasanya dikaitkan dengan masalah budaya. Tentu saja ini tidak sepenuhnya salah, jika dalam budaya itu diletakkan pula agama. namun, pandangan semacam ini merupakan bias dari paradigma sekularisme dalam ilmu sosial. Pada kenyataannya, agama tidak selalu sejalan dengan budaya, bahkan dalam beberapa hal menentang budaya. Oleh karena itu, struktur nilai komunitas beragama (muslim) diasumsikan dipengaruhi oleh pemahaman teologisnya, di samping tetap membuka peluang kemungkinan pengaruh budaya.

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa keyakinan dan struktur nilai berpengaruh pada partisipasi dalam pengambilan keputusan komunitas. Hal ini bermakna bahwa ia berpengaruh pada munculnya aktivisme sosial pada level masyarakat. Namun, pada saat yang bersamaan, keduanya juga berpengaruh pada masyarakat politik, baik yang ada di parlemen maupun di pemerintahan, dalam merumuskan kebijakan-kebijakan terkait dengan masalah kebencanaan. Tentu saja ini terkait dengan persepsi, keyakinan dan struktur nilai secara umum. namun, sejalan dengan maksud tulisan ini, akan dilihat pula bagaimana agama (Islam) memberikan kontribusi pada terciptanya aktivisme sosial dan kebijakan politik yang lebih berorientasi kemaslahatan dalam kaitannya dengan bencana.

Jadi, karena tulisan ini lebih merupakan upaya membangun keterkaitan antara Teologi Bencana, aktivisme sosial dan politik kebijakan berkemaslahatan, ketimbang kajian empiris, maka penulis akan lebih memberikan tawaran-tawaran normatif progresif agar dapat menyemai “keyakinan” dan “struktur nilai” yang lebih kondusif tentang bencana. Di sinilah sintesis kreatif teologi dan ilmu sosial penting untuk dilakukan.

Paham Teologis dan Preferensi Etis

Teologi Bencana atau pemahaman keagamaan terkait dengan masalah bencana, terutama bencana alam, dalam berbagai tahapannya, memang masih kurang dikembangkan dalam keilmuan Islam. Ada beberapa intelektual muslim yang akhir-akhir ini mulai mengembangkan Fiqih Lingkungan, seperti Ali Yafie, dan Teologi Lingkungan, seperti Moelyono Abdillah. Sejumlah pesantren juga telah lama menjadi agen penyelamatan lingkungan. Pesantren Guluk-guluk, Madura, misalnya, pernah mendapatkan penghargaan Kalpataru. Sejalan dengan munculnya isu pemanasan global, sejumlah pesantren kini mulai me ngem bangkan diri menjadi “eko-pesantren”. Pernah juga diselenggarakan pertemuan ulama pesantren untuk “menggagas” fiqih lingkungan (fiqih al-bi’ah) di Sukabumi pada 9-12 mei 2004. namun, tindak lanjut dari kegiatan tersebut tidak terdengar lagi, kecuali penerbitan laporan pertemuan itu. Semuanya belum banyak ditindaklanjuti dengan perumusan secara lebih spesifik tentang teologi bencana dan secara umum dalam pembentukan gerakan ekologis dan aktivisme sosial humanitarian muslim yang sistematis.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa belum pernah ada ulama yang mencoba mengembangkan teologi bencana. Pada abad klasik Islam, Jalaluddin al-Suyuthi (w. 911/1505) berupaya mengembangkan teologi bencana, khususnya gempa bumi. dia menulis kitab Kasyf al-Salsalah ‘an Wasf al-Zalzalah (mengungkap Keterkaitan tentang Karakter gempa Bumi). Mungkin ini meru pakan buku teologi gempa bumi pertama yang ditulis dalam Islam. Ini bukan buku geologi tentang gempa bumi, namun lebih merupakan buku teologi tentang gempa bumi. Namun, layaknya buku teologi yang lahir pada saat itu, buku ini lebih mengedepankan pendekatan tekstual yang kental, dengan mendeduksi pemikiran teologis dari Al-Qur’an, Sunnah, atsar (ketetapan hukum) sahabat, dan pendapat-pendapat ulama sebelumnya tentang gempa bumi. dengan demikian, dapat dipahami jika sebagian besarnya merupakan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang gempa bumi dan kiamat, yakni bahwa gempa bumi merupakan nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, rahmat bagi orang-orang beriman, dan hukuman bagi orang-orang yang ingkar. Orang tak beriman yang mati dalam gempa bumi itu dianggap memang ajalnya sudah tiba, sementara orang beriman yang mati dianggap mati syahid. Mungkin juga karena pada abad itu sains tentang gempa bumi belum berkembang sehingga belum dimanfaatkan dalam menulis kitabnya. Namun bagaimana pun juga, ini merupakan upaya rintisan yang luar biasa, untuk kemudian perlu dikembangkan lebih jauh.

Secara garis besar kita dapat melihat bagaimana persepsi temporal komunitas beragama (dalam hal ini muslim) terhadap bencana terkait dengan tiga tahapannya: sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana. Selain itu, respons me reka dapat dilihat secara spasial menjadi dua, yakni: pertama, muslim yang ada dalam wilayah bencana (menjadi korban bencana); dan kedua, muslim yang berada di luar wilayah bencana. Adapun secara etikal (etis), respons kedua nya dapat di masuk kan dalam dua sikap: pertama, fatalisme pasivistik (passivistic fatalism); dan kedua, vitalisme aktivistik (activistic vitalism).

Sikap etis ini, dalam konteks masyarakat beriman, juga merefleksikan pemahaman teologis mereka, yakni teologi fatalis-pasivistik dan vitalis-aktivistik. Fatalisme dalam hal ini merujuk kepada pengertian sebuah keyakinan bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu peristiwa, karena semuanya sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan. Sedangkan vitalisme merujuk pada pengertian sebuah keyakinan bahwa fungsi dari sebuah organisme yang hidup adalah karena adanya sebuah prinsip vital yang berbeda dari kekuatan-kekuatan fisika-kimia; atau keyakinan bahwa proses-proses kehidupan tidak dapat dipahami oleh hukum-hukum fisika dan kimia semata dan bahwa hidup itu, dalam beberapa bagian, dapat menentukan dirinya sendiri. Dari kedua corak etiko-teologis ini, kita akan melihat bagaimana muslim di wilayah bencana dan di luar wilayah bencana merespons, baik sebelum, ketika dan setelah terjadi bencana.

Teologi Fatalis Pasivistik

Dalam teologi Islam klasik, dikenal sebuah aliran teologis yang disebut jabbariyah. dari kata “jabbara-yujabbiru” yang berarti memaksa, kata ‘jabbariyah’ mempunyai konotasi bahwa tindakan atau perbuatan manusia itu sebenarnya adalah salah satu bentuk paksaan dari luar dirinya, yakni dari Allah Sang Khaliq (Maha Pencipta). Sebagai Khaliq, Allah menciptakan semua makhluk, termasuk perbuatan manusia. Dalam paham ini, semua perilaku makhluk, termasuk manusia, sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali. manusia telah memiliki takdirnya, dan sekadar melaksanakannya. Oleh karena itu, pandangan teologis ini disebut juga “predestination’, bahwa semuanya sudah ditentukan sebelumnya. Dalam bentuk ekstremnya, pandangan ini melahirkan fatalisme, yakni bu kan hanya meyakini bahwa takdir seseorang telah ditetapkan sebelumnya, namun juga bahwa tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya suatu hal, perbuatan atau peristiwa, yang (diasumsikan) sudah ditentukan sebelumnya itu.

Sikap fatalistik semacam ini dapat terjadi sebelum, ketika, dan setelah terjadinya bencana. Apabila derajat fatalistiknya kuat ‘sebelum dan ketika’ terjadi bencana, hal itu dapat melahirkan sikap yang negatif, bahkan berbahaya. Dikatakan negatif dan bahkan berbahaya karena biasanya akan melahirkan sikap pasif, yang dalam makna generiknya berarti “cenderung menerima situasi atau sesuatu yang dilakukan oleh orang atau pihak lain terhadapnya tanpa berusaha mengubah atau menolaknya” (CF Longman 1995: 1034). Ini harus dibedakan dari “resistensi pasif” terhadap kekerasan, seperti yang dila ku kan oleh  gandhi. Oleh karena itu, pemahaman etis dan teologis—etiko-teologis—fatalis pasivistik itu adalah sikap tidak mau berusaha mengubah atau menolak sesuatu atau peristiwa tertentu karena adanya keyakinan bahwa sesuatu atau peristiwa itu sudah ditentukan sebelumnya oleh Tuhan akan terjadi pada dirinya atau komunitasnya. Namun, apabila muncul ‘setelah’ terjadinya bencana—dalam derajat dan waktu yang tidak berlebihan—sikap ini dapat menjadi salah satu bentuk terapi psiko-spiritual. Akan tetapi jika berlebihan, hal ini justru akan menyulitkan seseorang bangkit dari keterpurukan akibat bencana.

Sikap fatalis mengabaikan sebuah kenyataan penting, bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang “ditentukan oleh Tuhan” (takdir) atas dirinya atau komunitasnya. yang ada adalah bahwa manusia hanya mempersepsikan bahwa mereka mengetahui apa yang telah ditentukan Tuhan. Ini sebuah persepsi yang belum tentu benar. Mereka hanya terpaku pada satu kemungkinan dan pada saat yang bersamaan mengabaikan banyak kemungkinan lainnya. dalam kondisi normal, ketika tidak ada bencana, mereka berpendapat bah  wa bencana itu dapat terjadi kapan saja dan tidak dapat diprediksikan oleh manusia, dan oleh karenanya manusia tidak dapat melakukan apa pun apabila bencana itu datang. Keyakinan semacam ini biasanya juga mengabaikan kemampuan ilmu pengetahuan dalam melakukan prediksi dan antisipasi bencana, atau dalam bahasa mereka “mengetahui ketentuan Tuhan”.

Muslim di luar daerah bencana yang mempunyai pemahaman teologis yang fatalis semacam ini akan cenderung menganggap bahwa bencana itu adalah takdir, laknat, atau hukuman terhadap masyarakat korban. Oleh karenanya, mereka cenderung mengambil sikap pasivistik, yakni tidak melakukan apa-apa, atau mengambil sikap minimalis, seperti mendoakan korban dan mengambil hikmah dari bencana itu secara personal. Sikap etiko-teologis semacam ini tidak tepat untuk mengembangkan Teologi Bencana yang lebih memberdayakan dan membebaskan.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Agama, Budaya dan Bencana.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer