Posisi penting yang ditempati oleh alam dalam
keseluruhan struktur agama -terutama Islam- nampak jelas ketika kita tahu bahwa
dalam agama kita, Kitab Suci, alam dan manusia membentuk suatu kesatuan yang
bisa kita pandang sebagal piramida keberadaan. Kitab Suci mewakili kerajaan
langit, alam mewakli kerajaan bumi, dan manusia mewakili dunia kecil atau apa
yang oleh Ibn Arabi disebut sebagal al-alam al-shaghir.
Dalam tradisi pemikiran Islam, keterkaitan
antara Kitab Suci (wahyu) dan alam amat erat. Yang pertama sering disebut
sebagal al-Quran al-Tadwini (Quran yang tertulis) dan yang kedua
dipandang sebagal al-Quran al-Takwini (Qur'an alam). Walau sebutannya
beda, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaltu sama-sama sebagai Logos
yang mencerminkan tanda tanda kekuasaan Tuhan dan kebesaran-Nya. Di sini
manusia adalah Nomos yang berperan sebagai yang membaca, yang menafsirkan, dan
memahami serta menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan itu. Perbedaan antara
Kitab Suci dan alam yang keduanya merupakan media untuk mengetahui
"Kerajaan Tuhan" amatlah tipis karena keduanya adalah ayat, yang berarti
secara epistemologis wahana untuk mengetahui Yang Maha Suci. Ayaı itu sendiri adalah kalimat Tuhan yang
meliputl Kitab Suci, dunia makrokosmik alau alam dan dunia mikrokosmik atau
manusia. Terkait ayat tidak hanya ada
pada al-Quran al-Tadwini tetapi juga pada al-Quran al Takwini dan
manusia. Itulah mengapa dalam al-Qur'an
surat 41/53 Tuhan berfirman "akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat
Kami (yaitu tanda kebesaran Kami) di alam raya (afaq) dan dalam diri
kamu sendiri (anfus)".
Sedikit perlu dicatat bahwa dalam kajian
filsafat Barat telah banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Alberto Magnus
dan John Ray mengatakan bahwa aspek theopanic alam raya dan manusia
dapat membantu menemukan tanda-landa kebesaran Tuhan yang tidak lain adalah aspek
internal manusia yang spiritualistik.
Semut ini adalah objek dengan fenomena bahwa media adalah untuk menuju
noumena, dunia fisik adalah pintu gerbang menuju dunia metafisik dan dunia
empirik adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju spiritualitas.
Di dalam beberapa agama seperti Hindu, Buddha
dan Zoroastrianisme, ada kecenderungan untuk tidak melihat alam atau bagian
dari alam seperti binatang, tumbuhan dan api sebagai Logo, tetapi sebagai Tuhan
itu sendiri tidak dapat dilakukan dengan tampilan teologis Isiam. Tapi
permasahan yang patut kita angkat adalah bahwa alam ternyata memiliki tempat
tersendiri dalam keseluruhan kehidupan beragama baik dalam Islam maupun
agama-agama lain. Dengan tingkatan yang berbeda, hampir semua agama memandang
alam sebagai bagian integral – bukan saja bagi kelangsungan hidup manusia –
tapi juga kelanggengan sistem teologis dan filosofis agama-agama lain.
Ibn Sina menulis buku berjudul Kitab
al-Tabi’iyyat (Buku Alam). Buku ini tidak hanya membahas tentang alam dan
berbagai fenomena yang terkait dengannya tapi juga berupaya menunjukkan bahwa di
balik fenomena alam yang ada Tuhan yang mengendalikan dan menciptakannya. Misi utama Kitab al-Tabi’iyyat tidaklah
semata-mata mempelajari dan memahami ciptaan Tuhan yang merupakan “the lower
order” tapi juga mempelajari dan
kemudian mengetahui Sang Pencipta dan “the higher order” yang ada di baliknya. Ini berarti bahwa sistem
pemikiran Islam baik yang bersifat teologis maupun filosofis amat
mempertimbangkan alam bukan saja sebagai garapan epistemologinya tapi juga
sebagai pancaran makrokosmik yang mencerminkan keberadaann Tuhan dan
kekuasaan-Nya.
Dari sudut pandang ini, ilmu-ilmu keislaman
amat berbeda secara amat tajam dengan beberapa ilmu-ilmu yang muncul di Barat
terutama filsafat Positivisme yang tidak hanya menolak adanya hubungan
piramidal antara alam, manusia dan Tuhan tetapi juga menolak ghaibiyat
sebagai yang ada. Saya kira kita sedikit banyak sudah memahami cara dan corak
pandan filsafat Positivisme berikut implikasi yang muncul karenanya, dan dengan
demikian nampaknya tidak perlu untuk terlalu mendalami masalah ini di sini. Sedikit
saja kita singgung bahwa pemikiran filsafat positivistik ingin melepaskan diri
dari ikatan sistem metafisika yang mereka anggap sebagai non-faktual dan dengan
demikian tidak ada. Padahal pendasaran sebuah pandangan dunia (world view)
terhadap metafisika adalah suatu kelaziman sebab hanya dengan cara begitu kita
dapat tahu esensi daripada eksistensi manusia, dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hidup, ke mana manusia akan pergi dan
selanjutnya. Pandangan dunia yang melepaskan diri dari metafisika justru akan
membuang pengertian bahwa manusia memiliki suatu tujuan yang bersifat mendasar
dan hakiki dan dengan demikian akan menjauhkan manusia dari norma-norma
tertentu yang semestinya menjadi pedoman hidupnya yang harus ditaatinya.
Itulah kenapa filsafat positivistik yang
mengusung proyek rasionalisme murni telah gagal karena telah membuang apa yan
telah lama menjadi dasar esential bagi kehidupan manusia pada tataran normal,
etika dan yang lebih penting metafisika.
Pandangan metafisik menuntun kita patuh pada
sebuah imperatif religi yang pada gilirannya mengarahkan kita pada sebuah
sistem yang mapan, stabil dan pasti. Ini berarti bahwa pada tingkat praktis teknis,
metafisika merupakan menkanisme untuk mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang
aman dan nyaman. Petualangan filsafat
positivistik yang menolak metafisika tidak hanya gagai tetapi juga berujung
pada penolakan terhadap Tuhan sebagai Yang Ada, dan -implikasinya- pada segala
sesuatu yang nyata termasuk alam dan manusia.
Walau "sampul" filsafat ini menerima yang ada sebagai sesuatu
yang nyata, namun secara maknawi tidak demikian. Secara maknawi, flsafat
positivistik melupakan dan menolak pandangan teologis tentang alam dan manusia,
bahwa hidup ini memiliki tujuan pada dirinya. Padahal tujuan merupakan esensi
dari wujud yang karenanya keberadaan memiliki makna. Penolakan aspek teleologis
adalah penafian langsung terhadap esensi dan langsung makna wujud itu. Karena esensi dari wujud ini adalah tujuannya,
maka penolakan terhadap aspek teleologis wujud merupakan penolakan secara
langsung terhadap keberadaannya secara maknawi.
Selanjutnya, penolakan terhadap aspek teleologis
ini telah melahirkan mentalitas dan belenggu-belenggu otoritarianisme yang pada
gilirannya siap mengeksplorasi alam secara ganas. Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang
bernilai dan bertujuan. Ini – sekali lagi – adalah penafian terhadap eksistensi
wujud secara maknawi dan berujung pada
kerusakan ekologis pada alam dan mental pada manusia.
Berbeda dengan pandangan Barat tentang dunia
dan wujud, Islam terutama yang diwaklili oleh Tasawuf tidak saja menghargai dan
menempatkan alam pada posisi penting pada ontologis maupun agama, namun juga melihatnya
sebagai ciptaan Tuhan yang memancarkan dan mencerminkan sifat dan
nama-Nya. Untuk itu menghormati dan
menghargal hak moral alam adalah -bagi Islam- imperatif religi yang harus
ditegakkan.
Alam dengan berbagai keanekaragaman genetiknya
membentuk sebuah nilai dalam dirinya sehingga pelestariannya pun mengandung unsur
nilai apaiagi jika dibandingkan dengan pengrusakan dan pengerdilannya. Seperti manusia, alam dengan kehidupan
organisnya juga memiliki rasa yang jika dilukai akan sakit. Seperti manusia
pula, alam adalah papan tempat Tuhan melukiskan karya seni-Nya, menyanyikan
lagu dan syair-Nya melalui percikan dan aliran air sungai, dan melambaikan
tangan melalui goyangan dedaunan palma dan korma.
Dalam Tasawuf, alam adalah theoplany. Ibn
Arabi dan Rumi adalah dua dari sekian banyak Sufi yang berbicara dan menyerukan
pendapat yang mempercayai alam raya ini -termasuk di manusia-adalah
"jelmaan" Tuhan. Ibn Arabi
terkenal dengan konsep al-Insan al-Kamil (manusia utama) yang tidak lain
adalah sosok manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, walau memang tidak –
dan tidak mungkin – persis seperti Tuhan. Rumi juga terkenal dengan konsepnya
yang ia sebut al-Aql al-Kulli (akal universal) yang intinya adalah bahwa jika akal telah
mencapai tingkat aktualisasi, maka manusia sebagai pemilik akal tersebut akan
menjadi “cermin yang cerah yang dapat memancarkan manifestasi Tuhan secara
jelas dan nyata”.
Konsep kedua tokoh Tasawuf itu sebetulnya
merupakan dua sisi dari satu koin. Akal universal merupakan akal milik manusia
utama, dan sebaliknya manusia utama adalah dia yang telah terbukti akalnya
menjadi akal universal. Pertanyaannya yang
muncul kemudian adalah siapa sebenarnya manusia utama itu dan apa ciri-ciri
yang dimilikinya?.
Bagi kaum sufi, manusia utama sdalah Nabi
Muhammad SAW yang tidak lain adalah kulminasi dari segala macam kesempurmaan
yang pernah dimiliki oleh bani Adam dalam keselurulan sejarah
eksistensinya. Pandangan ini tentu benar
adanya. Namun dalam konteks permasalahan yang sedang kita kaji ini, nampaknya
kita dituntut untuk tidak berhenti pada jawaban itu dan bersedia menerima
pandangan bahwa siapa saja bisa menjadi manusia utama.
Jika kita menggunakan kerangka berpikir Rumi,
maka penjelasan tentang manusia utama itu bisa kita mulal dengan berpijak pada
pembagian akal manusia menjadi dua bagian, yaitu akal parsial (al aql al-juz’i)
dan akal universal (al-aql al-kulli).
Pembagian ini berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Jenis akal pertama
bersifat faktual, maksudnya apa adanya, dan jenis kedua adalah akal aktual, artinya
telah mencapai pada tertentu dan mewujudkan tujuan hakikinya. Manusia dengan jenis akal pertama adalah
manusia parsial, sedang manusia dengan jenis akal kedua adalah manusia
universal, yaltu manusia utama.
Manusia utama dengan akal universalitas dalam
pandangan Rumi adalah yang telah mencapal pada suatu tingkatan di mana yang penting
baginya adalah keutamaan. Manusia menjadi utama jika ia memiliki keutamaan. Dan keutamaan itu ditentukan oleh kondisi
akalnya, apakah parsial atau universal.
Bagi kaum sufi seperti Ibn Arabi dan Rumi, Tasawuf
merupakan media dan mekanisme untuk menuju kepada keutamaan. Seseorang harus secara terus menerus
melakukan perjalanan spiritual melalu tasawuf guna meng-aktualkan akalnya dan
men-transform dirinya menjadi manusia utama.
Ibn Arabi dan Rumi berkeyakinan, bahwa manusia
utama adalah jelmaan sempurna dari Sang Pencipta yang dapat memerankan peran di
atas panggung gembira kehidupanh sesuai dengan kehendak suci-Nya. Secara ekologis,
patokan ini berarti bahwa manusia utama adalah dia yang mengerti dengan baik
tata cara kehidupan sehingga alam di sekitarnya tidka terluka dan tetap
terjaga.
Dikutip dari pengantar Abdul Kadir Riyadi,
Ph,D dalam buku Ekologi al-Qur’an.
Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami
sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.