Pages

Sabtu, 21 Desember 2019

Ekologi Al-Qur'an

 
Sumber gambar: dictio.id
Posisi penting yang ditempati oleh alam dalam keseluruhan struktur agama -terutama Islam- nampak jelas ketika kita tahu bahwa dalam agama kita, Kitab Suci, alam dan manusia membentuk suatu kesatuan yang bisa kita pandang sebagal piramida keberadaan. Kitab Suci mewakili kerajaan langit, alam mewakli kerajaan bumi, dan manusia mewakili dunia kecil atau apa yang oleh Ibn Arabi disebut sebagal al-alam al-shaghir.

Dalam tradisi pemikiran Islam, keterkaitan antara Kitab Suci (wahyu) dan alam amat erat. Yang pertama sering disebut sebagal al-Quran al-Tadwini (Quran yang tertulis) dan yang kedua dipandang sebagal al-Quran al-Takwini (Qur'an alam). Walau sebutannya beda, tapi keduanya memiliki fungsi yang sama, yaltu sama-sama sebagai Logos yang mencerminkan tanda tanda kekuasaan Tuhan dan kebesaran-Nya. Di sini manusia adalah Nomos yang berperan sebagai yang membaca, yang menafsirkan, dan memahami serta menemukan tanda-tanda kebesaran Tuhan itu. Perbedaan antara Kitab Suci dan alam yang keduanya merupakan media untuk mengetahui "Kerajaan Tuhan" amatlah tipis karena keduanya adalah ayat, yang berarti secara epistemologis wahana untuk mengetahui Yang Maha Suci.  Ayaı itu sendiri adalah kalimat Tuhan yang meliputl Kitab Suci, dunia makrokosmik alau alam dan dunia mikrokosmik atau manusia.  Terkait ayat tidak hanya ada pada al-Quran al-Tadwini tetapi juga pada al-Quran al Takwini dan manusia.  Itulah mengapa dalam al-Qur'an surat 41/53 Tuhan berfirman "akan Kami tunjukkan kepada mereka ayat-ayat Kami (yaitu tanda kebesaran Kami) di alam raya (afaq) dan dalam diri kamu sendiri (anfus)". 

Sedikit perlu dicatat bahwa dalam kajian filsafat Barat telah banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Alberto Magnus dan John Ray mengatakan bahwa aspek theopanic alam raya dan manusia dapat membantu menemukan tanda-landa kebesaran Tuhan yang tidak lain adalah aspek internal manusia yang spiritualistik.  Semut ini adalah objek dengan fenomena bahwa media adalah untuk menuju noumena, dunia fisik adalah pintu gerbang menuju dunia metafisik dan dunia empirik adalah awal dari sebuah perjalanan panjang menuju spiritualitas.

Di dalam beberapa agama seperti Hindu, Buddha dan Zoroastrianisme, ada kecenderungan untuk tidak melihat alam atau bagian dari alam seperti binatang, tumbuhan dan api sebagai Logo, tetapi sebagai Tuhan itu sendiri tidak dapat dilakukan dengan tampilan teologis Isiam. Tapi permasahan yang patut kita angkat adalah bahwa alam ternyata memiliki tempat tersendiri dalam keseluruhan kehidupan beragama baik dalam Islam maupun agama-agama lain. Dengan tingkatan yang berbeda, hampir semua agama memandang alam sebagai bagian integral – bukan saja bagi kelangsungan hidup manusia – tapi juga kelanggengan sistem teologis dan filosofis agama-agama lain.

Ibn Sina menulis buku berjudul Kitab al-Tabi’iyyat (Buku Alam). Buku ini tidak hanya membahas tentang alam dan berbagai fenomena yang terkait dengannya tapi juga berupaya menunjukkan bahwa di balik fenomena alam yang ada Tuhan yang mengendalikan dan menciptakannya.  Misi utama Kitab al-Tabi’iyyat tidaklah semata-mata mempelajari dan memahami ciptaan Tuhan yang merupakan “the lower order”  tapi juga mempelajari dan kemudian mengetahui Sang Pencipta dan “the higher order”  yang ada di baliknya. Ini berarti bahwa sistem pemikiran Islam baik yang bersifat teologis maupun filosofis amat mempertimbangkan alam bukan saja sebagai garapan epistemologinya tapi juga sebagai pancaran makrokosmik yang mencerminkan keberadaann Tuhan dan kekuasaan-Nya.

Dari sudut pandang ini, ilmu-ilmu keislaman amat berbeda secara amat tajam dengan beberapa ilmu-ilmu yang muncul di Barat terutama filsafat Positivisme yang tidak hanya menolak adanya hubungan piramidal antara alam, manusia dan Tuhan tetapi juga menolak ghaibiyat sebagai yang ada. Saya kira kita sedikit banyak sudah memahami cara dan corak pandan filsafat Positivisme berikut implikasi yang muncul karenanya, dan dengan demikian nampaknya tidak perlu untuk terlalu mendalami masalah ini di sini. Sedikit saja kita singgung bahwa pemikiran filsafat positivistik ingin melepaskan diri dari ikatan sistem metafisika yang mereka anggap sebagai non-faktual dan dengan demikian tidak ada. Padahal pendasaran sebuah pandangan dunia (world view) terhadap metafisika adalah suatu kelaziman sebab hanya dengan cara begitu kita dapat tahu esensi daripada eksistensi manusia, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tujuan hidup, ke mana manusia akan pergi dan selanjutnya. Pandangan dunia yang melepaskan diri dari metafisika justru akan membuang pengertian bahwa manusia memiliki suatu tujuan yang bersifat mendasar dan hakiki dan dengan demikian akan menjauhkan manusia dari norma-norma tertentu yang semestinya menjadi pedoman hidupnya yang harus ditaatinya.

Itulah kenapa filsafat positivistik yang mengusung proyek rasionalisme murni telah gagal karena telah membuang apa yan telah lama menjadi dasar esential bagi kehidupan manusia pada tataran normal, etika dan yang lebih penting metafisika.

Pandangan metafisik menuntun kita patuh pada sebuah imperatif religi yang pada gilirannya mengarahkan kita pada sebuah sistem yang mapan, stabil dan pasti. Ini berarti bahwa pada tingkat praktis teknis, metafisika merupakan menkanisme untuk mewujudkan sebuah lingkungan sosial yang aman dan nyaman.  Petualangan filsafat positivistik yang menolak metafisika tidak hanya gagai tetapi juga berujung pada penolakan terhadap Tuhan sebagai Yang Ada, dan -implikasinya- pada segala sesuatu yang nyata termasuk alam dan manusia.  Walau "sampul" filsafat ini menerima yang ada sebagai sesuatu yang nyata, namun secara maknawi tidak demikian. Secara maknawi, flsafat positivistik melupakan dan menolak pandangan teologis tentang alam dan manusia, bahwa hidup ini memiliki tujuan pada dirinya. Padahal tujuan merupakan esensi dari wujud yang karenanya keberadaan memiliki makna. Penolakan aspek teleologis adalah penafian langsung terhadap esensi dan langsung makna wujud itu.  Karena esensi dari wujud ini adalah tujuannya, maka penolakan terhadap aspek teleologis wujud merupakan penolakan secara langsung terhadap keberadaannya secara maknawi.

Selanjutnya, penolakan terhadap aspek teleologis ini telah melahirkan mentalitas dan belenggu-belenggu otoritarianisme yang pada gilirannya siap mengeksplorasi alam secara ganas.  Alam tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bernilai dan bertujuan. Ini – sekali lagi – adalah penafian terhadap eksistensi wujud secara maknawi dan  berujung pada kerusakan ekologis pada alam dan mental pada manusia. 

Berbeda dengan pandangan Barat tentang dunia dan wujud, Islam terutama yang diwaklili oleh Tasawuf tidak saja menghargai dan menempatkan alam pada posisi penting pada ontologis maupun agama, namun juga melihatnya sebagai ciptaan Tuhan yang memancarkan dan mencerminkan sifat dan nama-Nya.  Untuk itu menghormati dan menghargal hak moral alam adalah -bagi Islam- imperatif religi yang harus ditegakkan.

Alam dengan berbagai keanekaragaman genetiknya membentuk sebuah nilai dalam dirinya sehingga pelestariannya pun mengandung unsur nilai apaiagi jika dibandingkan dengan pengrusakan dan pengerdilannya.  Seperti manusia, alam dengan kehidupan organisnya juga memiliki rasa yang jika dilukai akan sakit. Seperti manusia pula, alam adalah papan tempat Tuhan melukiskan karya seni-Nya, menyanyikan lagu dan syair-Nya melalui percikan dan aliran air sungai, dan melambaikan tangan melalui goyangan dedaunan palma dan korma. 

Dalam Tasawuf, alam adalah theoplany. Ibn Arabi dan Rumi adalah dua dari sekian banyak Sufi yang berbicara dan menyerukan pendapat yang mempercayai alam raya ini -termasuk di manusia-adalah "jelmaan" Tuhan.  Ibn Arabi terkenal dengan konsep al-Insan al-Kamil (manusia utama) yang tidak lain adalah sosok manusia yang memiliki sifat-sifat ketuhanan, walau memang tidak – dan tidak mungkin – persis seperti Tuhan. Rumi juga terkenal dengan konsepnya yang ia sebut al-Aql al-Kulli (akal universal)  yang intinya adalah bahwa jika akal telah mencapai tingkat aktualisasi, maka manusia sebagai pemilik akal tersebut akan menjadi “cermin yang cerah yang dapat memancarkan manifestasi Tuhan secara jelas dan nyata”.

Konsep kedua tokoh Tasawuf itu sebetulnya merupakan dua sisi dari satu koin. Akal universal merupakan akal milik manusia utama, dan sebaliknya manusia utama adalah dia yang telah terbukti akalnya menjadi akal universal.  Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah siapa sebenarnya manusia utama itu dan apa ciri-ciri yang dimilikinya?.

Bagi kaum sufi, manusia utama sdalah Nabi Muhammad SAW yang tidak lain adalah kulminasi dari segala macam kesempurmaan yang pernah dimiliki oleh bani Adam dalam keselurulan sejarah eksistensinya.  Pandangan ini tentu benar adanya. Namun dalam konteks permasalahan yang sedang kita kaji ini, nampaknya kita dituntut untuk tidak berhenti pada jawaban itu dan bersedia menerima pandangan bahwa siapa saja bisa menjadi manusia utama. 

Jika kita menggunakan kerangka berpikir Rumi, maka penjelasan tentang manusia utama itu bisa kita mulal dengan berpijak pada pembagian akal manusia menjadi dua bagian, yaitu akal parsial (al aql al-juz’i) dan akal universal (al-aql al-kulli).  Pembagian ini berdasarkan fungsi dan kegunaannya. Jenis akal pertama bersifat faktual, maksudnya apa adanya, dan jenis kedua adalah akal aktual, artinya telah mencapai pada tertentu dan mewujudkan tujuan hakikinya.  Manusia dengan jenis akal pertama adalah manusia parsial, sedang manusia dengan jenis akal kedua adalah manusia universal, yaltu manusia utama. 

Manusia utama dengan akal universalitas dalam pandangan Rumi adalah yang telah mencapal pada suatu tingkatan di mana yang penting baginya adalah keutamaan. Manusia menjadi utama jika ia memiliki keutamaan.  Dan keutamaan itu ditentukan oleh kondisi akalnya, apakah parsial atau universal.

Bagi kaum sufi seperti Ibn Arabi dan Rumi, Tasawuf merupakan media dan mekanisme untuk menuju kepada keutamaan.  Seseorang harus secara terus menerus melakukan perjalanan spiritual melalu tasawuf guna meng-aktualkan akalnya dan men-transform dirinya menjadi manusia utama.

Ibn Arabi dan Rumi berkeyakinan, bahwa manusia utama adalah jelmaan sempurna dari Sang Pencipta yang dapat memerankan peran di atas panggung gembira kehidupanh sesuai dengan kehendak suci-Nya. Secara ekologis, patokan ini berarti bahwa manusia utama adalah dia yang mengerti dengan baik tata cara kehidupan sehingga alam di sekitarnya tidka terluka dan tetap terjaga.

Dikutip dari pengantar Abdul Kadir Riyadi, Ph,D dalam buku Ekologi al-Qur’an.

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami sajikan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

Antropologi Tasawuf


 
Sumber gambar: useum.org
Buku ini bermaksud menggiring "metafisika" konvensional yang selama ini bercokol lama dalam tasawuf ke arah yang sebenarnya. Metafisika konvensional itu cenderung melihat tasawuf hanya sebagai sistem perilaku dan perasaan saja, dan melupakan sisi lain yang lebih substansial, yaitu sisi pengetahuan. Buku ini ingin mengembalikan cita-cita awal para sufi dan mencoba membangun sebuah kerangka pikir yang berpijak pada asumsi bahwa tasawuf tidak lain adalah paradigma tentang diri dan Tuhan.

Terhentinya gerak tasawuf pada pusaran praktis menunjukkan bahwa ilmu ini sedang berada pada jalur yang tidak semestinya. Tasawuf sedang tersandera oleh praktik-praktik seremonial yang membuatnya tidak mampu merangkak maju sebagai gerakan ilmu pengetahuan yang transformatif. Karena itu buku ini bermaksud mengembalikan gerbong tasawuf ke dalam rel yang sesungguhnya sebagai paradigma dan meletakkan perangkat praktisnya sebagai penopang.

Pada sisi lain, buku ini juga bermaksud mengimbangi -atau juga membantah paradigma positivistik yang sudah menggejala dalam masyarakat modern; paradigma yang mau tidak mau berpengaruh pada cara pandang kita tentang subjektivitas, objekti- vitas, agama, Tuhan dan kedirian. Manusia tidak lagi leluasa dalam kerangka positivistik ini, menentukan kediriannya sendiri karena – meminjam ungkapan Lewis Mumford manusia dideinisikan bukan lagi oleh dirinya atau kekuatan supranatural seperti agama dan Tuhan tetapi oleh investigasi saintifk. Dominasi wacana Darwinian dalam ilmu biologi, wacana Marxian dalam ilmu sosiologi dan kemanusiaan, atau wacana Claude Bernard, J.S. Haldane dan Walter Cannon dalam ilmu psikologi sudah cukup menunjulkkan kecenderungan inl.

Dengan demikian, ada dua kutub ekstrem yang melalarbelakangi kehadiran buku ini, yaitu kemandegan epistemologi tasawul dan progresivitas epistemologi Barat.

Secara lebih konkret, gagasan tentang tasawuf sebagai paradigma di dalam buku ini dibangun melalui kajian tentang manusia yang dimaknai sebagai subjek spiritual yang mengetahui. Dalam membangun argumentasinya, buku ini tidak hanya bersandar pada pengalaman spiritual manusia sebagai individu yang bersifat subyektif, tetapi juga mempertimbangkan asumsi-asumsi filosofis yang rasional seperti teori empirisme ala Suhrawardi dan Mulla Sadra. Berbeda dengan kebanyakan ajaran sufi, buku ini mengusung ide bahwa tasawuf tidak bisa lepas dari empirisme. Empirisme yang dimaksud adalah yang meyakini bahwa wujud-wujud empiris itu nyata karena dapat hadir dalam kesadaran intuitif sang subjek.

Inilah alasan mengapa buku ini memilih istilah "antropologi tasawuf sebagai judul. Kata "antropologi" ingin mengesankan bahwa kajian ini menelusuri konsep-konsep mengenai manusia sebagai wujud yang tidak bisa lepas dari realitas empiris. Sedang kata "tasawuf" mengesankan bahwa buku ini mengarah pada jenis antropologi yang mendalami manusia dari sisi hakikatnya sebagai subjek spiritual yang mengetahui.

Dikutip dari prakata Abdul Kadir Riyadi, Ph.D dalam buku berjudul Antropologi Tasawuf : Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan

Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

Arkeologi Tasawuf: Ikhtiar Menyeruak Yang Sirri





Buku yang ditulis oleh Abdul Kadir Riyadi memiliki judul lengkap Arkeologi tasawuf; Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara. Sebuah buku yang memaparkan tentang fakta (sejarah?) perlintasan tasawuf dari gagasan, tokoh, laku serta fakta-fakta yang melingkupinya. Tokoh yang dikaji secara spesifik dan serius setidaknya ada 16 (enam belas) orang dimulai dari Al Muhasibi di Basrah, Iraq, sampai dengan al Jawi di nusantara. Keenam belas tokoh yang dikaji tersebut bukan hanya sebagai orang yang berkutat pada ranah tasawuf nadhari saja melainkan juga orang melakukan suluk atau pelaku tasawuf amali.

Abdul Kadir Riyadi memperlakukan tasawuf berikut dengan fakta dan data yang menyertainya sebagai benda ‘kramat’ yang bernilai tinggi, hingga pada akhirnya terkuak dalam penelitian tersebut adanya fakta-fakta sejarah yang (sengaja) dikuburkan atau diabaikan. Fakta yang dipaparkan dalam buku ini dimulai semenjak abad 9 (sembilan) atau dua abad setelah agama Islam datang, dengan menyajikan kenyataan bahwa pada masanya fiqih pernah berada diatas awan, menghegemoni ilmu-ilmu yang tak bersandar padanya, tapi realitasnya ada sesuatu yang tak bisa lagi dibendung. Kebutuhan serta kegairahan inetelektual akhirnya memunculkan beragam kajian seperti hadis, tafsir, kalam dan juga tasawuf. Fakta bahwa tasawuf berteman mesra dengan filsafat melalui Mulla Sadra ataupun Syihabuddin Yahya Suhrawardi, hingga pada abad 19 (sembilan belas) dimana tasawuf berkembang di nusantara.

Kekhasan yang dimiliki buku Arkeologi tasawuf; Melacak Jejak Pemikiran Tasawuf dari Al Muhasibi hingga Tasawuf Nusantara adalah kemampuannya untuk menarik benang merah antara tasawuf bermula (generasi pertama) hingga sampai di nusantara. Buku ini tentu saja tak bisa dibandingkan dengan buku seorang pemikir Barat, William C. Chittick, yang berjudul Tasawuf di Mata Kaum Sufi – sebuah buku yang layak mendapatkan perhatian bukan saja karena Chittick memaparkan tentang sejarah perkembangan dan pertumbuhan tasawuf, namun juga memaparkan tentang keyakinan dan praktik tasawuf pada figur-figur sufi terkemuka dan fenomena tasawuf di tengah kehidupan modern -, meski sama-sama mengulas historitas tasawuf dan tokohnya namun arah yang dituju oleh kedua berbeda, juga metode pendekatan yang berbeda pula.

Jalan Kasih

Pemaknaan tasawuf tidaklah tunggal, ia mengalami banyak banyak tarik ulur beberapa kalangan yang merasa berhak untuk memberinya makna dan definisi. Namun, salah satu ciri mendasar dari jalan yang tempuh para sufi ini adalah kasih, mereka lebih mengedepankan laku asih dalam berdakwah. Salah satu ulama yang menjalankan dakwah dengan menggunakan pendekatan tasawuf adalah Malik Ibrahim  — satu dari Wali Sanga- seorang ulama dari Yaman yang berdakwah di nusantara, khususnya Jawa. Malik Ibrahim tidak memilih pendekatan teologis, ideologis atau politis dalam berdakwah, ia lebih memilih berdakyah dengan gaya tasawuf Yaman (Negara dimana beliau berasal) yang lebih mengedepankan estetika melalui musik dan lagu, metode seperti ini disebut dengan tasawuf-seni.

Penerus Malik Ibrahim seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Kalijaga juga menggunkan metode tasawuf-seni untuk berdakwah, karena dinilai berhasil dan cocok dengan masyarakat Jawa dengan budayanya pada saat itu. Berbeda halnya dengan Syaikh Abu al-Khoir al-Hajar, Syaikh al Yamani dan Syaik Muhammad Jilani Bin Hasan Bin Muhammad Hamid al-Raniri yang menuai “kegagalan” dakwah karena menggunakan pendekatan dogmatik, yaitu pendekatan yang hanya mengenalkan ajaarn Islam secara hitam dan putih. Padahal, ketiga ulama itu pernah berdakwah di Aceh pada tahun 1582 jauh setelah Malik Ibrahim berdakwah di Jawa pada tahun 1404-1419.

Koreksi

Selain memaparkan tentang biografi dan gagasasan para sufi, dalam buku ini Abdul Kadir Riyadi melakukan beberapa koreksi pada orientalis seperti A.H Johns yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah pendakwah paripatetik, juga koreksi pada Clifford Geertz tentang pembagian komunitas beragama di Jawa menjadi santri, priyayi, dan abangan. Koreksi yang diberikan oleh Abdul Kadir Riyadi tidak bisa dianggap hanya sekelebat pandang saja, karena data-data yang diberikan terasa sulit untuk dibantah. Dua orientalis beda Negara itu juga dikoreksi atas pendapat mereka yang menilai bahwa keberhasilan islamisasi di Jawa oleh para Wali tidak luput kekuatan sihir (magical power), pandangan itu disayangkan oleh Abdul Kadir Riyadi bukan hanya karena tidak jelas alasan-alasannya, sebab bisa jadi yang dianggap magical power oleh Johns dan Geertz adalah karamah. Dan jika memang karamah yang dimaksudkan oleh Johns dan Geertz maka pemahaman mereka terlalu rendah untuk konsep karamah.

Selain koreksi, kritik juga diberikan pada peneliti yang (dianggap) ceroboh dengan tidak menyebut secara utuh tokoh yang dikaji. Kritik salah satunya disampaikan pada Muhammad Kamal  –seorang peneliti dari Universitas of Melbourne – yang tidak menjelaskan Suhrawardi yang manakah yang ia maksud dalam artikel yang berjudul Rethinking Being: From Suhravardi to Mulla Sadra, apakah Syihabuddin Yahya Suhrawardi ataukah Syihabuddin Umar Suhrawardi. Koreksi ini menjadi penting, sehingga tidak ada kesalahpahaman ataupun kekeliruan diantara kedua tokoh yang sama-sama lahir di Suhraward itu.

Menyeruak Yang Tersembunyi

Fakta yang tidak bisa dipungkiri dari lintasan tasawuf dan tokoh-tokohnya adalah adanya proses pengaruh mempengrauhi atau keterpengaruhan satu sufi dengan yang lainnya. Ada tali penghubung antar tokoh tasawuf tersebut, memang tidak bisa disimplifikasi jika semua gagasan yang dilahirkan adalah hasil keterpengaruhan. Namun kita bisa melihatnya lewat Umar Suhrawardi yang terpengaruh oleh Abdul Qadir Jailani dalam gagasan tajrid dan tafrid, Mulla Sadra yang terpengaruh oleh Mir Damad, atau al Hujwiri yang terpengaruh oleh Abu al-Qasim Ali al-Jurjani.

Bagian akhir buku ini mengungkap fakta menarik yaitu adanya unsur kesengajaan menutupi hubungan tasawuf di nusantara dengan gaagsan tasawuf wujudi ala Ibn Arabi; Penelusuran arkeologi tasawuf yang berakhir di Nusantara menemukan bahwa ada unsur kesengajaan untuk mengubur Ibn Arabi dan menelantarkan gagasannya agar tidak dapat berkembang (hal. 376). Unsur kesengajaan itu tak lepas dari anggapan penerus Al Jawi (seorang tokoh dibalik bangkitnya Islam nusantara, yang juga guru dari Hasyim Asy’ari dan Ahmad dahlan), yang mengganggap Ibn Arabi berada dalam kesesatan dan melakukan bid’ah. penerus Al Jawi lebih menggaungkan nama al-Ghozali ketimbang Ibn Arabi, Meskipun sudah sekuat tenaga al- Jawi menaruh hormat pada Ibn Arabi dengan menyebutnya sayyidi dalam bukunya yang berjudul al-Futuhat al-Madaniyah.

Orang pertama yang disinyalir membawa pemikiran Ibn Arabi ke Nusantara adalah Hamzah Fansuri (1550-1605), pendapat itu diungkap dalam buku Semesta Cinta; Pengantar Kepada Pemikiran Ibn Arabi yang ditulis oleh Haidar Bagir. Haidar Bagir mencatat ulama nusantara yang terpengaruh dengan Ibn Arabi adalah Syaikh Muhyiddin al Jawi (1821), Ronggowarsito (1800), Syaikh Abd. Shomad al-Palimbani (1700) Syaikh Yusuf al Makassar (1626). Selian itu, masih dalam catatan Haidar Bagir, jalur lain penyebaran tasawuf wujudi Ibn Arabi datang bersama dengan thariqah alawiyah oleh Muhammad bin Ali (1176-1264). Pandangan yang kedua ini, juga diamini oleh Azumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Nusantara (dan juga peneliti lainnya), bahwa gagasan Ibn Arabi di nusantara ini dibawa oleh pemikir Islam nusantara yang tidak lain adalah murid dari kalangan alawiyyin, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin al Sumatrani (w. 1630), Abd. Al-Rauf Sinkel (1024-1105), Syaikh Yusuf Makassari (1037-1111), Abdul Shamad al-palimbani (1704-1785), Muhammad Arsyad al-banjari (1710-1815).

Al Jawi yang dimaksudkan oleh Abdul Kadir Riyadi nampaknya berbeda dengan al Jawi yang disebut oleh Haidar Bagir sebagai ulama yang terpengaruh oleh Ibn Arabi. al Jawi yang dimaksud oleh Abdul Kadir Riyadi adalah Muhammad Umar Nawawi al Jawi, sedangkan yang dicantumkan oleh Haidar Bagir sebagai orang yang terpengaruh oleh Ibn Arabi adalah Syaikh Muhyiddin al Jawi. Kata al- Jawi sendiri adalah penisbahan nama pada tanah Jawa sebagai asal-usul lahir atau datangnya seorang ulama. Banyak sekali ulama nusantara waktu itu menggunakan al-Jawi dibelakang nama mereka. Sayangnya, saat menulis penutup buku ini, Abdul Kadir Riyadi hanya menulis nama al-Jawi saja tanpa menyebutkan nama depannya. Nama lengkap al-Jawi yang dimaksudkan oleh Abdul Kadir Riyadi hanya menjadi catatan kaki saat menyebut kitab yang dikarang. Hal semacam ini agaknya menjadi kerancuan bagi pembaca pemula, karena akan mereka juga akan menerka-nerka al_Jawi manakah yang dimaksud.

Melihat tulisan penutup dalam buku ini seolah mendapatkan dua hal sekaligus. Pertama, kita akan disuguhkan oleh fakta tentang adanya upaya mengubur gagasan salah satu tokoh tasawuf yang dianggap kontroversial. Dan kedua, sepertinya Abdul Kadir Riyadi mengulangi kecerobohan beberapa penulis atau peneliti yang pernah ia kritik sendiri, ketika mereka tidak menulis secara lengkap nama tokoh yang sedang diteliti. Karena nama akhir, nama yang seringkali menggunakan penisbahan wilayah, tidaklah dimiliki oleh satu orang saja. hanya menyebut nama akhir (yang merupakan nisbah wilayah), memungkinkan untuk disalahpahami atau tertukar dengan yang lainnya

Dikutip dari mizan.com

Agar pembaca lebih mengulas lebih jauh, kami lampirkan versi luring (offline) pada link pdf di bawah ini.

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer