Pages

Rabu, 29 Januari 2020

Islamisasi Nusantara Dari Aceh hingga Merauke

Sumber gamabr: tebuireng.online

Sejarah aktivitas dakwah Islam (Islamisasi) di permukaan bumi diawali di Makah (Arab Saudi), pada abad VII (610 M), sejak Nabi Muhammad putra Abdullah (40) menerima wahyu Ilahi pertama (Q.S. al-Alaq) melalui Malaikat Jibril di Gua Hira. Dengan status sebagai Rasulullah, beliau berkewajiban untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran Ilahi yang bersumber dari langit (wahyu) kepada umat manusia di seluruh dunia. Dalam pelaksanaan tugas suci tersebut, langkah pertama yang dilakukan oleh beliau adalah menyampaikan wahyu itu kepada anggota keluarga dan karib kerabat beliau sendiri.

Kemudian tercatatlah dalam tonggak awal sejarah Islamisasi, bahwa mereka yang pertama kali menjadi muslim adalah istri Nabi sendiri yang bernama Khadijah (65), kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Talib, anak angkatnya Zaid bin Haritsah, lalu sahabatnya Abu Bakar dan sejumlah warga Makah lainnya. Tugas suci tersebut dilakukannya selama 13 tahun di Makah, kemudian dilanjutkan ke Yatsrib (Madinah) selama 10 tahun. Dalam kurun waktu selama 23 tahun, mereka yang menyatakan dirinya sebagai muslim mencapai ribuan orang yang tersebar di wilayah Timur Tengah. Keberhasilan beliau dalam melakukan aktivitas dakwah Islam tersebut, dalam makna kuantitatif dan kualitatif (Islamisasi) di tengah masyarakat, khususnya di Makah dan Madinah (610-632 M/13 SH-10 H). Dalam hal ini beliau mendapatkan hidayah Allah, supaya melakukan pelbagai macam pendekatan (metode dakwah) kepada anggota masyarakat secara manusiawi (al-hikmah), seperti aktivitas dakwah bi al-hal (tindak tanduk), bi al-lisan (hadis), bi al amwal (harta), bi al-qalam (surat), dan bi al-jidal (dialogis). Strategi tersebut melahirkan sistematika metode dakwah.

Aneka dakwah tersebut di atas merupakan sistematika metode dakwah Rasulullah. Menurut bahasa, metode berasal dari dua kata yaitu ―meta‖ melalui dan ―hodos‖ (jalan, cara). Dengan demikian dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber lain menyebutkan, bahwa metode berasal dari bahasa jerman methodica, artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa pakar atau ilmuwan adalah sebagai berikut, yaitu menurut pendapat Bakhil Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturanperaturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sedangkan menurut pendapat Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pendapat tersebut juga selaras dengan pendapat al-Ghazali, bahwa amar makruf dan nahi munkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam. Di sini makna dakwah dirumuskan dengan istilah Islamisasi dalam visi kuantitas (pertambahan jumlah umat) dan kualitas (peningkatan dalam keimanan, keilmuan dan amal ibadah).

Dari pendapat tersebut dapat diambil pengertian, bahwa metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada umat (komunikan) untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah (bijak) dalam sikap dan tindakan, seperti ucapan, tulisan, santunan, perbuatan dan lainnya dengan rasa kasih sayang.

Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan suri teladan umat dalam pelbagai hal, setelah beliau wafat, maka segala macam bentuk kebajikan dan kebijakannya, termasuk aneka metode dakwah yang pernah dilaksanakannya selama ini, hal itu tetap diteruskan para sahabat, tabi’in (generasi setelah sahabat), tabi’ al-tabi’in (generasi setelah tabi’in) hingga umat Islam yang masih hidup saat ini. Adapun mereka yang menjadi penerus perjuangan nabi tersebut, mereka itu dinamakan ulama (pemimpin umat) dan umara (pemimpin rakyat). Mereka yang berperan sebagai dai dan mubalig tersebut mendapatkan predikat keagamaan yaitu seperti istilah ustaz, kiai, syekh, sultan, buya, sunan, imam, habib, tengku, dan lain-lain.

Hasil dari jihad dakwah mereka itu, yang bersambung terus menerus dari generasi ke generasi dan dari wilayah yang satu ke wilayah lainnya di permukaan bumi, pernah disiarkan dalam berita nasional di televisi, bahwa pada awal abad ke XXI (milenium), jumlah umat Islam di seluruh dunia hampir mencapai 2 miliar orang, yaitu 25 persen dari 7 miliar jiwa penghuni bumi. Sekarang posisi penganut Islam (kaum muslimin) sudah berada pada level kedua setelah penganut agama Kristen/Katolik. Informasi ini berdasarkan hasil sensus global jumlah penganut agama besar di dunia yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah di Amerika.

Pada awal mulanya, mereka yang berstatus muslim itu adalah penganut agama non-Islam, termasuk keluarga Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabat Rasulullah di Makah dan di Madinah 14 abad yang silam. Kemudian anak cucu keturunan mereka secara otomatis menjadi muslim, seperti Hasan dan Husin putra Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Muhammad. Mereka tercatat dalam susunan silsilah ahlul-bait sebagai cucu kesayangan Rasulullah. 

Dalam Warna-Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah, proses Islamisasi Hasan dan Husayn berbeda dengan proses Islamisasi ayah dan ibunya (Ali dan Fatimah). Kedua cucu Rasulullah tersebut tidak pernah tercatat dalam sejarah kelompok orang-orang yang masuk agama Islam, atau pindah keyakinan agama (para mualaf), karena keduanya lahir dari keluarga muslim, yang sudah dinyatakan muslim sejak lahir. Sedangkan Ali bin Abi Talib adalah tokoh pelopor para remaja yang masuk Islam, termasuk Fatimah binti Muhammad yang lahir sebelum turunnya wahyu di Gua Hira.

Maka proses Islamisasi itu dalam arti kuantitas dan kualitas terbagi dalam dua macam, yaitu:
1)   Kelompok orang yang sadar, dan sengaja memilih agama Islam (menjadi muslim) sebagai pedoman hidupnya, setelah berstatus penganut agama non-Islam (Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain) atau penganut kepercayaan leluhurnya (Animisme, Dinamisme, dan lain-lain). Mereka ini adalah kelompok muslim mualaf. Kasus sejarah perpindahan agama kelompok muslim mualaf tersebut, atas dasar pertimbangan yang beraneka ragam, seperti mereka berniat untuk menikahi atau dinikahi orang Islam dan sejumlah alasan lainnya. Sebagian dari mereka itu, atas ketekunannya belajar mendalami nilai-nilai kebenaran Islam dari pelbagai sumber, kemudian membandingkannya dengan nilai ajaran agama yang sedang dianutnya, ternyata Islam lebih baik dan lebih sempurna. Kisah itu berbeda dengan pengalaman para sahabat yang sering bergaul dengan Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar yang menjadi khalifah pertama setelah nabi wafat.
2)   Kelompok orang yang sejak lahir, bahkan sejak masih dalam kandungan sudah dinyatakan sebagai muslim. Mereka ini adalah putra-putri dari keluarga muslim yang kemudian menikah dan melahirkan anak cucu yang berstatus muslim pula. Mereka adalah kelompok muslim keturunan.

Sebagian dari muslim keturunan tersebut, mereka mendapatkan pendidikan keislaman yang cukup, baik di lingkungan keluarga maupun di lembaga pendidikan formal Islam, sehingga mereka itu menjadi muslim yang paham agama, bahkan menjadi tokoh Islam yang disebut ulama, dengan gelar panggilan syekh, ustaz, kiai, profesor, dan lain-lain. Mereka yang termasuk kelompok ini sering dinamakan kaum santri, yaitu muslim yang patuh dan taat pada ajaran agamanya.

Proses Islamisasi kedua kelompok tersebut (muslim mualaf dan muslim keturunan) telah berjalan sepanjang zaman di seluruh penjuru dunia. Menurut catatan sejarah Islam, hal itu dimulai sejak zaman jahiliah, ketika Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasulullah di Makah pada abad ke 7 M. Sejarah tersebut berlangsung sampai dengan sekarang ini di zaman teknologi canggih di abad milenium.

Kisah kasus semacam itu, termasuk di dalamnya dalam sejarah Islamisasi di Nusantara, seperti Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan oleh Walisongo. Dalam legenda yang menjadi cerita rakyat sampai saat ini, ulama yang pertama kali datang ke Jawa adalah Syekh Maulana Jumadil Kubra (Husein Jamaludin) yang dimakamkan di Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Beliau mempunyai 2 orang anak bernama Syekh Maulana Ishak (1404) dan Syekh Maulana Malik Ibrahim (1419/882). Maulana Ishak mempunyai anak bernama Raden Paku (Sunan Giri), sedangkan Maulana Malik Ibrahim mempunyai anak bernama Sunan Ampel (1423-1484). Kemudian anaknya Sunan Ampel menjadi istri kedua Sunan Giri. Istri pertama Sunan Giri adalah puteri Sunan Bungkul Surabaya. Sunan Ampel adalah wali kota pertama di Surabaya (1423-1484). Kisah proses Islamisasi itu berjalan terus hingga saat ini, khususnya Islamisasi melalui perkawinan (dakwah bi al-nikah).

Dalam perjalanan waktu selama 5 abad, atas rahmat dan hidayah Allah SWT, bahwa dari 4 juta warga Surabaya, hanya 10 persen penganut agama non-Islam (Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Katolik). Dengan demikian berarti sekitar 90 persen adalah muslim. Mereka itu dalam kehidupan sosial keagamaan terbagi dalam pelbagai kelompok organisasi sosial kemasyarakatan, seperti menjadi warga Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya.

Buku ini diberi judul “Warna-Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah”. Di dalam buku ini terkandung informasi tentang tata cara pengembangan Islam di wilayah nusantara (Indonesia), baik Warna -Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah dalam hal teknik penambahan kuantitas (jumlah) maupun teknik peningkatan (kualitas mutu)  umat Islam.

Salah satu dari sistematika metode yang dibahas adalah metode dakwah bi al-nikah (Islamisasi Via Perkawinan). Maksudnya adalah dakwah Islam yang dilakukan dengan melalui sistem pembentukan dan pembinaan keluarga muslim yang sakinah. Dari hasil pernikahan tersebut, lahirlah anak cucu mereka yang berstatus sebagai muslim, dan kemudian setelah balig, mereka nikah lagi dengan sesama muslim. Demikian proses selanjutnya tanpa terminal akhir hingga akhir zaman nanti.

Dalam masalah pernikahan sebagai sunnah rasul, Nabi Muhammad SAW melakukan poligami. Tercatat dalam sejarah, bahwa beliau mempunyai 14 orang istri, yaitu Siti Khadijah binti Khuwaylid, Saudah binti Sum‘ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Khattab, Zainab binti Khuzaymah, Zainab binti Jahasy, Ramlah binti Abu Sufyan, Salamah binti Umayah (Hindun), Maimunah binti al-Harits, Sofiyah binti Hayi, Juwairiyah binti alHarits bin Abi Dhirar, Khaulah binti Hakim, Umrah, Aminah binti al-Nukman. Pada saat beliau wafat, dia meninggalkan 9 orang istri.

Dengan sistem pernikahan ini, hubungan Rasulullah dengan para sahabat telah membentuk dan menjalin hubungan keluarga muslim yang kuat, seperti hubungan beliau dengan khulafaurrasyidin, (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib) adalah hubungan antara mertua dan menantu. Dengan itu terwujudlah sebuah keluarga besar kaum muslimin di Mekah dan di Madinah. Proses pernikahan yang membentuk keluarga muslim di tengah masyarakat, dan kemudian melahirkan anak-anak yang terdidik dan menjadi anak yang saleh. Hal ini menunjukkan, bahwa hasil dari pernikahan yang disunahkan Rasulullah, telah menambah jumlah (kuantitas) umat Islam di muka bumi.

Pertambahan jumlah umat Islam, dari hasil pernikahan yang melahirkan anak-anak yang saleh. Hal ini adalah sebuah bentuk dan wujud dari upaya peningkatan kuantitas dan kualitas umat Islam di muka bumi, yang mana hal ini berjalan terus sepanjang zaman di seluruh penjuru dunia.

Pelbagai macam metode dakwah Islam, seperti yang tersebut di atas adalah sebuah sistem dalam metodologi Islamisasi. Metode yang satu dengan lainnya saling terkait, dan tidak boleh dipisahkan di antaranya. Pelbagai metode tadi adalah komponen-komponen dari sebuah bangunan besar ilmu dakwah yang disebut Metodologi Islamisasi.

Dalam hal ini, para cendekiawan muslim, khususnya yang terlibat dalam aktivitas dakwah Islam, mereka perlu mengetahui dan sekaligus memahami beberapa komponen yang terdapat dalam metodologi Islamisasi. Buku ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi para mahasiswa khususnya dan para praktisi dakwah Islam di tengah masyarakat.

Buku ini merupakan hasil penelitian dan pengamatan penulis di masyarakat selama ini. Penulis melakukan survei dan observasi di pelbagai wilayah di nusantara, mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Penulis juga mengunjungi Kalimantan Barat, ke kota Seribu Kuil Singkawang yang dikenal dengan istilah kota Amoy. Hasilnya direkam dalam buku ini yang merupakan laporan penelitian lapangan ke Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Selain itu, ditambahkan hasil penelitian penulis di Surabaya, Mojokerto, Bojonegoro, dan lokasi lainnya.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Islamisasi Nusantara Dari Islam Hingga Merauke karangan Sheh Sulhawi Rubba

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Mutiara Islamisasi Nusantara Dari Islam Hingga Merauke di bawah ini.

Minggu, 26 Januari 2020

Islam Nusantara Sebagai Blueprint Tatanan Sosial Indonesia dan Dunia

Sumber gambar: geotimes.co.id

Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dikenal memiliki sikap yang lentur dan fleksibel jika bersentuhan dengan budaya dan politik, namun tegas jika berhubungan dengan nasib negara dan bangsa. Umari menyebut, kelenturan itu menjadi vital lantaran karena menerapkan prinsip-prinsip sunnah di dalam kehidupan masyarakat dan konteks bernegara di Indonesia. Sebagaimana Rasul memperkenalkan Islam dan mempraktikkannya secara gradual dan sesuai dengan si penerimanya dalam konteks kulturnya. Dalam budaya dan apalagi politik, NU tidak mengenal kalimat menghalalkan cara untuk mencapai tujuan (al- ghoyah tubirrir al-washilah). Bagi NU, politik sebagai alat, bukan tujuan. Oleh karena itu, kedekatan mereka terhadap politik di dalam tubuh NU bervariasi. Berbeda dengan tokoh-tokoh struktural NU, para kiai kultural NU di akar rumput lebih berkonsentrasi melakukan Islamisasi di seluruh pelosok tanah air sambil merajut harmoni di kalangan ummat. NU tidak sampai disebut Hadiz sebagai Islam politik dalam bukunya Political Islam in post Authorian Indonesia yang kemudian memiliki wajah Islam populis dalam Islamic populism in Indonesia and The Middle East, namun tindakan elit struktural NU tidak terhindarkan menjadi sangat politis dan patriotik sekaligus. Dalam urusan dengan nasib  bangsa dan masa depan negara, elit NU berperan aktif seakan tidak ingin terisolasi dari kehidupan politik, juga tidak hendak menjadi marginal dalam kehidupan bangsa. Berdasarkan jumlah anggota NU yang sampai puluhan juta, kerap mengemuka artikulasi elit NU bahwa NU adalah pemimpin ummat Islam di Indonesia. Sebagaimana akan dibahas nanti, sikap politik dan patriotik elit NU telah terasah sepanjang sejarah, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Kombinasi cair sikap politik dan patriotik NU ini barangkali menjadi tipikal NU, terutama – meminjam istilah Syafii Maarif – dalam upaya membingkai peradaban.

Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 1-5 Juli 2015 mengusung Islam Nusantara sebagai tema utama dapat dibaca sebagai upaya membingkai peradaban itu. Islam Nusantara dijadikan flagship sebagai cara para kiai yang menjadi elit NU untuk turut aktif sebagai bagian dari komponen penentu dalam proses membangun negara-bangsa Indonesia dalam konteks modern demi tetap menjamin bahwa posisi ortodoksi bukan hanya mendapat tempat yang semestinya, namun juga memiliki peran yang sepatutnya. Peran sebagai penjaga ortodoksi ini tidak dadakan, tetapi merupakan sejarah panjang, terekam dalam berbagai macam literatur di nusantara, yang penuh variasi, transformasi, dan makna.

Penjaga ortodoksi Islam ini bukan hanya NU, tetapi juga berbagai organisasi sosial keagamaan moderat lain seperti Muhammadiyah, Matlaul Anwar, Persatuan Ummat Islam, Sarekat Islam, Al-Irsyad, Nahdhatul Watan, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Jam’iyyah Al- Washliyah, dan lain-lain. Organisasi sosial keagamaan di atas berdiri sebagai respons masalah-masalah kemasyarakatan, keummatan, dan kebangsaan. Pemikiran keagamaan para ulama yang berhimpun di dalam berbagai organisasi sosial keagamaan di atas yang dipercaya sebagai landasan bersama membangun bangsa yang plural, oleh agama, etnis, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Untuk memastikan perannya efektif dan koordinatif – menetes dengan sempurna dari pengurus pusat ke pimpinan daerah-daerah, juga aspirasi dari bawah ke atas, baik NU maupun organisasi sosial keagamaan lain memiliki struktur organisasi hingga ke desa-desa untuk membawa visi misinya. Dengan kemampuan mengelola organisasi sosial–keagamaan seperti ini, maka pemikiran dan praktik keagamaan dapat dikonsolidasi.

Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, berbagai organisasi sosial keagamaan di atas memberi kesempatan dan dorongan kepada negara dan struktur pemerintahan untuk bekerja mewujudkan cita-citanya. Antara struktur birokrasi negara dengan struktur organisasi NU mengambil bentuk dan tipikal yang sama, dan berbagi peran dalam pembangunan bangsa. Jauh sebelum Indonesia merdeka, NU berperan menyediakan sumber daya manusia dan pemikiran bagi negara, sementara negara menikmati dukungan politik, kultural, dan pemikiran dari organisasi- organisasi tersebut. Lembaga kesehatan yang berbagi peran dengan rumah sakit pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan, dasar hingga perguruan tinggi, memberikan sumbangan yang luar biasa kepada bangsa, baik dari segi jumlahnya maupun dari segi mutunya. Kemerdekaan Indonesia merupakan buah dan hasil perjuangan NU dan organsiasi lain, dan pada saat Indonesia pasca-merdeka mulai membangun bangsa maka puluhan ribu sekolah/madrasah dan pesantren yang tersebar di berbagai wilayah nusantara menjadi modal yang luar biasa sebagai sumber pembangunan bangsa. NU ikut menanam pohon di taman dalam wadah keindonesiaan dan buah lebat yang muncul darinya tidak saja dinikmati oleh NU tetapi juga oleh seluruh bangsa Indonesia.

Dalam konteks NU, organisasi ini menanam dalam konteks kebangsaan, salah satu terutama, ketika itu para pemuda dari institusi pesantren yang tentu saja sangat dekat dengan para kiai membentuk lasykar yang dikenal dengan Syubbanul Wathon pada 1924. Perkumpulan ini dibentuk, tulis Anam:

“…pada saat para pemuda dari daerah lain membentuk Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, Pemuda Betawi, dan sejenisnya yang bersifat kedaerahan, pemuda-pemuda pesantren yang berkumpul di Surabaya ini mendirikan perkumpulan muda yang berbeda dengan yang lain. Mereka menyebut diri Syubbanul Wathon, Pemuda Tanah Air. Kelak setelah NU berdiri organisasi para pemuda pesantren ini berganti nama menjadi Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) dan menyatu dalam pasukan non regular Hizbullah di bawah komando para kiai berada di garda depan perjuangan merebut kembali kemerdekaan Republik Indonesia”.6

Lebih lanjut Anam menulis:

“Mbah Hasyim langsung memanggil Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syamsuri dan para kiai lainnya lainnya untuk mengumpulkan para kiai se-Jawa dan Madura atau utusan cabang NU-nya untuk berkumpul di Surabaya, tepatnya di kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) di Jl. Bubutan VI/2. Namun pada 21 Oktober para kiai baru dapat berkumpul semua. Mbah Hasyim meminta para kiai lainnya menunggu beberapa kiai terkemuka yang datang dari Jawa Barat seperti Kiai Abbas Buntet, Kiai Satori Arjawinangun, Kiai Amin Babagan Ciwaringin, dan Kiai Suja’i Indramayu. Waktu itu perjalanan ke Surabaya mengandalkan jasa kereta api yang masih sangat sederhana. Setelah semua kiai berkumpul, segera diadakan rapat darurat yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah. Pada 23 Oktober Mbah Hasyim atas nama HB. (Pengurus Besar) organisasi NU mendeklarasikan sebuah seruan jihad fi sabilillah yang belakangan terkenal dengan istilah Resolusi Jihad”.

Resolusi Jihad yang digagas Kiai Hasyim Asy'ari bersama para ulama NU itu disebut El-Guyanie sebagai resolusi jihad paling syar’i. Dilihat dari tokoh-tokoh pengusungnya, di mana berlangsung dan konteks sosial-sejarahnya, resolusi jihad atau jihad fi sabilillah itu merupakan artikulasi sekaligus implementasi pemikiran keagamaan dalam gerakan dalam konteks keindonesiaan. Kiprah K.H. Hasyim Asy’ari yang lebih monumental sesungguhnya adalah peranannya dalam kebangkitan Islam di Indonesia, terutama – tulis Misrawi - dalam pemikirannya dalam mengedepankan sikap moderasi, peduli dengan masalah-masalah keummatan dan pandangan kebangsaan. Apa yang dilakukan Kiai Hasyim Asy’ari segaris dengan para ulama yang oleh Anam dikategorikan sebagai perintis tradisi seperti Syeikh Yusuf al-Makassari, Syeikh Arsyad al-Banjari, Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Nawawi al-Bantani, dan Kiai Saleh Darat; sebagai pejuang melawan kolonial seperti di samping peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, juga tokoh seperti Kiai Wahab Hasbullah, K.H. Anwar Musaddad, K.H. Abdul Halim Leumunding, dan lain-lain; sebagai penjaga Aswaja seperti K.H. A Muhaimin bin Abdul Aziz Lasem, Kiai Bisri Syansuri hingga K.H. Ishomuddin Hadzik; dan sebagai pengawal bangsa seperti K.H. Hasan Gipo, K.H. Wahid Hasyim, K.H. Abdullah Ubaid, dan lain-lain.

Telah dikenal luas oleh publik nasional dan internasional, bahwa peranan Kiai Hasyim dan para ulama-kiai di atas bukan hanya melalui sosial budaya tetapi melakukan konsolidasi Islam Indonesia juga melalui organisasi keagamaan. Di samping melakukan konsolidasi melalui NU, Majelis A’la Indonesia (MAI), dan Masyumi, konsolidasi juga melalui pendirian lembaga pendidikan Islam dan pembinaan persatuan bangsa. Didirikannya Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur adalah dalam konteks upaya peningkatan literasi agama Islam dan usaha penciptaan kader Islam dengan pemahaman agama yang tinggi dan cara pandang yang baik tentang Islam dalam konteks bangsa yang lebih luas.

Meski Feillard, dalam NU vis a vis Negara menulis bahwa NU pada era Gus Dur sebutan K.H. Abdurrahman Wahid pernah renggang dengan negara, sehingga ditulis Nakamura sebagai “krisis kepemimpinan NU dan pencarian indentitas, dan untuk itu NU disebut kerap berada di dalam dilema, apalagi di tengah badai pragmatisme politik, namun menurut Feillard, NU sesungguhnya sedang berada dalam proses pencarian isi bentuk, dan makna. Sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar, pola hubungan mesra–merenggang NU disebut Karim sebagai bagian metamorfosis NU dan proses politisasi Islam di Indonesia. Dalam tulisan lain Feillard menyebut, “hubungan NU dan negara sejatinya dipenuhi dengan fleksibilitas, legitimasi dan pembaharuan”. Sepanjang sejarahnya, Martin menulis, dinamika NU diupayakan untuk terus membangun tradisi dalam menjalin relasi-relasi kuasa dan proses pencarian wacana baru.

Melalui cara baca perspektif ini, Islam Nusantara merupakan konsolidasi cara pandang pemikiran arus tengah demi merawat kultur  dan melindungi tanaman yang telah dirawat selama ini. Ini juga sekaligus mempertegas warna dan posisi corak Islam yang dianggap compatible  dengan cara negara menjalin relasi dan interaksi dengan ummat Islam di NU. Fondasi bernegara seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika, dan lain-lain dianggap merupakan penerjemahan Islam dalam konteks keindonesiaan, kemodernan, dalam nuansa ahl al-sunnah wa al-jama’ah. Tokoh NU yang sangat gigih dan menonjol perannya dalam membela isu fondamen negara adalah K.H. Achmad Siddiq, bahkan merupakan ruh pemikirannya. Oleh karena itu, Islam Indonesia adalah Islam yang berbeda dengan Islam Yaman, Islam Saudi Arabia, Islam Iran, Islam Irak, Islam Afghanistan Islam di Eropa, Islam di Malaysia, Islam di Brunei Darusalam, dalam konteks budaya, orientasi pemikiran, dan varian artikulasinya.
Abdullah memberi penjelasan menarik tentang hal ini. Islam datang ke Nusantara di mana masyarakat Nusantara telah memiliki alas dalam kanvas kehidupannya, yaitu budaya berketuhanan yang selalu ada di dalam masyarakat primitif sekalipun, dan pengaruh India. Islam di Nusantara sejak era pertama Islam awal, sampai ke Nusantara tidak saja hadir langsung dari Timur Tengah dalam bentuk “murninya”, tetapi ia sudah berinteraksi dengan budaya Arab sendiri, lalu kemudian berinteraksi dengan budaya non Arab lain seperti Persia, India, dan China. Kenyataan ini yang memperkaya pemikiran keagamaan di Nusantara – terutama aqidah, syari’ah dan tasawuf – dengan warna Islam yang dominan, lalu terbawa serta budaya Arab, Persia, India, dan China.

Tentu saja, Islam Indonesia memiliki hubungan yang kuat dengan Islam Timur Tengah, terutama Arab Saudi dan Mesir. Dengan menempel pada berbagai jalur dan rute perdagangan, Islam Nusantara berhubungan dengan berbagai wilayah lain non Saudi Arabia dan Mesir, seperti Persia, India, dan belakangan Turki. Islam dalam konteks Nusantara adalah persentuhan antara Islam dari Arab Saudi, Mesir dan berbagai wilayah yang disebut di atas itu dengan beragam budaya dalam lingkup keindonesiaan sehingga relasi antara Islam sebagai doktrin agama dengan negara tidak menimbulkan kegaduhan, penghayatan kultural tidak mengalami keterasingan. Transmisi Islam ke dalam nusantara diklaim menganut pada prinsip-prinsip tasamuh, tawazun, tawasuth, dan i’tidal. Adaptasi Islam sebagai agama dalam negara tidak memicu pergolakan dan pertentangan antar Islam di Nusantara tetapi juga dengan pemeluk agama lain. Islam Nusantara menjamin capaian intelektual atas Islam ortodoksi yang terakumulasi dan teresap secara kultural dalam institusi pendidikan Islam Nusantara: madrasah, pesantren dan perguruan tinggi memberikan kekenyalan pada ummat Islam dengan memegangi pada versi Islam ramah, kritis, selektif secara kolektif (jama’i) terutama dalam menghadapi krisis yang dibawa serta oleh teknologi informasi oleh dunia modern. Respons yang diharapkan muncul oleh ummat Islam Indonesia melalui payung Islam Nusantara tidaklah akan menampilkan Islam di Nusantara seperti corak Islam di Pakistan, Islam di India, Islam di Arab Saudi, meski doktrin ajaran sama dan sebangun dengan Islam di mana pun di dunia ini.

Merawat ortodoksi Islam Nusantara adalah berarti menunjukkan formula relasi, kohesi, interaksi, dan dialog antara Islam sebagai agama dengan ummat dalam kebudayaan dan kebangsaannya. Pola hubungan antara Islam Nusantara oleh NU demikian juga Islam Berkemajuan oleh Muhammadiyah dengan negara adalah pola yang harmonis komplementer. NU dan Muhammadiyah tidak akan mendorong struktur organisasinya merapat dan menempel pada negara, menjadi tiang penyangga, demikian juga tidak akan membiarkan kekuatan negara dan partai politik memasuki bilik-bilik utama dua organisasi Islam ini. Negara merawat dua organisasi Islam moderat ini, sementara kedua organisasi di atas juga membantu negara melalui kiprah dan perannya sebagai organisasi sosial pendidikan keagamaan. Relasi negara dengan organisasi sosial keagamaan NU dan Muhammadiyah berada pada hubungan dengan titik imbang tertentu yang saling jaga, sehingga antara negara dan organisasi sosial keagamaan tidak saling memakan peran dan fungsinya. Dalam hubungan dengan negara, NU cenderung lebih artikulatif, decisive, dan atraktif, sementara Muhammadiyah lebih sibuk menempati garis netral, mengedepankan kosmopolitanisme dan membangun negara dengan mengelola amal usahanya.

Dalam menggerakkan roda pembangunan, negara tidak akan mengundang NU dan organisasi lain sebagai representasi Islam moderat namun kemudian menjadi bergesekan peran dengan negara. Yang terjadi justru, menurut Turmudi, kerap terjadi perselingkuhan antara NU dengan penguasa. NU sebagai organisasi sosial Islam tidak bergerak menjadi radikal sebagaimana gerakan Ikhwan al-Muslimin di Mesir. Eksperimen penerapan Islam dalam sistem ekonomi, politik, dan sosial yang diakomodasi negara juga tidak seperti Pakistan. Baik Mesir dan Pakistan bukan merupakan contoh yang baik bagaimana menempatkan Islam atas negara oleh kekuatan sosial-politik di negara itu secara damai, demokratis, dan berkesinambungan.

Dengan Islam Nusantara, dalam jangka panjang, negara di Indonesia tidak direpotkan dengan upaya mengatasi organisasi yang dalam menggerakkan dakwah Islam dengan cara-cara radikal, dari segi sikap ideologi maupun gerakan. Eksperimentasi menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia selama 10 tahun terakhir membuat Islam di Indonesia melakukan transformasi besar-besaran dan sistematis dalam alam demokrasi dan membuat ummat Islam harus menyadari bahwa membangun bangsa harus bersama-sama dengan komponen agama lain. Berbeda dengan negara Muslim lain, dengan Islam Nusantara, bisa mendampingi Islam Indonesia dari kecenderungan taksonomi gerakan Islam yang oleh Ayubi dikategorikan sebagai reformisme atau modernisme Islam dan bisa menghindarkannya dari gerakan salafisme, fundamentalisme, neo- fundamentalisme, Islamisme dan Islam politik. Taksonomi di atas penting diekspose, sebab dari tiga corak keislaman yang memengaruhi perkembangan sejarah politik Pakistan, bukan saja ternyata gagal dalam mewujudkan apa yang dicita-citakannya namun lebih dari itu menyisakan citra buruk bagi Islam dan sejarahnya di kemudian hari. Pertama adalah upaya melakukan apa yang disebut modernisme Islam oleh Ayub Khan (1958-1969). Kedua, mengembangkan apa yang disebut dengan sosialisme Islam oleh Zulfikar Ali Bhutto (1971-1977). Sedangkan ketiga, menggalakkan apa yang disebut dengan Nizam al-Islam (Islamisasi negara) oleh Zia ul-Haq (1977-1988). Penting digaris-bawahi, pada masa Zia ul- Haq, demokrasi Pakistan terpuruk karena tekanan kekuatan militer, partai politik dibekukan, kemudian mengontrol surat kabar agar tidak bergerak bertentangan dengan apa yang dianggapnya Islam. Islam Nusantara berbeda dengan di Brunei dan Malaysia di mana mayoritas penduduk Muslim membuat Islam dijadikan madzhab resmi negara; tidak pula memilih konfrontasi dengan negara seperti di Philipina dan Thailand karena penduduk Muslim minoritas di kedua negara ini.

Pemikiran ulama dalam payung Islam Nusantara meski mengadopsi demokrasi namun dengan diskusi-diskusi kritis sehingga negara tidak akan terjebak pada neo-kolonialisme. Tanpa harus mendudukkan gerakan Islam transnasional seperti HTI sebagai organisasi terlarang, cukup dengan menyatakan secara terbuka tidak setuju dan tidak cocok  dengan budaya nusantara, Islam Nusantara masih dengan leluasa mendorong Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin. Bagaimana rahmat Islam itu dirasakan oleh manusia? Muhajir menyebut kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Islam tentu saja mendorong dan mendahulukan maslahat, karena itu, dimensi kebaikan  dan kemanfaatan itu diikat dengan kuat yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyat al-khamsah) ajaran Islam terpenting: hifzh al- din, hifẓh al-ʻaql, hifẓh al-nafs, hifzh al-mal, dan hifzh al-ʻirḍ  bagi warga Negara Indonesia.

Harus ditegaskan di sini, bahwa ulama dan atau kiai dalam konteks tulisan ini, bukan tipe ulama seperti Syaikh Ahmad Syurkati, seorang pembaharu dan pemurni Islam di Indonesia. Dengan mengusung tema Islam Nusantara, seakan mengingatkan kembali ummat Islam Indonesia, akan berdirinya NU. Berdirinya NU, menurut Falaah, didorong oleh tiga latar belakang: sebagai aksi dan artikulasi kultural NU untuk bangsa. Akulturasi dipilih sebagai strategi untuk memperkenalkan Islam, kemudian dilanjutkan dengan melakukan Islamisasi dengan berpijak pada budaya yang berkembang di masyarakat; merupakan wadah aktivisme yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda dengan identitas sebagai ahli agama; dan ini yang kontekstual, seperti sejarah berulang - sebagai usaha anak muda ulama NU untuk menunjukkan keprihatinan dengan berkembangnya artikulasi keagamaan internasional. Mengemuka dalam artikulasi pemikiran dan gerakan pada saat itu, gerakan Wahabi yang gencar berusaha menghilangkan apa yang mereka pandang sebagai khurafat di tanah suci.

Kiai sebagai ulama memiliki kekuatan moral dan intelektual sebagai juru bicara Islam terhadap negara, yang karena posisi sosialnya, untuk segenap tumpah darah bangsa Indonesia, maka negara harus tidak beragama. Jika kiai sebagai kekuatan Islam, maka negara akan menerimanya sebagai bagian dari elemen masyarakat yang pandangan, pendirian, pemikiran, dan peran sertanya penting diperhatikan. Artikulasi para ulama dengan model ini bukan hal baru terkait dengan relasi ulama dengan penguasa. Geneologi pemikiran dalam karya-karya keislaman ulama Melayu Nusantara di masa lalu, yang menggambarkan hubungan kausal harmonis antara ulama sebagai elit Islam dengan raja sebagai pemimpin negara, laksana “dua permata dalam satu cincin” (one diamond in one ring).

Berbeda dengan eksperimen Mesir dan Pakistan, Islam Nusantara ini meminjam Effendy, merupakan pembaharuan teologis Islam dengan melakukan reinterpretasi Islam dengan pribumisasi yang digagas Gus Dur, Cak Nur, menjembatani jurang atau jarak politik antara Islam dengan negara, sekaligus melakukan transformasi sosial kegamaan demi membuat keragaman makna politik Islam. Islam Nusantara merupakan transformasi lebih lanjut dari apa yang dipikirkan Gus Dur dengan beberapa penegasan yang maju dan distingtif. Yakni ada keberanian untuk mulai memikirkan mempublikasikan hasil pemikiran dan kajian Islam Nusantara untuk mewarnai dan sekaligus memberi sumbangan pada wajah dunia yang ramah dan damai.

Dalam jika dibaca dalam konteks teori dominan sosial (SDT: Social Dominant Theory), apakah NU dengan Islam Nusantara mentransformasikan NU sebagai kelompok dominan dengan membangun kultur ketidak- sepadanan secara struktural akan menghasilkan ketidaksetaraan dan akan mendorong ketidaksetaraan hidup di antara mereka dan di antara kelompok sosial? Dengan ketidaksetaraan yang terjaga ini akan memunculkan mekanisme psikologis yang memiliki orientasi dominan sosial (SDO: Social Dominant Orientation). Orientasi dominan sosial ini bergerak pada pandangan nilai yang menempatkan manusia pada posisi tidak setara dan dalam konteks struktur sosial tidak sederajat dalam pola relasi di antara kelompok sosial. Pandangan nilai tersebut antara lain berupa penghargaan, penghormatan, pemberian gelar, dan lain-lain.

Artikulator Islam Nusantara itu adalah para ulama dan kiai atau sebutan lain, yang dalam konteks ini merupakan gelar yang lahir dari penghargaan dan penghormatan dari masyarakat. Mereka sejak sebelum Indonesia merdeka diposisikan sebagai elit sosial dalam konteks group-based social hierarkies dan karena itu baik langsung maupun tidak langsung menempati posisi sebagai kelas dominan dalam masyarakat.

Oleh karena itu, karena berlangsung lama, varian dan bentuk transmisi dan respons ulama-intelektual Muslim dan ummat terhadap Islam Nusantara yang terekam dalam karya-karya tulis para akademisi-intelektual pada masa kontemporer yang pada dirinya dapat dibaca merupakan salah satu bentuk artikulasi dan mencerminkan tendensi kuasa ulama dalam bingkai negara. Karena terekam di dalam karya tulis, sebaran dan diaspora pemikiran keagamaan ulama - termasuk akademisi Muslim - di era kontemporer yang menunjukkan artikulasi dan mencerminkan tendensi kuasa ulama dalam bingkai negara, sebagai kelompok sosial dominan yang memiliki orientasi dominan tertentu. Lantaran pemikiran yang memiliki ciri Islam Nusantara itu juga hidup dalam tradisi budaya, maka ia mengembang merajut harmoni di kalangan ummat bawah.

Substansi dan Isi

Islam itu satu, tidak berbeda-beda. Pada level konsep dasar, Islam tetap tidak dikurangi atau ditambah seperti dalam Islam Nusantara. Rukun Islam dan rukun Iman tidak berubah. Dimensi teologis tidak bergeser. Ortodoksi yang hendak dijaga dalam Islam Nusantara adalah pemikiran kalam (teologi) Asy’ariyah oleh Abu Hasan al-Asy’ari, fiqh Syafi’iyah oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, dan tasawuf Abu Hamid al-Ghazali. Yang hendak dieksplorasi lebih lanjut dalam Islam Nusantara bukan pada level itu, tetapi soal bagaimana menyampaikan secara terbuka ekspresi Islam ideal itu yang di dalam istilah Azra adalah “ranah budaya Islam (Islamic cultural spheres) distingtif ”. Secara kategoris, Azra kerap menyebut bahwa Islam Nusantara merupakan salah satu saja dari delapan ranah budaya yang lahir karena pengaruh nilai-nilai Islam di wilayah itu. Karena itu, ia tidak disebut antara Islam dengan budaya sebagai hal yang terpisah, melainkan saling mewarnai dengan intensitas masing-masing. Delapan ranah budaya Islam yang disampaikan Azra tersebut meliputi ranah budaya Arab; ranah budaya Persia atau Iran; ranah budaya Turki; ranah budaya Anak Benua India; ranah budaya Nusantara; ranah budaya Sino-Islamic atau Asia Timur; ranah budaya Sudanic Africa atau Afrika Hitam atau Afrika sub-Sahara; dan terakhir ranah budaya Belahan Dunia Barat (Western hemisphere). Bagi Azra, di samping Islam sebagai pemberi nilai yang dominan, masing-masing ranah budaya Islam di atas memiliki pewarna lain yang kemudian menjadi faktor pemersatu, antara lain, seperti bahasa yang digunakan penduduk di wilayah itu, budaya dan tradisi sosial yang khas, sehingga ekspresi dalam ranah sosial-budaya dan tekanan politiknya setelah persentuhan dengan Islam pun berbeda-beda.

Dalam hal produktivitas karya intelektual, masing-masing ranah budaya memberi sumbangan keilmuan berupa karya-karya tulis. Ia menjadi rahim yang subur. Hasil pemikiran dan kajian yang lahir di dalam ranah budaya ini telah banyak dipublikasikan untuk pembaca yang lebih luas. Dalam karya Islam Nusantara: Dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, Sahal dan Aziz, editor buku itu, telah menunjukkan dokumentasi berupa khazanah intelektual apa yang telah dicapai oleh kaum Muslim Indonesia selama ini. Islam doktrinal dibedah, hingga bagaimana dialog harmonis dan respons historis terhadap Islam doktrinal tersebut berlangsung. Tentu saja sesungguhnya narasi yang dibangun di dalam buku ini bukan sesuatu yang baru, tetapi sekedar membeberkan proses Islamisasi damai dan alamiah yang terjadi di Nusantara. Dengan demikian, bukan sesuatu yang baru. Untuk menunjukkan bahwa diskusi tentang masalah ini bukan sesuatu yang baru, maka penting diingatkan bahwa dalam tulisan ini dirancang dengan beberapa argumen. Pertama, jaringan dagang di mana Islam berada di dalamnya secara tak terpisahkan melalui jalur sutera telah berlangsung lama, meski secara umum terhubung dengan Semenanjung Malaya pada 100 SM hingga 1.300 M, namun sumber lain secara terpisah menyebut bahwa jalur perdagangan itu telah ada jauh sebelum abad itu.

Yang terjadi di sepanjang jalur perdagangan itu ternyata bukan semata-mata arus barang dan jasa, tetapi juga transmisi, asimilasi dan akulturasi budaya. Dalam konteks ini pula Islamisasi, dan pengaruh agama lain hadir dan bekerja. Kedua, kreasi kultural dan upaya terobosan kultural sebagai telah diupayakan oleh para ulama penyebar Islam selama berabad-abad. Dalam menjawab pertanyaan dan kebutuhan manusia, Islam – sebagaimana disebut Gulen - mengedepankan rahmatan li al- ‘alamin. Penyebaran Islam doktrinal di Nusantara, ditempuh secara gradual sebagai bagian dari aktivitas perdagangan, yang kemudian terjalin pernikahan, melalui aktivitas dakwah dan pendidikan yang mengedepankan akulturasi budaya dan dengan cara-cara damai. Cerita Islamisasi yang paling popular, meski tidak selalu menggambarkan secara utuh proses Islamisasi di tempat lain Nusantara dengan melakukan Islamisasi pada penguasa sehingga bersifat elitis-politis, di tanah Jawa dilakukan oleh para tokoh legendaris yang dikenal dengan Wali Songo pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Pada era dakwah Wali Songo ini, tendensi dakwah dengan pendekatan kultural mengemuka.

Tentu saja Islam tumbuh bersemi di Nusantara lebih jauh dari abad itu. Islam datang ke Nusantara sejak abad ke-6 atau ke-7, namun tidak langsung mendapat sambutan hangat dan luas dari penduduk. Dari lima teori tentang Islamisasi Nusantara, mulai dari teori Arab, teori Cina, teori Persia, teori India, dan teori Turki, keseluruhannya menyebut Islam tumbuh secara gradual. Para sarjana berpendapat, tulis Soebardi dan Woodcroft-Lee, kontak antara kaum pribumi dengan Islam dimulai sejak awal kehidupan Nabi Muhammad saw. Namun data-data arkeologis dan data literatur menyebut belakangan. Petualang asal Maroko Ibn Batuta yang pada 1345 singgah di Sumatera menyaksikan bahwa Islam telah dipeluk oleh penduduk di wilayah ini. Cerita yang dapat dipercaya tentang masuknya Islam ke wilayah Indonesia, tulis Morgan, asal mula-mula sekali diperoleh dari berita Marcopolo. 

Diceritakan bahwa di dalam perjalanannya kembali ke Venesia pada 692 (1292  M), Marcopolo yang bekerja pada Kubilai Khan di Tiongkok, singgah di Perlak, sebuah kota di pantai utara Sumatera. Menurut Marcopolo, pada saat itu penduduk di Perlak telah memeluk Islam melalui para pedagang yang disebut kaum Saracen. Para pedagang, menurut Rita, Roelofsz, Hamka, pemain utama Islamisasi di sini. Dalam waktu menunggu angin selama lima bulan di kota Samara (Samudera) dan Basma (Pasai) yang tidak jauh dari Perlak, Marcopolo menyaksikan wilayah itu juga telah diislamkan, meski ia bercerita bahwa ia harus membangun benteng dari tiang pancang yang terbuat dari kayu untuk berlindung dari orang-orang yang biadab. Dari Perlak (Aceh Timur), Lamno (pesisir Aceh Barat) dan Samudera Pasai, Islam menyebar ke Barus, Minangkabau, Banten, Cirebon, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ampel, lalu ke Makassar, Ternate, Tidore, Bima dan ke seluruh wilayah Nusantara. Sebaran Islam ini disebut Uka kemudian memicu tumbuh kembangnya kota-kota di wilayah tersebut. Digambarkan al-Attas, juga Johns, pada kota-kota tersebut juga tumbuh kehidupan agama berupa gerakan dan pemikiran keagamaan yang beragam, dengan nuansa kalam, tafsir, hadist, fikih, tasawuf dan tarekat, politik, tata bahasa dan sastra, akhlaq, pendidikan, dan lain-lain.  

Pemikiran keagamaan ini dapat dilacak pada karya-karya ulama klasik nusantara. Ketiga, dimulai dari karya intelektual ulama klasik nusantara seperti kitab Mir’at al-Thullab Tasyil Mawa’iz al-Badî’rifat al-Ahkâm al-Syar’iyyah li Malik al-Wahhab (bidang fiqh, ditulis atas permintaan Sultanah Safiyatuddin, Aceh), kitab Tarjuman al-Mustafid (naskah pertama Tafsir Al-Qur’an yang lengkap berbahasa Melayu), kitab Mawa’iz al-Badî’ (naskah tentang nasehat dan hikmah dalam pembinaan akhlak), kitab Tanbih al-Masyi (naskah tentang bidang tasawuf yang memuat ajaran tentang martabat tujuh), Kifayat al-Muhtajin ilâ Masyrah al-Muwahhidin al- Qâilin bi Wahdatil Wujud (naskah tentang penjelasan lebih lanjut tentang konsep wahdatul wujud), dan kitab Daqâiq al-Hurf karya Abdur Rauf al-Sinkili, karya Nuruddin al-Raniri, karya Syaikh Abdus Shomad al- Palimbani, Sabil al-Muhtadin karya Syaikh Arsyad al-Banjari; kitab Fath al-Majid, Tijn al-Darari, Kasyfatus Syaja’, al-Nahjah al-Jadidah, Dazari’at al-Yaqin ‘Alaumm al-Barahil, ar-Risalah al-Jami’ah baina Ushuluddin wa al- Fiqh wa al-Tasawuf, ats-Tsimar al-Yani’ah, dan Nur al-Dhulam karya Syaikh Nawawi al-Bantani. Di samping kitab fikihnya al-Tausyeh, Salamut Munajah, Nihayatuz Zain, Mirqat al-Shu’ud al-Tashdiq, Uqud al-Lujjain fi Bayani Huquq al-Zaujain, Qut al-Habib al-Gharib dan kitab-kitab tasawufnya seperti Salalim al-Fudhala, Misbah al-Dhuln ‘ala Manhaj al-Atam fi Tabwib al- Hukm, dan kitab tafsirnya seperti Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan Tafsir Marah Labid. Penting disebut juga karya-karya ulama modern seperti Bustan al-Katibin, Muqaddimah fi Intizam Waza’if al- Malik dan Thamarat al-Mahammah karya Raja Ali Haji, dan lain-lain.  

Pada zaman Indonesia kontemporer upaya Prof. Dr. Hasbi As-Shiddiqi  dan juga Nurouzaman Shiddiqi yang menggagas fikih Indonesia; Munawwir Sjadzali mengetengahkan  tentang  pemikiran  politik  hukum  Islam; Prof. Dr. K.H. Ibrahim Hosen menggagas tentang pembaharuan dalam hukum Islam di Indonesia; Prof. Nurcholish Madjid mengetengahkan Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan – yang memberi ilham bagi pengkajian Islam berbagai  perguruan  tinggi  Islam  ternama  tanah  air; K.H. Abdurrahman Wahid mengedepankan pribumisasi Islam dan K.H. Sahal Mahfudz menulis tentang fikih sosial; Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab memajukan gagasan tentang pribumisasi Al-Qur’an; dan masih banyak lagi contoh lain yang dapat dikemukakan di sini. Terlepas corak dan varian bidang ilmu masing-masing, tokoh-tokoh di atas mencerminkan geneologi intelektual yang distribusinya memanfaatkan jejaring guru-murid, melengkapi jejaring perkawanan, perkawinan, dan kekeluargaan, di mana berbagai varian jejaring itu pula yang kemudian menjadi aliran transmisi pemikiran Islam di nusantara.

Pada akhir bab ini, penting ditekankan bahwa karena keterbatasan dalam banyak hal, tidak dicantumkannya karya-karya di atas tidak dimaksudkan untuk menganulir atau mengabaikan karya yang lain, namun hanya merupakan contoh untuk memperjelas arah narasi.

Sumber: Pendahuluan Buku Berjudul “Islam Nusantara: Relasi Agama –Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama.
Islam Nusantara: Relasi Agama-Budaya dan Tendensi Kuasa Ulama pdf



Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer