Pages

Selasa, 29 November 2022

Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis di Nusantara: Menguak Gagasan Ahmad Baidowi

Manuskrip
Sumber gambar: artikula.id

Diskusi mengenai studi Al-Qur’an dan hadis Indonesia; tafsir-hadis yang penulisnya, bahasanya, dan atau ditulis di Indonesia, semakin menemukan identitas dan signifikansinya beriringan dengan dinamika kerja kesarjanaan dalam mengkaji kitab-kitab tafsir-hadis di Indonesia. Kajian tafsir-hadis di Indonesia secara dinamis telah memberi sumbangsih terhadap perkembangan intelektual Islam di tingkat regional dan global sekaligus. Ini mengindikasikan bahwa sarjana Indonesia dapat tampil secara signifikan dalam menyemarakkan diskusi perkembangan tafsir dan hadis di era kontemporer, termasuk yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ahmad Baidowi, M.Si. pada kajiannya yang fokus pada dimensi lokalitas tafsir dan hadis.

 

Perbicangan diskursus tafsir-hadis lokal secara matang didiskusikan, dibahas, dan diteliti oleh Ahmad Baidowi dalam perjalanan akademiknya. Hal itu terlihat dari karyanya yang memang fokus mengangkat kitab-kitab tafsir-hadis lokal khususnya Jawa. Dengan berlatarbelakang sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Baidowi sangat intens mengungkapkan dan menggalakkan dimensi dan sisi lokalitas dalam berbagai literatur tafsir-hadis. Tujuannya untuk mereaktulisasi tradisi dan khazanah keislaman berbasis budaya masyarakat lokal, yang dianggap telah lama terlelap dan belum banyak disinggung oleh sarjana lainnya. Atas dasar tersebut, hadirlah buku ini untuk merefleksikan gagasan-gagasan Ahmad Baidowi tentang lokalitas tafsir-hadis melalui karya-karyanya.

 

Kehadiran buku ini berfungsi sebagai alat perekat antara pembaca dengan gagasan Ahmad Baidowi tentang urgensi studi tafsir Al-Qur’an Indonesia. Melalui buku ini, setidaknya review dari para penulis terpetakan ke dalam lima bagian pembahasan. Kelima poin tersebut, memberikan semacam konsep besar dalam konstruksi gagasan Ahmad Baidowi. Kelompok reviewer pertama, melihat relasi antara substansi estetis dari Al-Iklil dan ekspresi estetis kitab tersebut dalam ruang lingkup masyarakat Jawa secara lokal. Pada review dari Febry Arianto dan Safira Malia Hayati, kita temukan dimensi varian tradisi yang muncul ke permukaan melalui penafsiran KH. Misbah Mustafa. Selanjutnya, review dari Luthfia Shifaul Amanah Burhani dan Huzaifah meyakini bahwa gagasan Baidowi memunculkan nilai komunikatif lokal yang memicu adrenalin kawasan tertentu di Nusantara untuk memperlihatkan kekhasan dari kawasan mereka. Pada review Annisa Fitrah dan Nafizatul Ummy Al-Amin, berikut dengan Fajriyaturrohmah dan Sherina Wijayanti, memunculkan nilai kultur masyarakat Jawa yang bersumber dari penafsiran KH. Mibah Mustafa. Secara keseluruhan pada bagian ini, pembaca akan menemukan muatan lokal yang terdapat dalam tafsir Al-Iklil dengan warna dan citra Nusantaranya.

 

Kelompok kedua, menunjukkan variasi persepsi dari berbagai sudut pandang tentang eksistensi Nazm Jawen yang dibangun oleh Ahmad Baidowi. Secara signifikan Ahmad Baidowi memberikan tawaran-tawaran yang mampu diaplikasikan terkait dengan Nazm Jawen. M Yusup Agustian dan Yoga Pratama menyimpulkan bahwa Nazm Jawen mampu menjadi media dakwah bagi khalayak luas khususnya masyarakat Jawa. Sedangkan Nur Imam Akhmad Yani dan Muhammad Faisal, dan Saichul Anam dan An-Najmi Fikri R bersepakat bahwa Nazm Jawen mampu menjadi alternatif pedagogi Tajwid-Qira’at Al-Qur’an di Nusantara. Jauh dari pada pandangan mereka, Alfan Shidqon dan Thoriqotul Faizah memandang bahwa Nazm Jawen mampu menjadi media dan alat untuk meresepsi Al-Qur’an di tengah masyarakat. Dengan kata lain, Nazm Jawen menurutnya menjadi kaca mata terbaru untuk melihat sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat

 

Dikutip dari Dimensi Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Dimensi Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis pdf

Bunga Rampai Publiksi Prof. Dr. Ahmad Baidowi, M.Si pdf

Wali Pitu: Historisitas, Genealogi dan Transmisi Islam di Bali

Wali Pitu
Sumber gambar: sindonews.com

Buku ini membahas kemunculan baru tradisi pemujaan wali di Indonesia kontemporer dan ziarah Muslim ke Bali melalui lensa tradisi perjalanan dan studi ziarah dan sebagian menyentuh aspek ekonomi agama. Para ulama secara khusus melihat tradisi travelling melalui perspektif budaya travelling di dunia Muslim, sirkulasi teks, masyarakat mobile, jaringan, teknologi, dan komoditas. Secara lebih luas, buku ini mengkaji tradisi travelling di cahaya mobilitas translokal budaya dan orang, dan ziarah Muslim dari perspektif geografi budaya multifaset, batas-batas, dan pertemuan. Ini juga melihat bagaimana transfer dan adaptasi, sebagai konsekuensi dari mobilitas budaya dan agensi, merangsang pertanyaan tentang otoritas dan keaslian serta peran 'ekonomi agama' dalam relokasi budaya.

 

Dengan demikian, buku ini berfokus pada adaptasi dari pemujaan suci berakar kuat di Jawa Islam di lingkungan Hindu yang dominan di Bali, dan pasarnya, produk keagamaan, dan pengusaha serta meneliti pelanggaran batas-batas multifaset melalui perjalanan keagamaan. Buku ini menawarkan cahaya baru tentang Bali dan melihat pulau itu sebagai tempat gerak budaya yang mengangkangi Islam dan Hindu dengan kompleksitas figurasi lokal, keterikatan, dan milik ‘Muslim Bal’. Perjalanan religi, menurut buku ini, memungkinkan kita untuk melihat lalu lintas budaya di lokalitas, pertukaran, komodifikasi, persaingan dan kontestasi yang dibingkai dalam setting sosiokultural translokal tetapi dibentuk oleh kekhususan lokal dari identitas spasial dan budaya.

 

Perjalanan religi merupakan salah satu unsur utama pembentuk Islam dan merupakan bagian dari tradisi mobilitas umat Islam, seperti haji (ziarah ke Mekkah), hijrah (hijrah), dan rihlah (perjalanan untuk tujuan belajar) Islam menganjurkan bahkan mewajibkan bentuk perjalanan keagamaan tertentu dan yang paling terkenal adalah haji yang berlangsung setiap tahun. Haji adalah bentuk perjalanan keagamaan yang paling penting dan dianggap sebagai salah satu rukun Islam ('arkan al-'Islam), bersama dengan kesaksian iman (syahadat), sholat wajib harian (shalat), sedekah (zakat), dan puasa selama bulan Ramadhan.

 

Semua Muslim yang mampu melakukan perjalanan wajib melakukan haji setidaknya sekali seumur hidup mereka. Yang kurang penting dari haji adalah umrah, di mana para peziarah Muslim melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah dan berdoa di berbagai tempat suci yang terletak di kedua kota tersebut. Sangat dianjurkan (sunnah mu'akkad) bagi umat Islam untuk melakukan umrah jika mereka mampu melakukannya secara finansial dan fisik. Umat ​​Islam dapat melakukan umrah sepanjang tahun, tetapi haji hanya dilakukan di bulan dzulhijjah, bulan terakhir dari kalender lunar Muslim.

 

Selain haji dan umrah, Islam juga mengenal praktik perjalanan agama ke tempat-tempat suci atau ziarah. Ziarah berarti 'mengunjungi' atau memuliakan orang suci dengan mengunjungi makamnya. Itu juga diberi label 'haji kecil' karena memberikan manfaat agama yang sama dengan melakukan haji atau umrah. Ziarah ke makam para wali adalah fenomena yang sangat penting di seluruh dunia Muslim.

 

James Fox mengamati bahwa “di seluruh dunia Islam, kunjungan ke makam para wali dan orang suci Islam adalah tindakan kesalehan yang diterima. Di Jawa, dan juga di tempat lain di Indonesia, kunjungan ke makam suci semacam itu adalah praktik yang mapan.”

 

Yang penting, ziarah ke makam para wali di Indonesia kontemporer adalah salah satu tradisi keagamaan yang dinamis yang menunjukkan hubungan dekat dengan kebangkitan agama. pasar dan pariwisata. Ini melibatkan ribuan situs dan ratusan ribu peziarah.11 Namun demikian, di Indonesia dan di tempat lain di dunia Muslim, ziarah berfungsi sebagai indikator penting perbedaan antara Muslim tradisionalis dan reformis. Para reformis tanpa kompromi mengutuk pemujaan wali dan ziarah ke tempat suci yang dipandang sebagai ritual yang melanggar hukum bahkan lebih buruk daripada tindakan penyembahan berhala (syirik), berbeda dengan kaum tradisionalis yang mendorong umat Islam untuk berziarah ke tempat suci para wali Muslim.

 

Buku ini secara khusus mengkaji ziarah ke makam Wali Pitu (Tujuh Wali) yang baru ditemukan. Wali Pitu mengacu pada tujuh wali muslim di Bali, yaitu Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi, Habib Ali bin Abu Bakar al-Khamid, Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus, Habib Ali bin Umar Bafaqih, Syekh Yusuf al- Baghdi, The Kwan Lie atau Syaikh Abdul Qadir Muhammad dan Mas Sepuh atau Raden Amangkuningrat. Empat anggota Wali Pitu menyandang gelar kehormatan 'habib', gelar yang setara dengan sayyid (laki-laki keturunan Nabi Muhammad), sedangkan dua lainnya bergelar 'syaikh' terutama merujuk pada keturunan Arab non-sayyid, dan bergelar ' raden' menunjuk keluarga bangsawan bangsawan di Jawa. Kiai Toyyib Zaen Arifin (1925-2001) dari Jawa pertama kali mencetuskan konsep Wali Pitu pada tahun 1992. Ia menemukan makam Wali Pitu di Bali dan, bersama dengan murid-murid Jawanya yang tergabung dalam kelompok sufi semu Al-Jamali yang tinggal di Bali mempopulerkan tradisi pemujaan Wali Pitu.

 

Ia juga aktif terlibat dalam pemasaran dan penyelenggaraan ziarah ke makam-makam Wali Pitu yang tersebar di Bali untuk letak geografis makam-makam tersebut). Akibat penemuannya, makam Wali Pitu telah disulap menjadi situs ziarah yang menggiurkan, khususnya bagi umat Islam Jawa yang berkunjung ke Bali untuk wisata religi.

 

Terlepas dari ketenaran Bali yang cukup besar sebagai tujuan wisata yang terkenal, umat Islam Indonesia tidak menerima gagasan untuk berziarah ke Bali sampai baru-baru ini. Bahkan saat ini, istilah 'Wali Pitu' masih terdengar asing di telinga banyak umat Islam Indonesia karena konsep wali di Indonesia selama beberapa dekade secara eksklusif terkait dengan Wali Sanga, sembilan wali di Jawa. Untuk waktu yang lama, berziarah ke makam para wali (ziarah wali) menyiratkan ziarah Muslim ke makam sembilan wali ini.

 

Selain itu, Jawa biasanya dikaitkan dengan sejarah orang-orang suci Muslim di Indonesia, sedangkan Bali yang bertetangga sebagian besar dianggap sebagai pulau Hindu. Pulau ini sering disebut ‘pulau dengan seribu pura’ (pulau seribu pura) dan ‘pulau para dewa’ (pulau dewata), dan merupakan rumah bagi banyak tujuan wisata yang terkenal - bukan ziarah -. Berkat kemunculan Wali Pitu, Bali tidak lagi dipandang hanya sebagai tujuan wisata tetapi telah menjelma menjadi sebuah pulau tempat umat Islam dapat berziarah, yang memfasilitasi perluasan ruang bisnis wisata religi yang berkembang pesat di Jawa.

 

Menelisik kemunculan Wali Pitu dan ziarah Muslim di Bali, pertanyaan utama dalam buku ini adalah bagaimana Wali Pitu ditemukan dan bagaimana pemasaran, pengalaman, dan persaingannya? Pembahasan tentang 'penemuan' ini terutama berpusat pada pertanyaan yang lebih rinci tentang orang yang menemukan tradisi Wali Pitu, bagaimana dia menciptakannya, dan apa premis terpenting dari tradisi ini. Istilah ‘dipasarkan’ secara khusus mengacu pada keterikatan antara tradisi agama dan pasar. Ia mencoba menangkap bagaimana tradisi pemujaan orang suci menuntut konsumsi religius dan bagaimana hal itu terkait dengan kemunculan pasar religi di Indonesia kontemporer. Mengenai pengertian ‘pengalaman’, buku ini akan melihat aspek subyektif dari mereka yang terlibat dalam perjalanan haji, terutama dengan mengkaji para peziarah dan praktik ziarah di Bali. Terakhir, dengan menggunakan istilah ‘contested’, kajian ini mengkaji dinamika situs-situs ziarah dalam konteks sosiokulturalnya.

 

Masalah penelitian yang diteliti memang cukup menggugah, terutama karena kurangnya studi tentang Islam di Bali dan hampir tidak ada studi tentang pemujaan wali di pulau itu. Karya antropologi secara eksklusif mendefinisikan Bali sebagai pulau Hindu di negara mayoritas Muslim, Indonesia. Untuk studi sejarah Islam di Bali, artikel Adrian Vickers (1987) mungkin bisa menjadi batu loncatan. Melengkapi artikel Vickers adalah dua artikel Jean Couteau tentang sejarah dan dinamika kontemporer umat Islam di Bali,16 dan artikel Brigitta Hauser-Schäublin yang mengkaji interaksi antara Islam dan penduduk asli Hindu-Bali 'Bali Aga' di Bali utara. Dua studi etnografi telah dilakukan oleh Fredrick Barth (1993) dan Erni Budiwanti (1995) dan mereka melingkupi komunitas Muslim di desa Pagetapan/Pegayaman di Bali utara. Dua artikel mencerahkan oleh Lene Pedersen (2008) dan Meike Rieger (2014) mengkaji dinamika Muslim dan Hindu di desa campuran Hindu-Muslim di Bali tengah dan timur. Namun, studi ini tidak memperhitungkan masalah pemujaan orang suci di pulau itu.

 

Dikutip dari Syaifudin Zuhri dalam Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia pdf

Kamis, 06 Oktober 2022

Fikih Humanis: Menggali Jati Diri Manusia dan Mengarifi Perbedaan

Sumber: kompas.com


Walaupun sudah banyak literatur yang membahas tentang keselarasan antara Islam dan HAM, perdebatan di seputar HAM dan kaitannya dengan Islam masih terus bergulir dalam perbincangan umat Islam. Perdebatan ini melibatkan dua corak pembacaan yang menonjol, yaitu pembacaan literalis dan progresif. Corak pembacaan literalis menekankan kesenjangan yang tajam dan nyaris tidak bisa didamaikan antara norma-norma Al-Qur’an dan hadis dan standar HAM yang diakui secara internasional. Mereka berkeyakinan keduanya secara inheren memiliki nilai-nilai yang berbeda dan bahkan saling bertentangan. 

Sebaliknya, corak pembacaan progresif meyakini bahwa Al-Qur’an dan hadis memiliki norma-norma dan nilai-nilai yang secara substantif selaras dengan HAM. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan kemuliaan semua keturunan Adam, atau kesamaan derajat setiap orang, laki-laki dan perempuan yang hanya berbeda di hadapan Tuhan karena derajat ketakwaan masing-masing, menjadi dalil yang mereka jadikan untuk mendukung keyakinan tersebut. Juga hadis-hadis Nabi, misalnya yang disampaikan pada saat khutbah perpisahan, yang menyatakan bahwa semua manusia sama belaka di hadapan Tuhan—orang-orang Arab tidak lebih hebat dibandingkan non-Arab atau orang-orang non-Arab tidak lebih istimewa dibandingkan orang-orang Arab, demikian halnya orang-orang berkulit putih tidak lebih tinggi derajatnya dibanding orang-orang berkulit hitam dan begitu juga sebaliknya—ditunjukkan sebagai bukti komitmen nyata Nabi Muhammad terhadap HAM.

 

Ada dua hal yang paling sering diperdebatkan dalam kaitan ini, yaitu status perempuan dan kebebasan beragama. Ketika sejumlah pemikir yang mengadopsi corak pembacaan progresif mempertanyakan ulang makna ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran yang mengartikulasikan posisi perempuan dalam masyarakat, institusi perkawinan dan kewarisan, misalnya, pemikir-pemikir literalis justru bersikeras tentang sempitnya ruang bagi reinterpretasi makna ayat-ayat tersebut. Bagi mereka, al-Quran jelas memberi tempat istimewa dan dominan bagi laki-laki, yang diyakini sebagai pemimpin yang dapat berpikir lebih rasional dalam mengatur rumah tangga dan masyarakat- Lagi pula, ayat-ayat tersebut—mereka tegaskan—telah menjadi dasar yang kukuh bagi wacana perempuan dalam fikih yang harus menerima posisi sebagai subordinat laki-laki. Sebagai salah satu konsekuensi dari kuatnya pengaruh corak pembacaan ini, kesan bahwa Islam memperlakukan perempuan secara diskriminatif dan tidak adil agak sulit dihindari.

 

Persoalannya semakin serius ketika menyangkut isu kebebasan beragama dalam Islam. Dalam corak pembacaan literalis, konversi agama merupakan hal yang sangat serius dan dikutuk sebagai bentuk kemurtadan. Ditekankan bahwa fikih menetapkan ancaman hukuman yang sangat berat bagi pelakunya, yaitu hukuman mati. Hukuman seberat itu dianggap layak karena beratnya derajat kesalahan orang yang berpindah agama. Bagi pemikir progresif yang berdiri di depan sebagai penganjur HAM, doktrin ini jelas merupakan pelanggaran langsung terhadap hak hidup seseorang yang merupakan hak paling dasar dalam pandangan HAM. Menurut keyakinan mereka, nyawa merupakan hak eksklusif Allah yang tidak boleh dihilangkan oleh siapapun dan dengan alasan apapun. Apalagi Al-Qur’an menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama4 —doktrin yang dipahami sebagai prinsip dasar dalam Islam. Contoh lain bisa ditambahkan terkait posisi non-Muslim sebagai dzimmi yang harus membayar jizyah (pajak kepala) jika ingin diterima hidup berdampingan dengan Muslim. Bagi para penganjur HAM, hal ini haruslah dipahami secara kontekstual, terutama terkait kebutuhan pengaturan sosial saat masa-masa awal Islam. Prinsip dasar Islam adalah memperlakukan warganya setara di hadapan hukum, sebagaimana terefleksi dari isi Piagam Madinah yang merupakan tonggak pembangunan peradaban Islam.

 

Dikutip dari Noorhaidi Hasan dalam Fikih Humanis; Meneguhkan Keragaman.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Fikih Humanis; Meneguhkan Keragaman pdf

The Official Indonesian Quran Translation pdf

Antologi The Suryakanta pdf

Kitab Lubb al-Ushul

Sumber: islam.nu.or.id

Kitab Lubb al-Ushul ini merupakan resume atau ringkasan kitab Jam’ul Jawami’ karya al-‘Allamah al-Tajj al-Subki. Sebuah kitab yang di dalamnya memuat penjelasan materi dua ushul; ushul fiqh dan ushuluddin, serta paket kajian yang dibahas bersama keduanya. Kitab ini memuat dua bagian, mukaddimah yang berisi definisi ushul fiqh, fiqh, hukum, dan pembagiannya. Serta berisi tujuh kitab pembahasan, lima kitab tentang dalil-dalil fiqh, yakni; pembahasan tentang Al-Quran, al-Sunnah, Ijma’, qiyas, istidlal.

Dilanjutkan dengan dua kitab keenam dan ketujuh, yakni pembahasan tentang ta’adul dan tarjih dan ijtihad yang menghubungkan antara dalil-dalil dan madlul-nya.

Dikutip dari Buku Terjemahan Lubb al-Ushul.

 

Dikutip dari Buku Terjemahan Lubb al-Ushul.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Terjemahan Lubb al-Ushul pdf

Jumat, 30 September 2022

Roadmap Moderasi Beragama dan Perilaku Generasi Milenial Indonesia

Sumber: goodnewsfromindonesia.id

Milenial paling sering digunakan untuk menggambarkan generasi yang tumbuh subur dengan kepuasan instan melalui teknologi, menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dan malas di tempat kerja. Mereka digambarkan sebagai generasi petualang yang lebih suka bepergian daripada menabung untuk perumahan, makan di luar daripada memasak di rumah, dan menghabiskan uang untuk smartphone terbaru daripada menyimpannya di bank. Meskipun mungkin benar sampai taraf tertentu, ini adalah generalisasi dan penyederhanaan yang berlebihan dari 1 dari 7 jenis milenium yang kami identifikasi, The Adventurer.

 

Pada intinya, milenium efisien, optimis, dan tidak jauh berbeda dari kelompok usia lainnya. Mereka sebagian besar didorong oleh hasrat dan menggunakan cara-cara kreatif untuk mencapai kesuksesan dan tujuan dengan cara mereka sendiri. Cara kaum milenial mengonsumsi berita dan informasi terpusat pada ponsel mereka dan jalan mereka menuju penemuan lebih bernuansa dan bervariasi daripada yang mungkin dibayangkan beberapa orang. Meskipun ada banyak stereotip dan mitos tentang milenium di luar sana, kebanyakan dari mereka kemungkinan didasarkan pada asumsi, yang akan menghalangi kita untuk benar-benar memahami dan sepenuhnya memenuhi kebutuhan generasi ini.

 

Dalam laporan ini, IDN Research Institute, dengan bantuan Nielsen Indonesia, menggali lebih dalam tentang 7 tipe milenial Indonesia yang dijabarkan berdasarkan nilai, perilaku, dan sikap mereka yang berbeda. Dengan proses yang didorong oleh hipotesis, kami mendorong kesimpulan dengan menggabungkan penelitian kuantitatif dan kualitatif lebih dari 5.500+ orang Indonesia yang berbasis di 11 kota dari Medan hingga Solo hingga Makassar, melakukan wawancara mendalam, menjalankan sesi imersi di rumah, dan mengatur buku harian digital. Memperhatikan faktor-faktor ini memungkinkan kami untuk memiliki pandangan yang luas tentang apa dan bagaimana kaum milenial memusatkan perhatian, waktu, dan energi mereka — wawasan penting di dunia yang terus berkembang saat ini.

 

Disarikan dari Pendahuluan “Indonesia Millennial Report 2020”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Indonesia Millennial Report 2020 pdf

Peta Jalan Moderasi Beragama pdf


Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Generasi Emas 2045

Sumber: kompasiana.com

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian (moral excellence) yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebaikan pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai-nilai karakter sebagai watak dirinya dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.

Di antara nilai-nilai karakter terpenting yang harus ditanamkan adalah nilai religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pihak-pihak yang berlainan paham dan keyakinan, serta hidup rukun dengan umat beragama lain. Alasannya, bangsa Indonesia adalah masyarakat agamis. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa harus selalu didasarkan pada ajaran agama dan kepercayaannya. Atas dasar pertimbangan itulah, nilai-nilai pendidikan karakter harus berasas pada nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

 

Lebih lanjut, pendidikan karakter harus dilakukan melalui tahapan perencanaan yang baik dan pendekatan yang tepat dalam proses pembelajarannya. Pengembangan pendidikan karakter melalui jalur pembelajaran ialah internalisasi nilai-nilai karakter melalui program dan kegiatan kurikuler, baik ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP) maupun buku ajar (text book) yang digunakan.

 

Menimbang pentingnya internalisasi karakter religius melalui jalur pembelajaran, Tim Dosen Matakuliah Pendidikan Agama Islam (MK PAI) Universitas Negeri Malang (UM) pada tahun ajaran baru 2013-2014 ini memandang perlu untuk menyusun buku ajar baru guna menumbuhkembangkan nilai dan karakter religius dalam diri mahasiswa. Berangkat dari hasrat dan niatan mulia di atas, judul yang dipilih untuk buku ajar MK PAI ini adalah “Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Pengembangan Pribadi Berkarakter”.

 

Kata “transformasi”, yang dalam bahasa Arab dapat dipadankan dengan kata taghyir, sengaja dipilih untuk text book ini, karena tim penulis memiliki spirit yang kuat menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam praksis pengajaran MK PAI di waktu mendatang guna mencetak pribadi-pribadi Muslim yang berkarakter luhur (baca: ber-akhlaq karimah).

 

Kehadiran buku ajar MK PAI ini juga dapat dimaknai sebagai tanggapan terhadap amanat Direktorat Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI kepada segenap civitas akademika perguruan tinggi untuk mengakomodir sejumlah issue pendidikan krusial (seperti pendidikan karakter dan pendidikan anti-korupsi), sekaligus sebagai respons terhadap dinamika nasional dan global mutakhir (seperti kampanye konservasi lingkungan, multikulturalisme, dan perang terhadap terorisme yang didengungkan oleh dunia internasional).

 

Secara spesifik, tujuan-tujuan yang diusung text book MK PAI tahun 2013 ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengembangkan fitrah dan potensi kalbu (intuitif) mahasiswa sebagai insan yang memiliki nilai-nilai religius. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku (afektif) mahasiswa yang luhur dan terpuji sejalan dengan budaya dan tradisi bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan sikap dan tindakan toleran (inklusif) yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, dan paham. Pendekatan pembiasaan karakter religius yang diterapkan dalam buku ajar MK PAI tahun 2013 ini bertumpu pada tiga prinsip.

 

Pertama, agar mahasiswa mengenal (knowing) nilai-nilai Islam; kedua, menerima (loving) nilai-nilai tersebut sebagai miliknya, dan ketiga, bertanggung jawab atas penerapannya (doing) dalam kehidupan nyata.

 

Disarikan dari Kata Pengantar Buku “Pendidikan Islam Transformatif”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Pendidikan Islam Transformatif pdf

Gerak Langkah Pendidikan Agama Islam untuk Moderasi Beragama pdf

Desain Pendidikan Agama Islam pdf

Prosiding PAI tahun 2019 pdf

Minggu, 18 September 2022

Pertarungan Politik Identitas vis-a-vis Politik Adu Jangkrik di Indonesia

Sumber: news.detik.com

Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970-an, bermula dari Amerika Serikat ketika menghadapi masalah minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Dalam perkembangan berikutnya, cakupan politik identitas ini meluas kepada sektor agama, kepercayaan, dan simpul-simpul kultural yang beragam.

Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi dan lokalitas kepentingan yang dipresentasikan pada umumnya oleh para elit negeri ini dengan bualan artikulasinya yang tampak mempesona dan visioner. Gerakan pemekaran daerah, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin merupakan masalah yang tidak mudah untuk dieksplanasikan.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan? Jika berbahaya, kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara memitigasinya?

 

Politik Identitas Berkedok Agama

 

Penggunaan agama di sini merujuk pada semua agama, tidak hanya Islam. Namun, dalam hal ini, Islam menjadi perhatian peneliti dan menarik atensi politisi untuk memperalatnya untuk kepentingan tertentu. Pada saat dunia Islam terpecah, ia sedang berada di buritan peradaban sejak beberapa abad yang lalu, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, akan sangat sulit menemukan pribadi-pribadi Muslim yang mampu secara psiko-kultural bersikap lebih tenang, objektif, dan realistik, kecuali mereka yang terdidik dan tercerahkan. Frasa tercerahkan di sini menempati posisi sentral sebab tidak semua yang terdidik akan tercerahkan, begitupun sebaliknya tidak semua yang tidak terdidik tidak tercerahkan. Fenomena ini terutama terlihat di kalangan mereka yang merantau ke negara-negara Barat yang jumlah mereka semakin membengkak dari tahun ke tahun.

 

Di negara-negara Uni Eropa, misalnya, sejak beberapa dekade terakhir, jumlah Muslim telah mencapai 20 juta, sebuah angka yang cukup fantastis bukan! Begitupun di Amerika, penduduk Muslimnya berkisar antara 6-8 juta, baik yang berasal dari imigran maupun konversi. Sekarang ini, orang sudah mulai berbincang tentang Islam and the West, sebagai balancing dari steriotipe Islam and the West sebagai kelanjutan dari konsep klasik Darul Islam dan Darul Harbi, yang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia mutakhir.

 

Sayangnya, Muslim perantauan baik di belahan bumi Barat maupun Timur, masih ada saja yang terpasung oleh konsep klasik Islam nan indah itu. Implikasinya, perasaan keterasingan – atau tidak membumi (down to earth) – acapkali menghantui mereka di tanah air baru itu. Akan pulang kampung situasi politik, ekonomi, sosial juga tidak memberi harapan, selain harus berhadap-hadapan dengan rezim-rezim despotik yang korup tidak jarang dilegitimasi oleh agama baik dari ulama partisan maupun intelektual opportunis. Munculnya kelompok ekstremisme umumnya berasal dari mereka yang merasa terasing ini. Ini adalah di antara tragedi diaspora Muslim di awal abad ke-21 yang tidak jarang menggunakan jubah Islam sebagai politik identitasnya.

 

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia

 

Penggunaan politik identitas di Indonesia dalam rentang belakangan ini begitu mengkhawatirkan. Indonesia darurat politik identitas. Pemilu DKI Jakarta tahun 2018 menjadi bukti untuk itu. Keterbelahan arus masyarakat di akar rumput, tidak bisa tidak, telah berhasil memporak-porandakannya. Mirisnya, penggunaan politik identitas menjadi preseden buruk bagi tumbuh-kembangnya demokrasi Indonesia. Lihat saja, kasus Ahok yang menista agama, pilpres tahun 2019 menjadi bukti untuk itu. Akankah di Pilpres 2024 akan terulang lagi? Sebuah jawaban yang membutuhkan renungan bagi kita semua. Masih relevankah menggunakan agama atau mimbar khutbah untuk melanggengkan politik “adu jangkrik” semacam ini. Semoga bangsa ini terus dewasa dalam mengarifi persoalan ini.

 

Modalitas bangsa ini sangat lebih dari memadai. Modalitas sosial, ekonomi, politik, sumber daya manusia, tradisi & kebudayaan, dan sumber daya alam yang melimpah sangat memadai untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Tinggal bagaimana, elit bangsa ini – dan elit partai – dan kita semua bijak dalam memanfaatkan modalitas ini. Jangan sampai kolonialisme jilid 2 kembali membabakbelurkan bangsa ini.

 

Disarikan dari Pendahuluan Buya Syafii Maarif, dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia pdf

Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia pdf

Nusantara untuk Peradaban Dunia: Menuju Tatanan Baru yang Lebih Berkeadilan

Sumber: politik.rmol.id

Asia, termasuk Asia Tenggara dengan penduduk Muslim mayoritas berjumlah besar di Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar untuk kembali menjadi pusat peradaban dunia. Berbagai indikator mendukung optimisme tersebut. Sementara AS dan Eropa mengalami ‘kemunduran’ dan bahkan krisis ekonomi yang berkelanjutan, berbagai negara Asia yang sudah developed, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetap bertahan—jika tidak kian meningkat. Pada saat yang sama, sejumlah negara Asia tengah bangkit (emerging) sejak dari China, India, Indonesia, Malaysia, Iran, Singapura dan Thailand. Kemajuan ekonomi yang cukup fenomenal negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim Indonesia dan Malaysia telah mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan living condition masyarakat. Di masa silam, ketika kegelapan masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban dunia.

 

Hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu, Budha, Shinto, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam sampai Sikhism dan Baha’i. Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada gilirannya memberikan warisan (legacy) yang tidak ternilai. Peradaban China, India, Persia, dan kemudian Muslim—yang membentuk sintesa distingtif dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi—pada abad pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa. Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan-kekuatan Eropa sejak abad 16 menguasai banyak bagian Asia. Kolonialisme jelas membuat terjadinya retardasi peradaban Asia. Dan, sekitar 60an tahun pasca-Perang Dunia II, Asia kembali menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.

 

THE DECLINE OF WESTERN CIVILIZATION

Wacana tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan pada 1918 dan jilid kedua pada 1922. Dalam buku ini dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah bermula sejak abad 20. Memang terjadi perdebatan sengit di antara para sarjana dan ahli Barat tentang apa yang dimaksudkan Spengler dengan istilah ‘kemunduran’ (decline), yang semula menggunakan istilah Jerman ‘untergang’, yang lebih tepat berarti ‘kejatuhan’ (downfall). Spengler sendiri menjelaskan kemudian, yang dia maksud bukan kejatuhan katastropik, tetapi kemunduran atau kejatuhan berselang-seling.

 

Lepas dari perdebatan peristilahan dan realitas perjalanan sejarahnya, wacana tentang kemunduran dan kejatuhan peradaban atau kekuatan-kekuatan besar, khususnya di Dunia Barat, kembali menemukan momentumnya ketika sejarawan Paul Kennedy menerbitkan karyanya yang kini sudah menjadi klasik, The Rise and Fall of the Great Powers (1987). Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet seolah menjadi prophesy bagi Soviet, sehingga meninggalkan AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutu-sekutu Baratnya dalam percaturan politik, ekonomi, militer dan budaya global tidak hanya terhadap Dunia Islam, tetapi juga atas kawasan maju lainnya, khususnya Eropa Barat.

 

Secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis, dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini, umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Situasi ini relatif berbeda dengan Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS— meski hegemoni ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.

 

Amerika Serikat, sekali lagi, merupakan kekuatan Barat yang sangat dominan dan hegemonik selama kebanyakan abad 20—mengatasi Eropa yang sebelumnya melalui kolonialisme dan imperialisme menguasai banyak wilayah Asia. Sejak masa pasca-Perang Dunia II, AS menduduki posisi puncak aliansi kekuatan Barat kapitalis dalam menghadapi Blok Timur sosialis di bawah komando Uni Soviet. Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 hanyalah memberikan peluang besar bagi AS dan Dunia Barat secara keseluruhan untuk kian menegaskan dominasi dan hegemoni mereka.

 

Meski demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara tentang The Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn (2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama. Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008). Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia yang mengharapkan kejatuhan Amerika. Memang jelas, terlihat kemunduran, atau sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu pengetahuan dan sains-teknologi.

 

Persepsi tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia. Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat), yang membuat Dunia Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China. Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada China dalam ekonomi dan devisa.

 

Dikutip dari Buku “Makalah Prof Azyumardi Azra yang berjudul Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban pdf


Sabtu, 17 September 2022

Partai Politik Islam dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan di Indonesia Kontemporer

Sumber: nasional.tempo.co


Islam di Indonesia telah lama dipuji karena toleransinya, di dalam dan di luar negeri, oleh masyarakat umum dan di kalangan akademisi, dan oleh politisi dan kepala negara. Di antara aspek yang disorot adalah penggabungan ritual dan keyakinan yang, secara tegas, tidak sesuai dengan Islam, dan kesediaan umat Islam Indonesia untuk menerima di tengah-tengah mereka Kristen, non-Muslim lainnya, dan sesama Muslim yang dianggap sesat oleh Islam arus utama.

Namun, citra toleransi ini telah ditantang dalam sepuluh hingga 15 tahun terakhir oleh konfrontasi bersenjata, jika bukan perang saudara, di Maluku, Lombok, Poso di Sulawesi, dan Banjarmasin di Kalimantan, di mana agama merupakan salah satu faktor pendorongnya; oleh kekerasan massa yang dilakukan oleh Muslim lokal dan kelompok-kelompok Islam yang main hakim sendiri dimana FPI (Front Pembela Islam, Front Pembela Islam) paling terkenal; dan dengan munculnya organisasi teroris.

 

Awalnya, terorisme di Indonesia adalah karya Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok yang terdiri dari orang Indonesia dan Malaysia yang memiliki hubungan dekat dengan al-Qaeda dan pemberontak Islam di Filipina; terinspirasi, jika tidak dipimpin, oleh salah satu ulama paling radikal di Indonesia, Abu Bakar Baʾasyir, Jemaah Islamiyah bertanggung jawab atas serangan bom di Bali (12 Oktober 2002) dan serangan teroris lainnya di tahun-tahun awal abad ini. Sebagian besar mantan pemimpin dan anggotanya kini telah dibunuh, dipenjara, atau dieksekusi. Laporan terbaru menunjukkan bahwa Jemaah Islamiyah telah digantikan oleh sejumlah kelompok teroris yang lebih kecil, kurang mampu membuat bom besar seperti yang digunakan di Bali, tetapi juga, dengan tidak adanya satu organisasi induk, lebih sulit bagi pihak berwenang untuk mendeteksi dan mencari tahu. ke atas.

 

Sisi buruk radikalisme Islam juga muncul dalam, kadang-kadang, protes kekerasan oleh Muslim lokal terhadap kehadiran gereja-gereja Kristen dan rumah-rumah biasa di mana jemaah bertemu, dan, pada tingkat lebih rendah, terhadap kuil-kuil Cina, sering mengarah ke tempat-tempat seperti itu ditutup atau layanan reguler dihentikan. Sebagian masalah dapat ditelusuri kembali ke keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama yang dikeluarkan pada 1969 dan direvisi pada tahun 2006, yang membutuhkan persetujuan pemerintah daerah dan penduduk setempat untuk pembangunan rumah ibadah, suatu kondisi tidak selalu mudah bagi orang Kristen untuk bertemu di lingkungan Islam, dan memberikan argumen hukum kepada pemrotes untuk membenarkan tindakan mereka.

 

Orang Kristen dan Cina bukan satu-satunya korban intoleransi. sebagian besar Muslim Indonesia adalah Sunni, dan dalam beberapa tahun terakhir anggota Ahmadiyah dan Syiah telah menjadi korban dari beberapa serangan brutal (lihat kontribusi Bastiaan Scherpen dalam buku ini). Insiden-insiden seperti itu sudah terjadi selama Orde Baru, tahun-tahun antara 1965 dan 1998, ketika Suharto berkuasa dan, secara umum, Islam politik dilarang dan para pendukungnya dapat dituntut, dan kelompok-kelompok radikal diawasi dengan ketat. Setelah 1998, tahun Suharto dipaksa mundur sebagai presiden, protes dan serangan menjadi lebih sering, dengan peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Menurut tokoh-tokoh yang diterbitkan di surat kabar Jakarta Post pada 2 Oktober 2010, jumlah kasus berjumlah 470 antara 1967 dan 1998, dan 700 antara 1ĀĀ8 dan 2010.

 

Angka yang lebih baru, diterbitkan oleh Setara Institute for Democracy and Peace, yang mempromosikan toleransi beragama sebagai salah satu tujuannya, adalah 144 serangan terhadap agama minoritas pada tahun 2011 dan 264 pada tahun 2012. LSM lain dengan tujuan yang sama, Wahid Institute, menyebutkan angka 274 untuk tahun 2012. Lembaga yang terakhir ini juga mencatat sebuah peningkatan insiden semacam itu selama bertahun-tahun sejak 2009, sementara laporan Human Rights Watch yang diterbitkan pada Februari 2013 menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap minoritas agama – juga menyebutkan serangan terhadap Bahai – telah 'mendalam'.

 

Umat ​​Islam arus utama harus merespons upaya-upaya untuk mewujudkan Islamisasi masyarakat Indonesia lebih lanjut. Salah satu perkembangan penting yang memfasilitasi proses ini adalah diundangkannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999 dan revisinya pada tahun 2004, yang memberikan otonomi luas kepada pemerintah daerah – provinsi, kabupaten dan kota, dan telah memberikan para pendukung Islam yang ketat dengan sarana tambahan untuk memajukan tujuan mereka. undang-undang mengizinkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) secara independen dari pengawasan atau kontrol oleh tingkat administrasi yang lebih tinggi, kecuali dalam beberapa bidang yang tetap menjadi hak prerogatif pemerintah nasional, di mana agama adalah salah satunya. Kenyataan bahwa pemerintah daerah tidak diperbolehkan mengeluarkan peraturan daerah tidak menghalangi mereka untuk menerapkan apa yang disebut Perda Syariah. ini dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang mewajibkan pegawai negeri sipil untuk mengikuti kursus Islam di bulan puasa atau menjadikan kemampuan membaca Al-Qur'an sebagai prasyarat untuk memasuki pendidikan menengah atau untuk mengakhiri pernikahan.

 

Sejumlah perda baru, dan di antara yang paling banyak dikritik, memengaruhi kehidupan perempuan dan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan aturan berpakaian Islami (jilbab dan 'pakaian terbuka') di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan menengah, atau memberlakukan semacam jam malam, tidak mengizinkan perempuan meninggalkan rumah tanpa ditemani oleh kerabat laki-laki di malam hari atau membuat mereka takut melakukannya. Pada bulan Agustus 2012, Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Indonesia) menghitung 282 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Sembilan puluh enam di antaranya menyangkut peraturan tentang prostitusi dan pornografi yang, seperti dikemukakan Euis Nurlaelawati dan Muhammad Latif Fauzi dalam buku ini, dapat berdampak lebih luas, mempersulit kehidupan tidak hanya pelacur tetapi juga perempuan lain; 60 di antaranya terkait dengan aturan berpakaian dan 'standar agama', dan 38 lainnya terkait dengan 'mobilitas perempuan'.

 

Kasus khusus adalah Aceh di ujung utara Sumatera. Dalam upaya membujuk separatis Gerakan Aceh Merdeka (Gerakan Aceh Merdeka gam) untuk meletakkan senjata, Jakarta memberikan otonomi khusus provinsi pada 1 Oktober 1999. Aceh diberi hak untuk membuat peraturan perundang-undangan di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat setempat; kekuatan yang tidak dimiliki provinsi lain. Hasilnya adalah sejumlah hukum Islam (qanun) yang mempromosikan perilaku Islam yang 'benar' (termasuk cara berpakaian wanita; pria tampaknya menghindari pembatasan tersebut), melarang praktik dan kepercayaan non-Sunni, melakukan tindakan seperti perjudian dan konsumsi makanan. minuman beralkohol dapat dihukum, dan memberikan otoritas lokal kekuasaan untuk bertindak dan menghukum hubungan seksual terlarang. ini termasuk asumsi bahwa dua orang yang belum menikah dari jenis kelamin yang berbeda tanpa ikatan keluarga dekat yang sendirian bersama di ruang terpencil bersalah melakukan hubungan seks terlarang (lihat kontribusi oleh Reza Idria).

 

Dikutip dari Buku “Islam, Politik and Change; The Indonesian Experience after the Fall Soeharto”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Islam, Politik and Change; The Indonesian Experience after the Fall Soeharto pdf

Mengulik Pendekatan Ma‘nā-cum-Maghzā atas Al-Quran Perspektif Sahiron Syamsuddin

Sumber: tafsiralquran.id


Secara etimologis, gabungan kata Ma‘nā-cum-Maghzā terdiri dari tiga kata: ma‘nā, maghzā (keduanya dari Bahasa Arab) dan cum (dari Bahasa Latin). Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab mengatakan, ‘anaytu fulānan ‘anyan itu berarti: qaṣadtuhu (‘saya memaksudkan atau menunjuk pada dia’). Jadi, secara leksikal, kata ma‘nā berarti ‘maksud’ atau ‘arti’. Secara terminologis, istilah al-ma‘nā dimaksudkan: mā yadullu ‘a;ayhi l-lafẓu (‘apa yang ditunjukkan atau dimaksudkan oleh lafal/kata’).

Berdasarkan hal ini, dalam Bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan: makna, arti atau maksud lafal/kata. Istilah al-ma‘nā ini dibagi dalam dua kategori: (1) al-manṭūq dengan definisi: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu fī maḥall al-nuṭq (‘apa yang dimaksudkan oleh lafal/ kata secara eksplisit’), dan (2) al-mafhūm yang berarti: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu lā fī maḥall al-nuṭq (‘apa yang dimaksudkan oleh lafal/kata secara implisit’). Adapun kata al-maghzā memiliki akar kata: ghayn, zay dan waw. Kata ghazā itu memiliki kemiripan arti dengan kata qaṣada (memaksudkan). Ibn Manẓūr menjelaskan, “ghazā al-syay’a ghazwan” itu berarti: qaṣadahu wa ṭalabahu (‘Dia memaksudkan sesuatu dan mencarinya’). Dia juga menjelaskan, “maghzā al-kalām itu berarti maqṣiduhu (‘maksud kalimat’). Adapun kata cum itu berarti ‘bersama’. Hal ini menunjukkan bahwa ma‘nā dan maghzā harus diperhatikan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.

 

Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang akan dicari oleh seorang penafsir yang menggunakan pendekatan ini, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir) dari teks Al-Qur’an yang ditafsirkan.

 

Setiap ayat atau kumpulan ayat Al-Qur’an itu memiliki tiga hal tersebut secara sekaligus. Makna historis ayat (al-ma‘nā al-tārīkhī) adalah makna bahsa/ literal yang mungkin dimaksudkan oleh Allah Swt pada masa diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi Muhammad Saw, dan atau yang dipahami oleh beliau dan para sahabatnya sebagai audiens pertama Al-Qur’an (al-mukhāṭabūn al-awwalūn). Sedangkan signifikansi historis ayat (al-maghzā al-tārikhī) adalah maksud atau pesan utama yang ingin disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya, baik itu berupa maqāṣid syar‘iyyah (maksud-maksud utama penetapat hukum), ‘illat al-ḥukm (alasan penetapan hukum tertentu) maupun ‘ibrah (pelajaran moral). Adapun signifikansi dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir) itu hasil ijtihad/penafsiran seorang penafsir dalam mengembangkan al-maghzā al-tārikhī dengan cara mereaktualisasikannya, mendefinisikannya kembali dan mengimplementasikannya dalam konteks dimana penafsiran itu dilakukan pada ruang dan waktu tertentu.

 

Dengan pendekatan ini diharapkan bahwa para penafsir dapat melakukan, paling tidak, dua hal berikut ini. Pertama, mereka mampu melakukan penafsiran yang kontekstualis. Mereka tidak hanya terpaku pada makna literal ayat saja, tetapi juga memperhatikan pesan utamanya. Dengan demikian, mereka dapat mengaktualisasikan pesan-pesan Al-Qur’an dalam ruang dan waktu secara dinamis. Dalam hal ini, dari satu sisi mereka memperhatikan aspek linguistik ayat, tetapi juga di sisi lain memperhatikan konteks tekstual dan konteks sosial historis pada masa pewahyuan Al-Qur’an serta konteks sosial pada masa kontemporer (ketika teks ditafsirkan). Karena memperhatikan hal-hal tersebut, pendekatan ma‘nā-cum-maghzā merupakan pendekatan yang seimbang (balanced approach).

 

Kedua, para penafsir mampu menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu ṣāliḥ li-kull zaman wa makān (sesuai dengan segala waktu dan tempat). Ketika mereka hanya memperhatikan aspek kebahasaan Al-Qur’an semata, maka mereka tidak akan merasakan ṣalāḥiyyat (kesesuaian) Al-Qur’an dengan berbagai macam situasi dan kondisi masyarakat yang bervariasi dalam hal pola pikir, cara pandang, budaya, ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek-aspek lainnya.

 

Dikutip Dari Orasi Ilmiah Prof. Dr.phil. Sahiron Syamsudin, M.A, dalam Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā atas Al-Quran.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā atas Al-Quran pdf

New Trends in Quranic Studies pdf

The Quran with Cross References pdf

Scriptual Polemic the Quran pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer