Pages

Sabtu, 25 April 2020

Memahami Tujuan Pokok Berpuasa


Sumber gambar: islam.nu.or.id

Berpuasa dan mengisi hari-hari bulan Ramadhan dengan serangkaian amal ibadah; tarawih, tadarus, taklim, dan amal ibadah lainya merupakan keinginan setiap orang yang jiwanya dibalut dengan iman dan takwa kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Meski Ramadhan tahun ini sedikit berbeda dengan Ramadhan sebelumnya karena pandemi Covid-19 tetapi antusias umat Islam di Indonesia tampak tidak berkurang, bahkan bisa jadi tambah semangat menjemput bulan penuh ampunan (maghfirah) ini.

Ada suatu karya menarik yang membahas perihal puasa ramadhan secara khusus yakni Syekh Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H), dalam karyanya berjudul Maqashidus Shiyam.

Profil Syekh Izzuddin bin Abdussalam (w. 660 H)

Nama lengkapnya adalah al-‘Allamah alSyaikh al-Imam al-Faqih al-Mujtahid Hujjatul Islam, Syaikhul Islam Izzuddin Abu Muhammad Abdul Aziz ibn Abdussalam ibn Abu alQasim ibn Hasan al-Sulami al-Dimasyqi alSyafi‘i. Ia lahir pada 577 Hijriah.

Beliau belajar kepada beberapa ulama, di antaranya Ahmad al-Mawwazini, Barakat ibn Ibrahim al-Khusyu‘i, al-Qasim ibn Asakir, Umar ibn Thabrazid, Hanbal ibn Abdullah, dan beberapa guru yang lain.

Beliau juga menjadi guru bagi banyak murid yang sebagiannya kemudian dikenal sebagai ulama yang cukup masyhur, seperti al Dimyathi, Ibn Daqiq al-‘Id, Syihabuddin ibn Farh, al-Yunaini, Ibn Bahram al-Halabi, dan lain-lain.

Beliau memiliki riwayat panjang dalam tradisi ilmu dan ijtihad. Juga dikenal istiqamah dalam memperjuangkan kebenaran dan jihad. Dikenal luas pada zamannya sebagai salah satu ulama besar mazhab Syafi‘i. Juga dikenal teguh memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Selain itu, dikenal pula sebagai alim yang warak dan pemberani.

Al-Asnawi mengatakan, “Syekh Izzuddin ibn Abdussalam adalah syekh Islam yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Ia menganggap rendah kekuasaan dunia dan para penghamba dunia. Ia juga bersikap tegas kepada para raja dan bangsawan pada zamannya.”

Berikut ini beberapa karya tulisnya yang lain: Tafsîr al-Qur’ân—ringkasan atas al-Nukat wa al-‘Uyûn karya al-Mawardi, Al-Jam‘ bayna al-Hâwi wa al-Nihâyah, Qawâ’id al-Ahkâm fî Mashâlih al-Anâm, Al-Qawâ‘id al-Shugrâ, Bidâyah al-Sûl fî Tafdhîl al-Rasûl, Al-Alghâz fî al-Nahw, Amâlî al-‘Izz, Al-farq bayna al-Islâm wa al-Imân, Ahkâm al-Jihâd wa Fadhlih, Al-Isyârah ilâ al-Îjâz fî Ba‘dhi Anwâ‘ alMajâz, Al-Anwâ‘, Bayânu Ahwâl al-Nâs Yawm al-Qiyâmah, Targhîb Ahl al-Islâm fî Suknâ al-Syâm, Syarh Asmâ’ Allâh al-Husnâ, Al-Targhîb fî Shalât al-Raghâ’ib, Al-Radd ‘alâ al-Mubtadi‘ah wa al-Hasyawiyyah, Risâlah fî ‘Ilm al-Tawhîd, Risâlah fî al-Quthb wa al-Ghawts wa alAbdal wa Ghayruhum, Syarh Hadîts lâ Dharara wa lâ Dhirâra, Syarh Muntahâ al-Sûl wa al-Amal fî ‘Ilm al-Jadal wa al-Ushul, Milhah al-I‘tiqâd, Al-Fatâwa al-Majmû‘ah, Al-Fatâwa al-Mishriyyah, Al-Fatâwa al-Maushiliyyah, Fawâ’id al-Balwâ wa al-Mihan, Al-Fawâ’id fî Ikhtishâr al-Maqâshid, Qashîdah min 33 Bait min Bahr al-Wâfir fî Madh al-Ka‘bah, Mukhtashar Shahîh Muslim, Majlis fî Dzamm al-Hasyîsyah, Mukhtashar Majâz al-Qur’ân, Maqâshid al-Ri‘âyah, Maqâshid al-Shalâh, Maqâshid al-Shiyâm, Manâsik al-Hajj, Nubdzah Mufîdah fî Adâb al-Shuhbah, Washiyyah al-‘Izz Qabla Mawtihî.

Itulah beberapa kitab yang ditulis al-‘Izz. Disebutkan bahwa pemuka para ulama ini meninggal sebagai zahid pada 660 H. Sebagian riwayat lain menyebut 659 H di kota alMahrusah. Jenazahnya dikuburkan di lembah gunung al-Muqaththam. Di tempat itu ada pemakaman yang penjaganya tidak mengizinkan siapa pun dikuburkan di sana kecuali dengan kuburan yang sederhana, tanpa dinding, tanpa hiasan, dan bentuk kemegahan lainnya. Dengan begitu, sang zahid ini tetap menjadi zahid hingga akhir hayatnya dan di kehidupan berikutnya. Semoga beliau mendapatkan surga firdaus, kenikmatan yang paling nikmat, dan taman surga yang paling luas.

Kewajiban Berpuasa

Allah Swt. berfirman,“Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 183). Artinya adalah agar kamu takut kepada neraka dengan mengerjakan puasa, karena puasa merupakan sebab bagi pengampunan dosa yang mengharuskan balasan neraka. Dalam Shahih Bukhari-Muslim diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda,

“Islam dibangun di atas lima hal: yaitu agar engkau menyembah Allah dan kufur kepada selain Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa bulan Ramadhan”. (H.R. Bukhari [8], Muslim [16], Turmudzi [2609], dan Ahmad bin Hanbal [2/29])

Fadhilah Puasa

Puasa mengandung beberapa faedah, seperti meninggikan derajat, menghapus kesalahan, melemahkan syahwat, memperbanyak sedekah, meningkatkan ketaatan, syukur kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tidak tampak, menjauhkan diri dari bisikan maksiat dan menyimpang (dari syariat). Tentang manfaat meninggikan derajat, Rasulullah saw. menegaskan:

“Apabila Ramadhan tiba, dibukalah pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka, serta setan-setan dibelenggu”. (H.R. Bukhari [1799-1800], Muslim [1709], Ahmad [2/357], al-Nasa’i [4/127])

Kemudian berdasarkan sabda Rasulullah saw. yang menceritakan dari Allah Swt,

“Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang membalasnya. Puasa adalah perisai, maka jika salah seorang dari kamu berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor pada hari itu dan bertengkar. Jik seseorang mengumpat atau mengajaknya bertengkar, maka hendaklah ia berkata; ‘Sesungguhnya aku adalah orang yang berpuasa. Sesungguhnya aku sedang berpuasa. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, sungguh busuknya bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dibanding bau minyak misik. Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan: jika berpuasa, ia bergembira dengan bukanya. Dan ketika bertemu Tuhannya, ia bergembira dengan puasanya”. (Hadits Qudsi, HR. Bukhari [1805], Muslim [1151], Ahmad [3/273], dan Abdur Razzaq dalam al-Mushannaf [7891]).
“Setiap amal anak Adam itu dilipatgandakan. Satu kebaikan mendapat sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” Allah berfirman, “Kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku akan membalasnya. Dia tinggalkan syahwat dan makanan karena Aku.” (HR. Muslim: 1151, Ibnu Majah: 1638, Ahmad: 2/443, dan al-Baihaqi: 4/273)

Puasa mengandung beberapa faedah, seperti meninggikan derajat, menghapus kesalahan, melemahkan syahwat, memperbanyak sedekah, meningkatkan ketaatan, syukur kepada Allah Yang Maha Mengetahui segala yang tidak tampak, menjauhkan diri dari bisikan maksiat dan menyimpang (dari syariat).

Dan Beliau saw bersabda,

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang disebut dengan ar-Rayyan, yang pada hari kiamat orang-orang yang puasa akan masuk melaluinya dan tak seorangpun selain mereka masuk bersama mereka. Dikatakan: manakah orang-orang yang puasa? Merekapun masuk melalui pintu itu. Dan setelah yang terakhir dari mereka masuk, pintu itupun ditutup sehingga tak seorangpun masuk melalui pintu tersebut”. (HR. Bukhari, 1797, Muslim, 1152, an-Nasa’i dalam Bab ash-Shiyam, 142 dan Ibnu Majah, 1640)

Dalam riwayat lain disebutkan,

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat pintu yang disebut dengan ar-Rayyan, yang diserukan kepada orang-orang yang puasa. Barangsiapa termasuk orang-orang yang puasa, maka ia memasuki pintu itu dan barangsiapa memasukinya, maka tidak pernah haus selama-lamanya.” (HR. Turmudzi: 765 dan ia mengatakan, “Hasanshahih-gharib, dan oleh an-Nasa’i dalam bab ash-Shiyam: 4/168, serta Ibnu Adi dalam al-Kamil: 4/1612)

Rasulullah saw. juga bersabda,

“Sesungguhnya orang yang berpuasa itu didoakan oleh para malaikat ketika ada yang makan di sisinya sampai mereka selesai.” (HR. Turmudzi: 785 dan ia mengatakan, “Hasan shahih.” Dan diriwayatkan oleh Ahmad)

Yang dimaksud dengan dibukanya pintu surga berarti memperbanyak taat yang menyebabkan dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu neraka berarti sedikitnya maksiat yang menyebabkan ditutupnya pintu-pintu mereka. Dibelenggunya setan berarti terputusnya bisikan setan terhadap orang-orang yang puasa, karena mereka tidak bisa berharap agar orang-orang yang puasa mengikuti ajakan mereka untuk berbuat maksiat. Tentang firman Allah Swt., “Setiap amal anak Adam adalah untuknya, kecuali puasa, karena puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang membalasnya,” Allah menisbahkan puasa kepada-Nya sebagai bentuk kehormatan, karena puasa tidak termasuki oleh riya, karena puasa adalah ibadah yang tidak tampak, dan karena lapar dan haus tidak pernah digunakan untuk mendekatkan diri kepada seorang pun di antara raja-raja di bumi. Tidak pula untuk mendekat kepada berhala.

Firman Allah, “Dan Aku yang membalasnya,” meskipun Dia-lah yang membalas semua perbuatan taat, artinya adalah membesarkan balasan (pahala) puasa, karena Dia-lah yang mengurus pencurahan balasan tersebut. Firman Allah, “Puasa adalah perisai,” berarti puasa adalah penjaga dari azab Allah.

Kata al-rafats (الرفث) berarti kata-kata yang kotor, sedangkan al-sakhab (السخب) berarti pertengkaran. Firman Allah, Hendaklah ia berkata: “Sesungguhnya aku sedang berpuasa,” artinya ia mengingatkan diri sendiri bahwa dirinya sedang berpuasa agar terhindar dari kekeliruan dan pertengkaran. Kemudian firman Allah, “Sungguh busuknya bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah pada hari kiamat dibanding bau minyak misik.” Dalam kalimat ini ada kata yang dibuang. Perkiraannya: “Sungguh pahala bau busuk mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah dibanding bau misik.” (Dikutip oleh az-Zabidi dalam al-Ithaf, 4/191. Perbedaan yang terjadi antara ash-Shalah dan al-Izz bin Abdus Salam adalah tentang apakah harumnya bau busuk itu di dunia dan akhirat atau di akhirat saja? Ibnu Shalah mengikuti pendapat pertama, sedangkan Ibnu Abdis Salam kepada pendapat kedua).

Dua kegembiraan yang dimaksud: pertama, karena mendapat taufik untuk menunaikan ibadah; kedua, karena balasan Allah saat Dia memberikan balasan.

Firman Allah Swt.: “Dia tinggalkan syahwat dan makanan karena Aku.” Artinya, karena dia mendahulukan taat kepada Tuhan daripada taat kepada diri sendiri, disertai kuatnya syahwat dan hawa nafsu, maka Allah memberi pahala dengan mengurus sendiri balasan itu. Barangsiapa mendahulukan Allah, Allah mendahulukan orang itu, karena Allah memosisikan hamba di sisi-Nya sebagaimana si hamba memosisikan Allah di hatinya. Karena itu, barangsiapa bermaksud melakukan maksiat kemudian meninggalkannya karena takut kepada Allah maka Allah berfirman kepada para malaikat pencatat amal,

“Catatlah perbuatan ini sebagai satu kebaikan, karena ia tinggalkan syahwat tiada lain karena Aku.” (Musnad Imam Ahmad, 2/42, 316 dan alBukhari, 7501)

Keistimewaan masuk surga melalui pintu ar-Rayyan: mereka mendapat keistimewaan dengan pintu tersebut karena keistimewaan dan kehormatan ibadah yang mereka kerjakan. Doa malaikat untuk orang yang berpuasa jika ada orang yang makan di dekatnya, karena ia tinggalkan makan padahal ada makanan di dekatnya, berarti sungguh-sungguh mengekang nafsu. Karena itu, dia berhak mendapat doa para malaikat. Shalawat malaikat itu berarti doa agar ia mendapat rahmat dan ampunan.

Dikutip dari Maqashidus Shiyam karya Syekh Izuddin bin Abdussalam (w. 660 H), Sulthanul Ulama dan Penulis Syajaratul Ma’arif.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Ibn Taymiyya on Reason and Revelation

Sumber gambar: terrortrendsbulletin.com

Ini adalah studi panjang buku pertama dari sepuluh volume magnum opus Ibn Taimiyah, Dar’ taʾāruḍ al-ʿaql wa al-naql (sanggahan terhadap kontradiksi alasan dan wahyu). Risalah besar ini, dengan total lebih dari empat ribu halaman dalam edisi tahun 1979 dari Muḥammad Rashād Sālim, merupakan upaya keras dan berkelanjutan dari seorang ahli hukum-teolog Muslim akhir abad pertengahan untuk menyelesaikan debat sentral yang telah berkecamuk di kalangan teolog dan filsuf Muslim selama lebih dari enam abad: yaitu, perdebatan tentang hakikat, peran, dan batas akal manusia dan hubungannya dengan interpretasi wahyu ilahi. Dalam Darʾ taʿāruḍ, Ibn Taimiyah — yang, “dengan konsensus yang hampir universal, salah satu pemikir paling orisinal dan sistematis dalam sejarah Islam” —mencoba untuk melampaui dikotomi “alasan vis a vis wahyu” secara bersamaan dengan menghancurkan dan secara sistematis menyusun kembali yang sangat kategori yang melaluinya akal budi disusun dan diperdebatkan dalam Islam abad pertengahan.

Dalam studi saat ini, berdasarkan pada bacaan dekat, baris demi baris dari sepuluh volume penuh Darʾtaʿāruḍ, Sharif memberikan penjelasan terperinci dan sistematis tentang filosofi dan metodologi yang mendasari, namun sebagian besar tersirat, yang menjadi dasar Ibn Taimiyah. menjawab pertanyaan tentang kompatibilitas alasan dan wahyu. Tidak puas dengan upaya sebelumnya, Ibnu Taimiyah tidak hanya kritik tetapi juga secara fundamental merumuskan kembali asumsi yang sangat epistemologis, ontologis, dan linguistik yang membentuk filter di mana ide-ide tentang hubungan antara akal dan wahyu sebelumnya telah disaring. Meskipun Ibn Taimiyah tidak menjelaskan filosofi yang mendasari dalam hal sistematis, Sharif berusaha menunjukkan bahwa pembacaan yang cermat terhadap Dar Taʿāruḍ mengungkapkan sistem pemikiran yang koheren di luar negeri yang menggunakan sumber daya intelektual yang beragam. Ibn Taimiyah mensintesis sumber daya ini dan, menggabungkannya dengan kontribusi uniknya sendiri, menciptakan pendekatan terhadap pertanyaan tentang alasan dan wahyu yang sangat kontras dengan pendekatan yang diartikulasikan sebelumnya. Melalui usaha ambisius ini, Ibnu Taimiyah mengembangkan pandangan dan argumen yang memiliki implikasi untuk bidang-bidang mulai dari interpretasi kitab suci hingga ontologi, epistemologi, dan teori bahasa.

Upaya sebelumnya untuk membahas hubungan antara akal dan wahyu dalam Islam, seperti upaya para teolog al-Ghazālī (w. 505/1111) dan al Rāzi (w. 606/1209) dan para filosof Ibn Sīnā (w. 428/1037) dan Ibn Rushd (w. 955/1198), terkenal dan telah menerima perhatian ilmiah; karya saat ini bertujuan untuk menetapkan kontribusi Ibnu Taimiyah ke perdebatan sebagai bab penting ketiga dalam upaya Muslim klasik untuk mengartikulasikan respons terhadap pertanyaan konflik antara wahyu dan alasan. Memang, jika Ibn Sīnā dan Ibn Rush mewakili pendekatan filosofis Muslim (atau falāsifa) terhadap masalah ini, dengan al-Ghazālī dan al-Rāzī mewakili bahwa teologi Ashʿarī arus utama, maka Darʾtaʿāruḍ dari Ibn Taimiyah harus dilihat sebagai respons filosofis utama terhadap pertanyaan tentang akal dan wahyu dari perspektif Ḥanbalī — respons yang setara dengan karya para pendahulunya dalam hal kelengkapan, kohesi, dan kecanggihannya. Sebuah studi tentang sifat ini sangat diperlukan karena, terlepas dari beasiswa penting korektif baru-baru ini, stereotip Ibn Taimiyah yang tersisa sebagai sedikit lebih dari sekadar literalis yang dogmatis dan sederhana terus menghasilkan apresiasi yang kurang dari tingkat yang sebenarnya dan minat filosofis dari keterlibatan kreatifnya dengan Tradisi intelektual Islam dicontohkan dalam karya seperti Darʾtaʿāruḍ.

Buku ini ditujukan kepada beberapa audiens yang berbeda. Pertama, di antara mereka adalah mahasiswa dan sarjana, serta mereka yang memiliki minat umum, teologi dan filsafat Islam, pemikiran Islam abad pertengahan, studi Ibnu Taimiyah, atau sejarah intelektual Islam pasca-klasik. Kedua, penelitian ini relevan bagi mereka yang berkepentingan dengan teologi rasional Kristen atau Yahudi tentang Abad Pertengahan Tinggi karena keprihatinan bersama yang ditimbulkan oleh para teolog dan filsuf Muslim abad pertengahan, Yahudi, dan Yahudi baik di Eropa Barat maupun Timur Islam. menyoroti kosa kata umum dan inspirasi latar belakang konseptual yang diilhami oleh Yunani di mana ketiga komunitas menyusun dan mengartikulasikan isu-isu teologis dan teo-filosofis. Akhirnya, mengingat bahwa Darʾ taʿārud karya Ibn Taimiyah bergulat dengan masalah filosofis dan teologis dari impor universal yang melampaui abad dan komunitas keagamaan, buku ini akan menarik bagi pembaca Muslim yang lebih luas, non-spesialis, serta untuk menempatkan pembaca di luar Tradisi Islam yang tertarik pada pertanyaan tentang hubungan antara akal dan wahyu secara lebih umum.

Kontur dari Suatu Konflik

Perdebatan tentang alasan dan wahyu di antara para sarjana Muslim klasik berpusat terutama pada pertanyaan kapan dan di bawah keadaan apa diperbolehkan untuk mempraktekkan taʾwil, atau interpretasi figuratif, atas dasar keberatan rasional terhadap makna sederhana dari ayat atau ayat Al-Qur'an. Yang menjadi concern dalam hal ini adalah ayat-ayat yang memuat uraian tentang Tuhan, ayat-ayat yang maknanya secara literal tampaknya mensyaratkan tasbīh, asimilasi Allah yang tidak dapat diterima kepada makhluk-makhluk ciptaan. Al-Qur'an menegaskan bukan hanya bahwa Allah ada tetapi bahwa Dia ada sebagai entitas tertentu dengan kualitas atau atribut intrinsik dan tak teruraikan tertentu. Beberapa dari sifat-sifat ini yang (tampaknya) ditegaskan dalam wahyu dipegang oleh berbagai kelompok — khususnya para filsuf, Muʿtazila (sing. Mu’ltazilī), dan para Ashar kemudian — untuk secara rasional tidak dapat dipertahankan dengan alasan bahwa penegasan mereka akan penegasan lingkungan akan berjumlah besar. Dalam kasus-kasus seperti itu, konflik diperkirakan terjadi antara dikte yang jelas tentang akal dan pernyataan wahyu yang sama jelasnya, yang menghasilkan gagasan yang meresahkan bahwa ada kontradiksi mendasar antara akal dan wahyu, yang keduanya diterima sebagai menghasilkan kebenaran. pengetahuan tentang diri kita, dunia, dan Tuhan.

Pertanyaan tentang bagaimana menghadapi keberatan rasional semacam itu terhadap makna wahyu yang sederhana menimbulkan berbagai macam tanggapan dari para filsuf dan teolog, yang akhirnya memuncak dalam “aturan universal” (al-qānūnal-kullī), yang dipaparkan Ibn Taimiyah di halaman pertama. Dar’ taʿāruḍ sebagaimana dirumuskan pada masa teolog Ashʿarī Fakhral-Dīn al Rāzī yang terkenal pada abad keenam belas. Aturan ini, secara singkat, mensyaratkan bahwa jika terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka dikte alasan diberi prioritas dan wahyu ditafsirkan kembali sesuai melalui taʾwil. Resep ini dibenarkan atas pertimbangan bahwa itu adalah alasan yang mendasari persetujuan kita pada kebenaran wahyu, sedemikian rupa sehingga setiap pembalikan alasan di hadapan teks yang diungkapkan akan merusak akal dan wahyu bersama.

Ibn Taimiyah menjadikan penyangkalan aturan universal ini sebagai tujuan utama dan eksplisitnya di Darʾtaʿāruḍ. Dengan melakukan itu, ia berupaya membuktikan bahwa alasan murni (ʿaql ṣarīḥ atau ṣarīḥ al-maʿqūl) dan pembacaan yang masuk akal tentang wahyu otentik (naql ṣaḥīḥ atau ṣaḥī al-manqūl) tidak akan pernah bisa berdiri dalam kontradiksi yang bonafide. Setiap konflik yang dirasakan antara kedua hasil dari salah interpretasi dari teks-teks wahyu atau, lebih tepatnya untuk penyelidikan saat ini, mis appropriation of reason. Lebih spekulatif (dan karenanya meragukan) tempat rasional dan prakomitmen seseorang, yang lebih luar biasa harus menafsirkan ulang - atau memutarbalikkan, seperti Ibn Taimiyah akan melihatnya - wahyu untuk membawanya sejalan dengan kesimpulan dari "alasan" tersebut.

Kebenaran, bagi Ibnu Taimiyah, adalah titik ketidaksamaan, kejelasan, dan kepastian (yaqin) di mana kesaksian alasan yang masuk akal dan wahyu otentik, dipahami dengan benar dan tanpa upaya apa pun untuk menafsirkannya melalui kiasan atau kiasan, sepenuhnya bertepatan. Di ujung lain dari titik ini terletak sofistry murni (safsaṭa) dalam hal-hal rasional ditambah dengan semua egorisasi (qarmaṭa) kitab suci yang tidak terkendali. Ketika individu dan kelompok bergerak menjauh dari titik kebenaran di mana akal dan wahyu sepenuhnya bersesuaian, kesatuan yang luas dari pandangan mereka tentang poin-poin sentral dari kebenaran rasional dan doktrin agama memberi jalan bagi pertikaian yang semakin meningkat bahkan pada masalah yang paling mendasar sekalipun — sedemikian rupa sehingga para filsuf, dalam kata-kata Ibnu Taimiyah, "tidak setuju (secara besar-besaran) bahkan dalam astronomi (ʿilm al-haya), yang merupakan paten paling sains dan paling tidak kontroversial dalam ilmu mereka."

Dalam mengejar misinya untuk menyelesaikan konflik antara akal dan wahyu, Ibnu Taimiyah menguraikan sekitar tiga puluh delapan argumen (wujuh, "aspek" atau "sudut pandang") terhadap koherensi logis dari aturan universal para teolog dan integritas, istilah-istilah teoretis yang tidak logis, dari premis-premis dan asumsi-asumsi yang menjadi dasarnya. Dalam sisa Darʾ, ia mengambil apa yang tampaknya menjadi contoh dugaan konflik antara akal dan wahyu yang diajukan oleh berbagai aliran filosofis dan teologis selama tujuh abad tradisi intelektual Islam yang mendahuluinya. Di sinilah Ibn Taimiyah mengembangkan dan menerapkan karakteristik filsafat dan metodologi Taimiyyan di mana ia berusaha untuk membubarkan, sekali dan untuk semua, konflik yang sedang berlangsung antara akal dan wahyu. Setelah meniadakan aturan universal, Ibnu Taimiyah menguraikan teori alternatif bahasa yang membingkai ulang perbedaan tradisional antara penggunaan literal (ḥaqīqa) dan figuratif (majāz) — yang menjadi sandaran taʾwil — dengan cara-cara baru yang dimaksudkan untuk melampaui pertentangan nyata antara keduanya. Akhirnya, di sini dirumuskan aspek-aspek kunci dari asumsi ontologis dan epistemologis para filsuf dan teolog yang ia pertanggungjawabkan untuk menghasilkan ilusi belaka dari konflik antara akal dan pembacaan wahyu yang masuk akal di mana, dalam pandangannya, tidak ada yang benar-benar ada.

Pada akhirnya, Ibn Taimiyah berusaha menyelesaikan konflik antara akal dan wahyu dengan menunjukkan bahwa gagasan akal yang digunakan oleh para filsuf dan teolog dikompromikan, dengan akibatnya bahwa argumen yang didasarkan pada "alasan" tersebut tidak koheren dan tidak valid. Misinya adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada argumen rasional yang valid yang menentang atau bertentangan dengan penegasan langsung wahyu mengenai salah satu atribut atau tindakan tertentu yang ditegaskan di sana di dalam Allah, asal usul dunia yang sementara, atau topik lainnya. Jika Ibnu Taimiyah, yang mengatasinya, dapat melakukan ini dengan meyakinkan, maka "keberatan rasional" yang terkenal itu menguap. Dimurnikan dari unsur-unsurnya yang rusak dan anggapan-anggapan yang jelas, gagasan akal kemudian dapat dikembalikan ke apa yang oleh Ibn Taymiyya anggap sebagai keadaan lahir, murni yang tidak tercemar dari kecerdasan alami murni (ʿaql ṣarīḥ). Segmen terakhir dari proyek rekonstruksi Ibnu Taimiyah di Darʾ adalah untuk menetapkan dengan tepat seperti apa keadaan bawaan sejak lahir ini, kecerdasan alami murni dan cara interaksi dengan wahyu.

Mengapa Dar Ta’arud?

Darʾ taʿāruḍ al-ʿaql wa al-naql karya Ibn Taymiyya sangat menarik secara ilmiah pada sejumlah tingkatan. Ini adalah salah satu karya sentral — jika bukan karya utama tokoh akhir abad pertengahan yang aprolifik, yang, walaupun relatif tidak jelas selama hampir setengah milenium setelah kematiannya, tetap saja memiliki otoritas besar di dunia Muslim modern. Namun, perampasan Muslim kontemporer atas warisan Ibn Taimiyah, sering kali berfokus secara selektif pada oposisi politiknya kepada orang-orang Mongol sebagai pembenaran untuk oposisi yang keras terhadap rezim-rezim Muslim modern, atau mereka memfokuskan diri pada kredo-kredo diskritnya atau pendirian yuridisnya dengan cara yang sering tanpa konteks historis atau nuansa konseptual. Ini cenderung mengaburkan sisi yang lebih intelektual dari hasil Ibn Taimiyah dan, sebagai konsekuensinya, telah menyebabkan apresiasi di bawah tingkat yang tepat dan sifat pemikirannya. Keterlibatan yang hati-hati dan berkesinambungan dengan sebuah karya seperti Darʾ berjanji untuk terus berjalan seiring inkalibrasi ketidakseimbangan ini.

Pada tingkat intelektual, Darʾ taʿāruḍ adalah karya yang sangat menarik karena kekayaan yang menakjubkan dan beragam doktrin serta tren yang digunakan pengarangnya. Dalam sebuah artikel yang mengkaji pertentangan keseluruhan Darʾ dan mencakup terjemahan dan analisis terperinci dari argumen kesembilan Ibnu Taimiyah, Yahya Michot mengagumi bahwa “seseorang hanya dapat menggerutu yang didirikan oleh luasnya pengetahuan Ibn Taimiyah,” dengan mengatakan bahwa hanya kuantitasnya saja. referensi di Darʾmembenarkan pengakuan kita terhadap Ibn Taymiyya sebagai "yang paling mengimpor tapak falāsifah setelah Faḫral-Dīnal-Rāzī di dunia Sunni." Mengomentari kualitas perlakuan Ibn Taimiyah atas karya-karya yang ia analisis, Michot lebih jauh menyatakan bahwa "keahliannya sering hanya cocok dengan relevansinya" dan menunjukkan bahwa "bapak spiritual Islamisme kontemporer" harus, mungkin, karenanya dimasukkan ke dalam "Garis bergengsi para komentator [Aristoteles]." Dimitri Gutas juga mencatat pengetahuan besar Ibn Taymiyya dan kapasitas kritis yang tajam, merujuknya sebagai “kritikus intelektual yang sangat tanggap terhadap semua kalangan.

Akhirnya, pokok bahasan Darʾtaʿāruḍ — yaitu, hubungan yang sering berubah-ubah antara akal manusia dan wahyu ilahi — terletak sangat tertanam dalam substruktur semua disiplin ilmu agama Islam. Dari hukum dan teori hukum hingga penafsiran, teologi, dan seterusnya, pertanyaan tentang implikasi wahyu ilahi dan penggunaan akal manusia secara tepat dalam mendekati wahyu adalah pertanyaan yang muncul berulang-ulang, kadang-kadang dengan kedok yang berbeda, selama kursus. berabad-abad. Karena alasan ini, sentral saya Darʾ adalah yang memiliki implikasi, secara langsung dan tidak langsung, untuk pemikiran Islam secara keseluruhan, baik dulu maupun sekarang.

Mengingat kesuburan dan janji Darʾ taʿāruḍ sebagai sebuah teks, adalah lebih luar biasa bahwa empat dekade telah berlalu sejak yang pertama selesai, sepuluh volume edisi karya ini tersedia, namun belum ada studi komprehensif yang telah diterbitkan hingga saat ini. Oleh penulis sarjana dalam bahasa Eropa. Beberapa penelitian memperlakukan Darʾ secara keseluruhan atau memeriksa bagian-bagian yang terpisah darinya secara terperinci, sementara karya-karya lain menyentuh langsung pada pertanyaan tentang alasan — dan terutama logika dan metafisika — yang juga berkaitan dengan Darʾ atau menjelaskan kerangka kerja yang lebih luas yang diperlukan bagi kita untuk cari dan tafsirkan Darʾ dalam proyek teologis Ibn Taymiyya yang lebih besar.

Namun terlepas dari aktivitas yang telah kami saksikan di bidang studi Taymiyyan, khususnya selama dekade terakhir, karya yang dapat dipertimbangkan sebagai karya penulis kami, Magnus Darwa al-ʿaql wa al-naql, belum mendapatkan perhatian yang komprehensif. itu layak. Beberapa alasan dapat menjelaskan hal ini. Mungkin yang paling jelas adalah ukuran sebenarnya dari karya tersebut, ditambah dengan kegemaran Ibn Taymiyya yang terkenal akan penyimpangan, pengulangan, diskusi yang tertanam seperti matryoshka di dalam orang lain, dan umumnya dalam struktur yang konsisten dan kurangnya perkembangan linear. Meskipun bahasa Ibnu Taimiyah sendiri jarang sulit atau samar, kedepan ketidaknyamanan gaya dapat membuat karya-karyanya menjengkelkan untuk dibaca. Ketika fitur-fitur seperti itu dikalikan sepuluh kali lipat dalam pekerjaan sebanyak volume, tugas menjadi semakin menakutkan.

Alasan kedua untuk pengabaian relatif Darʾ taʿāruḍ mungkin berhubungan dengan tempat Ibn Taimiyah dalam sapuan sejarah Islam, yang terjadi saat ia melakukan apa yang secara tradisional dianggap sebagai periode klasik besar peradaban Muslim (kira-kira lima pertama sampai enam abad Islam), suatu periode yang sejauh ini telah menarik sebagian besar minat ilmiah Barat pada dunia Islam pra-modern. Dua puluh tahun yang lalu, Gutas menggambarkan filsafat Arab pada abad keenam / keduabelas dan ketujuh belas, sebagai contoh, sebagai "hampir seluruhnya tidak diteliti," kemudian melanjutkan dengan menyarankan bahwa periode ini "mungkin suatu hari belum diakui sebagai zaman keemasannya." Untungnya, karya terbaru — terutama oleh Khaled El-Rouayheb, serta Aaron Spevack, Asad Q. Ahmed, dan lainnya — telah mulai mengisi celah ini. Dalam studi saat ini, saya berusaha untuk berkontribusi pada bidang yang berkembang dari beasiswa Islam post-klasik — di awal berdiri IbnTaymiyya — dengan meletakkan batu bata baru di bangunan bangunan dari pemahaman kita yang masih baru tentang apa yang sebenarnya, benar, berubah menjadi menjadi fase pemikiran Islam yang kaya dan produktif.

Namun alasan ketiga Darʾ taʿāruḍ masih relatif kurang diteliti mungkin terkait dengan gagasan yang masih ada tentang identitas Ibn Taimiyah sebagai tokoh intelektual. Sering diberhentikan sebagai literalis dogmatis dengan sedikit bukti intelek murni, Ibnu Taimiyah sering disebutkan hanya secara singkat, jika tinggi, dalam buku-buku yang berkaitan dengan pemikiran Islam, filsafat, atau kadang-kadang bahkan teologi. Majid Fakhry, dalam bukunya tahun 1970 A History of Islamic Philosophy (2nded., 1983), mengklasifikasikan Ibn Taymiyya, bersama dengan Ibn Ḥazm (wafat. beberapa dekade kemudian, berpendapat bahwa "agenda dogmatis yang kaku adalah hadiah intelektual utama untuk Islam Ibnu Taimiyah." Sebaliknya, Shahab Ahmed berbicara pada tahun 1998 tentang "orisinalitas sintetis yang luar biasa dari pemikiran Ibn Taymiyya," sementara Richard Martin dan Mark Wood ward, dalam sebuah studi 1997 tentang alasan di Muʿtazila, menyimpulkan bahwa “Ibn Taimiyah adalah seorang pemikir yang lebih rasional dan berpikiran mandiri daripada banyak penafsirnya yang kemudian tampaknya menghargai.” Sait Özervarli berbicara tentang "fleksibilitas intelektual" Ibn Taymiyya, sementara ulama Azharī abad kedua puluh Muḥammad Abū Zahra (w. 1949/1974) juga memuji Ibn Taimiyah dengan "kekakuan yang lemah" (jadam jumūd) - penghargaan yang sangat kontras dengan Georges Tamer's. baru-baru ini, penilaian negatif terhadap kepentingan filosofis dari pemikiran Ibn Taimiyah.

Birgit Krawietz mengatakan pada tahun 2003 bahwa keilmuan Barat tentang Ibnu Taimiyah memiliki kecenderungan untuk membolak-balik pada serangkaian topik yang sempit, dari sepuluh dipengaruhi oleh, antara lain, kecemasan politik atas inspirasi yang diakui tentang gerakan radikal kontemporer di dunia Muslim. Selain itu, ia berkomentar, "tampaknya penulis Barat, pada umumnya, masih membiarkan diri mereka dipimpin oleh citra Ibn Taymiyya yang sudah ada sebelumnya sebagai pengacau terkenal yang diberikan [kepadanya] oleh lawan-lawannya dalam debat." Gelombang dalam studi Ibn Taymiyya telah bergeser dalam hampir dua dekade sejak kata-kata ini ditulis, berkat banyak dan beragam studi yang disebutkan di atas. Hari ini kita memiliki pemahaman yang jauh lebih tajam tentang pemikiran Ibnu Taimiyah daripada sebelumnya, namun karya-karyanya sangat luas dan masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Adalah harapan saya bahwa volume saat ini akan memberikan kontribusi yang berarti bagi upaya ini.

Tujuan, Metode, dan Ruang Lingkup

Tujuan dari karya ini adalah untuk memberikan penjelasan terperinci dan sistematis dari filosofi Ibnu Taimiyah saat ia muncul dari Dar taʿāruḍ. Seperti yang akan kita temukan dalam bab, Ibnu Taimiyah menjalani kehidupan yang bergolak, dan turbulensi ini tercermin dalam tulisannya. Tidak banyak diberikan untuk presentasi sistematis, ia jarang eksplisit tentang strategi keseluruhannya atau logika yang mendasari. Untuk menggunakan metafora linguistik, Ibnu Taimiyah hanya berbicara bahasa dan menyerahkannya kepada pembacanya untuk mengidentifikasi dan menggambarkan tata bahasa. Dalam studi saat ini, saya telah berusaha untuk menghasilkan "tata bahasa" deskriptif dari pandangan dunia Ibn Taymiyya ketika muncul di Darʾtaʿāruḍ — sebuah “kodifikasi,” dalam arti tertentu, dari implikasinya sintaksis yang bertanggung jawab atas keteraturan dan koherensi pemikirannya. Dan, seperti yang akan kita temukan, pemikirannya membuktikan keteraturan dan koherensi dalam kelimpahan, meskipun mereka tidak selalu muncul dengan jelas di tengah hiruk-pikuk pedang yang berselisih atau irama-irama apung dari polemik yang sungguh-sungguh terlibat.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Ibn Taymiyya on Reason and Revelation.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Kamis, 09 April 2020

Potret Pendidikan Indonesia

Sumber gambar: kompasiana.com

Pemerataan pendidikan dimaksudkan untuk menekan disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender. Dengan pendidikan yang merata dan berkualitas, maka tujuan pemerintah mencerdaskan anak bangsa sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat terwujud.
(Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2017)

Pendidikan memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan. Pendidikan merupakan investasi bagi terbentuknya sumber daya manusia berkualitas. Melalui pendidikan yang baik, diharapkan tercipta manusia sebagai pelaku pembangunan yang berjiwa pembaharu, yang dapat mengembangkan segala potensi diri dan mengambil peran dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan. 

Tujuan pembangunan nasional khususnya di bidang pendidikan periode 2015-2019 secara jelas tertuang dalam Nawa Cita kelima yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan Program Indonesia Pintar (PIP). Secara internasional tujuan pembangunan di bidang pendidikan tertuang dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) khususnya pada tujuan keempat yaitu memastikan mutu pendidikan yang inklusif dan merata, serta mempromosikan kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. Adapun tantangan utama dalam pembangunan pendidikan adalah peningkatan kualitas dan pemerataan pendidikan. 

Guna melihat sejauh mana pembangunan pendidikan di Indonesia, Publikasi  “Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan 2017” menyajikan data indikator pendidikan yang memberikan gambaran secara rinci mengenai kondisi dan perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun provinsi. Publikasi ini menyajikan data dan informasi dunia pendidikan berdasarkan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017 serta data sekunder Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ajaran 2016/2017. Informasi pendidikan yang disampaikan meliputi sarana dan prasarana pendidikan, partisipasi sekolah, kegiatan siswa di luar jam sekolah dan hasil capaian pendidikan.

Pasal 45 UU No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan. Pemerintah terus berupaya meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan antara lain melalui penambahan dan penataan bangunan sekolah, perbaikan ruang kelas yang rusak, serta peningkatan jumlah perpustakaan. Dengan terpenuhinya sarana dan prasarana pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat.

Data Kemdikbud TA 2016/2017 menunjukkan adanya pertumbuhan jumlah sekolah dan peserta didik pada semua jenjang pendidikan, kecuali jenjang Sekolah dasar (SD). Hal ini ditengarai adanya kebijakan pemerintah melakukan penggabungan beberapa SD negeri.  Dilihat dari kondisi ruang kelas, sebagian besar ruang kelas dalam kondisi rusak pada semua jenjang pendidikan. Namun, persentase ruang kelas dengan kondisi baik pada jenjang pendidikan dasar mengalami peningkatan dibanding tahun ajaran sebelumnya. Jumlah perpustakaan juga meningkat setiap tahun. Selain itu, persentase guru yang berijazah minimal D4/S1 mengalami kenaikan setiap tahun sejak tiga tahun terakhir.

Capaian Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Anka Usia dini (APK PAUD) kelompok umur 3-6 tahun secara nasional baru 33,84 persen, masih jauh di bawah target pembangunan sebesar 77,2 persen. Sementara itu, berdasarkan daerah tempat tinggal, terdapat disparitas antara perkotaan dan perdesaan dimana APK PAUD di perkotaan lebih besar dibandingkan di perdesaan (36,43 persen berbanding 31,08 persen). Hal tersebut bisa jadi disebabkan oleh akses dan fasilitas untuk pelayanan PAUD yang belum merata, dimana fasilitas PAUD lebih banyak tersedia di perkotaan.

Partisipasi sekolah masih bervariasi antar jenjang pendidikan yang terlihat melalui nilai Angka Partisipasi Kasar (APK). APK jenjang pendidikan SD/sederajat nilainya sudah melebihi 100 persen. Tingginya partisipasi sekolah jenjang pendidikan SD dan Sekolah menengah Pertama (SMP) merupakan dampak positif kebijakan pemerintah tentang wajib belajar sembilan tahun yang sudah dilaksanakan selama dua dekade terakhir. Namun demikian, semakin tinggi jenjang pendidikan nilai APK semakin menurun. Bahkan pada jenjang Perguruan Tinggi (PT) hanya 1 dari 4 orang yang mengikuti jenjang PT. Di sisi lain, masalah ekonomi merupakan salah satu persoalan penting dalam proses pendidikan formal mengingat apabila ekonomi suatu keluarga kurang bagus maka proses pendidikan juga menjadi terhambat. Hal tersebut berdampak pada kesenjangan partisipasi sekolah pada jenjang pendidikan menengah ke atas yang lebih terlihat nyata antar kuintil pengeluaran rumah tangga. Separuh dari penduduk pada kelompok kuintil pengeluaran teratas mampu mengenyam pendidikan hingga PT, lain halnya dengan kelompok kuintil pengeluaran terendah, hanya 8% penduduknya  yang mampu mengenyam pendidikan hingga jenjang PT. 

Kegiatan di luar jam sekolah yang dilakukan oleh siswa dapat berupa mengakses internet, bekerja, dan membantu mengurus rumah tangga. Dalam bidang pendidikan, internet diterapkan sebagai media pembelajaran penunjang sistem kurikulum sekolah. Pada tahun 2017, persentase siswa umur 5-24 tahun yang mengakses internet selama tiga bulan terakhir relatif tinggi yaitu mencapai 40,96%, dimana yang tinggal di perkotaan hampir dua kali lebih besar dibandingkan dengan yang tinggal di perdesaan. Selain itu, terlihat adanya pola yakni meningkatnya persentase siswa umur 5-24 tahun yang mengakses internet seiring dengan meningkatnya kuintil pengeluaran dan jenjang pendidikan yang diikuti. Sebagian besar dari mereka mengakses internet untuk mengerjakan tugas sekolah dan aktivitas sosial media/jejaring sosial. Proses pembelajaran dan pencapaiannya akan terganggu ketika siswa memadukan dua aktivitas, yaitu bekerja dan sekolah. Data menunjukkan di antara 100 orang siswa terdapat 7 orang siswa umur 10-24 tahun yang aktif bekerja selama seminggu terakhir dan masih saja ditemukan siswa SD/sederajat yang bekerja. Persentase siswa umur 10-24 tahun yang tinggal di perdesaan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi lebih besar dibandingkan yang tinggal di perkotaan. Secara keseluruhan, siswa umur 10-24 tahun yang bekerja paling banyak terserap pada sektor jasa dan umumnya bekerja sebagai buruh/karyawan/pegawai serta pekerja bebas.

Mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah, menjaga adik dan lain-lain merupakan kegiatan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga dalam mengurus atau membantu mengurus rumah tangganya. Data menunjukkan sekitar dua dari sepuluh siswa membantu mengurus rumah tangga dengan komposisi siswa perdesaan cenderung lebih tinggi dibanding siswa di perkotaan dan siswa perempuan hampir dua kali lipat dibandingkan siswa laki-laki. Selain itu, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka persentase siswa yang membantu mengurus rumah tangga semakin besar.

Pada buku ini juga diulas beberapa capaian pendidikan yang dapat diukur dari data Susenas 2017. Capaian pendidikan Indonesia secara umum meliputi tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk umur 15 tahun ke atas, rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas, dan Angka Melak Huruf (AMH) penduduk kelompok umur muda (15-24 tahun) dan dewasa (15-59 tahun). Sementara itu, capaian pendidikan yang mencakup penduduk yang masih bersekolah antara lain angka bertahan sampai dengan kelas lima SD, angka naik kelas/mengulang dan angka melanjutkan.

Tercatat beberapa capaian sudah memenuhi target Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Berdasarkan Susenas tahun 2017, Angka Melek Huruf (AMH) penduduk umur 15-59 tahun lebih besar dari target yang ditetapkan dalam Renstra Kemdikbud. Akan tetapi, AMH penduduk umur 15 tahun ke atas masih di bawah target yang diharapkan, yaitu 95,50. Sementara itu, rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas mencapai 8,5 tahun atau setara kelas 2 SMP/sederajat (tanpa mempertimbangkan kejadian mengulang kelas). Angka ini masih cukup rendah mengingat program Wajib Belajar 9 Tahun telah dilaksanakan sudah sejak lama sebagaimana tertera dalam UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun demikian, rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas setidaknya terus mengalami kenaikan

Dikutip dari Pengantar buku Potret Pendidikan Indonesia Statistik Pendidikan 2017 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Senin, 06 April 2020

Muhammadiyah Dalam Insider

Sumber gambar: tirto.id


Membicarakan tentang Muhammadiyah tidak akan pernah ada habisnya, dari segi apapun bisa dilihat, diterjemahkan, diinterpretasikan dan dianalisis sesuai kacamata yang dipakai oleh pembahas. Dalam kata pengantar dari buku Mitsuo Nakamura yang berjudul Matahari Terbit dari balik Pohon Beringin, Prof. Dr. A. Mukti Ali menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzuwujuh). Sebutan ini dimaksudkan untuk mewujudkan aktifitas Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk dalam pelestarian nilai-nilai tradisi dan budaya masyarakat. Di dalam buku Muhammadiyah Jawa yang diterjemahan dari Tesis Master Prof. Ahmad Najib Burhani berjudul The Muhammadiyah’s attitude to Javanese Culture in 1912-1930: Appreciation and Tension di Universitas Leiden Belanda tahun 2004. Menjadi penting dan strategis untuk diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia mengingat isi dan kandungan dalam buku ini merupakan hasil penelitian ilmiah, sehingga sedikit banyak akan sangat berharga dalam merubah persepsi dan pandangan orang tentang Muhammadiyah, khususnya yang berhubungan dengan budaya dan tradisi Jawa. Mudah-mudahan dengan membaca buku ini, akan semakin mencerahkan dan memperluas cakrawala berpikir kita tentang Muhammadiyah.

Muhammadiyah sebagai Representasi “Islam-Jawa” Sebuah Pengantar

“You cannot be a Brahmin in the English countryside” —Julian Pitt-Rivers (1963)

Najib Burhani mengambil nukilan kata-kata Pitt-Rivers di atas untuk menunjukkan betapa mustahilnya Muhammadiyah melepaskan diri dari kebudayaan Jawa. Meski sering disebut sebagai gerakan puritanisme Islam di Indonesia, Muhammadiyah tak akan bisa melepaskan fakta bahwa ia lahir di Kauman, satu tempat dalam lingkungan tembok Kesultanan Yogyakarta, oleh sejumlah abdi dalem Kraton tersebut. Ia dibangun dengan inspirasi dan kesadaran seorang Islam-Jawa tulen, Raden Ngabehi Muhamad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), setelah banyak berdialog dengan rekan-rekannya di Boedi Oetomo, guna memodernisasi cara pikir, sistem sosial dan peradaban masyarakat.

Sampai sekarang pun, ketika organisasi ini mendekati umur 100 tahun, beberapa pimpinannya tetaplah para priyayi dari kerajaan Jawa kuno itu, lengkap dengan karakteristik kejawaannya. Karenanya, seperti dikutip Herman L. Beck (1995), tidak heran jika Muhammad Hatta, salah satu proklamator Republik Indonesia dan juga anggota Muhammadiyah mengatakan, “Muhammadiyah tak akan pernah bisa berhasil melaksanakan program purifikasinya selama ia tak bisa membebaskan diri dari akar-akarnya di Kauman Yogyakarta.”

Pada 2010 Muhammadiyah telah melangsungkan Muktamar Satu Abad di Yogyakarta. Ini barangkali menjadi momentum yang tepat untuk mengingat dan berkontemplasi diri entitas yang sudah lama melekat dibangun pada diri organisasi ini, yaitu sebagai model Islam varian Jawa atau dalam konteks yang lebih pas untuk saat ini, Islam varian Indonesia.

Muhammadiyah dan Identitas Kejawaan

Mungkin belakangan ini terjadi satu pergeseran pandangan di masyarakat. Seolah-olah NU (Nahdlatul Ulama) lebih pas dipandang sebagai representasi Islam-Jawa daripada Muhammadiyah. Anak-anak muda NU pun juga terkesan lebih aktif bergelut dengan tradisi Jawa daripada anak-anak muda Muhammadiyah. Kondisi kasar ini tentu sangat berbeda dengan catatan-catatan sejarah pada dua organisasi terbesar di Indonesia itu. Setidaknya ada beberapa bukti yang memperkuat asumsi ini.

Pertama, jika klasifikasi masyarakat Jawa ala Clifford Geertz (1960) dipakai untuk membaca penduduk Jawa di awal abad ke-20, maka NU yang didirikan pada 1926 adalah organisasi para santri dan Muhammadiyah adalah gerakan para priyayi Muslim. Sebagai perbandingan, para pendiri NU adalah para kyai dari berbagai pesantren di Jawa (seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah). Para pengurus NU awal juga dipenuhi oleh orang-orang dengan nama Arab. Sementara pendiri dan pengurus Muhammadiyah adalah para priyayi Kraton Yogyakarta (seperti Raden Ketib Tjandana Haji Ahmat dan Raden Sosrosugondo).

Kedua, jika kita buka kembali foto-foto dan gambargambar kedua organisasi tersebut di awal-awal pendiriannya, maka akan terlihat bahwa para pimpinan NU memakai pakaian yang lebih dekat pada tradisi Arab, sementara cara berpakaian pemimpin Muhammadiyah mendekati budaya Jawa. Pada Muktamar Muhammadiyah di Solo tahun 1929, misalnya, seruan untuk memakai pakaian tradisional masuk dalam salah satu aturan bagi peserta Muktamar.

Menjetoedjoei seroean Comite Penerimaan Congres di Solo, kami harap soepaia Oetoesan-oetoesan laki-laki memakai pakaian kebesaran tjara negerinja masing-masing, jang tidak melanggar Sjara’.
Pengoeroes Besar dan Comite poen akan menjamboet dengan gembira dan berpakaian kebesaran djoega, tjara Djogja dan Solo. Jang teroetama dipakai di waktoe Malam Penerimaan dan Hari Tamasj-sja. —Programma dan Agenda Congres Moehammadijah ke-XVIII jang Terbesar di Solo (1929)-

Ketiga, bahasa Jawa adalah bahasa resmi di Muhammadiyah sebelum digantikan oleh bahasa Indonesia. Muhammadiyah adalah organisasi pertama di Indonesia yang memperkenalkan khutbah Jum’at dalam vernacular language (bahasa masyarakat setempat). Pesan-pesan dalam khutbah Jum’at dianggap Muhammadiyah tidak akan bisa sampai kepada pendengarnya jika memakai bahasa Arab. Karena itu, sangat tidak masuk akal untuk memaksakan penggunaan bahasa asing itu sementara seluruh pendengarnya adalah orang Jawa. Bahkan, menurut kesaksian salah seorang murid Ahmad Dahlan di Kweekschool Jetis, Profesor Sugarda Purakawatja, pendiri Muhammadiyah itu pernah mengizinkan murid-muridnya untuk shalat dengan menggunakan bahasa Jawa jika mereka tidak mengerti bahasa Arab.

Keempat, secara organisasi, Muhammadiyah memiliki ikatan cukup erat dengan Boedi Oetomo, sebuah organisasi yang ingin membangun kembali budaya Jawa. Seluruh pendiri Muhammadiyah merupakan anggota Boedi Oetomo. Memang, Dahlan juga bergabung SI (Sarekat Islam) dan organisasi lain di Jawa. Namun, hanya Boedi Oetomo-lah satu-satunya organisasi yang secara langgeng diikuti oleh Dahlan, tentu saja selain organisasi yang didiriannya sendiri.

Kelima, Muhammadiyah tidak pernah menolak upacara grebeg yang diselenggarakan oleh Kraton Yogyakarta. Penghulu-penghulu yang berperan aktif dalam upacara tradisional di Kraton itu, sejak zaman Ahmad Dahlan, adalah para pimpinan Muhammadiyah. Dahlan sendiri hingga meninggalnya tak pernah melepaskan statusnya sebagai abdi dalem pamethakan.

Setidaknya inilah argumen Najib Burhani yang terekam dalam bukunya berjudul Muhammadiyah Jawa.

Beberapa Pergeseran Sikap

Meski masih menyisakan cukup banyak bukti tentang kedekatan Muhammadiyah dengan kebudayaan Jawa, namun identitas organisasi ini sebagai Islam varian Jawa memang sudah tidak se-kenthal pada masa-masa awal pendiriannya. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran ini. Beberapa diantaranya adalah masuk dan berkembangnya ideologi Wahabi di organisasi ini, terutama setelah Mekah dan Madinah dikuasai oleh Saud-Wahabi. Sebagai organisasi yang identik dengan gerakan Wahabi, Muhammadiyah lantas menjadi kurang toleran terhadap tradisi masyarakat setempat.

Keterlibatan orang-orang dari Padang dalam Muhammadiyah juga memberi pengaruh dalam pembentukan sikap organisasi ini terhadap budaya lokal. Di Padang, hubungan antara Kaum Tuo dan Kaum Mudo, juga orang Adat dan orang Padri, memang kurang harmonis. Kondisi ini lantas mempengaruhi warga Muhammadiyah di Jawa. Apalagi, ideologi Muhammadiyah banyak dipengaruhi oleh ulama besar dari Padang, Haji Rasul.

Selain kedua hal tersebut, faktor lain yang ikut berpengaruh dalam membentuk karaktek Muhammadiyah dalam kaitannya dengan kejawaan adalah pembentukan Majlis Tarjih yang terkesan sangat syari’ah-oriented. Pendirian lembaga ini dipelopori oleh Mas Mansur, seorang ulama dari daerah pesisir, Surabaya. Karakteristik keislaman antara daerah pesisir pantai dan pedalaman (hinterland) memang berbeda. Dulu, keislaman daerah pesisir dikenal lebih ketat dibandingkan daerah pedalaman, seperti Yogyakarta.

Namun demikian, seperti dikatakan oleh Hatta, karakter kejawaan Muhammadiyah itu tak akan pernah hilang. Dengan cerdik Mitsuo Nakamura (1993) menyimpulkan gerakan Muhammadiyah sebagai berikut: “Reformist Islam is not antithetical to Javanese culture but an integral part of it, and what reformists have been endeavouring is, so to speak, to distil a pure essence of Islam from Javanese cultural traditions. The final product of distillation does retain a Javanese flavour.” -Pengantar Najib Burnai dalam bukunya Muhammadiyah Jawa

Muhammadiyah Dalam Testimoni

Muhammadiyah lahir di Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa. Pendirinya, Raden Ngabehi Muhammad Darwisy (KH Ahmad Dahlan), adalah abdi dalem pamethakan di Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Namun berbeda dari Martin Luther yang berkata, “Here I stand. I can do no other” sebagai pemberontakan terhadap otoritas gereja Katolik, Dahlan mampu mewarnai kraton dan masyarakat Jawa tanpa harus berpisah atau memusuhi. Justru dalam diri Dahlan, Islam dan kejawaan menjadi entitas tunggal, seperti konsep sastra gending dimana Islam menjadi sastra yang diiringi gending Jawa. Muhammadiyah adalah Islam varian Jawa yang paling otentik. Inilah satu gagasan yang diurai buku ini.

Gagasan lain adalah asal-muasal puritanisme dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan, Muhammadiyah memang bercorak Jawa pedalaman, namun dari sisi ideologi (yang disebut puritan) ia banyak dipengaruhi nilai-nilai Sumatra Barat terutama yang dibawa oleh Haji Rosul dan Islam pesisir melalui Haji Mas Mansur (Surabaya, Jawa Timur). Perbedaan watak gerakan dan ideologi itulah yang, saya yakin, justru mendorong Muhammadiyah selalu menjaga keseimbangan antara pemurnian (puritanisasi) dan pembaruan (modernisasi) secara proporsional dalam bingkai Islam berkemajuan (altawazun bayn al-tajrid wa al-tajdid). Prinsip inilah yang belakangan ini ditampilkan dalam konsep dakwah kultural. Tesis Najib Burhani tentang Muhammadiyah Jawa ini wajib dibaca oleh mereka yang ingin melihat dialektika Muhammadiyah dengan tradisi lokal Indonesia, satu aspek yang sering dilewatkan para pengkaji gerakan ini. Alih-alih melihat pengaruh budaya Indonesia, banyak peneliti yang terlalu terfokus melacak pengaruh Timur Tengah, terutama Wahhabi, terhadap Muhammadiyah. Terakhir, saya percaya bahwa gerakan Muhammadiyah memang memiliki akar kultural kuat pada nilai-nilai ke-Indonesiaan. Tapi Muhammadiyah memilih untuk mensenyawakan nilai-nilai Islam pada budaya Indonesia untuk adanya “Indonesia yang Islami” dari pada “Islam yang Indonesiawi. –M. Din Syamsuddin, Ketua Umum PP. Muhammadiyah 2005-2010 sekaligus Profesor Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dikutip dari Pengantar Buku Muhammadiyah Jawa karya Ahmad Najib Burhani.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer