Pages

Selasa, 29 November 2022

Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis di Nusantara: Menguak Gagasan Ahmad Baidowi

Manuskrip
Sumber gambar: artikula.id

Diskusi mengenai studi Al-Qur’an dan hadis Indonesia; tafsir-hadis yang penulisnya, bahasanya, dan atau ditulis di Indonesia, semakin menemukan identitas dan signifikansinya beriringan dengan dinamika kerja kesarjanaan dalam mengkaji kitab-kitab tafsir-hadis di Indonesia. Kajian tafsir-hadis di Indonesia secara dinamis telah memberi sumbangsih terhadap perkembangan intelektual Islam di tingkat regional dan global sekaligus. Ini mengindikasikan bahwa sarjana Indonesia dapat tampil secara signifikan dalam menyemarakkan diskusi perkembangan tafsir dan hadis di era kontemporer, termasuk yang dilakukan oleh Prof. Dr. Ahmad Baidowi, M.Si. pada kajiannya yang fokus pada dimensi lokalitas tafsir dan hadis.

 

Perbicangan diskursus tafsir-hadis lokal secara matang didiskusikan, dibahas, dan diteliti oleh Ahmad Baidowi dalam perjalanan akademiknya. Hal itu terlihat dari karyanya yang memang fokus mengangkat kitab-kitab tafsir-hadis lokal khususnya Jawa. Dengan berlatarbelakang sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahmad Baidowi sangat intens mengungkapkan dan menggalakkan dimensi dan sisi lokalitas dalam berbagai literatur tafsir-hadis. Tujuannya untuk mereaktulisasi tradisi dan khazanah keislaman berbasis budaya masyarakat lokal, yang dianggap telah lama terlelap dan belum banyak disinggung oleh sarjana lainnya. Atas dasar tersebut, hadirlah buku ini untuk merefleksikan gagasan-gagasan Ahmad Baidowi tentang lokalitas tafsir-hadis melalui karya-karyanya.

 

Kehadiran buku ini berfungsi sebagai alat perekat antara pembaca dengan gagasan Ahmad Baidowi tentang urgensi studi tafsir Al-Qur’an Indonesia. Melalui buku ini, setidaknya review dari para penulis terpetakan ke dalam lima bagian pembahasan. Kelima poin tersebut, memberikan semacam konsep besar dalam konstruksi gagasan Ahmad Baidowi. Kelompok reviewer pertama, melihat relasi antara substansi estetis dari Al-Iklil dan ekspresi estetis kitab tersebut dalam ruang lingkup masyarakat Jawa secara lokal. Pada review dari Febry Arianto dan Safira Malia Hayati, kita temukan dimensi varian tradisi yang muncul ke permukaan melalui penafsiran KH. Misbah Mustafa. Selanjutnya, review dari Luthfia Shifaul Amanah Burhani dan Huzaifah meyakini bahwa gagasan Baidowi memunculkan nilai komunikatif lokal yang memicu adrenalin kawasan tertentu di Nusantara untuk memperlihatkan kekhasan dari kawasan mereka. Pada review Annisa Fitrah dan Nafizatul Ummy Al-Amin, berikut dengan Fajriyaturrohmah dan Sherina Wijayanti, memunculkan nilai kultur masyarakat Jawa yang bersumber dari penafsiran KH. Mibah Mustafa. Secara keseluruhan pada bagian ini, pembaca akan menemukan muatan lokal yang terdapat dalam tafsir Al-Iklil dengan warna dan citra Nusantaranya.

 

Kelompok kedua, menunjukkan variasi persepsi dari berbagai sudut pandang tentang eksistensi Nazm Jawen yang dibangun oleh Ahmad Baidowi. Secara signifikan Ahmad Baidowi memberikan tawaran-tawaran yang mampu diaplikasikan terkait dengan Nazm Jawen. M Yusup Agustian dan Yoga Pratama menyimpulkan bahwa Nazm Jawen mampu menjadi media dakwah bagi khalayak luas khususnya masyarakat Jawa. Sedangkan Nur Imam Akhmad Yani dan Muhammad Faisal, dan Saichul Anam dan An-Najmi Fikri R bersepakat bahwa Nazm Jawen mampu menjadi alternatif pedagogi Tajwid-Qira’at Al-Qur’an di Nusantara. Jauh dari pada pandangan mereka, Alfan Shidqon dan Thoriqotul Faizah memandang bahwa Nazm Jawen mampu menjadi media dan alat untuk meresepsi Al-Qur’an di tengah masyarakat. Dengan kata lain, Nazm Jawen menurutnya menjadi kaca mata terbaru untuk melihat sebuah tradisi yang berkembang di masyarakat

 

Dikutip dari Dimensi Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Dimensi Lokalitas dalam Tafsir dan Hadis pdf

Bunga Rampai Publiksi Prof. Dr. Ahmad Baidowi, M.Si pdf

Wali Pitu: Historisitas, Genealogi dan Transmisi Islam di Bali

Wali Pitu
Sumber gambar: sindonews.com

Buku ini membahas kemunculan baru tradisi pemujaan wali di Indonesia kontemporer dan ziarah Muslim ke Bali melalui lensa tradisi perjalanan dan studi ziarah dan sebagian menyentuh aspek ekonomi agama. Para ulama secara khusus melihat tradisi travelling melalui perspektif budaya travelling di dunia Muslim, sirkulasi teks, masyarakat mobile, jaringan, teknologi, dan komoditas. Secara lebih luas, buku ini mengkaji tradisi travelling di cahaya mobilitas translokal budaya dan orang, dan ziarah Muslim dari perspektif geografi budaya multifaset, batas-batas, dan pertemuan. Ini juga melihat bagaimana transfer dan adaptasi, sebagai konsekuensi dari mobilitas budaya dan agensi, merangsang pertanyaan tentang otoritas dan keaslian serta peran 'ekonomi agama' dalam relokasi budaya.

 

Dengan demikian, buku ini berfokus pada adaptasi dari pemujaan suci berakar kuat di Jawa Islam di lingkungan Hindu yang dominan di Bali, dan pasarnya, produk keagamaan, dan pengusaha serta meneliti pelanggaran batas-batas multifaset melalui perjalanan keagamaan. Buku ini menawarkan cahaya baru tentang Bali dan melihat pulau itu sebagai tempat gerak budaya yang mengangkangi Islam dan Hindu dengan kompleksitas figurasi lokal, keterikatan, dan milik ‘Muslim Bal’. Perjalanan religi, menurut buku ini, memungkinkan kita untuk melihat lalu lintas budaya di lokalitas, pertukaran, komodifikasi, persaingan dan kontestasi yang dibingkai dalam setting sosiokultural translokal tetapi dibentuk oleh kekhususan lokal dari identitas spasial dan budaya.

 

Perjalanan religi merupakan salah satu unsur utama pembentuk Islam dan merupakan bagian dari tradisi mobilitas umat Islam, seperti haji (ziarah ke Mekkah), hijrah (hijrah), dan rihlah (perjalanan untuk tujuan belajar) Islam menganjurkan bahkan mewajibkan bentuk perjalanan keagamaan tertentu dan yang paling terkenal adalah haji yang berlangsung setiap tahun. Haji adalah bentuk perjalanan keagamaan yang paling penting dan dianggap sebagai salah satu rukun Islam ('arkan al-'Islam), bersama dengan kesaksian iman (syahadat), sholat wajib harian (shalat), sedekah (zakat), dan puasa selama bulan Ramadhan.

 

Semua Muslim yang mampu melakukan perjalanan wajib melakukan haji setidaknya sekali seumur hidup mereka. Yang kurang penting dari haji adalah umrah, di mana para peziarah Muslim melakukan perjalanan ke Mekkah dan Madinah dan berdoa di berbagai tempat suci yang terletak di kedua kota tersebut. Sangat dianjurkan (sunnah mu'akkad) bagi umat Islam untuk melakukan umrah jika mereka mampu melakukannya secara finansial dan fisik. Umat ​​Islam dapat melakukan umrah sepanjang tahun, tetapi haji hanya dilakukan di bulan dzulhijjah, bulan terakhir dari kalender lunar Muslim.

 

Selain haji dan umrah, Islam juga mengenal praktik perjalanan agama ke tempat-tempat suci atau ziarah. Ziarah berarti 'mengunjungi' atau memuliakan orang suci dengan mengunjungi makamnya. Itu juga diberi label 'haji kecil' karena memberikan manfaat agama yang sama dengan melakukan haji atau umrah. Ziarah ke makam para wali adalah fenomena yang sangat penting di seluruh dunia Muslim.

 

James Fox mengamati bahwa “di seluruh dunia Islam, kunjungan ke makam para wali dan orang suci Islam adalah tindakan kesalehan yang diterima. Di Jawa, dan juga di tempat lain di Indonesia, kunjungan ke makam suci semacam itu adalah praktik yang mapan.”

 

Yang penting, ziarah ke makam para wali di Indonesia kontemporer adalah salah satu tradisi keagamaan yang dinamis yang menunjukkan hubungan dekat dengan kebangkitan agama. pasar dan pariwisata. Ini melibatkan ribuan situs dan ratusan ribu peziarah.11 Namun demikian, di Indonesia dan di tempat lain di dunia Muslim, ziarah berfungsi sebagai indikator penting perbedaan antara Muslim tradisionalis dan reformis. Para reformis tanpa kompromi mengutuk pemujaan wali dan ziarah ke tempat suci yang dipandang sebagai ritual yang melanggar hukum bahkan lebih buruk daripada tindakan penyembahan berhala (syirik), berbeda dengan kaum tradisionalis yang mendorong umat Islam untuk berziarah ke tempat suci para wali Muslim.

 

Buku ini secara khusus mengkaji ziarah ke makam Wali Pitu (Tujuh Wali) yang baru ditemukan. Wali Pitu mengacu pada tujuh wali muslim di Bali, yaitu Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi, Habib Ali bin Abu Bakar al-Khamid, Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus, Habib Ali bin Umar Bafaqih, Syekh Yusuf al- Baghdi, The Kwan Lie atau Syaikh Abdul Qadir Muhammad dan Mas Sepuh atau Raden Amangkuningrat. Empat anggota Wali Pitu menyandang gelar kehormatan 'habib', gelar yang setara dengan sayyid (laki-laki keturunan Nabi Muhammad), sedangkan dua lainnya bergelar 'syaikh' terutama merujuk pada keturunan Arab non-sayyid, dan bergelar ' raden' menunjuk keluarga bangsawan bangsawan di Jawa. Kiai Toyyib Zaen Arifin (1925-2001) dari Jawa pertama kali mencetuskan konsep Wali Pitu pada tahun 1992. Ia menemukan makam Wali Pitu di Bali dan, bersama dengan murid-murid Jawanya yang tergabung dalam kelompok sufi semu Al-Jamali yang tinggal di Bali mempopulerkan tradisi pemujaan Wali Pitu.

 

Ia juga aktif terlibat dalam pemasaran dan penyelenggaraan ziarah ke makam-makam Wali Pitu yang tersebar di Bali untuk letak geografis makam-makam tersebut). Akibat penemuannya, makam Wali Pitu telah disulap menjadi situs ziarah yang menggiurkan, khususnya bagi umat Islam Jawa yang berkunjung ke Bali untuk wisata religi.

 

Terlepas dari ketenaran Bali yang cukup besar sebagai tujuan wisata yang terkenal, umat Islam Indonesia tidak menerima gagasan untuk berziarah ke Bali sampai baru-baru ini. Bahkan saat ini, istilah 'Wali Pitu' masih terdengar asing di telinga banyak umat Islam Indonesia karena konsep wali di Indonesia selama beberapa dekade secara eksklusif terkait dengan Wali Sanga, sembilan wali di Jawa. Untuk waktu yang lama, berziarah ke makam para wali (ziarah wali) menyiratkan ziarah Muslim ke makam sembilan wali ini.

 

Selain itu, Jawa biasanya dikaitkan dengan sejarah orang-orang suci Muslim di Indonesia, sedangkan Bali yang bertetangga sebagian besar dianggap sebagai pulau Hindu. Pulau ini sering disebut ‘pulau dengan seribu pura’ (pulau seribu pura) dan ‘pulau para dewa’ (pulau dewata), dan merupakan rumah bagi banyak tujuan wisata yang terkenal - bukan ziarah -. Berkat kemunculan Wali Pitu, Bali tidak lagi dipandang hanya sebagai tujuan wisata tetapi telah menjelma menjadi sebuah pulau tempat umat Islam dapat berziarah, yang memfasilitasi perluasan ruang bisnis wisata religi yang berkembang pesat di Jawa.

 

Menelisik kemunculan Wali Pitu dan ziarah Muslim di Bali, pertanyaan utama dalam buku ini adalah bagaimana Wali Pitu ditemukan dan bagaimana pemasaran, pengalaman, dan persaingannya? Pembahasan tentang 'penemuan' ini terutama berpusat pada pertanyaan yang lebih rinci tentang orang yang menemukan tradisi Wali Pitu, bagaimana dia menciptakannya, dan apa premis terpenting dari tradisi ini. Istilah ‘dipasarkan’ secara khusus mengacu pada keterikatan antara tradisi agama dan pasar. Ia mencoba menangkap bagaimana tradisi pemujaan orang suci menuntut konsumsi religius dan bagaimana hal itu terkait dengan kemunculan pasar religi di Indonesia kontemporer. Mengenai pengertian ‘pengalaman’, buku ini akan melihat aspek subyektif dari mereka yang terlibat dalam perjalanan haji, terutama dengan mengkaji para peziarah dan praktik ziarah di Bali. Terakhir, dengan menggunakan istilah ‘contested’, kajian ini mengkaji dinamika situs-situs ziarah dalam konteks sosiokulturalnya.

 

Masalah penelitian yang diteliti memang cukup menggugah, terutama karena kurangnya studi tentang Islam di Bali dan hampir tidak ada studi tentang pemujaan wali di pulau itu. Karya antropologi secara eksklusif mendefinisikan Bali sebagai pulau Hindu di negara mayoritas Muslim, Indonesia. Untuk studi sejarah Islam di Bali, artikel Adrian Vickers (1987) mungkin bisa menjadi batu loncatan. Melengkapi artikel Vickers adalah dua artikel Jean Couteau tentang sejarah dan dinamika kontemporer umat Islam di Bali,16 dan artikel Brigitta Hauser-Schäublin yang mengkaji interaksi antara Islam dan penduduk asli Hindu-Bali 'Bali Aga' di Bali utara. Dua studi etnografi telah dilakukan oleh Fredrick Barth (1993) dan Erni Budiwanti (1995) dan mereka melingkupi komunitas Muslim di desa Pagetapan/Pegayaman di Bali utara. Dua artikel mencerahkan oleh Lene Pedersen (2008) dan Meike Rieger (2014) mengkaji dinamika Muslim dan Hindu di desa campuran Hindu-Muslim di Bali tengah dan timur. Namun, studi ini tidak memperhitungkan masalah pemujaan orang suci di pulau itu.

 

Dikutip dari Syaifudin Zuhri dalam Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Wali Pitu and Muslim Pilgrimage in Bali, Indonesia pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer