Pages

Jumat, 30 September 2022

Roadmap Moderasi Beragama dan Perilaku Generasi Milenial Indonesia

Sumber: goodnewsfromindonesia.id

Milenial paling sering digunakan untuk menggambarkan generasi yang tumbuh subur dengan kepuasan instan melalui teknologi, menghabiskan terlalu banyak waktu di media sosial dan malas di tempat kerja. Mereka digambarkan sebagai generasi petualang yang lebih suka bepergian daripada menabung untuk perumahan, makan di luar daripada memasak di rumah, dan menghabiskan uang untuk smartphone terbaru daripada menyimpannya di bank. Meskipun mungkin benar sampai taraf tertentu, ini adalah generalisasi dan penyederhanaan yang berlebihan dari 1 dari 7 jenis milenium yang kami identifikasi, The Adventurer.

 

Pada intinya, milenium efisien, optimis, dan tidak jauh berbeda dari kelompok usia lainnya. Mereka sebagian besar didorong oleh hasrat dan menggunakan cara-cara kreatif untuk mencapai kesuksesan dan tujuan dengan cara mereka sendiri. Cara kaum milenial mengonsumsi berita dan informasi terpusat pada ponsel mereka dan jalan mereka menuju penemuan lebih bernuansa dan bervariasi daripada yang mungkin dibayangkan beberapa orang. Meskipun ada banyak stereotip dan mitos tentang milenium di luar sana, kebanyakan dari mereka kemungkinan didasarkan pada asumsi, yang akan menghalangi kita untuk benar-benar memahami dan sepenuhnya memenuhi kebutuhan generasi ini.

 

Dalam laporan ini, IDN Research Institute, dengan bantuan Nielsen Indonesia, menggali lebih dalam tentang 7 tipe milenial Indonesia yang dijabarkan berdasarkan nilai, perilaku, dan sikap mereka yang berbeda. Dengan proses yang didorong oleh hipotesis, kami mendorong kesimpulan dengan menggabungkan penelitian kuantitatif dan kualitatif lebih dari 5.500+ orang Indonesia yang berbasis di 11 kota dari Medan hingga Solo hingga Makassar, melakukan wawancara mendalam, menjalankan sesi imersi di rumah, dan mengatur buku harian digital. Memperhatikan faktor-faktor ini memungkinkan kami untuk memiliki pandangan yang luas tentang apa dan bagaimana kaum milenial memusatkan perhatian, waktu, dan energi mereka — wawasan penting di dunia yang terus berkembang saat ini.

 

Disarikan dari Pendahuluan “Indonesia Millennial Report 2020”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Indonesia Millennial Report 2020 pdf

Peta Jalan Moderasi Beragama pdf


Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Generasi Emas 2045

Sumber: kompasiana.com

Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian (moral excellence) yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai kebaikan pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai-nilai karakter sebagai watak dirinya dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, sebagai anggota masyarakat dan warganegara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.

Di antara nilai-nilai karakter terpenting yang harus ditanamkan adalah nilai religius, yakni sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pihak-pihak yang berlainan paham dan keyakinan, serta hidup rukun dengan umat beragama lain. Alasannya, bangsa Indonesia adalah masyarakat agamis. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa harus selalu didasarkan pada ajaran agama dan kepercayaannya. Atas dasar pertimbangan itulah, nilai-nilai pendidikan karakter harus berasas pada nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

 

Lebih lanjut, pendidikan karakter harus dilakukan melalui tahapan perencanaan yang baik dan pendekatan yang tepat dalam proses pembelajarannya. Pengembangan pendidikan karakter melalui jalur pembelajaran ialah internalisasi nilai-nilai karakter melalui program dan kegiatan kurikuler, baik ke dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP) maupun buku ajar (text book) yang digunakan.

 

Menimbang pentingnya internalisasi karakter religius melalui jalur pembelajaran, Tim Dosen Matakuliah Pendidikan Agama Islam (MK PAI) Universitas Negeri Malang (UM) pada tahun ajaran baru 2013-2014 ini memandang perlu untuk menyusun buku ajar baru guna menumbuhkembangkan nilai dan karakter religius dalam diri mahasiswa. Berangkat dari hasrat dan niatan mulia di atas, judul yang dipilih untuk buku ajar MK PAI ini adalah “Pendidikan Islam Transformatif: Menuju Pengembangan Pribadi Berkarakter”.

 

Kata “transformasi”, yang dalam bahasa Arab dapat dipadankan dengan kata taghyir, sengaja dipilih untuk text book ini, karena tim penulis memiliki spirit yang kuat menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik dalam praksis pengajaran MK PAI di waktu mendatang guna mencetak pribadi-pribadi Muslim yang berkarakter luhur (baca: ber-akhlaq karimah).

 

Kehadiran buku ajar MK PAI ini juga dapat dimaknai sebagai tanggapan terhadap amanat Direktorat Pendidikan Tinggi Kemdikbud RI kepada segenap civitas akademika perguruan tinggi untuk mengakomodir sejumlah issue pendidikan krusial (seperti pendidikan karakter dan pendidikan anti-korupsi), sekaligus sebagai respons terhadap dinamika nasional dan global mutakhir (seperti kampanye konservasi lingkungan, multikulturalisme, dan perang terhadap terorisme yang didengungkan oleh dunia internasional).

 

Secara spesifik, tujuan-tujuan yang diusung text book MK PAI tahun 2013 ini adalah sebagai berikut. Pertama, mengembangkan fitrah dan potensi kalbu (intuitif) mahasiswa sebagai insan yang memiliki nilai-nilai religius. Kedua, mengembangkan kebiasaan dan perilaku (afektif) mahasiswa yang luhur dan terpuji sejalan dengan budaya dan tradisi bangsa yang religius. Ketiga, menanamkan sikap dan tindakan toleran (inklusif) yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, dan paham. Pendekatan pembiasaan karakter religius yang diterapkan dalam buku ajar MK PAI tahun 2013 ini bertumpu pada tiga prinsip.

 

Pertama, agar mahasiswa mengenal (knowing) nilai-nilai Islam; kedua, menerima (loving) nilai-nilai tersebut sebagai miliknya, dan ketiga, bertanggung jawab atas penerapannya (doing) dalam kehidupan nyata.

 

Disarikan dari Kata Pengantar Buku “Pendidikan Islam Transformatif”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Pendidikan Islam Transformatif pdf

Gerak Langkah Pendidikan Agama Islam untuk Moderasi Beragama pdf

Desain Pendidikan Agama Islam pdf

Prosiding PAI tahun 2019 pdf

Minggu, 18 September 2022

Pertarungan Politik Identitas vis-a-vis Politik Adu Jangkrik di Indonesia

Sumber: news.detik.com

Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970-an, bermula dari Amerika Serikat ketika menghadapi masalah minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Dalam perkembangan berikutnya, cakupan politik identitas ini meluas kepada sektor agama, kepercayaan, dan simpul-simpul kultural yang beragam.

Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi dan lokalitas kepentingan yang dipresentasikan pada umumnya oleh para elit negeri ini dengan bualan artikulasinya yang tampak mempesona dan visioner. Gerakan pemekaran daerah, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin merupakan masalah yang tidak mudah untuk dieksplanasikan.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan? Jika berbahaya, kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara memitigasinya?

 

Politik Identitas Berkedok Agama

 

Penggunaan agama di sini merujuk pada semua agama, tidak hanya Islam. Namun, dalam hal ini, Islam menjadi perhatian peneliti dan menarik atensi politisi untuk memperalatnya untuk kepentingan tertentu. Pada saat dunia Islam terpecah, ia sedang berada di buritan peradaban sejak beberapa abad yang lalu, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, akan sangat sulit menemukan pribadi-pribadi Muslim yang mampu secara psiko-kultural bersikap lebih tenang, objektif, dan realistik, kecuali mereka yang terdidik dan tercerahkan. Frasa tercerahkan di sini menempati posisi sentral sebab tidak semua yang terdidik akan tercerahkan, begitupun sebaliknya tidak semua yang tidak terdidik tidak tercerahkan. Fenomena ini terutama terlihat di kalangan mereka yang merantau ke negara-negara Barat yang jumlah mereka semakin membengkak dari tahun ke tahun.

 

Di negara-negara Uni Eropa, misalnya, sejak beberapa dekade terakhir, jumlah Muslim telah mencapai 20 juta, sebuah angka yang cukup fantastis bukan! Begitupun di Amerika, penduduk Muslimnya berkisar antara 6-8 juta, baik yang berasal dari imigran maupun konversi. Sekarang ini, orang sudah mulai berbincang tentang Islam and the West, sebagai balancing dari steriotipe Islam and the West sebagai kelanjutan dari konsep klasik Darul Islam dan Darul Harbi, yang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia mutakhir.

 

Sayangnya, Muslim perantauan baik di belahan bumi Barat maupun Timur, masih ada saja yang terpasung oleh konsep klasik Islam nan indah itu. Implikasinya, perasaan keterasingan – atau tidak membumi (down to earth) – acapkali menghantui mereka di tanah air baru itu. Akan pulang kampung situasi politik, ekonomi, sosial juga tidak memberi harapan, selain harus berhadap-hadapan dengan rezim-rezim despotik yang korup tidak jarang dilegitimasi oleh agama baik dari ulama partisan maupun intelektual opportunis. Munculnya kelompok ekstremisme umumnya berasal dari mereka yang merasa terasing ini. Ini adalah di antara tragedi diaspora Muslim di awal abad ke-21 yang tidak jarang menggunakan jubah Islam sebagai politik identitasnya.

 

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia

 

Penggunaan politik identitas di Indonesia dalam rentang belakangan ini begitu mengkhawatirkan. Indonesia darurat politik identitas. Pemilu DKI Jakarta tahun 2018 menjadi bukti untuk itu. Keterbelahan arus masyarakat di akar rumput, tidak bisa tidak, telah berhasil memporak-porandakannya. Mirisnya, penggunaan politik identitas menjadi preseden buruk bagi tumbuh-kembangnya demokrasi Indonesia. Lihat saja, kasus Ahok yang menista agama, pilpres tahun 2019 menjadi bukti untuk itu. Akankah di Pilpres 2024 akan terulang lagi? Sebuah jawaban yang membutuhkan renungan bagi kita semua. Masih relevankah menggunakan agama atau mimbar khutbah untuk melanggengkan politik “adu jangkrik” semacam ini. Semoga bangsa ini terus dewasa dalam mengarifi persoalan ini.

 

Modalitas bangsa ini sangat lebih dari memadai. Modalitas sosial, ekonomi, politik, sumber daya manusia, tradisi & kebudayaan, dan sumber daya alam yang melimpah sangat memadai untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Tinggal bagaimana, elit bangsa ini – dan elit partai – dan kita semua bijak dalam memanfaatkan modalitas ini. Jangan sampai kolonialisme jilid 2 kembali membabakbelurkan bangsa ini.

 

Disarikan dari Pendahuluan Buya Syafii Maarif, dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia pdf

Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia pdf

Nusantara untuk Peradaban Dunia: Menuju Tatanan Baru yang Lebih Berkeadilan

Sumber: politik.rmol.id

Asia, termasuk Asia Tenggara dengan penduduk Muslim mayoritas berjumlah besar di Indonesia dan Malaysia hari ini dan ke depan memiliki potensi besar untuk kembali menjadi pusat peradaban dunia. Berbagai indikator mendukung optimisme tersebut. Sementara AS dan Eropa mengalami ‘kemunduran’ dan bahkan krisis ekonomi yang berkelanjutan, berbagai negara Asia yang sudah developed, seperti Jepang dan Korea Selatan, tetap bertahan—jika tidak kian meningkat. Pada saat yang sama, sejumlah negara Asia tengah bangkit (emerging) sejak dari China, India, Indonesia, Malaysia, Iran, Singapura dan Thailand. Kemajuan ekonomi yang cukup fenomenal negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim Indonesia dan Malaysia telah mendorong peningkatan kualitas pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan living condition masyarakat. Di masa silam, ketika kegelapan masih menyelimuti Eropa, Amerika, dan Afrika, Asia menjadi pusat peradaban dunia.

 

Hampir seluruh agama besar dunia lahir dan berkembang di Asia, sejak dari Hindu, Budha, Shinto, Zoroaster, Konghucu, Yahudi, Kristianitas dan Islam sampai Sikhism dan Baha’i. Agama-agama menjadi salah satu faktor penting dalam pertumbuhan peradaban Asia, baik politik, sosial, budaya, ekonomi, yang pada gilirannya memberikan warisan (legacy) yang tidak ternilai. Peradaban China, India, Persia, dan kemudian Muslim—yang membentuk sintesa distingtif dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi—pada abad pertengahan memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan peradaban Eropa. Disintegrasi politik dan kemunduran ekonomi memberikan jalan lebar bagi kekuatan-kekuatan Eropa sejak abad 16 menguasai banyak bagian Asia. Kolonialisme jelas membuat terjadinya retardasi peradaban Asia. Dan, sekitar 60an tahun pasca-Perang Dunia II, Asia kembali menunjukkan tanda-tanda bangkit kembali sebagai pusat peradaban.

 

THE DECLINE OF WESTERN CIVILIZATION

Wacana tentang ‘kemerosotan peradaban Barat’ (the decline of Western civilization)—yang secara implisit memberi peluang bagi kebangkitan kembali peradaban Asia—bukan sesuatu hal baru. Sejarawan terkemuka Oswald Spengler pada usia 38 tahun menerbitkan karya dua jilid The Decline of the West; jilid pertama diterbitkan pada 1918 dan jilid kedua pada 1922. Dalam buku ini dia melacak asal usul dan perjalanan peradaban Barat dalam perspektif memudarnya peradaban klasik Eropa. Dia berargumen lebih lanjut, bahwa kemunduran peradaban Barat bahkan sudah bermula sejak abad 20. Memang terjadi perdebatan sengit di antara para sarjana dan ahli Barat tentang apa yang dimaksudkan Spengler dengan istilah ‘kemunduran’ (decline), yang semula menggunakan istilah Jerman ‘untergang’, yang lebih tepat berarti ‘kejatuhan’ (downfall). Spengler sendiri menjelaskan kemudian, yang dia maksud bukan kejatuhan katastropik, tetapi kemunduran atau kejatuhan berselang-seling.

 

Lepas dari perdebatan peristilahan dan realitas perjalanan sejarahnya, wacana tentang kemunduran dan kejatuhan peradaban atau kekuatan-kekuatan besar, khususnya di Dunia Barat, kembali menemukan momentumnya ketika sejarawan Paul Kennedy menerbitkan karyanya yang kini sudah menjadi klasik, The Rise and Fall of the Great Powers (1987). Penerbitan buku empat tahun sebelum runtuhnya Uni Soviet seolah menjadi prophesy bagi Soviet, sehingga meninggalkan AS sebagai satu-satunya kekuatan adidaya yang didukung sekutu-sekutu Baratnya dalam percaturan politik, ekonomi, militer dan budaya global tidak hanya terhadap Dunia Islam, tetapi juga atas kawasan maju lainnya, khususnya Eropa Barat.

 

Secara kolektif, AS beserta negara-negara Eropa Barat maju seperti Jerman, Prancis, dan Inggris yang merupakan inti (core) peradaban Barat, suka atau tidak, tetap menduduki posisi dominan dan hegemonik terhadap bagian-bagian dunia lain, termasuk khususnya Dunia Muslim. Meski terdapat negara-negara Muslim yang mencapai kemajuan ekonomi dan politik secara signifikan, mereka belum mampu melepaskan diri dari dominasi dan hegemoni Barat. Bahkan sampai sekarang ini, umumnya negara-negara Muslim/Islam di Timur Tengah, sejak dari Mesir, Arab Saudi, Irak sampai negara-negara Teluk, hampir sepenuhnya tergantung kepada AS dalam bidang ekonomi, politik dan militer. Situasi ini relatif berbeda dengan Indonesia yang tidak memiliki ketergantungan apa-apa pada AS— meski hegemoni ekonomi dan politik AS sulit dihindari rejim penguasa Indonesia.

 

Amerika Serikat, sekali lagi, merupakan kekuatan Barat yang sangat dominan dan hegemonik selama kebanyakan abad 20—mengatasi Eropa yang sebelumnya melalui kolonialisme dan imperialisme menguasai banyak wilayah Asia. Sejak masa pasca-Perang Dunia II, AS menduduki posisi puncak aliansi kekuatan Barat kapitalis dalam menghadapi Blok Timur sosialis di bawah komando Uni Soviet. Runtuhnya Uni Soviet pada 1990 hanyalah memberikan peluang besar bagi AS dan Dunia Barat secara keseluruhan untuk kian menegaskan dominasi dan hegemoni mereka.

 

Meski demikian, kian banyak ahli—bahkan orang Amerika sekalipun—berbicara tentang The Decline and Fall of the American Empire, seperti judul karya James Quinn (2009) atau sebelumnya Jim M Hanson (1993) dan Gore Vidal (1992) dengan judul yang sama. Bahkan masa jaya Amerika seolah-olah telah lewat sebagaimana terkesan dalam judul buku Fareed Zakaria The Post American World (2008). Judul-judul dan substansi buku itu bisa jadi menyesatkan sementara orang Asia yang mengharapkan kejatuhan Amerika. Memang jelas, terlihat kemunduran, atau sedikitnya, bahwa AS jalan di tempat, sementara negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan dan China kian menanjak. Tetapi juga jelas, seperti argumen Fareed Zakaria dalam The Post American World dan kolom-kolomnya di majalah Newsweek, Amerika masih tetap memegang supremasi dalam ilmu pengetahuan dan sains-teknologi.

 

Persepsi tentang ‘kemerosotan’ Amerika itu bisa bertambah kuat belaka, ketika dunia menyaksikan kebangkitan China dalam bidang ekonomi, sains dan teknologi. China bahkan dengan segera mengalahkan Jepang sebagai salah satu ekonomi terbesar di dunia. Kebangkitan China seolah merupakan sebuah ‘miracle’ (mukjizat), yang membuat Dunia Barat, khususnya AS sangat nervous. Tekanan-tekanan AS agar China membuka pasarnya, membebaskan mata uangnya, dan menghormati HAM dan demokrasi terbukti lebih sering diabaikan begitu saja oleh para penguasa China. Hal ini, tidak lain terutama karena kian menguatnya ‘ketergantungan’ AS pada China dalam ekonomi dan devisa.

 

Dikutip dari Buku “Makalah Prof Azyumardi Azra yang berjudul Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Nusantara untuk Kebangkitan Peradaban pdf


Sabtu, 17 September 2022

Partai Politik Islam dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan di Indonesia Kontemporer

Sumber: nasional.tempo.co


Islam di Indonesia telah lama dipuji karena toleransinya, di dalam dan di luar negeri, oleh masyarakat umum dan di kalangan akademisi, dan oleh politisi dan kepala negara. Di antara aspek yang disorot adalah penggabungan ritual dan keyakinan yang, secara tegas, tidak sesuai dengan Islam, dan kesediaan umat Islam Indonesia untuk menerima di tengah-tengah mereka Kristen, non-Muslim lainnya, dan sesama Muslim yang dianggap sesat oleh Islam arus utama.

Namun, citra toleransi ini telah ditantang dalam sepuluh hingga 15 tahun terakhir oleh konfrontasi bersenjata, jika bukan perang saudara, di Maluku, Lombok, Poso di Sulawesi, dan Banjarmasin di Kalimantan, di mana agama merupakan salah satu faktor pendorongnya; oleh kekerasan massa yang dilakukan oleh Muslim lokal dan kelompok-kelompok Islam yang main hakim sendiri dimana FPI (Front Pembela Islam, Front Pembela Islam) paling terkenal; dan dengan munculnya organisasi teroris.

 

Awalnya, terorisme di Indonesia adalah karya Jemaah Islamiyah, sebuah kelompok yang terdiri dari orang Indonesia dan Malaysia yang memiliki hubungan dekat dengan al-Qaeda dan pemberontak Islam di Filipina; terinspirasi, jika tidak dipimpin, oleh salah satu ulama paling radikal di Indonesia, Abu Bakar Baʾasyir, Jemaah Islamiyah bertanggung jawab atas serangan bom di Bali (12 Oktober 2002) dan serangan teroris lainnya di tahun-tahun awal abad ini. Sebagian besar mantan pemimpin dan anggotanya kini telah dibunuh, dipenjara, atau dieksekusi. Laporan terbaru menunjukkan bahwa Jemaah Islamiyah telah digantikan oleh sejumlah kelompok teroris yang lebih kecil, kurang mampu membuat bom besar seperti yang digunakan di Bali, tetapi juga, dengan tidak adanya satu organisasi induk, lebih sulit bagi pihak berwenang untuk mendeteksi dan mencari tahu. ke atas.

 

Sisi buruk radikalisme Islam juga muncul dalam, kadang-kadang, protes kekerasan oleh Muslim lokal terhadap kehadiran gereja-gereja Kristen dan rumah-rumah biasa di mana jemaah bertemu, dan, pada tingkat lebih rendah, terhadap kuil-kuil Cina, sering mengarah ke tempat-tempat seperti itu ditutup atau layanan reguler dihentikan. Sebagian masalah dapat ditelusuri kembali ke keputusan bersama Menteri Dalam Negeri dan Agama yang dikeluarkan pada 1969 dan direvisi pada tahun 2006, yang membutuhkan persetujuan pemerintah daerah dan penduduk setempat untuk pembangunan rumah ibadah, suatu kondisi tidak selalu mudah bagi orang Kristen untuk bertemu di lingkungan Islam, dan memberikan argumen hukum kepada pemrotes untuk membenarkan tindakan mereka.

 

Orang Kristen dan Cina bukan satu-satunya korban intoleransi. sebagian besar Muslim Indonesia adalah Sunni, dan dalam beberapa tahun terakhir anggota Ahmadiyah dan Syiah telah menjadi korban dari beberapa serangan brutal (lihat kontribusi Bastiaan Scherpen dalam buku ini). Insiden-insiden seperti itu sudah terjadi selama Orde Baru, tahun-tahun antara 1965 dan 1998, ketika Suharto berkuasa dan, secara umum, Islam politik dilarang dan para pendukungnya dapat dituntut, dan kelompok-kelompok radikal diawasi dengan ketat. Setelah 1998, tahun Suharto dipaksa mundur sebagai presiden, protes dan serangan menjadi lebih sering, dengan peningkatan tajam dalam beberapa tahun terakhir. Menurut tokoh-tokoh yang diterbitkan di surat kabar Jakarta Post pada 2 Oktober 2010, jumlah kasus berjumlah 470 antara 1967 dan 1998, dan 700 antara 1ĀĀ8 dan 2010.

 

Angka yang lebih baru, diterbitkan oleh Setara Institute for Democracy and Peace, yang mempromosikan toleransi beragama sebagai salah satu tujuannya, adalah 144 serangan terhadap agama minoritas pada tahun 2011 dan 264 pada tahun 2012. LSM lain dengan tujuan yang sama, Wahid Institute, menyebutkan angka 274 untuk tahun 2012. Lembaga yang terakhir ini juga mencatat sebuah peningkatan insiden semacam itu selama bertahun-tahun sejak 2009, sementara laporan Human Rights Watch yang diterbitkan pada Februari 2013 menyimpulkan bahwa kekerasan terhadap minoritas agama – juga menyebutkan serangan terhadap Bahai – telah 'mendalam'.

 

Umat ​​Islam arus utama harus merespons upaya-upaya untuk mewujudkan Islamisasi masyarakat Indonesia lebih lanjut. Salah satu perkembangan penting yang memfasilitasi proses ini adalah diundangkannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah pada tahun 1999 dan revisinya pada tahun 2004, yang memberikan otonomi luas kepada pemerintah daerah – provinsi, kabupaten dan kota, dan telah memberikan para pendukung Islam yang ketat dengan sarana tambahan untuk memajukan tujuan mereka. undang-undang mengizinkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) secara independen dari pengawasan atau kontrol oleh tingkat administrasi yang lebih tinggi, kecuali dalam beberapa bidang yang tetap menjadi hak prerogatif pemerintah nasional, di mana agama adalah salah satunya. Kenyataan bahwa pemerintah daerah tidak diperbolehkan mengeluarkan peraturan daerah tidak menghalangi mereka untuk menerapkan apa yang disebut Perda Syariah. ini dapat mengambil berbagai bentuk. Ada yang mewajibkan pegawai negeri sipil untuk mengikuti kursus Islam di bulan puasa atau menjadikan kemampuan membaca Al-Qur'an sebagai prasyarat untuk memasuki pendidikan menengah atau untuk mengakhiri pernikahan.

 

Sejumlah perda baru, dan di antara yang paling banyak dikritik, memengaruhi kehidupan perempuan dan memaksa mereka untuk menyesuaikan diri dengan aturan berpakaian Islami (jilbab dan 'pakaian terbuka') di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan menengah, atau memberlakukan semacam jam malam, tidak mengizinkan perempuan meninggalkan rumah tanpa ditemani oleh kerabat laki-laki di malam hari atau membuat mereka takut melakukannya. Pada bulan Agustus 2012, Komite Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Indonesia) menghitung 282 Perda yang diskriminatif terhadap perempuan. Sembilan puluh enam di antaranya menyangkut peraturan tentang prostitusi dan pornografi yang, seperti dikemukakan Euis Nurlaelawati dan Muhammad Latif Fauzi dalam buku ini, dapat berdampak lebih luas, mempersulit kehidupan tidak hanya pelacur tetapi juga perempuan lain; 60 di antaranya terkait dengan aturan berpakaian dan 'standar agama', dan 38 lainnya terkait dengan 'mobilitas perempuan'.

 

Kasus khusus adalah Aceh di ujung utara Sumatera. Dalam upaya membujuk separatis Gerakan Aceh Merdeka (Gerakan Aceh Merdeka gam) untuk meletakkan senjata, Jakarta memberikan otonomi khusus provinsi pada 1 Oktober 1999. Aceh diberi hak untuk membuat peraturan perundang-undangan di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat setempat; kekuatan yang tidak dimiliki provinsi lain. Hasilnya adalah sejumlah hukum Islam (qanun) yang mempromosikan perilaku Islam yang 'benar' (termasuk cara berpakaian wanita; pria tampaknya menghindari pembatasan tersebut), melarang praktik dan kepercayaan non-Sunni, melakukan tindakan seperti perjudian dan konsumsi makanan. minuman beralkohol dapat dihukum, dan memberikan otoritas lokal kekuasaan untuk bertindak dan menghukum hubungan seksual terlarang. ini termasuk asumsi bahwa dua orang yang belum menikah dari jenis kelamin yang berbeda tanpa ikatan keluarga dekat yang sendirian bersama di ruang terpencil bersalah melakukan hubungan seks terlarang (lihat kontribusi oleh Reza Idria).

 

Dikutip dari Buku “Islam, Politik and Change; The Indonesian Experience after the Fall Soeharto”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Islam, Politik and Change; The Indonesian Experience after the Fall Soeharto pdf

Mengulik Pendekatan Ma‘nā-cum-Maghzā atas Al-Quran Perspektif Sahiron Syamsuddin

Sumber: tafsiralquran.id


Secara etimologis, gabungan kata Ma‘nā-cum-Maghzā terdiri dari tiga kata: ma‘nā, maghzā (keduanya dari Bahasa Arab) dan cum (dari Bahasa Latin). Ibn Manẓūr dalam Lisān al-‘Arab mengatakan, ‘anaytu fulānan ‘anyan itu berarti: qaṣadtuhu (‘saya memaksudkan atau menunjuk pada dia’). Jadi, secara leksikal, kata ma‘nā berarti ‘maksud’ atau ‘arti’. Secara terminologis, istilah al-ma‘nā dimaksudkan: mā yadullu ‘a;ayhi l-lafẓu (‘apa yang ditunjukkan atau dimaksudkan oleh lafal/kata’).

Berdasarkan hal ini, dalam Bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan: makna, arti atau maksud lafal/kata. Istilah al-ma‘nā ini dibagi dalam dua kategori: (1) al-manṭūq dengan definisi: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu fī maḥall al-nuṭq (‘apa yang dimaksudkan oleh lafal/ kata secara eksplisit’), dan (2) al-mafhūm yang berarti: mā yadullu ‘alayhi l-lafẓu lā fī maḥall al-nuṭq (‘apa yang dimaksudkan oleh lafal/kata secara implisit’). Adapun kata al-maghzā memiliki akar kata: ghayn, zay dan waw. Kata ghazā itu memiliki kemiripan arti dengan kata qaṣada (memaksudkan). Ibn Manẓūr menjelaskan, “ghazā al-syay’a ghazwan” itu berarti: qaṣadahu wa ṭalabahu (‘Dia memaksudkan sesuatu dan mencarinya’). Dia juga menjelaskan, “maghzā al-kalām itu berarti maqṣiduhu (‘maksud kalimat’). Adapun kata cum itu berarti ‘bersama’. Hal ini menunjukkan bahwa ma‘nā dan maghzā harus diperhatikan dalam proses penafsiran Al-Qur’an.

 

Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā adalah pendekatan di mana seseorang menggali atau merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yakni makna (ma‘nā) dan pesan utama/signifikansi (maghzā) yang mungkin dimaksud oleh pengarang teks atau dipahami oleh audiens historis, dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut untuk konteks kekinian dan kedisinian. Dengan demikian, ada tiga hal penting yang akan dicari oleh seorang penafsir yang menggunakan pendekatan ini, yakni (1) makna historis (al-ma‘nā al-tārīkhī), (2) signifikansi fenomenal historis (al-maghzā al-tārikhī), dan (3) signifikansi fenomenal dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir) dari teks Al-Qur’an yang ditafsirkan.

 

Setiap ayat atau kumpulan ayat Al-Qur’an itu memiliki tiga hal tersebut secara sekaligus. Makna historis ayat (al-ma‘nā al-tārīkhī) adalah makna bahsa/ literal yang mungkin dimaksudkan oleh Allah Swt pada masa diturunkannya ayat tersebut kepada Nabi Muhammad Saw, dan atau yang dipahami oleh beliau dan para sahabatnya sebagai audiens pertama Al-Qur’an (al-mukhāṭabūn al-awwalūn). Sedangkan signifikansi historis ayat (al-maghzā al-tārikhī) adalah maksud atau pesan utama yang ingin disampaikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan para sahabatnya, baik itu berupa maqāṣid syar‘iyyah (maksud-maksud utama penetapat hukum), ‘illat al-ḥukm (alasan penetapan hukum tertentu) maupun ‘ibrah (pelajaran moral). Adapun signifikansi dinamis kontemporer (al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir) itu hasil ijtihad/penafsiran seorang penafsir dalam mengembangkan al-maghzā al-tārikhī dengan cara mereaktualisasikannya, mendefinisikannya kembali dan mengimplementasikannya dalam konteks dimana penafsiran itu dilakukan pada ruang dan waktu tertentu.

 

Dengan pendekatan ini diharapkan bahwa para penafsir dapat melakukan, paling tidak, dua hal berikut ini. Pertama, mereka mampu melakukan penafsiran yang kontekstualis. Mereka tidak hanya terpaku pada makna literal ayat saja, tetapi juga memperhatikan pesan utamanya. Dengan demikian, mereka dapat mengaktualisasikan pesan-pesan Al-Qur’an dalam ruang dan waktu secara dinamis. Dalam hal ini, dari satu sisi mereka memperhatikan aspek linguistik ayat, tetapi juga di sisi lain memperhatikan konteks tekstual dan konteks sosial historis pada masa pewahyuan Al-Qur’an serta konteks sosial pada masa kontemporer (ketika teks ditafsirkan). Karena memperhatikan hal-hal tersebut, pendekatan ma‘nā-cum-maghzā merupakan pendekatan yang seimbang (balanced approach).

 

Kedua, para penafsir mampu menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu ṣāliḥ li-kull zaman wa makān (sesuai dengan segala waktu dan tempat). Ketika mereka hanya memperhatikan aspek kebahasaan Al-Qur’an semata, maka mereka tidak akan merasakan ṣalāḥiyyat (kesesuaian) Al-Qur’an dengan berbagai macam situasi dan kondisi masyarakat yang bervariasi dalam hal pola pikir, cara pandang, budaya, ekonomi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta aspek-aspek lainnya.

 

Dikutip Dari Orasi Ilmiah Prof. Dr.phil. Sahiron Syamsudin, M.A, dalam Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā atas Al-Quran.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Pendekatan ma‘nā-cum-maghzā atas Al-Quran pdf

New Trends in Quranic Studies pdf

The Quran with Cross References pdf

Scriptual Polemic the Quran pdf

Selasa, 13 September 2022

Austronesia di Indonesia Bagian Barat: Kajian Budaya dan Sejarah

Sumber: kompas.com

Austronesia merupakan terminologi yang mengacu pada bahasa, namun dalam perkembangannya juga mengacu kepada manusia pendukung dan budayanya. Dasar dijadikannya Taiwan sebagai Proto Austronesia adalah dengan didasarkan atas bukti arkeologis yang agak terbatas dan pemukiman Austronesia yang paling awal di sini bertarikh antara 4000 dan 3000 BC. Selain itu tembikar sebagai benda budaya, kosakatanya ditemukan pada Melayu-Polinesia awal di Taiwan sekitar kurun waktu tersebut. Artinya ciri budaya dan bahasa ini telah ada di Taiwan 1000 tahun sebelum muncul di pulau- dengan migaris yang cukup cepat di Kalimantan dan Sulawesi menjelang 2000 BC (Bellwood 2000,161-174). Secara umum awal budaya Austronesia telah menyebar ke wilayah Indonesia berkisar 4000-3500 BP. pentarikhan 4000 itu di indikasikan dari temuan budaya Austronesia di situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah dan pentarikhan 3500 didasarkan atas pentarikhan di situs Minanga Sipakko, Sulawesi Barat.

Arkeologi mengkaitkan budaya Austronesia dengan pembabakan budaya Neolitik. Sehingga berbagai hasil budaya Neolitik tersebut dijadikan dasar bagi migrasi kelompok pengusung budaya Austronesia. Adapun tinggalan budaya yang kerap dijadikan dasar keberadaan budaya Austronesia diantaranya adalah kapak batu yang telah diupam (beliung persegi dan lonjong), pertanian, domestikasi hewan (anjing, babi), rumah panggung dan tembikar. Selain itu pada pembabakan selanjutnya dicirikan dengan adanya penggunaan logam (besi dan perunggu).

 

Keberadaan Austronesia di pesisir timur Pulau Sumatera bagian utara melalui lapisan bagiaan atas situs bukit kerang/kitchen midden. Situs dimaksud tersebar dari provinsi Kepulaua Riau hingga di ujung barat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Banda Aceh). Namun secara umum situs dimaksud merupakan bukti keberadaan budaya Hoabinh. Keberadaan pendukung budaya itu juga ditemukan di wilayah daratan tinggi. Indikasi tersebut nampak jelas dari sevbaran situs di DAS Wampu, Langkat, Sumatera Utara dan hasil serangkaian penelitian yang telah dilakukan di situs Loyang Mendale, Aceh Tengah. Budaya Hoabinh yang dominan pada situs bukit kerang tesebut sangat penting artinya dalam konteks proses budaya maupun dalam konteks migrasinya. Keberadaan situs bukit kerang yang kerap diakhiri dengan keberadaan fragmen tembikar menjadi lebih penting lagi. Hal tersebut mengingat tembikar merupakan salah satu penanda dari budaya yang lebih muda yang dibawa oleh pengusung Austronesia. Tentu keberadaan budaya Hoabinh yang sama di satu situs dengan budaya Austronesia menjadi bahan kajian yang sangat menarik.

 

Dikutip Dari Latar Belakang BukuAustronesia di Indonesia Bagian Barat: Kajian Budaya Austronesia Prasejarah dan Sesudahnya Di Wilayah Budaya Gayo.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Austronesia di Indonesia Bagian Barat pdf

Islam dan Kebudayaan Melayu Nusantara: Genealogi dan Transformasi

Melayu

Budaya Melayu merupakan suatu entitas yang dinamis, sehingga diperlukan paradigma berpikir yang dinamis pula. Tanpa sudut pandang seperti ini, maka konsep Melayu itu tidak dapat dipahami secara holistik dan komprehensif. Saat ini, ada banyak definisi tentang Melayu itu sendiri. Seperti yang diutarakan oleh Prof. Zainal Kling dari Universitas Malaya, Malaysia. Menurutnya, Melayu merupakan kawasan geografis dunia yang meliputi seluruh wilayah masyarakat yang berbahasa rumpun Melayu di Asia Tenggara, terutama di kawasan kepulauan yang kini menjadi unit-unit geopolitiknya seperti; Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, selatan Thailand, kelompok-kelompok masyarakat di Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Taiwan. Pengertian ini didasarkan pada corak kemiripan bahasa, karena bahasa merupakan satu-satunya bukti sejarah yang masih tersisa dan dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu kawasan yang ditempati oleh kelompok-kelompok rumpun Melayu tersebut. (dikutip dari seminar budaya melayu :2010)

Salah satu ciri kebudayaan Melayu adalah sifatnya yang inklusif. Inklusivisme merupakan karakter dasar orang-orang Melayu. Tempat hidup orang-orang Melayu yang berada di pinggir laut dan sungai, memungkinkan mereka bersentuhan dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Masyarakat Melayu menyerap secara aktif kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar. Akhirnya, Melayu dapat membangun kebudayaan yang unggul dalam berbagai segi kebudayaan. Demikian menurut Mahyudin alMudra dari “Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu (BKPBM) Yogyakarta” dalam salah satu makalahnya.

 

Fakta historis menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu merupakan “buah” dari hasil pertemuan antara Melayu dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang mendatangi kawasan Melayu. Sebelum kedatangan kebudayaan luar, masyarakat Melayu telah menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sistem bercocok tanam, dan mampu membuat peralatan dari logam. Kebudayaan Melayu yang sudah terbentuk tersebut kemudian diperkarya oleh kedatangan kebudayaan besar dunia, yang terdiri dari empat fase, yaitu: kebudayaan India, kebudayaan China, kebudayaan Arab (Timur Tengah), dan kebudayaan Barat. Pertemuan kebudayaan ini dapat berlangsung dengan damai ataupun dengan ketegangan.


Fase pertama adalah pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan India. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan agama Hindu-Buddha, sistem pemujaan yang semakin solid, sistem kerajaan, dan bahasa yang berkembang di dunia Melayu. Fase kedua adalah pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan China, yang dapat dilhat akan pengaruh Konfusianismenya, perdagangan, kerajinan, dan kesenian dalam masyarakat Melayu. Fase ketiga ditandai dengan pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan Asia Barat (Timur Tengah atau Arab) yang berupa agama Islam, sistem kesultanan, baca-tulis, sistem pendidikan, arsitektur, dan sebagainya. Terakhir, fase keempat adalah pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan Barat, seperti: perkembangan agama Kristen-Katholik, sistem pemerintahan, sistem pendidikan, busana, dan arsitektur.

 

Diantara persentuhan budaya-budaya tersebut kebudayaan dari Asia Barat (Arab) yang berupa agama Islam, merupakan kebudayaan yang paling banyak berpengaruh dan paling dominan. Begitu kuat dan dominannya pengaruh Islam terhadap kebudayaan Melayu tersebut, maka beberapa sarjana mengambil kesimpulan bahwa “Dunia Melayu Dunia Islam”.

 

Secara kultural, sintesa kebudayaan Melayu dan Islam dapat lihat dalam ungkapan “Adat bersendi syarak, syarak bersendikan Kitabullah”, ungkapan ini biasa dijumpai di daerah-daerah, seperti: Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Banjar, Bugis, Gorontalo, Ternate, dan sebagainya. Bagi mereka, menjadi Melayu adalah menjadi Islam. Sebaliknya, mereka yang keluar dari Islam, sekaligus adalah keluar dari Melayu (Lihat: Mochtar Naim, 2011: 1).

 

Dikutip dari Sinopsis buku “Islam dan Kebudayaan Melayu Nusantara”.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Islam dan Kebudayaan Melayu Nusantara pdf

Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan; Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-kota Indonesia 1

Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan; Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-kota Indonesia 2

Meneropong Arah Baru Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Menuju Indonesia Emas 2045

Sumber: edukasi.sindonews.com

Pendidikan Islam adalah bagian penting pembangunan Nasional. Sejak era sebelum kemerdekaan hingga sekarang, keberadaan Pendidikan Islam telah berkontribusi melahirkan SDM yang mumpuni dan berwawasan kebangsaan. Tidak hanya SDM, ide dan inovasi juga lahir dari rahim pendidikan Islam. Maka sangatlah wajar tatkala pendidikan Islam terus diberikan ruang untuk berkembang. Dan salah satu elemen penting pendidikan Islam adalah eksistensi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).

Eksistensi PTKI merupakan respons strategis menyikapi perkembangan global. Berdasarkan indeks kompetisi global (Global Competitiveness Index (GCI)), Indonesia menempati urutan ke-36 dari 137 negara pada tahun 2017. Selain itu, dari pertumbuhan PDB 4,9 persen (2017), sebesar 0,6 persen bersumber dari total factory productivity (TFP), dan 2,8 persen dari modal kapital, serta 1,5 persen dari modal manusia. Nilai strategis PTKI tergambar dalam 3 (tiga) alasan.


Pertama, perguruan tinggi memiliki nilai investasi yang baik, di mana pekerja dengan ijazah perguruan tinggi memperoleh penghasilan kerja rata-rata 75 persen lebih tinggi daripada para lulusan sekolah menengah atas dan 130 persen lebih tinggi dari lulusan sekolah menengah pertama (Sakernas, 2016). Kedua, lulusan perguruan tinggi mempunyai risiko rendah untuk menjadi penganggur terbuka (situs web BPS, 2019). Ketiga, hasil analisis Sakernas 2017 menunjukkan bahwa serapan hasil lulusan Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) di dunia kerja lebih baik dari lulusan perguruan tinggi umum, baik sebagai karyawan maupun wirausaha.


Sambutan publik terhadap eksistensi PTKI tampak jelas dengan pesatnya pertumbuhannya, khususnya PTKI swasta. Berdasarkan data Emis Dirjen Pendis, dari total PTKI sebanyak 847 lembaga, 93 persen di antaranya merupakan swasta (788 lembaga). Sementara dari jumlah, sebanyak 313.147 orang mahasiswa di PTKIS atau rata-rata 424 per PTKIS dari total 975.711 orang mahasiswa PTKI. Gambaran ini menjadi penegas bahwa PTKIS berpotensi meningkatkan daya saing di tingkat global, meskipun pada saat yang sama menimbulkan persoalan inefisiensi yang perlu dicarikan solusinya.


Merespons pesatnya perkembangan PTKI, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama perlu mengambil kebijakan strategis agar pertumbuhan PTKI sejalan dengan cita-cita pembangunan Nasional. Di saat bersamaan, publik perlu mendata Grand Design (GD) Pengembangan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat Jenderal Pendidikan Islam disusun merujuk pada dua ketentuan. Pertama, Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia No. 5 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Strategis Kementerian/Lembaga Tahun 2020–2040. Kedua, RPJMN serta Peraturan Menteri Agama No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Agama tahun 2020–2024 dan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 4475 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Tahun 2020–2024. Grand Design ini akan menjadi peta jalan arah pengembangan PTKI menyongsong World Center For Islamic Higher Education tahun 2045.

 

Dikutip dari M. Ali Ramdhani, Dirjen Pendis Kemenag RI dalam buku Grand Design PTKI 2020-2045.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Grand Design PTKI 2020-2045 pdf

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer