Pages

Sabtu, 23 Februari 2019

Islam dan Budaya Literasi

 

Ketika saat ini para pemerintah dan pegiat literasi sedang semang-semangatnya mengampanyekan pentingnya literasi, maka ajaran Islam sejak lama sudah menekankan pentingnya literasi. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah surat Al-Alaq ayat 1-5 atau dikenal dengan surat Iqra. Ayat pertama surat tersebut adalah Iqra! yang artinya bacalah!. Hal tersebut merupakan perintah Allah SWT melalui perantaraan malaikat jibril kepada Nabi Muhammad  SAW untuk membaca atau belajar dalam arti yang lebih luas.

Pada saat menerima wahyu tersebut, Nabi Muhammad SAW begitu gemetar karena merasa kaget terhadap kedatangan malaikat Jibril yang membawa wahyu Allah. Nabi Muhammad SAW mengatakan “Maa ana biqaarii”yang artinya Saya tidak dapat membaca. Tetapi dengan bimbingan malaikat Jibril, akhirnya Nabi Muhammad SAW, yakin bahwa wahyu Allah tersebut memang untuknya, dan akhirnya Nabi Muhammad SAW dapat membaca. Salah satu sifat wajib bagi Nabi, yaitu fathanah yang artinya cerdas menjadi jaminan dari Allah bahwa Beliau adalah sosok yang cerdas dan cepat belajar.

Seiring dengan menyebarnya agama Islam ke berbagai belahan dunia sejak Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah sekitar tahun 622 M, muncullah para pengumpul dan penghafal mushafAl-Qur’an dan hadist seperti para sahabat Nabi, Abu Hurairah, imam bukhari-muslim, dan ahli hadist lainnya. Saat itu Islam benar-benar mencapai puncak kejayaannya. Hal ini disebabkan karena penyebaran agama Islam selain dilakukan secara damai, melalui akhlaqul karimah,juga karena Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pendidikan untuk melepaskan manusia dari kebodohan (jahiliyah), karena kebodohan dapat menjerumuskan manusia pada kerusakan di muka bumi.

Islam adalah agama anti kebodohan. Pada sebuah kisah diceritakan, setelah terjadinya perang Badar, ada 70 orang Quraisy Mekkah menjadi tawanan, mereka akan dibebaskan jika bersedia menjadi guru bagi sepuluh orang anak dan orang dewasa Madinah. Akhirnya, 700 orang terbebas dari buta huruf. Ibarat sistem Multiple Level Marketing (MLM), mereka pun diminta untuk menjadi guru bagi yang lain sehingga seluruh penduduk madinah bebas dari buta huruf.

Dalam perkembangannya, pasca runtuhnya kerajaan Islam terakhir di Granada Spanyol tahun 1491 M, dan disambung dengan revolusi industri, banyak temuan-temuan ilmuwan Islam yang justru diklaim dan dikembangkan oleh ilmuwan barat, apalagi pasca terjadinya revolusi industri tahun 1750-1850. Revolusi Industri merupakan periode terjadinya perubahan secara besar-besaran di bidang pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi serta memiliki dampak yang mendalam terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya di dunia. Revolusi Industri dimulai dari Britania Raya  dan kemudian menyebar ke seluruh Eropa Barat,  Amerika   Utara, Jepang dan akhirnya ke seluruh dunia. Pada masa revolusi Industri, teknologi barat berkembang pesat. Banyak temuan yang dihasilkan seperti mesin uap, kapal uap, kapal kincir, mesin tenun, mesin pemintal benang, teknologi mengolah bijih besi dan batu bara, baterai, telegraf, telepon, mobil, hingga pesawat terbang. (Wikipedia).

Jika kita berkaca kepada masa kejayaan Islam. Banyak Ilmuwan Islam yang berjasa dalam pengembangan IPTEK antara lain: (1) Al Farabi (872-950 M) seorang ahli filsafat, logika, matematika,  ilmu alam, teologi, ilmu politik dan kenegaraan, (2) Al Batani (858-929 M) ahli astronomi dan ahli matematika, (3)  Ibnu Sina (980-1037 M) ahli kedokteran, (4)  Ibnu Batutah (1304-1369) seorang pengembara dan pengarang kisah fiksi, (5) Ibnu Rusyd (1126-1198 M) ahli filsafat, kedoteran, dan fiqih, (6) Muhammad Ibnu Musa Al Khawarizmi (780-850 M) ahli matematika, astronomi, astrologi, dan geografi, (7) Umar Khayyam (1048-1131 M) ahli matematika dan astronomi, (8)  Tsabit bin Qurrah (826-901) ahli matematika dan astronomi, (9) Muhammad bin Zakaria Al Razy (825-925) ahli filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran, dan (10) Abu Musa Jabi Al Hayyan (722-804) ahli kimia.[1] Selain mereka, juga banyak ilmuwan Islam yang lain yang ikut berjasa mengembangkan IPTEK di dunia ini.

Mencari Ilmu, Melek Literasi

Mencari ilmu adalah kewajiban bagi seorang muslim dan muslimah. Mencari ilmu diwajibkan sejak seorang manusia lahir hingga meninggal dunia, dan umat Islam diwajibkan mencari ilmu walau harus pergi ke negeri China. Hal tersebut menunjukkan bahwa ajaran Islam mendorong umatnya agar menjadi manusia-manusia yang berilmu. Dengan ilmu yang dimilikinya, mereka diharapkan dapat menjadi pelita bagi yang lain, dan dapat beramal shaleh. Kebaikannya akan terus mengalir baik di dunia maupun di akhirat, karena ajaran Islam berpesan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain.

Dalam ajaran Islam, orang yang beriman dan berilmu akan diangkat derajatnya. Dalam QS Al Mujaadillah ayat 11 Allah SWT berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”.Lalu pada QS Az-Zumar ayat 9, Allah SWT berfirman,“Katakanlah (wahai Muhammad) apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Selain kewajiban mencari ilmu, Islam juga adalah agama yang memerintahkan untuk memuliakan orang yang berilmu. Rasulullah SAW bersabda “Jadilah engkau orang berilmu, atau orang yang menuntut ilmu, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau orang yang menyukai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima maka kamu akan celaka” (HR. Baihaqi).

Rasulullah SAW memerintahkan umatnya menjadi ‘Alim (orang berilmu, guru, pengajar). Jika belum sanggup, jadilah Muta’allim (orang yang menuntut ilmu, murid, pelajar, santri) atau menjadi pendengar yang baik (Mustami’an), paling tidak. menjadi Muhibban atau pecinta ilmu, simpatisan pengajian, donatur lembaga dakwah dan pendidikan dengan harta, tenaga, atau pikiran, atau mendukung majelis-majelis ilmu. Dan Rasulullah  SAW menegaskan, jangan jadi orang kelima (Khomisan), yaitu tidak jadi guru, murid, pendengar, juga tidak menjadi pendukung. Celakalah golongan kelima ini.

Indonesia adalah negara yang jumlah penduduk muslimnya paling besar di dunia. Dari sekitar 254,9 juta orang penduduk (Susenas BPS 2014-2015), diperkirakan sekitar 80 persen adalah muslim, dan sisanya adalah non muslim. Idealnya, Indonesia harus menjadi negara yang mempelopori bahkan menjadi basis gerakan literasi di dunia, mengingat wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah suratIqrasebagai simbol perintah membaca yang merupakan salah satu bentuk kemampuan literasi dasar, tetapi pada kenyataannya, justru negara-negara yang mayoritas berpenduduk non muslim yang memiliki tingkat literasi yang tinggi. Literasi adalah kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Kemampuan membaca dan menulis merupakan literasi paling mendasar.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO 2012) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Itu artinya, pada setiap 1.000 orang hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tidak usah dibandingkan dengan Jepang dan Amerika yang rata-rata membaca 10-20 buku pertahun. Jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan ASEAN, yang membaca 2-3 buku per tahun, kita pun masih sangat ketinggalan. (Kompas, 22/02/2016).

Hal tersebut di atas perlu menjadi bahan bahan evaluasi sekaligus bahan refleksi bagi umat Islam di Indonesia, hal apa yang menyebabkan umat Islam justru kualitas literasinya kalah dengan bangsa lain yang mayoritas non muslim. Ketika masyarakat Jepang lebih senang membaca buku ketika menunggu kereta di stasiun, maka banyak masyarakat Indonesia yang lebih asyik memainkan gadget¸online, atau chatting,walau mungkin saja ada diantaranya yang membaca e-book atau berita dari media Online.

Membaca adalah simbol peradaban sebuah bangsa yang haus akan ilmu pengetahuan. Membaca adalah simbol bangsa yang modern dan memiliki peradaban tinggi, bangsa yang masyarakatnya mau terus menghasilkan kreativitas dan inovasi baru.

Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan pendidikan dan khususnya literasi memacu kepada umatnya untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, selalu menfaatkan waktu, dan jangan termasuk orang merugi. Dalam Islam ada ungkapan"Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, maka dia termasuk orang yang beruntung. Barangsiapa yang hari ini sama (dengan kemarin) maka dia telah lalai (merugi), barangsiapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin maka dia terlaknat (binasa)." Berdasarkan kepada hal  tersebut, mari kita menjadikan ajaran Islam sebagai dasar atau semangat untuk membangun dan menggerakkan budaya literasi untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Umat Islam harus menjadi pelopor, bukan pengekor. Wallaahu A’lam

Sumber:
https://www.kompasiana.com/idrisapandi/573931c0117b61f6043ccf96/islam-dan-budaya-literasi?page=all

Kamis, 21 Februari 2019

SECANGKIR TAFSIR Keutamaan al-Fatihah


 Keutamaan al-Fatihah

 Surah al-Fatihah ibarat taman Qurani, hati kita menyelami keindahannya setidaknya setiap kali melaksanakan shalat. Bahkan, surah ini juga dinamai "ash-Shalat". Selain karena dibaca pada setiap rakaat shalat, juga karena ada sebuah hadis : 

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ( يقول الله تعالى: قسمت الصلاة بينى وبين عبدى نصفين)

Rasulullah saw. bersabda, 'Allah berfirman: "Ash-Shalat (maksudnya surah al-Fatihah) dibagi di antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian," (HR Muslim).

Lebih lengkapnya, hadis shahih itu menunjukkan dialog ruhani yang menggetarkan antara seorang hamba dan Rabb-nya ketika shalat. Mari kita simak sejenak dengan hati yang tenang.

عن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: قال الله تعالى: قسمت الصلاة بينى وبين عبدى نصفين, ولعبدى ما سأل, فإذا قال العبد: الحمد لله رب العالمين, قال الله: حمدنى عبدى, فإذا قال: الرحمن الرحيم, قال الله: أثنى علي عبدى, فإذا قال: مالك يوم الدين, قال: مجدنى عبدى, فإذا قال: إياك نعبد وإياك نستعين, قال الله: هذا بينى وبين عبدى ولعبدى ما سأل, فإذا قال العبد: اهدنا الصراط المستقيم صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم ولا الضالين, قال الله: هذا لعبدى ولعبدى ما سأل)) [رواه مسلم]

Abu Hurairah menuturkan: "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Allah berfirman, ‘Aku membagi surah al-Fatihah antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Bagi hamba-Ku adalah apa yang dipintanya. Apabila hamba-Ku membaca Alhamdulillahi rabbil 'alamin, Allah berfirman: "Hamba-Ku telah memuji-Ku." Apabila hamba membaca Ar-rahmanirrahim, Allah berfirman, "Hamba-Ku telah menyanjung-Ku." Apabila hamba membaca Maliki yaumiddin, Allah berfirman, "Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku." Apabila hamba membaca Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, Allah berfirman, "Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Bagi hamba-Ku adalah apa yang dimintanya." Apabila hamba membaca Ihdinas shirathal mustaqim, shiratalladzina an'amta 'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim waladdhallin, Allah berfirman, "Ini untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku adalah apa yang dimintanya," (HR Muslim).

Inilah ungkapan doa yang paling lembut dan intim yang dipanjatkan hamba kepada Tuhannya. Inilah pernyataan tentang kebenaran mendasar; munajat santun yang mengekpresikan kerendahan manusia di hadapan keagungan dan kemahakuasaan Allah. Shalat merupakan ungkapan permohonan hamba untuk mendapatkan petunjuk, bimbingan, ridha dan perlindungan Allah agar kita berhasil menjalani hidup sebagai hamba dan khalifah-Nya.

Selain dinamai "ash-shalah", banyak nama lain yang diberikan kepada surah ini untuk menunjukkan keutamaannya. Mari kita kenali apa saja nama-nama itu dan mengapa disebut demikian: (1) al-Kafiyah [yang mencukupi], karena apabila dibaca ia dapat mencukupi surat-surat lainnya. Rasulullah saw. bersabda, "Ummul Qur'an (surah al-Fatihah) itu pengganti bagi yang lainnya, namun yang lainnya bukanlah pengganti dari Ummul Qur'an" (HR. Imam Dailami); (2) al-Asas [fondasi] karena surah yang pertama kali turun, maka ia seperti dasar Al-Qur'an; (3) ad-Du'a [doa] karena di dalamnya tercantum doa, "Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus;” (4) as-Su'al [meminta] karena di dalamnya terdapat ayat yang berisi permintaan dari hamba kepada Allah. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang selalu meminta kepada-Ku dengan disertai berzikir, maka Aku akan memberinya yang lebih baik daripada yang diberikan kepada mereka yang hanya meminta saja (tapi tidak disertai dengan berzikir)" (HR. Turmudzi); (4) asy-Syifa [penyembuh] karena ia obat yang dapat menyembuhkan penyakit. Rasulullah saw bersabda: "Surah al-Fatihah itu adalah obat dari segala racun" (HR. Bukhari).

Dalam hadis lain, Abu Sa'id al-Khudri juga menuturkan sebuah kisah. Suatu saat beberapa orang sahabat melewati seorang laki-laki yang sedang kemasukan jin kafir. Lalu salah seorang dari para sahabat tadi membacakan surat al-Fatihah di telinganya, dan dengan izin Allah, orang yang kerasukan tersebut sembuh seketika.

Kejadian itu lalu dikisahkan kepada Rasulullah saw., dan beliau bersabda: 

هي أم القرآن, وهي شفاء من كل داء

“Surah al-Fatihah adalah induk Al-Qur'an, dan ia juga obat segala penyakit" (HR. Bukhari)

Jumat, 15 Februari 2019

Thariqah Menurut Habib Luthfi Bin Yahya



Thariqah Menurut Habib Luthfi Bin Yahya

Ma’rifat adalah “mengerti dan mengenal”. Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau mengenal sudah pasti mengerti. Jadi ma’rifat di sini adalah mengenal Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui sifat-sifatNya, baik yang wajib, mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru pondasi. Untuk mengenal lebih jauh kita harus sering-sering mendekati Allah swt. agar Allah juga mendekat dengan kita.

Makhluk Allah banyak yang mengerti tapi tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini, kita belajar mengenal Allah dan Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak semudah yang kita bayangkan, diperlukan ritual-ritual khusus untuk bisa lebih dekat dengan Allah dan agar kita juga tidak lalai dengan Allah.

Bila dalam mengenal Allah kita sudah dapat saling mengenal, berarti kita sudah semakin dekat dengan Allah. Tapi pasti pengenalan seseorang dengan Allah berbeda-beda, tergantung dengan tahapan-tahapannya. Itulah pentingnya wirid untuk mencapai tingkatan kema’rifatan yang tinggi.

Sebenarnya dalam thariqah yang dikhususkan adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub atau tazkiyatunnufus. Sedangkan bacaan-bacaannya (wiridan) adalah sebagai nilai tambahan untuk pendekatan kepada Allah Swt.

Thariqah sebagian besar adalah mengamalkan kalimat “La ilaha illallah” atau kalimat “Allah” sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan oleh thariqah itu sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam hati atau pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).

Wirid yang paling baik sebenarnya adalah membaca Al-Qur’an, karena dalam hadits dijelaskan bahwa “Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah Al-Quran”. Dialog dengan Tuhan adalah wirid yang paling indah. Kemudian membaca kalimat thayibah seperti lafadz “La ilaha illallah”, maka Allah akan menjamin surga bagi para pembaca kalimat tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya seperti istighfar, shalawat, tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu semua juga adalah kalimat-kalimat yang sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang biasa dibaca oleh para jamaah thariqah.

Memang tidak dapat kita pungkiri bahwa, Thariqah juga amalan yang tidak gampang untuk dijalani. Karena apabila terjadi kelalaian dalam pengerjaannya kita akan berdosa, sebab amalan dalam thariqah adalah suatu keharusan (kewajiban) untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari segi positifnya memang thariqah tersebut adalah proses kita untuk lebih mengenali Allah.

Disamping itu, thariqah dapat melepaskan kedua penyakit hati yang ada pada diri kita; untuk mengatasi kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran yang ada. Sebab amalan dalam thariqah adalah kewajiban maka orang akan berhutang apabila tidak mengerjakan amalan tersebut, dan akan mengerjakannya walaupun dalam keadaan apapun. Dan thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas yang terdapat dalam dirinya yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa kepada Allah Swt.

Kalau seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati setidaknya orang tersebut mempunyai ketertarikan terhadap thariqah tersebut, karena kalau dilihat dari fungsi thariqah adalah menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu mengamalkan dzikirnya. Karena dari dzikir tersebut orang akan selalu tenang dan sabar dalam menghadapi setiap masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut akan selalu merasa dekat dengan Allah.

“Thariqah berusaha untuk menghilangkan sifat-sifat yang kurang terpuji melalui dzikrullah, menghias sanubari, dan menumbuhkan cinta yang sejati kepada Allah, Rasulnya sampai cinta kepada tanah airnya. Dan meningkatkan rasa nasionalisme yang sejati, menghargai dan mensyukuri atas segala pemberian Allah seperti tanah air yang kita cintai ini.” (Kata Habib Lutfi dalam pembukaan Muktamar ke XII JATMAN pada 15 Januari 2018)

Kaitan Thariqah dan Syariat

Kalau kita pahami lebih lanjut, thariqah dan syariat sebenarnya memang tidak dapat dipisahkan, karena tujuan keduanya sama yaitu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang berthariqah tetapi ia meninggalkan syariat, maka itu juga salah karena ia telah meninggalkan kewajibannya.

Imam Malik berkata, “Barang siapa bersyari’at tanpa berhakikat (thariqah), niscaya ia akan menjadi fasik. Sedangkan berhakikat (berthariqah) tanpa bersyari’at, niscaya ia akan menjadi zindik. Barang siapa yang menghimpun keduanya (syari’at dan hakikat), ia benar-benar telah berhakikat.” Syari’at, Thariqah, dan Ma’rifat, inilah trilogi keseluruhan Agama Islam yang memenuhi aspek dzahir dan batin

Thariqah adalah buah dari syariat. Jadi kalau berthariqah tidak boleh lepas dari pintunya dahulu yaitu syariat. Karena syariatlah yang mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari mulai aqidah, keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kitab Allah, para rasul, hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan dengan syariat pula kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.

Setelah kita dapat menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah memgetahui hukum-hukum dalam syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu menuju thariqah dan belajar untuk mengenal Allah. Maksudnya bahwa thariqah adalah tingkatan bagi orang yang sudah cukup ilmunya, terutama yang sudah diwajibkan syariat. Karena tidak semua orang langsung dapat menuju pada tingkat thariqah.

Orang yang menuju thariqah haruslah mengetahui Allah, seperti mengetahui tentang sifat wajib dan mustahil Allah, dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz) Allah. Orang tersebut juga mengetahui tentang hukum-hukum dalam beribadah, seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal yang membatalkan wudhu, rukun shalat serta hal-hal yang membatalkan dalam shalat. Dan juga orang tersebut dapat membedakan mana yang halal dan yang haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah dapat terpenuhi maka tidak ada salahnya apabila orang tersebut masuk ke dalam thariqah.

Antisipasi dalam Berthariqah

Perlu diketahui juga bahwa sufisme itu sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Jika kita tertarik pada thariqah atau perkumpulan dzikir tertentu, kita juga harus mengetahui tentang perkumpulan tersebut. Karena di jaman sekarang banyak organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan mereka dan menyelewengkan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan.

Maka untuk mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti apakah thariqah tersebut dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut. Meskipun dalam dzikir yang dibaca itu memang dari Rasulullah Saw., namun terkadang ada kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari ajaran sehingga keluar dari jalan yang benar dan menyesatkan.

Pada thariqah yang kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah Qadiriyah, Syadziliyah, Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN), jumlah thariqah yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan muktabar atau tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya, kedua dari ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur atau tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai (sanad) dengan guru yang jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.

Guru thariqah yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti tentang agama. Jika tidak mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti tentang agama? Sebab orang yang telah menapak jalur thariqah haruslah sudah sempurna syariatnya dan guru tersebut juga telah menjalankan semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang guru. Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu agama minimal bisa dilihat dari bacaan Al-Qur’annya. Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat antara lain dari kefasihannya membaca ayat-ayat Al-Qur’an.

Memang dalam kenyataannya, terkadang banyak orang yang bingung tentang thariqah, ada yang ingin masuk tetapi belum sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum mengetahui tentang pentingnya berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk pada thariqah maka keimanan kita akan terbimbing. Disitulah peran para guru mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, ma’rifat kita tidak salah dan tidak sembarangan menempatkan diri sebab ada bimbingan dari mursyid tersebut.

Antara Berthariqah dan Tidak

Bagaimana dengan orang yang tidak berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui syariatnya dahulu, artinya kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh setiap individu sudah dapat dipahami. Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para rasulNya. Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya kita perlu meyakini apa yang telah disampaikannya, seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji bagi yang mampu. Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan Islam seperti shalat, wudhu dan lain-lain.

Orang yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan orang yang menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui seorang mursyid. Sebagai contoh kalau kita ingin ke Mekkah dan kita belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu berbeda dengan orang yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.

Orang yang tidak mengenal sama sekali tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan informasi dan kemampuannya maka itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena pembimbing tadi sudah berpengalaman dan akan mengantar ke rukun yamani, sumur zamzam, makam Ibrahim, dan lain-lain. Meski orang tersebut sudah sampai ke Ka’bah namun apabila tidak tahu rukun yamani, dia tidak akan mampu untuk thawaf karena tidak tahu bagaimana memulainya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin berthariqah haruslah melalui para guru atau mursyid, agar jalan yang ditempuh dapat berjalan dengan baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.

Agama Islam adalah agama yang fleksibel, yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak memberatkan kepada umatnya tentang suatu ibadah. Dalam arti orang Islam melakukan suatu ibadah itu menurut kemampuannya masing-masing, karena kemampuan seseorang dengan orang yang lain tentu berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa tingkatan-tingkatan seseorang dalam beribadah kepada Allah pun berbeda-beda pula. Memang tujuannya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan tetapi tentu hasilnya akan berbeda menurut dengan usaha yang dilakukan.

Dalam beribadah tentu sekelompok orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai kesempurnaan untuk dapat mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara tersebut sah-sah saja asal tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh syariat, dan tidak menyesatkan.

Kaitan Thariqah dan Tasawuf

Tasawuf adalah salah satu usaha peniadaan diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh oleh seorang sufi, melalui ritual-ritual khusus dan amalan-amalan yang berbeda-beda pula. Amalan-amalan tersebut ditunjukan untuk menyanjung Allah dan mengakui kebesaran Allah Swt. Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan penyayang. Barangsiapa yang ingin berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah akan mengabulkannya.

Salah satu ungkapan yang sangat masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam dari dahulu hingga sekarang adalah man arafa nafsahu arafa rabbahu.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
Artinya, “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Ibnu Taimiyah menilainya sebagai hadits maudhu’. Sedangkan Az-Zarkasyi dalam hadits-hadits masyhurnya mengutip perkataan Imam As-Sam’ani yang menyebutkan bahwa ungkapan itu merupakan perkataan dari seorang ulama sufi terkenal Yahya bin Muadz Ar-Razi.

Walau ungkapan di atas merupakan hadits maudhu’ dan hanya perkataan salah seorang ulama yang bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi yang terlanjur dianggap sebagai hadits oleh sebagian kalangan, namun maknanya sangat mendalam.

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.

Thariqah itu min ahli la ilaha illallah, dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman dan Islam lalu Ihsan. Makna Ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah. Kalau tidak mampu, kita harus yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt. Dengan merasa didengar dan dilihat oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang Maha Kuasa.

Tasawuf itu sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari berbagai sifat yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang namanya saling dengki dan saling iri, justru yang muncul adalah saling mengisi.

Tasawuf itu buah dari thariqah. Pakaian thariqah adalah tasawuf yang bersumberkan dari akhlak dan tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk masjid mendahulukan kaki kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain, sebelum makan baca Basmalah dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam tasawuf sebagai bentuk rasa terimakasih kepada yang memberi rejeki. Kita ambil satu butir nasi yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita tidak bisa membuat butir nasi, lalu kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.

Nah, kalau syariat itu terbatas. Maka jika syariat yang diberlakukan, orang mabuk tidak boleh berdekatan dengan orang Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian, mereka harus diajak bicara, mengapa mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk dengan pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga wibawa pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada ketidakcocokan. Akan tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.

Berthariqah dan Batasan Usia

Jika belajar dzikir kepada Allah Swt. menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai tua. Bagaimana kalau masih muda meninggal? Yang terpenting adalah mereka mengerti tata urutan berthariqah, mengerti syarat dan rukunnya dulu seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan mustahil Allah, mengetahui halal dan haram.

Kalau menertibkan hati menunggu tua, nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak usia muda seyogyanya mereka mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah An-Nahdliyyah).

Apakah boleh mengikuti baiat thariqah, padahal masih belajar ilmu syariat? Setiap Muslim tentu boleh, bahkan harus, berusaha menjaga serta meningkatkan kualitas iman dan Islam di hatinya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan berthariqah. Namun berthariqah sendiri bukan hal yang sangat mudah. Karena, sebelum memasukinya, seseorang harus terlebih dulu mengetahui ilmu syariat. Tapi juga bukan hal yang sangat sulit, seperti harus menguasai seluruh cabang ilmu syariat secara mumpuni.

Yang diprasyaratkan untuk masuk thariqah hanya pengetahuan tentang hal-hal yang paling mendasar dalam ilmu syariat. Dalam aqidah, misalnya, ia harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Dalam fiqih, ia sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat, lengkap dengan syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan oleh agama.

Jika dasar-dasar ilmu syariat sudah dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja ia tetap mempunyai kewajiban melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa dikaji sambil jalan. Syariat lainnya adalah umur yang cukup (minimal 8 tahun), dan khusus bagi wanita yang berumah tangga harus mendapat izin dari suami. Jika semuanya sudah terpenuhi, saya menghimbau segeralah ikut thariqah.

Semua thariqah, asalkan mu’tabarah, ajarannya murni dan silsilahnya (sanad) bersambung sampai Rasulullah Saw., sama baiknya. Karena semua mengajarkan penjagaan hati dengan memperbanyak dzikrullah, istighfar dan shalawat. Yang terpenting, masuklah thariqah dengan niat agar kita bisa menjalankan Ihsan, jangan masuk thariqah karena khasiatnya atau karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.
 
Disadur dari Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan). Beliau merupakan Rais ‘Amm JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah).

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer