Islam
sebagaimana yang dikatakan banyak ulama merupakan agama yang mengatur semua
dimensi kehidupan manusia dimulai dari hal-hal yang sepele seperti istinja,
memotong kuku, pengobatan dan lain-lain sampai ke urusan-urusan yang lebih
kompleks seperti urusan pemerintahan, perang dan seterusnya. Semua aspek
kehidupan ini dibahas secara tuntas dalam kitab-kitab fikih.
Karena
mengatur semua aspek kehidupan ini, tokoh feminis dari Perancis, Caroline
Fourest, ketika berdebat dengan Tariq Ramadhan dalam sebuah stasiun televisi
swasta Perancis, menilai bahwa Islam merupakan agama yang totaliter. Disebut
totaliter karena totalitas kehidupan manusia mulai dari bangun tidur sampai
tidur kembali diatur oleh Islam tanpa ada celah sedikit pun bagi kreatifitas
manusia. Sebut saja dalam bahasa Indonesia Islam yang demikian ini namanya Islam
kafah.
Namun
tidak seperti pandangan ahli fikih pada umumnya yang cenderung merumuskan teori
fikihnya atas dasar prinsip apa yang seharusnya (Das sollen), Ibnu Khaldun yang
dikenal dengan pemikiran realisnya memiliki pandangan ini terkait apa yang disebut
sebagai Islam Kaffah ini. Kata Ibnu Khaldun, syariat tidak memberikan aturan
tertentu yang mengatur semua detail-detail kehidupan kita. Wahyu seperti yang
dikatakan Ibnu Khaldun biasanya hanya menjelaskan soal kewajiban-kewajiban
syariat (takalif syariyyah). Adapun di luar itu, yakni yang berurusan dengan
urusan-urusan kehidupan, urusan masyarakat dan pemerintahan, semuanya kata Ibnu
Khaldun harus diserahkan kepada akal, bukan syariat.
Ibnu
Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah memberikan alasan kenapa syariat hanya
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan agama saja demikian:
فإنه صلى الله عليه وسلم إنما بعث
ليعلمنا الشرائع، ولم يبعث لتعريف الطب أو غيره من العاديات، وقد وقع له في شأن
تلقيح النخل ما وقع. فقال: أنتم أدرى بشؤون دنياكم
“Nabi
Muhammad SAW diutus bagi umat manusia untuk mengajarkan ajaran-ajaran
keagamaan, dan bukan diutus untuk mengajarkan kita apa itu pengobatan atau
kedokteran atau semua aspek kehidupan lainnya. Dalam urusan dunia, seperti yang
dapat dilihat pada hadis pengkawinan kurma, Nabi menegaskan: kalian lebih tahu
tentang urusan dunia kalian.
Di antara
urusan yang bersifat duniawi ialah persoalan pemerintahan dan kemasyarakatan.
Kata Ibnu Khaldun kehidupan manusia dapat berjalan melalui pemerintahan seorang
kepala negara atau melalui kebijakan-kebijakannya yang didasarkan kepada
ashabiyyah . Jadi tidak melalu harus yang berbau syariat. Seorang pemimpin atau
kepala negara, kata Ibnu Khaldun, ketika memimpin tidak mesti harus dengan
syariat.
Demikian
juga dalam soal menegakkan keadilan dan menghindari konflik antara sesama
manusia, Ibnu Khaldun menegaskan bahwa hal demikian cukup dengan:
معرفة كل واحد بتحريم الظلم عليه بحكم العقل، فادعاؤهم أن ارتفاع التنازع إنما
يكون بوجود الشرع هنا ونصب إمام هناك، غير صحيح، بل كما يكون بوجود الرؤساء أهل الشوكة
أو بامتناع الناس عن التنازع والتظالم.
“Masing-masing
individu mengetahui bahwa kezaliman itu dilarang berdasarkan pertimbangan
nalar, bukan pertimbangan yang melulu syariat. Ada sebagian orang yang
berpandangan bahwa usaha untuk menghilangkan permusuhan antara sesama manusia
hanya dapat dilakukan dengan adanya penerapan syariat agama dan penunjukkan
seorang pemimpin di dalamnya. Pandangan ini jelas tidak benar.
Tanpa perlu
syariat, penunjukkan pemimpin pun bisa dilakukan asalkan ia ditunjuk berdasarkan
ashabiyyah.dengan ashabiyyah ini, konflik dapat terhindarkan.”
Dalam kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa bagi Ibnu Khaldun hukum-hukum
permerintahan dan politik harus berlandaskan kepada pertimbangan nalar dan
tidak mesti menggunakan syariat.
Bagi Ibnu
Khaldun, inti dari dibuatnya hukum pemerintahan dan politik terletak kepada
usaha untuk menghindari mafsadat dan mewujudkan kemaslahatan. Yang demikian ini
hanya bisa diketahui melalui pertimbangan akal dan pengalaman dan bukan syariat
agama. Atas alasan itu, Ibnu Khaldun kemudian mempertegas demikian dalam kitab
al-Muqaddimah:
هذه المعاني التي يحصل بها ذلك لا تبتعد عن الحس كل البعد، ولا يتعمق فيها
الناظر، بل كلها تدرك بالتجربة، وبها تستفاد لأنها معان جزئية تتعلق بالمحسوسات،
وصدقها وكذبها يظهر قريبا في الواقع.
“Persoalan-persoalan
pemerintahan dan politik merupakan persoalan yang sangat konkrit dan tak perlu
bagi kita untuk mengabstraksikannya lebih jauh. Semuanya dapat dipahami melalui
pengalaman. Melalui pengalaman ini pula, persoalan-persoalan particular dapat
diketahui melalui kondisi riilnya. Kebenaran dan kekeliruan solusi bagi
persoalan-persoalan ini juga dapat dilihat pada dunia kenyataannya.”
Semua
persoalan masyarakat, pemerintahan dan politik dapat diselesaikan dengan
menggunakan pertimbangan akal. Hal demikian karena semua persoalan itu masuk ke
dalam ranah dan batasan-batasan akal dan sekali lagi, bukan syariat. Jadi
syariat tidak harus melulu mengatur semua kehidupan manusia dan
detail-detailnya. Syariat mungkin hanya memberikan kaidah-kaidah umum saja yang
didasarkan kepada pertimbangan maslahat dan kemudaratan.
Simpulnya,
sebagian muslim yang selalu melihat persoalan-persoalan di Indonesia yang
meliputi kapitalisme, liberalisme, ketidakadilan, penindasan, kezaliman dan
seterusnya dan menawarkan khilafah sebagai satu-satunya solusi serta kembali
kepada Islam kaaffah jelas dalam pandangan Ibnu Khaldun tidaklah benar. Ibnu
Khaldun menegaskan bahwa semua persoalan itu jelas solusianya harus menggunakan
akal dan pertimbangan pengalaman dan bukan khilafah dan Islam kaffah. Dalam
logika Ibnu Khaldun, semua solusi ada di agama itu tidak realistis. Allahu Alam
Sumber: bincangsyariah.com