Pages

Senin, 28 Oktober 2019

Ketika Imam Syafi'i Meragukan Firasatnya


Sumber gambar: islami.co
Dalam kitab Manaqib asy-Syafi’i lil Baihaqi diceritakan Imam Syafii sedang mencari penginapan untuk istirahat. Dalam pencarian itu, Imam Syafii bertemu dengan seorang lelaki. 

Menurut ilmu firasatnya (selain menguasai ushul fikih dan fikih, Imam Syafii juga menguasai ilmu firasat), lelaki tersebut berperangai buruk.

“Apakah di sini ada penginapan, Pak? Saya dalam perjalanan dan butuh penginapan,” kata Imam Syafii.

“Ya. Ada. Ini tempatnya. Monggo nginap di rumah saya,” jawab laki-laki itu.

Lelaki itu melayani dengan baik. Menghidangkan makanan lezat dan tempat singgah yang nyaman seolah sedang dalam hotel. Sikap yang ditunjukkan lelaki itu membuat Imam Syafii merasa ilmu firasatnya keliru.

Keesokan harinya saat hendak melanjutkan perjalanan, Imam Syafii berpamitan, “Pak, jika sedang pergi ke Makkah, mampirlah di rumah saya,” kata Imam Syafii dengan harapan agar bisa membalas kebaikan si lelaki.

Namun orang ini malah bertanya aneh, “Apakah engkau seorang budak?”
“Bukan, Pak. Saya bukan budak.”
“Lalu apakah aku memiliki kewajiban menanggung harta terhadapmu?”
“Tidak ada kewajiban, Pak. Memangnya mengapa?” tanya Imam Syafii.
“Bagus. Kalau begitu, berikan kepadaku bayaran atas apa yang aku berikan padamu tadi malam.” Jawab laki-laki itu.
“Hah? Apa itu, Pak?” tanya Imam Syafi’i.

“Kan aku sudah memberimu makanan dan penginapan. Itu semua ndak gratis, Saudara. Harga makanan yang kuberikan padamu itu dua dirham. Lauknya harganya sekian. Minyak wangi tiga dirham. Juga makanan untuk tungganganmu dua dirham. Sedangkan sewa alas tidur dan bantal dua dirham,” kata laki-laki itu memperinci.

Imam Syafii tersenyum sambil menghampiri lelaki itu. “Ada lagi yang lain?”

“Ya. Ada. Biaya sewa rumah. Aku telah menyediakan untukmu sedangkan aku sendiri merasa kesempitan. Sini bayar!”

Melihat perilaku orang itu. Imam Syafii pun merasa dugaannya salah. Dan ilmu firasatnyalah yang benar. Lalu Imam Syafii membayar uang sebesar permintaan lelaki tersebut.

[Dikutip dari alif.id]

Ibn SIna dan Warisan Pemikirannya dalam Islam

Sumber gambar: thesciencefaith.com
Islam pada masa jayanya banyak melahirkan tokoh-tokoh yang berkontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu tokoh ilmuwan Islam yang selalu dibicarakan dari masa ke masa adalah Abu Ali Sina atau yang lebih dikenal sebagai Ibnu Sina. Sementara, dunia Barat mengenalnya dengan nama Avicenna.

Ibnu Sina adalah seorang ilmuwan Persia yang lahir tahun 980 M di Afsana, sebuah desa dekat Bukhara, Uzbekistan. Sejak kecil, kecerdasannya sudah terlihat. Itu terbukti pada umur 10 tahun, beliau sudah mampu menghafal Alquran. Daya ingat yang luar biasa ini didukung oleh lingkungan sekitarnya yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di Khurasan Raya. Oleh karenanya, ia dengan mudah dapat mengakses buku-buku dalam berbagai bidang ilmu.

Dari pergumulannya dengan banyak referensi, Ibnu Sina menemukan ketertarikan yang luar biasa dalam kajian filsafat dan kedokteran. Hingga pada umur belasan, beliau sudah diangkat menjadi dokter yang mengabdi pada penguasa dinasti Samaniyah yang menginduk ke Baghdad. Dalam bidang ini, bahkan ia mendapat gelar sebagai “Bapak Kedokteran Modern”. Karyanya yang berjudul Qanun fi al-Tibb telah menjadi rujukan dalam bidang kedokteran di Barat selama berabad-abad sampai masa renaisans

Walaupun Ibnu Sina menulis buku tentang medis, tetapi karyanya tentang filsafat jauh lebih banyak. Maka tak heran, jika ia dikenal juga sebagai filosof muslim seperti al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi yang mendahuluinya. Dalam berfilsafat, ia termasuk pendukung gagasan Aristoteles, sehingga digolongkan sebagai penganut tradisi peripatetik dalam Islam.    

Nampaknya menjadi dokter kerajaan tidak membuat Ibnu Sina puas. Ketertarikannya akan ilmu menuntun beliau untuk mengunjungi kota-kota lain di Persia seperti Gorgon, Rey, Isfahan dan Hamedan. Di kota terakhir, Hamedan inilah beliau menghabiskan masa senjanya sampai meninggal.

Pada kesempatan ini, saya ingin menelusuri jejak-jejak Ibnu Sina di Hamedan. Ketika berada di Hamedan, saya memahami alasan Ibnu Sina menjadikan kota ini sebagai pelabuhannya yang terakhir. Kota ini berada di dataran tinggi yang sangat cantik dengan bukit-bukit bertudung salju di sekelilingnya.  

Tak sulit untuk menemukan makam Ibnu Sina di Hamedan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, saya diarahkan untuk menuju medun-e imam. Medun-e imam ini merupakan sebuah bundaran yang memiliki banyak persimpangan. Dari sana, kita dapat berjalan kaki menuju makamnya.

Setelah 15 menitan berjalan, kita akan melihat sebuah monumen yang menjulang tinggi dan itu berati, kita akan sampai di tujuan. 

Makam Ibnu Sina bukan hanya sekedar makam, tetapi lebih ke sebuah komplek. Kompleknya ditandai dengan monumen tinggi berbentuk kerucut di atasnya. Di bawah monumen tersebut terdapat ruangan yang di dalamnya terdapat makam dan museum. Makamnya hanya dikelilingi oleh pagar setinggi lutut. Sementara, di museum terpampang barang-barang yang berhubungan dengan Ibnu Sina seperti alat-alat untuk meracik obat beserta ramuan-ramuan tradisional yang digunakan untuk pengobatan. 

Saya merasakan aura positif di makam Ibnu Sina seolah-olah ia hadir memberi wejangan. Raganya mungkin mati, tetapi warisan pemikirannya tetap abadi. Ia akan selalu dikenang sebagai salah satu ilmuwan Islam yang mumpuni. 

Namun, jika Ibnu Sina melihat keadaan umat Islam saat ini tentu ia akan merasa sedih. Dunia Islam sedang mengalami kemunduran yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Mereka masih sibuk dengan perselisihan dengan saudaranya sendiri. Hal ini diperburuk dengan kejumudan berpikir yang selalu mencurigai sesuatu yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, sebagian mereka ada yang anti filsafat, sebuah disiplin ilmu yang Ibnu Sina geluti. 

Kita seharusnya belajar dari sosok Ibnu Sina ini. Namanya harum hingga sekarang karena ia mampu berpikir secara terbuka dan kritis. Dalam proses belajarnya, selain Persia dan Arab, ia melahap buku-buku yang berasal dari tradisi India maupun filsafat Yunani. Keragaman informasi tersebut membentuk cara berpikir Ibnu Sina hingga mampu berinovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang ada. 

Jika kita selalu diliputi kecurigaan dan ketakutan terhadap perbedaan perspektif, maka kemajuan hanya akan menjadi angan-angan. Kita akan tetap menjadi kelompok yang tertinggal. Oleh karena itu, kita harus menghidupkan spirit Ibnu Sina untuk perkembangan yang lebih baik. 

[Dikutip dari alif.id]

Jumat, 11 Oktober 2019

Agama Cinta: Jalaluddin Rumi

Sumber gambar: desainart.net


Mengapa Jalaluddin Rumi menjadi penyair paling populer di Amerika Serikat (AS) saat ini? Padahal Ia sudah wafat lebih dari 800 tahun lalu. Ia juga berasal dari komunitas Muslim. Sementara Islam kini menjadi agama paling tidak populer di AS, dibandingkan agama besar lain.

BBC Culture Oktober 2014 mencoba mengulasnya, walau hanya sepintas. Buku puisi Rumi terjual jutaan kopi di AS, melampaui penyair kontemporer paling hebat dunia barat sekalipun. Puisinya dibacakan bukan saja di masjid, tapi juga di gereja, sinagog dan universitas Yang membaca puisi Rumi bukan hanya komunitas sastra serius. Para selebriti dunia ikut membacanya, seperti Madona, Demi Moore, Depak Chopra.

Ada apa dengan Rumi? Namun yang lebih penting lagi, ada apa dengan kita yang tetap menyukai penyair dari abad pertengahan itu?

Andrew Harvey seorang akademisi agama banyak menulis soal Jalaluddin Rumi. Ujarnya, Rumi mengkombinasikan tiga hal sekaligus. Ia mempunyai visi spiritual yang mendalam sekelas Budha atau Jesus. Ia juga memiliki renungan intelektual yang luas seperti Plato. Dan Ia juga mahir dalam menemukan kata-kata indah seperti Shakespeare.

Gabungan ketiganya membuat Rumi bukan saja relevan bagi dunia modern. Namun kedalaman visi spiritualnya, keluasan daya jangkau intelektualnya, dan keindahan puisinya tetap sulit terlampaui oleh penyair lain.

Rumi lahir di tahun 1207, di kota Balkh, yang sekarang ini menjadi wilayah Afganistan. Di usia 37 tahun, ia berjumpa dengan Shams Tabrizi, seorang mistikus. Selama tiga tahun mereka intens sekali berhubungan. Setelah itu, Shams menghilang tanpa jejak dan berita.

Aneka analisa dibuat untuk menjelaskan hubungan Rumi dan Shams Tabrizi. Sebagian menyatakan Shams adalah guru spiritual yang sangat dikasihi Rumi. Kepadanya Rumi banyak sekali belajar. Perjumpaan keduanya sering dikisahkan dengan aneka hal gaib.

Satu versi menyatakan Shams datang ketika Rumi sedang membaca buku. Shams bertanya apa yang anda baca. Dengan tak peduli Rumi menjawab, “anda tak akan mengerti.”

Lalu oleh Shams buku itu ia buang ke Sungai. Terburu Rumi menyelamatkan buku itu yang terendam di sungai. Ia kaget bukan kepalang. Ternyata buku itu sama sekali tidak basah.

Rumi balik bertanya kepada Shams: mengapa buku ini tidak basah? Padahal buku ini kau ceburkan ke sungai? Shams menjawab seperti jawaban Rumi sebelumnya: Anda tak akan mengerti.

Hubungan Rumi dan Shams begitu intens dan mesra. Sebagian menyatakan Shams adalah kekasih homoseksnya. Hilangnya Shams bahkan digosipkan karena ia dibunuh oleh orang dekatnya Rumi akibat kisah cinta homoseksual itu. Tapi tak pernah ada kepastian kebenaran soal homoseks tersebut.

Perjumpaan dengan Sham dan hilangnya sang guru secara misterius menjadi api dan bara dua buku penting Rumi: Diwan-e Shams dan Masnawi. Dua buku puisi ini buah perjalanan batin Rumi hampir 30 tahun, dari saat ia berusia 37 tahun, saat pertama berjumpa dengan Shams, sampai kematiannya di usia 66 tahun.

Diwan Shams buku cinta Rumi kepada Sang Guru. Kadang Sang Guru di sini berbentuk Shams Tabrizi. Kadang Sang Guru itu kiasan dari Tuhan. Buku ini terdiri dari 3,229 puisi dengan jumlah kalimat sebanyak lebih dari 40 ribu.

Sementara Masnawi puncak dari karya Rumi tentang perjalanan spiritual yang lebih umum. Masnawi dikerjakan Rumi lebih dari 15 tahun. Ia terdiri dari enam buku. Buku keenam tak kunjung selesai ketika Rumi wafat. Total buku Masnawi terdiri lebih dari 50 ribu baris.

Tapi mengapa Rumi penyair yang wafat 800 tahun lalu tetap menjadi penyair paling populer di masa digital kini?

Tentu analisa bisa beragam. Salah satunya manusia modern era digital semakin menjadi desa global. Mereka membutuhkan landasan spiritual dan moral universal bersama untuk semua. Ilmu pengetahuan sudah memberikan banyak. Namun kebutuhan meaning of life bagi sebagian tak bisa dipenuhi semata oleh ilmu pengetahuan.

Dunia modern tetap menyediakan agama dan aneka kepercayaan. Tapi ketika agama yang ada semakin menjadi formal dan melahirkan sekat-sekat primordial, sebagian membutuhkan spiritualitas yang mengatasi sekat itu.

Rumi menjadi suara spirtualitas universal yang melampaui sekat. Walau datang dari tradisi Islam, Rumi mampu membuatnya universal, tanpa batas  primordial. Dalam bahasa Rumi, ia menyelam jauh ke akar dari akar dari akar agama sehingga sampai pada hati yang menyatukan semua manusia.

Puisinya tidak memihak satu agama, seperti, “Agamaku adalah cinta. Setiap hati rumah ibadahku.” Atau ketika Rumi menulis, “Kucari Tuhan di Candi, Gereja dan Masjid. Namun kutemukan Tuhan justru di dalam hatiku.” Bahasa cinta Rumi gunakan. Itu membuatnya universal melampaui formalitas agama.

Banyak pula penyair dan pemikir lain menyatakan hal yang sama dengan Rumi. Namun Rumi tetap yang paling mampu merumuskannya dengan sederhana, dalam dan indah.

Persoalannya dimana mencari buku Diwan dan Masnawi itu? Seandainyapun ia mudah ditemukan di era internet, siapakah yang cukup menyediakan waktu membaca total sekitar 100 ribu baris puisi?

Padahal banyak sekali renungan indah dalam dua buku besar itu. Selama ini dua buku besar itu hanya dibaca oleh akademisi yang berminat atau penikmat sastra yang serius saja.

Bagaimana dengan jutaan orang awam yang tak punya minat sebesar itu? Mereka tak punya waktu sebanyak itu? Namun mereka tetap memerlukan pencerahan yang sama?

Tiada yang mengatur atau merekayasanya. Setiap kebutuhan akan melahirkan responnya. Kini bertebaran di internet aneka kutipan dan potongan puisi Rumi. Bahkan sebagian sudah divideokan.

Saya pun ikut ikhtiar ini. Awalnya ia menjadi hobi belaka dan pengisi waktu luang saja. Namun semakin saya intens bersentuhan dengan Rumi, semakin saya ingin mengerjakan sesuatu di sana secara lebih serius.

Saya bukan pelukis, tak berniat dan tak pula berbakat menjadi pelukis. Saya hanya membutuhkan medium yang pas, sebagai ekspresi batin saja.

Saya pun tak bermasalah jika keseluruhan karya yang disajikan dalam buku kecil  ini disebut coretan digital belaka, yang belum bernilai seni. Atau ada yang mengkategorikannya sebagai lukisan digital, atau seni editing foto, atau puisi bergambar, atau gambar berpuisi. Namun saya lebih senang menyebutnya Lukisan Digital Berpuisi.

Semua karya yang saya buat tak pula dimaksudkan untuk aneka target besar: mencerahkan dunia, dan sebagainya, dan sebagainya.

Karya ini dibuat hanya sebagai ekspresi batin saja. Setelah melalui aneka tahap, bentuk seperti sekarang itu yang paling sesuai dengan kebutuhan ekspresi saya.

Di dalam 44 karya itu, selalu ada kutipan puisi dari Jalaluddin Rumi. Kutipan puisi posisinya paling sentral sebagai pesan karya.

Walau sebagi teks kutipan saja, isi puisi sudah sangat kuat. Namun tambahan visualisasi akan semakin memperkaya. Apalagi gambar dapat menceritakan seribu kata, ujar peribahasa.

Saya tak melatih diri dengan ketrampilan melukis, memakai kuas, pensil, atau apapun. Namun software komputer sudah memudahkan siapapun untuk berkreasi dengan foto, warna, bentuk, dengan begitu cepatnya.

Toots komputer bisa menggantikan sapuan kuas dan arsir pensil. Layar handphone bisa menggantikan kanvas. Cak minyak, teknik arsir atau tinta air bisa digantikan oleh ikon warna di software.

Obyek foto juga tersedia dengan aneka topik dan aneka ragam di internet. Saya menggunakan semua obyek yang ada di internet selaku perpustakaan terlengkap yang pernah ada. Semua foto yang digunakan dalam 44 karya ini juga bukan karya saya. Mereka dari internet dan saya olah, gabungkan, edit, untuk mendapatkan imaji baru, agar sesuai dengan pesan puisi.

Siapakah yang disasar oleh karya ini? Saya bahkan tak memikirkan kepada siapa karya ini diperuntukan.

Ibarat burung, saya berkicau saja menikmati pagi dan sore. Saya hanya mengekspresikan suasana batin saja setelah membaca puisi Rumi.

Namun setelah karya selesai, tergambar segmen publik bagaimana yang sesuai dengan karya ini. Tentu pastilah  pasar yang sesuai bukan komunitas seni yang serius. Bukan pula para kritikus yang sudah matang dengan tekak tekuk teori dan sejarah lukisan. Itu semua jatahnya para seniman sejati, yang hidupnya memang total untuk seni.

Yang mungkin paling bisa menikmati karya saya adalah publik awam biasa. Mereka tak tak punya waktu panjang untuk membaca utuh Karya Rumi. Namun renungan Rumi harta tak ternilai untuk santapan rohani.

Mereka memang tak bisa hidup hanya dengan roti belaka. Mereka butuh renungan, sentuhan hati, inspirasi dan meaning of life.

Namun mereka hanya punya waktu 3-10 menit untuk menikmati sebuah karya. Mereka tak bisa dan tak bersedia misalnya menghabiskan 5 jam untuk intens membaca sebuah buku puisi atau novel.

Segmen ini asyik didekati dengan kutipan renungan yg diperkaya oleh photo Art, atau visual art.

Tapi apakah karya yang saya buat ini ada gunanya? Adakah manfaatnya? Ada guna atau tidak itu biarlah menjadi “kesunyian masing-masing.” Seperti kata Rumi: “Berkicaulah seperti burung. Tak usah peduli apakah ada yang mendengar. Tak usah peduli apa yang mereka pikirkan.”

Karya ini awalnya memang hanya hobi saja. Namun alhamdulilah jika bisa menyentuh hati satu orang sekalipun.

(Dikutip dari pengantar buku “Agama Cinta: Jalaluddin Rumi Dalam Lukisan Digital” karya Denny JA)

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam, kami sajikan versi luring/ offline pdf di atas pada link pdf di bawah ini

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer