Pages

Selasa, 16 Mei 2023

Peta Gerakan Feminisme Muslim di Indonesia

Sumber gambar: bincangmuslimah.com

Membincangkan Arah Gerakan Feminisme Muslim di Indonesia penting dan relevan pada saat ini. Ada sekurangnya tiga alasan yang Alimatul Qibtiyah ajukan. Pertama, adanya kompleksitas wacana perempuan dalam berbagai upaya peningkatan kesadaran perempuan dan persoalan yang dihadapi perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, aspek perempuan setidaknya diperdebatkan dalam wacana seputar status, tubuh, peran, dan pemikirannya. Status perempuan sering dipahami sebagai makhluk atau jenis kelamin nomor dua (second sex). Tubuh perempuan, sering dihubungkan dengan simbol kesucian, kesuburan, pemuas, hingga disebut sebagai sumber mala petaka. Adapun, peran perempuan, dianggap mengurusi wilayah dapur, sumur, kasur, mendidik anak, hingga sebagai penentu masa depan bangsa. Sehingga, partisipasi perempuan dalam peran-peran tersebut, pada gilirannya juga dikait-kaitkan dengan preferensi pemikiran perempuan yang membagi perempuan dalam berbagai kelompok pemikiran

 

Alasan kedua, kompleksitas wacana perempuan tersebut mengantarkan pada dinamika dan sekaligus ketegangan mengenai pemahaman feminisme, baik di internal kelompok muslim, dan juga di antara feminis muslim dengan pemahaman gerakan feminis lainnya (baca: Barat). Di internal muslim sendiri terdapat perbedaan subtansial antara penafsiran kelompok progresif, moderat dan konservatif. Oleh kelompok konservatif dan mesoginis, misalnya, tafsir agama tentang tubuh dan peran perempuan diposisikan sebagai mahluk lemah, sensitif dan penyayang. Sehingga, menurut mereka sudah sewajarnya perempuan ditempatkan di rumah dengan peran mengurus anak. Para feminis muslim yang cenderung dekat dengan tafsir moderat dan progresif menolak tafsir ini karena justru bertentangan dengan semangat Islam memuliakan perempuan di segala lini kehidupan, baik di dalam keluarga maupun di masyarakat.

 

Para feminis muslim justru menggugat semangat beragama konservatif tidak sejalan dengan ajaran Rosulullah SAW yang menempatkan perempuan seimbang dan setara dengan laki[1]laki.1 Rosulullah diceritakan melakukan tugas domestik dan tidak menghalangi peran publik perempuan. Data sejarah menunjukan jumlah ulama dan ilmuan perempuan sangat banyak di zaman Rasulullah dan jumlahnya terus berkurang sejak beliau wafat sampai abad ke-5 Hijriah, dan mulai terekam kembali keberadaannya semakin bertambah setelah abad ke 6 Hijriah sampai sekarang.

 

Di dalam literatur sejarah peradaban Islam juga disebutkan bahwa pendapat publik perempuan berperan penting dalam proses turunnya wahyu, seperti turunnya ayat 35 dari surat al-Ahzab yang diawali oleh pertanyaan Ummul Mukminin Ummu Salamah ra tentang nilai-nilai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Selain itu, pernah 60-an sahabiyat (perempuan-perempuan sahabat Nabi SAW) mendatangi Rosullullah SAW dan mengadukan kebiasaan suami mereka yang sering memukul istrinya. Kedatangan mereka membuat Rosullullah mengecam suami yang suka memukul isteri. Belum lagi peran penting Sayidina ‘Aisyah ra di dalam meriwayatkan hadits yang sekaligus tercatat sebagai salah satu perawi hadist terbanyak. Dalam urusan diplomasi politik, peran Ummul Mukminin Ummu Salamah ra tak dapat dilupakan dalam menguatkan Perjanjian Hudaibiyah.

 

Data tersebut mengindikasikan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi peran publik perempuan, sehingga ketika peran tersebut dimanipulasi oleh penafsiran mesoginis, di situlah para feminis muslim bergerak melawan. Tak jarang gerakan para feminis muslim ini dianggap berlebihan, sekular, dan dituduh dipengaruhi pemikiran feminisme Barat. Padahal, oleh para feminis Barat, feminisme muslim dianggap “kurang feminis” dan masih dibuai oleh budaya patriarkhi. Keterlibatan para feminis muslim dalam memperjuangkan hak-hak asasi dalam rumah tangga, kerap dipahami oleh feminis sekular sebagai seseorang yang tidak dapat lepas dari bayang-bayang laki-laki. Kemampuannya menyuarakan pengalamannya, terkadang masih diragukan apakah ia benar-benar dapat menyuarakan keinginannya atau sebenarnya dia sedang menyuarakan keinginan patriarkhi sehingga feminis Barat dari kalangan menengah merasa bahwa feminis lain membutuhkan suaranya dan keterlibatannya (speaking for others).

 

Dengan situasi ketegangan di atas, saya merasa penting mengajukan alasan ketiga, yakni adanya kekhasan praktik feminis muslim dalam meramu dan mencari titik temu di antara dinamika dan ketegangan tersebut. Feminis muslim mempunyai kepiawaian di dalam meramu dan mencari titik temu antara agama dan feminisme. Di sini Alimatul Qibtiyah hendak menegaskan bahwa menjadi feminis sekaligus menjadi muslim yang “agamis” adalah hal yang sangat mungkin, walaupun dalam praktiknya keduanya akan kerap bernegosiasi untuk menemukan titik temu pandangan yang sering berbeda. Tidak dapat dipungkiri bahwa para feminis muslim memperdebatkan kata “Islam” dan “feminisme” pada persoalan apakah feminisme sesuai dengan ajaran Islam atau tidak; juga apakah seseorang bisa begitu saja mengaitkan keyakinannya dengan posisi feminisme tertentu atau menggabungkannya secara bersamaan. Perdebatan tersebut erat kaitannya dengan polemik antara dunia Barat dan Timur dimana orang memandang feminisme sebagai Barat dan Islam memiliki dimensi nilainya sendiri.

 

 

Dikutip dari Pidato Pengukuhan Guru Besar Alimatul Qibtiyah.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Arah Gerakan Feminis Muslim di Indonesia pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer