Pages

Kamis, 24 Juli 2014

Kisah Buroq dan Ruh Syeikh Abdul Qadir al-Jilani


Diriwayatkan oleh Syeikh Rasyid bin Muhammad Al-Junaidi dalam Kitab Raudhah an-Nadzir,

Pada malam Rasulullah SAW. Mi’roj Malaikat Jibril datang menghadap Rasulullah sambil membawa Buroq, telapak kaki Buroq tersebut mengeluarkan cahaya seperti cahaya rembulan. Buroq tersebut diberikan kepada Nabi SAW. Oleh Malaikat Jibril. Seketika itu Buroq tersebut tidak mau diam karena sangat senang yang luar biasa sehingga Nabi bersabda: “Wahai Buroq kenapa engkau tidak mau diam? Apa karena engkau tidak mau aku tunggangi?”.

Buroq menjawab: “Wahai Rasulullah bukan aku tidak mau baginda tunggangi, tetapi aku mempunyai permintaan kepada baginda Wahai Kekasih Allah, permintaanku adalah nanti di hari kiyamat ketika baginda masuk kedalam surga agar tidak menunggangi yang lain kecuali aku”.

Rasulullah SAW. Bersabda: ”Wahai Buroq permintaanmu aku kabulkan…” Buroq berkata lagi: “Wahai Baginda! Sudikah kiranya baginda memegang pundakku agar menjadi ciri di hari Qiyamat nanti ?” Kemudian Rasulullah memegangkan kedua tangannya pada pundak Buroq tersebut. Karena saking gembiranya yang sangat luar biasa, sehingga badannya tidak muat lagi untuk ditempati ruhnya, terpaksa Buroq tersebut membesar dan tinggi sampai 40 hasta.

Setelah itu, Rasulullah berdiri sebentar sambil melihat betapa tingginya Buroq tersebut dan berfikir bagaimana caranya untuk naik ke punggungnya sedangkan pada saat itu tidak ada satu pun tangga untuk naik.

Pada saat itu juga datang ruhnya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani seraya berkata: “Silahkan baginda naik ke pundak saya.” Kemudian Rasulullah naik ke pundaknya ruh Ghautsul A’dzom Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, lalu Rasulullah dapat naik ke pundaknya Buroq tersebut kemudian Nabi bersabda: “Dua telapak kakiku menaiki pundakmu Wahai Abdul Qadir, maka telapak kakimu nanti yang akan menaiki pundak semua wali-wali Allah SWT.”

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer