Pages

Senin, 25 Juni 2018

Ketupat Lebih Dari Sekadar Tradisi

Sumber gambar: liputan6.com

Rasanya ada yang kurang lengkap jika hadirnya hari raya idul fitri tanpa adanya ketupat. Makanan khas itu semakin bermakna ketika bersamaan dengan tradisi hari raya ketupat. Tentu ada makna mendalam di dalamnya.

Masyarakat muslim Indonesia memiliki banyak bahasa untuk mengungkapkan nama Idul Fitri. Hampir setiap daerah memiliki bahasannya sendiri-sendiri. Bahasa Indonesia menyebutnya Hari Raya Idul Fitri, orang Jawa biasa menyebutnya dengan istilah, “Riyaya” (baca: “Riyoyo” atau “Badha” (baca: Bhodho).

Riyaya merupakan istilah untuk lebih mempersingkat kata hari raya sedangkan istilah badha berasal dari bahasa Arab dari akar kata ba’da yang berarti setelah, selesai. Kata badha maupun lebaran mempunyai persamaan arti, yaitu selesainya pelaksanaan ibadah puasa, maka tibalah waktunya berhari raya Idul Fitri.

Ada pula istilah lebaran yang sudah menjadi istilah nasional. Lebaran berasal dari akar kata bahasa Jawa “Lebar” yang berarti selesai, sudah berlalu. Maksud kata “Lebar” di sini adalah sudah berlalunya bulan Ramadhan, selesainya pelaksanaan ibadah puasa wajib hingga tibalah waktunya masuk bulan Syawal.

Sedangkan ketupat adalah makanan khas yang biasa dihidangkan pada saat hari raya. Makanan itu berbahan dasar beras yang dibungkus dengan selongsong terbuat dari daun kelapa (janur) atau gidang (daun siwalan/ lontar). Selongsong itu dianyam sedemikian rupa sehingga membentuk empat persegi (diagonal) kemudian direbus.

Untuk menghidangkan ketupat, setiap kelompok masyarakat memiliki tradisi berbeda-beda. Umumnya, ketupat dihadirkan bersamaan dengan hari ke delapan bulan Syawal yang biasa disebut dengan Hari Raya Ketupat, Riyoyo Kupat atau Lebaran Ketupat. Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, dan terus dilestarikan secara turun temurun.

Lebaran ketupat merupakan salah satu akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam. Lebaran ketupat atau yang dikenal istilah lain syawalan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dari mulai Jawa, Madura, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi dan lain-lain. Lebaran ketupat hanya bisa dijumpai di masyarakat Indonesia dengan tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan berhari Raya Idul Fitri, yaitu saling memaafkan dan bersilaturahim. Istilah saling memaafkan ini di kalangan masyarakat Indonesia lebih terkenal dengan sebutan “Halal Bi Halal”.

Tradisi lebaran ketupat ini juga biasa disebut sebagai “hari raya kecil”. Sebab, lebaran ketupat merupakan ekspresi setelah melakukan puasa sunnah Syawal selama 6 hari. Sesuai dengan sunnah Nabi saw, setelah memperingati Idul Fitri, umat Islam disunnahkan puasa selama 6 hari, yang bagi umat Islam di Indonesia kemudian diperingati sebagai Lebaran Ketupat atau Riyoyo Kupat.

Banyak sumber menyebutkan tradisi ini mulanya berasal dari orang Jawa kemudian menyebar ke seluruh pelosok Nusantara yang dibawa oleh orang Jawa sehingga menjadi tradisi nasional yang membumi. Makna tradisi lebaran ketupat ini sangat mendalam bagi orang Indonesia, mengandung filosofi kehidupan yang berharga.

Di Saudi Arabia yang merupakan cikal bakal agama Islam tidak mengenal tradisi lebaran ketupat. Karena itu, wajar jika penyebutan tradisi ini dianggap bid’ah atau sesuatu yang baru yang tidak ada dan tidak diajarkan maupun dicontohkan oleh Baginda Rasulullah Muhammad saw. Namun tradisi ini termasuk kategori bid’ah hasanah (hal baru yang baik) sebagaimana menurut para ulama, ada bid’ah sayyi’ah (hal baru yang jelek) yang dilarang dan ada bid’ah hasanah yang dianjurkan.

Adanya tradisi ini sebagai bukti bahwa pasa salafusshalih yang mensyiarkan ajaran Islam di persada Nusantara menggunakan metode asimilasi dengan budaya setempat, tidak radikal dan frontal, yang dalam kalangan Nahdliyyin dikenal sebagai prinsip tasamuh (toleran), tawassuth (jalan tengah), tawazun (seimbang) dan i’tidal (keadilan).

Tradisi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, selama tidak keluar dari koridor syariat yang berakibat pada rusaknya tauhid dan i’tiqad islamiyah tetap dipertahankan dan dipersilakan mengembangkannya dengan bingkai syariat. Islam inilah yang kemudian dikenal sebagai al muhaafdzatu ala qadiimis shalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (melestarikan tradisi lama masih layak dan baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Cara-cara tersebut ditempuh oleh para wali yang menyebarkan Islam di tanah Jawa tempo dulu. Metode dakwah yang dikembangkannya secara arif dan bijaksana. Penyebaran agama Islam di Indonesia tidak berdarah-darah, tidak melalui pengeboman atau tindak ekstrimisme, teror, dan sebagainya, namun bisa diterima oleh penduduk asli dengan mudah dan sepenuh hati. Ajaran islam disampaikan dengan penuh kebijaksanaan dan toleran, sebagaiamana yang termatub dalam Q.S. An Nahl ayat 125, Allah swt berfirman, “ Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan mauidhah hasanah serta ajakalah tukar pikiran atau diskusi dengan cara yang lebih bagus”.

Para ulama terdahulu telah memberikan suri tauladan terbaik bagi terjaganya budaya lokal yang juga menyelamatkan nuansa religiusitas tanpa harus berbenturan. Inilah pesan dakwah rahmatal lil ‘aalamiin. Dan ketupat adalah salah satu personifikasi dan kearifan tersebut. Sudah saatnya kita belajar dari para pendahulu untuk menyebarkan ajaran agama Islam secara damai di bumi Nusantara.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer