Pages

Jumat, 01 Juni 2018

Globalitas dan Lokalitas Al-Qur'an


Seminar UPTQ UINSA 2018
Prof. Dr. KH. Ahamd Zahro, MA saat mengisi seminar Nasional UPTQ 2018

Sejujurnya penulis mendapati kesulitan ketika harus secara khusus berbicara tentang kearifan lokal perspektif Al-Qur’an, sebab dalam persepsi penulis sejak mula, bahwa Al-Qur’an itu diproyeksikan untuk semesta alam, dan penerima wahyu Al-Qur’an, Rasulullah SAW, diutus untuk sekalian alam (Saba 28) dan sebagai Rasul rahmatan lil ‘alamin (al-Anbiya 107). Bahwa Al-Qur’an menawarkan nilai-nilai lokal, memang benar, tetapi nilai asasi Al-Qur’an adalah bersifat holistik, global dan semesta. Oleh karena itu, dalam paparan ini penulis akan membahas globalitas dan lokalitas Al-Qur’an, dalam perspektif yang mungkin berbeda dengan persepsi umum.


Perlukah Al-Qur’an

Secara realistis kita harus siap menerima pertanyaan: Perlukah Al-Qur’an pada era globalisasi saat ini, sementara kita saksikan hampir semua negara yang penduduknya berkitab suci Al-Qur’an (beragama Islam) adalah bangsa terbelakang. Sebaliknya, negara-negara yang dalam menapaki kehidupan tidak berpedoman pada Al-Qur’an, bahkan tidak tahu-menahu tentang Al-Qur’an, justru tergolong bangsa maju. Lihat saja Amerika, Eropa (Barat), Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura dan Australia. Mereka dapat dikatakan jauh dari Al-Qur’an, tetapi justru jauh lebih sejahtera dibanding umumnya “negara-negara Islam”. Kalau begitu masih perlukah Al-Qur’an?

Untuk kepentingan kesejahteraan duniawi semata bisa saja tanpa bimbingan Al-Qur’an. Tetapi guna keselamatan duniawi apalagi demi keselamatan ukhrawi, mutlak dibutuhkan Al-Qur’an. Siapa yang berani menjamin seseorang dapat selamat dunia-akhirat tanpa Al-Qur’an? Persoalannya sekarang mana yang kita prioritaskan, kesejahteraan atau keselamatan? Dengan Al-Qur’an keselamatan pasti didapat bahkan boleh jadi juga kesejahteraan, tetapi tanpa Al-Qur’an keselamatan pasti tidak didapat, walaupun mungkin kesejahteraan diperolehnya.

Pertanyaan sejenis pernah muncul beberapa dekade lalu “Mengapa umat Islam mundur, sementara bangsa non muslim maju?” Menjawab pertanyaan ini Amir Syakib Arsalan secara panjang lebar menjelaskan yang pada intinya umat Islam saat ini terbelakang justru karena mereka meninggalkan nilai-nilai Qur’aniy dan berpikiran jumud (beku/stagnan) dalam memahaminya. Hal ini terbukti bahwa Islam pernah mengalami masa keemasan, di saat Barat masih “gelap dan terbelakang”, justru tatkala umat Islam dapat memahami dan mau berpegang teguh pada Al-Qur’an.

Al-Qur’an Yang Mana

Berdasarkan ayat 9 surat al-Hijr, Allah SWT. memang menjamin kemurnian Al-Qur’an dengan fiman-Nya: “Sungguh Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami benar-benar memeliharanya.” Namun dalam tataran historis-empiris banyak ragam mush-haf selain yang ada di kalangan kita, seperti mush-haf Ibnu Mas‘ud, mush-haf Ibnu Abbas, mush-haf Kufiy, dan lain-lain yang ternyata tidak sama dengan mush-haf Al-Qur’an seperti yang kita kenal. Lalu mana yang asli? Mana pula yang tidak asli? Yang disepakati sebagai Al-Qur’an adalah yang sampai kepada kita melalui periwayatan secara mutawatir (disetujui orang banyak), sehingga manakala ada mush-haf “Al-Qur’an” yang tidak demikian (tidak mutawatir) berarti bukanlah Al-Qur’an kita. Ternyata dengan standar ini, hanya ada satu mush-haf yang mutawatir dengan dua istilah, yaitu mushaf ‘Utsmaniy (bagi kalangan Sunniy) dan mushaf ‘Aliy (bagi golongan Syi‘iy). Dengan demikian mushaf Ibnu Mas‘ud, mushaf Ibnu Abbas, mush-haf Kufiy dan sebagainya bukanlah mushaf Al-Qur’an yang kita akui, karena tidak mutawatir.

Memang banyak sekali upaya dengan berbagai cara untuk menimbulkan keraguan umat Islam atas otentisitas (keaslian) Al-Qur’an, sebagaimana kitab suci umat agama lain yang tak tahan uji tentang otentisitasnya. Data yang diperoleh Khulqi Rashid dalam bukunya Al-Qur’an Bukan Davinci's Code menyebutkan, bahwa karya yang meragukan otentisitas Al-Qur’an muncul pertama kali dalam tulisan Patricia Crone dan Michael Cook (1977) berjudul Hagarism: The Making of the Islamic World yang mempertanyakan segala sesuatu yang diyakini umat Islam sebagai kebenaran sejarah. Menurut buku ini, Al-Qur’an tersusun di Syria atau Irak lebih dari 50 tahun setelah Nabi wafat. Toby Lester dalam tulisannya What is the Koran? yang dimuat di jurnal The Atlantic Monthly (1999) juga secara spekulatif mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an. Demikian juga Christoph Luxenberg dalam bukunya Die Syro-Aramaesche Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koranprache (Qira'ah Syria-Aramaic: Upaya  Menjelaskan Bahasa Al-Qur’an) menyebutkan, bahwa bahasa yang dipakai pertamakali oleh Al-Qur’an bukanlah bahasa Arab, melainkan bahasa Aramia.

Padahal secara historis, sejak awal diturunkannya, Al-Qur’an sudah melewati pemeliharaan amat ketat. Di samping penggunaan penulisan sebagai strategi pemeliharaan, para sahabat juga menghafalkan setiap ayat yang diturunkan kepada Nabi. Hafalan-hafalan itu terus dijaga melalui metode evaluasi dengan sahabat yang lain, di samping mencocokkannya dengan ayat-ayat yang telah berbentuk tulisan. Lebih dari itu, hafalan dan penulisan ini secara amat akurat terus berlangsung sampai sekarang, dan insya Allah sampai hari kiamat. 

Kemu’jizatan Al-Qur’an

Di mana letak kemu’jizatan (kehebatan) Al-Qur’an yang katanya tak tertandingi, sehingga dahulu para kafir quraisy yang mendustakannya justru mencuri dengar guna menikmatinya, bahkan mereka tak sanggup menggambarkan keindahan bahasanya sehingga menganggapnya sebagai sihir Muhammad. Kini hampir tiada lagi orang yang terharu tatkala mendengar Al-Qur’an dibaca, justru banyak yang acuh bahkan bergurau.

Sementara dari segi isinya selalu terlambat difahami oleh umat Islam masa kini manakala merespon (mereaksi) temuan-temuan baru yang berkait dengan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Uniknya, justru para “penemunya” sebagian besar non-muslim, yang kemudian sebagian masuk Islam karenanya, seperti:

Pertama, Dr. Maurice Buchaille (dokter spesialis, Prancis) yang meneliti kebenaran berita Al-Qur’an tentang sejarah para rasul. Dari penelitian tersebut disimpulkan, bahwa Al-Qur’an sangat akurat menceritakan kisah para rasul, baik urutan maupun kebenaran sejarahnya yang amat mustahil bila itu karangan/susunan Muhammad yang justru seorang ummi (tidak pandai baca-tulis). Beliau menyatakan: ”Dalam Al-Qur’an, agama dan ilmu selalu dianggap sebagai saudara kembar”.

Kedua, Jacques Cousteau (penyelam ulung, Prancis) mengatakan: “Saya bersaksi bahwa Al-Qur’an benar-benar diwahyukan dari Allah. Ilmu pengetahuan kita saat ini hanyalah mengekspresikan apa saja yang telah dinyatakan kepada manusia dalam Al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu”. Pernyataan itu dikemukakan setelah dengan susah payah menemukan perpaduan apik antara empirik yang ditemukan di lapangan dengan "teoritik unik" dalam Al-Qur’an. Setelah menyelam di dua selat yang mempertemukan empat laut (teluk Aden yang mempertemukan Samudera Hindia dan Laut Merah, dan selat Gibraltar yang mempertemukan Samudera Atlantik dan Laut Tengah) ternyata airnya tidak mau saling bercampur seakan ada penyekat antara keduanya. Keganjilan gejala alam yang menyedot energinya ini ditemukan jawabnya di Al-Qur’an (atas saran) Dr. Maurice Buchaille) surat al-Furqan 53 yang maknanya "Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan), yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalanginya", dan ar-Rahman 19-20 yang maknanya "Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing".

Ketiga, Prof. DR. Ayrton Allison (Ketua Jurusan Nuklir Oxford University, Inggris) yang menyatakan masuk Islam di depan peserta Konferensi Intelektual Muslim se dunia di Kairo, Mesir pada tahun 1985. Hal ini dilakukan setelah lama merenung kemudian mendapati hasil penelitian salah seorang asistenya (DR. M. Yahya asy-Syarafiy) tentang perbedaan tidur dan mati, bahwa secara ilmiah tidur dan mati itu hampir sama, hanya kalau tidur ruh yang keluar kembali lagi, sedang kalau mati ruh yang keluar tak kembali. Hasil penelitian ini ternyata 100 % cocok dengan statement Qur'aniy dalam surat az-Zumar 42 yang maknanya "Allahlah yang memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berfikir".

Keempat, DR. Hartwigg Hirsfeld menyatakan: ”Kita tidak boleh terkejut mendapati, bahwa Al-Qur’an adalah sumber ilmu pengetahuan. Segala hal yang berhubungan dengan langit dan bumi, perdagangan dan pekerjaan, kehidupan manusia, sebentar-sebentar disinggung, dan hal ini membangkitkan tumbuhnya monograf-monograf yang memuat tafsir dari bagian-bagian kitab suci itu. Dalam hal ini Al-Qur’an menimbulkan diskusi besar dan secara tidak langsung telah menimbulkan perkembangan yang menakjubkan dari segala cabang ilmu pengetahuan”.

Kelima, Prof. DR. Fuat Sezgin (guru besar di Frankfurt University, Jerman) yang melakukan penelitian selama 30 tahun terhadap sekitar 1 juta manuskrip kuno warisan Islam yang kemudian dituangkan dalam 20 jilid ensiklopedi, secara tegas menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan di Barat yang berkembang pesat saat ini adalah jiplakan dari ilmu-ilmu Islam masa lalu.

Keenam, DR. J.L.C. Wortman dan Prof. DR. Carrel (keduanya peneliti asal Amerika) yang meneliti tentang asal kejadian manusia dan menemukan bahwa pada air kencing perempuan hamil terdapat "zat" yang merupakan unsur minyak tanah; dan hal ini tidak ditemukan pada air kencing perempuan yang tidak hamil. Sebagai "counter" terhadap teori evolusi Charles Darwin, mereka menyatakan: "Kita (manusia) benar-benar berasal dari tanah". Dan hanya Al-Qur’anlah kitab suci yang berulang kali dan secara konsisten menyatakan, bahwa manusia diciptakan (Allah SWT) dari tanah. Baca antara lain Alu 'Imran 59, al-A'raf 12, al-Hijr 28, as-Sajdah 7, Shad 76, ar- Rahman 14 dan lain-lain.

Di samping uraian di atas, dapat dipastikan bahwa kemu'jizatan Al-Qur’an itu tetap ada, setidaknya nampak pada tak tertandinginya bahasa Al-Qur’an, padahal tantangan untuk membuat seperti Al-Qur’an (al-Isra' 88), atau 10 surat (Hud 13) atau bahkan 1 surat saja (al-Baqarah 23) sudah diproklamirkan oleh Allah SWT sejak lebih 1400 tahun silam. Ternyata sampai hari ini, apapun alasannya, tak seorang/ sekelompok orang pun yang sanggup memenuhi tantangan tersebut.

Untuk Apa Al-Qur’an

Sebagai kitab suci, Al-Qur’an bukanlah karya ilmiah semacam disertasi, bukan dokumen resmi sejarah, dan bukan pula mantera ataupun jampi-jampi semata, tetapi Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi manusia (hudan lin naas) pada umumnya, dan bagi mereka yang bertaqwa (hudan lil muttaqiin) pada khususnya.

Sebagai hudan lin naas, Al-Qur’an memiliki nilai-nilai universal yang diakui kebenaran dan kebaikannya oleh seluruh masyarakat beradab dan membawa kebaikan dalam hidup bermasyarakat, terutama mengenai prinsip kebebasan yang bertanggung jawab, kesamaan yang "reasonable", keadilan yang jujur dan musyawarah yang positif. Inilah antara lain nilai global universal Al-Qur’an.

Sedang sebagai hudan lil muttaqiin, Al-Qur’an memiliki nilai-nilai sakral yang membimbing ke arah keselamatan dunia dan akhirat, yaitu mengenai iman, Islam dan ihsan (aqidah, syari‘ah dan akhlak). Inilah antara lain nilai “lokal spesial” Al-Qur’an.

Perlukah Al-Qur’an Dihafalkan

Pertanyaan lain yang cukup menggelitik adalah: perlukah Al-Qur’an dihafal sementara kecanggihan teknologi elektronika dan informatika pada era globalisasi saat ini dapat mengatasi apa yang menjadi andalan para huffadh (penghafal Al-Qur’an), yaitu kecepatan dan kemudahan mencari ayat-ayat Al-Qur’an. Jawab singkatnya, tetap diperlukan adanya para penghafal Al-Qur’an. Sebagau salah satu upaya menjaga kemurnian dan bukti kemu'jizatan Al-Qur’an, penghafalan Al-Qur’an tetap diperlukan, karena para penghafal Al-Qur’an lah yang diyakini kokoh mental dan moralnya dalam ikut menjaga kehormatan Al-Qur’an.

Adapun hal-hal yang harus menjadi perhatian para calon hafidh/hafidhah (hafidh: penghafal Al-Qur’an pria, hafidhah: penghafal Al-Qur’an wanita), maupun para hafidh/hafidhah adalah sebagai berikut

Niat menghafal Al-Qur’an
1)   Ikut menjaga Al-Qur’an dan mensyi’arkannya.
2)   Mempertinggi frekuensi membaca Al-Qur’an.
3)   Mempermudah telaah ilmiah yang berkaitan dengan ilmu-ilmu ke-Islaman.
4)   Mengendalikan amaliah agar senantiasa sesuai dengan Al-Qur’an.
5)   Mencari ridla Allah SWT.

Dengan  demikian  seorang  hafidh dan/atau hafidhah adalah pengemban amanah Al-Qur’an baik secara lisan, pemahaman, maupun perbuatan. 

Problem Menghafal Al-Qur’an

Bagaimana supaya mudah dalam menghafal Al-Qur’an ? Seseorang akan mudah dalam menghafal Al-Qur’an apabila terlebih dahulu memahami makna dan qawa‘id al-lughah al-‘Arabiyyah yang ada dalam Al-Qur’an, dengan secara konsisten menggunakan satu macam mush-haf pojok yang standar.

Bagaimana supaya cepat  dalam menghafal Al-Qur’an ? Untuk hal ini tidak ada pilihan lain kecuali istiqamah dan disiplin. Cepat dalam menghafal memang baik, tapi cepat-cepatan khatam sering menjadi belenggu tersendiri di kemudian hari.

Bagaimana mengatasi godaan, baik godaan internal (nafsu menambah hafalan, malas dll), maupun godaan eksternal (banyaknya kesibukan, pacaran dll) ?

1.    Untuk nafsu menambah hafalan: sadari bahwa diri anda mempunyai keterbatasan yang harus dihargai. Karena itu, cara menghafal terbaik adalah per 5 juz, maksudnya menghafal juz 1-5 dulu, baru setelah lancar menambah juz 6-10, kemudian kalau sudah lancar menambah juz 11-15, lalu juz 16-20 dan begitu seterusnya.
2.    Untuk malas: ingatlah kembali niat anda menghafal Al-Qur’an, beri semangat persuasif kepada diri anda sendiri agar mau bangkit lagi. Tidak ada obat malas lebih mujarab dari tajdid an-niyyah (memperbarui niat).
3.    Mengenai banyaknya kesibukan: aturlah waktu, kuasai keadaan dan jangan larut dan dikuasai oleh keadaan, tapi juga harus mampu mengukur kemampuan diri, jangan sampai overaktif. Berilah diri anda kesempatan istirahat dan bahkan refreshing.
4. Mengenai pacaran: sedapat mungkin dihindari. Namun bila tidak sanggup, berpacaranlah secara Islami (jangan melanggar syariat Islam), karena pelanggaran terhadap syari'at Islam akan menimbulkan dosa dan banyak dosa akan mengkibatkan terganggunya hafalan.

Ingat kata Imam Syafi’i dalam syi‘irnya:

شكوت الى وكيع سوء حفظى     فـارشدني الى تـرك المعا صــى
لان الحفظ  فـضـل من الـه    وفضل الله لا يعـطى لعـا صى

“Saya pernah mengeluhkan lemahnya daya ingat saya  kepada syaikh Waki’. Beliau menasehati saya agar menghindari perbuatan-perbuatan maksiat. Karena sesungguhnya daya ingat  itu adalah karunia dari Allah. Dan karunia Allah itu tidak akan diberikan kepada para pelaku maksiat”.

Problem Menghafal Al-Qur’an

Bagaimana agar tidak mudah lupa ?

Jadikan Al-Qur’an sebagai wirid (bacaan dzikir yang dilakukan secara rutin) dan sebenarnyalah Al-Qur’an itu sebaik-baik wirid. Jangan percaya adanya wirid tertentu untuk mempertahankan hafalan, kecuali do’a-do’a pendek yang tidak menyita waktu untuk melakukan takrar/tadarrus.

Rasulullah saw. bersabda:
تعا هدوا هذا القران  فوالذى نفس محمد بيده لهو اشد تفلتا من الا بل فى عقلها (متتفق عليه عن ابي موسى)
Jagalah Al-Qur’an ini; Demi Allah, dia (Al-Qur’an) lebih mudah lepas dibanding onta yang diikat
انما مثل صا حب القران كمثل الابل المعقلة ان عا هد عليها امسكها وان اطلقها ذهبت (متفق عليه عن ابن عمر)
“Sungguh, perumpamaan penghafal Al-Qur’an itu seperti onta yang terikat. Kalau dijaga amanlah dia, tapi bila dibiarkan lenyaplah dia”.

Bagaimana menginternalisasikan Al-Qur’an ke dalam diri kita?

Dari aspek ilmiah: dekati dan pelajari, fahami dan hayati Al-Qur’an. Janganlah seorang hafidh/hafidhah berhenti pada ‘sekedar’ hafal Al-Qur’an tanpa memahami kandungannya. Jangan mau dikesankan, bahwa hafidh/ hafidhah itu hanya kuat hafalannya saja, tapi lemah daya nalarnya. Janganlah hafidh/hafidhah kalah dengan yang tidak hafal Al-Qur’an dalam hal pemahamannya. Seorang hafidh/hafidhah harus seimbang antara dzikir dan fikirnya, hafalan dan penalarannya.

Dari aspek amaliah: sadarilah bahwa di dada hafidh/hafidhah  itu terdapat rekaman Al-Qur’an 30 juz yang diamanatkan oleh Allah SWT untuk menjaganya. Dengan demikian penampilan seorang hafidh/hafidhah harus serba Qur’aniy dalam hal tutur kata, tingkah laku dan daya fikirnya.

Dari aspek bacaan: biasakan membacanya secara murattal (dengan kecepatan yang wajar dan bacaan yang jelas), karena demikianlah semestinya Al-Qur’an dibaca, baik menurut ayat-ayat Al-Qur’an sendiri (al-Furqan 32 dan al-Muzzammil 4) maupun berdasarkan contoh dari Rasulullah SAW. Patuhilah ketentuan-ketentuan bacaan yang benar, baik dan enak didengar, agar Al-Qur’an dapat dinikmati oleh pembaca maupun pendengarnya.

Demikian kristalisasi pemikiran ini. Semoga bermanfaat. Aaamiiin …


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer