Pages

Selasa, 08 Januari 2019

Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara di Era Industri 4.0


 
Trilogi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara di Era Industri 4.0
Oleh:
Senata Adi Prasetia
Mahasiswa S1 Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya

Dunia tengah memasuki era revolusi industri 4.0 dan membutuhkan sumber daya manusia yang tidak hanya mengandalkan kemampuan teknis saja. Dunia pendidikan sedang mengalami 'goncangan' menghadapi tantangan era revolusi industri 4.0. Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi, dan informasi telah mengubah dunia sebagaimana revolusi industri 1.0 melahirkan sejarah ketika tenaga manusia dan hewan tergantikan oleh kemunculan mesin uap pada abad ke-18. Revolusi ini dicatat oleh sejarah berhasil mengangkat perekonomian dunia secara dramatis. Berikutnya, pada revolusi industri 2.0 ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga listrik yang memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dan lainnya yang mengubah wajah dunia secara signifikan. Selanjutnya, revolusi industri 3.0 ditandai dengan kemunculan pesatnya perkembangan teknologi digital yang tidak saja mengubah dunia industri namun juga budaya dan habit generasi secara mendasar.

Disruptif Teknologi

Seperti yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, revolusi industri 4.0 telah mendorong  inovasi-inovasi teknologi yang memberikan dampak disrupsi atau perubahan fundamental terhadap kehidupan masyarakat. Perubahan-perubahan tak terduga menjadi fenomena yang akan sering muncul pada era revolusi indutsri 4.0. Akan banyak pekerjaan yang hilang digantikan dengan robot atau mesin. Namun juga menjadi peluang karena banyak ruang-ruang pekerjaan baru yang muncul. Tantangan pendidikan ke depan adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia agar tak digantikan dengan mesin. Lihat saja saat ini banyak pekerjaan bahkan tenaga pendidik, dosen, pengajar di semua satuan instansi pendidikan secara masif mulai digantikan dengan mesin. Karenanya, Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan setidaknya ada lima kompetensi yang dibutuhkan dalam menghadapi era industri 4.0 diantaranya kemampuan berpikir kritis (critical thinking), kreatifitas dan inovasi (creativity and innovation), komunikasi (communication), kolaborasi (collaboration), dan adaptasi (adaptability).

Generasi Digital

Karakteristik generasi 4.0 adalah pola lingkungan teknologi dan serba instan. Masyarakat di era industri 4.0 memiliki ketergantungan dan kecanduan yang sangat besar dalam penggunaan teknologi. Sebuah survey pada tahun 2014 oleh Nokia dikatakan bahwa rata-rata hampir setiap enam setengah menit seseorang mengecek ponselnya. Bahkan dalam kurun waktu 16 jam saat orang beraktivitas, mereka melakukan 150 kali per hari untuk memeriksa ponsel mereka. Satu dari empat orang mengakui durasi onlinenya lebih banyak ketimbang membuka buku dan waktu tidurnya dalam setiap hari. Fakta ini merupakan gejala tipologi generasi sekarang. Dulu saya menganggap smart phone tidak penting dan tak ubahnya hanya sekedar alat komunikasi, namun sekarang melesat jauh menjadi lebih komprehensif. Mahasiswa zaman now tentu berbeda mahasiswa zaman old. Jika generasi dahulu memerlukan waktu 1 minggu untuk mengerjakan sebuah tugas kuliah, mahasiswa zaman now dengan media yang ada mampu mengerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Di sinilah kemudian dibutuhkan keberanian dan kemauan bagi para pendidik untuk berani merefleksikan kembali fungsi dan perannya di hadapan generasi milenial.

Refleksi Ulang Trilogi Ki Hadjar Dewantara

Pendidikan sebagai wujud mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pilar kebangsaan yang telah dicanangkan berpuluh-puluh tahun lalu. Tekad untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pemikiran yang dikonsepsikan Ki Hajar bagi bangsa Indonesia merupakan sekelumit filosofi pendidikan Indonesia. Berkaca dari pemikirannya sebagai sebuah inspirasi bagi kita dalam menyikapi pendidikan. Pendidikan di negeri ini sudah kehilangan makna sehingga tujuan pendidikan bukan memanusiakan manusia melainkan merobotkan manusia. Menyadari kondisi saat ini, sudah saatnya melakukan refilosofi pendidikan di negeri ini. Sebuah upaya mengembalikan hakikat pendidikan sebagai pilar kebangsaan. Muncul pertanyaan, lalu harus berawal dari mana upaya untuk merefilosofikan konsepsi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara? Tentu dimulai dari peran guru. Guru merupakan pribadi yang menentukan peradaban sebuah bangsa. Guru juga yang menentukan arah pendidikan generasi mendatang.

Ki Hajar menjelaskan menjelaskan trilogi pendidikan yang sering kita dengar yaitu, Kesatu, ing ngarso sung tulodo (yang didepan memberi teladan). Sebagai seorang guru, tidak hanya bertugas transfer of knowledge di depan kelas, lebih dari itu, tugas guru lebih berat yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan keteladanan, motivasi, way of life, dan karakter. Guru merupakan panutan bagi siswa. Teringat sebuah pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” yang memiliki makna apapun yang dilakukan guru menjadi perintah langsung bagi siswa. Keteladananlah yang menjadi ujung tombaknya. Teringat pesan KH. Hasan Abdullah Sahal selaku pimpinan utama pondok modern Darussalam Gontor, beliau mengatakan bahwa keteladanan adalah kunci daripada kunci-kunci semua usaha pembinaan, pendidikan, dan kepemimpinan. Tanpa itu, hanya omong kosong dan jarang bisa berhasil.

Kedua, ing madyo mangun karso (yang di tengah membangun semangat atau motivasi). Guru adalah motivator bagi siswa, mendampingi siswa menciptakan ruang impian yang ia inginkan. Selamilah lingkungan kehidupan siswa agar terjalin keakraban. Hapus stigma guru, bahwa guru itu kejam, mendekte siswa, tidak memberikan ruang berfikir. Jangan posisikan siswa seperti kerbau, cangkir, dan kertas yang tidak berguna sehingga seenaknya diperlakukan. Seorang guru yang baik adalah dia yang bisa menjadi sahabat bagi muridnya. Guru tidak akan bisa jadi motivator jika ada jarak.

Ketiga, tut wuri handayani (yang dibelakang memberi dorongan). Guru memberi dorongan bagi siswa setelah ia menyadari akan impiannya. Biarkan siswa berkembang sesuai bakat dan keinginannya. Memang, disadari kurikulum pendidikan formal belum mampu memberikan ruang kebebasan berekspresi dan berekplorasi.

Inilah Trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara, dengan begitu guru mengetahui makna dan esensi dari trilogi tersebut. Seorang guru yang bisa menjadi teladan sekaligus motivator bagi anak-anak didiknya akan dijadikan guru favorit oleh para siswa. Apabila seorang guru sudah menjadi role model bagi siswa, secara otomatis siswa merasa senang dengannya. Transfer of value dan transfer of knowledge akan berjalan dengan lancar dan dapat memberikan pengaruh positif bagi perkembangan siswa. Guru, dosen, pendidik dan sejenisnya harus mampu melahirkan anak didik sesuai aturan ilmiah dan juga menjunjung integritas. Dari sini diharapkan akan bermunculan generasi 'kekinian' yang mampu menjawab setiap tantangan yang muncul di eranya dengan berkarakter dan berintegritas.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer