Thariqah Menurut Habib Luthfi Bin Yahya
Ma’rifat
adalah “mengerti dan mengenal”. Mengerti belum tentu mengenal, tapi kalau
mengenal sudah pasti mengerti. Jadi ma’rifat di sini adalah mengenal
Allah Swt., seperti halnya kita mengetahui sifat-sifatNya, baik yang wajib,
mustahil dan jaiz. Tapi pengenalan itu baru pondasi. Untuk mengenal lebih jauh
kita harus sering-sering mendekati Allah swt. agar Allah juga mendekat dengan
kita.
Makhluk
Allah banyak yang mengerti tapi tidak mengenal Allah. Dengan ilmu ma’rifat ini,
kita belajar mengenal Allah dan Allah pun akan mengenali kita. Tapi tidak
semudah yang kita bayangkan, diperlukan ritual-ritual khusus untuk bisa lebih
dekat dengan Allah dan agar kita juga tidak lalai dengan Allah.
Bila
dalam mengenal Allah kita sudah dapat saling mengenal, berarti kita sudah
semakin dekat dengan Allah. Tapi pasti pengenalan seseorang dengan Allah
berbeda-beda, tergantung dengan tahapan-tahapannya. Itulah pentingnya wirid
untuk mencapai tingkatan kema’rifatan yang tinggi.
Sebenarnya
dalam thariqah yang dikhususkan adalah cara membersihkan hati, tashfiyatulqulub
atau tazkiyatunnufus. Sedangkan bacaan-bacaannya (wiridan) adalah
sebagai nilai tambahan untuk pendekatan kepada Allah Swt.
Thariqah
sebagian besar adalah mengamalkan kalimat “La ilaha illallah” atau
kalimat “Allah” sebanyak-banyaknya sesuai ketentuan oleh thariqah itu
sendiri. Ada yang mewiridkan secara sirr (dalam hati atau pelan) dan ada
pula yang mewiridkannya secara jahr (keras).
Wirid
yang paling baik sebenarnya adalah membaca Al-Qur’an, karena dalam hadits
dijelaskan bahwa “Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah Al-Quran”.
Dialog dengan Tuhan adalah wirid yang paling indah. Kemudian membaca kalimat
thayibah seperti lafadz “La ilaha illallah”, maka Allah akan menjamin
surga bagi para pembaca kalimat tersebut. Kemudian lafadz-lafadz yang lainya
seperti istighfar, shalawat, tahmid, tasbih, asmaul husna, karena itu
semua juga adalah kalimat-kalimat yang sering dibaca oleh Rasulullah Saw. dan
kalimat-kalimat tersebut adalah kalimat yang biasa dibaca oleh para jamaah
thariqah.
Memang
tidak dapat kita pungkiri bahwa, Thariqah juga amalan yang tidak gampang
untuk dijalani. Karena apabila terjadi kelalaian dalam pengerjaannya kita akan
berdosa, sebab amalan dalam thariqah adalah suatu keharusan (kewajiban)
untuk dikerjakan. Tapi kalau dilihat dari segi positifnya memang thariqah
tersebut adalah proses kita untuk lebih mengenali Allah.
Disamping
itu, thariqah dapat melepaskan kedua penyakit hati yang ada pada diri
kita; untuk mengatasi kealpaan dalam hati dan menghilangkan noktah atau kotoran
yang ada. Sebab amalan dalam thariqah adalah kewajiban maka orang akan
berhutang apabila tidak mengerjakan amalan tersebut, dan akan mengerjakannya
walaupun dalam keadaan apapun. Dan thariqah juga dapat menghapus hijab pembatas
yang terdapat dalam dirinya yang mengakibatkan sifat lalai serta banyak lupa
kepada Allah Swt.
Kalau
seseorang ingin hatinya bersih dan membersihkan hati setidaknya orang tersebut
mempunyai ketertarikan terhadap thariqah tersebut, karena kalau dilihat
dari fungsi thariqah adalah menghapuskan kotoran dalam hati dengan selalu
mengamalkan dzikirnya. Karena dari dzikir tersebut orang akan selalu tenang dan
sabar dalam menghadapi setiap masalah yang ia hadapi, karena orang tersebut
akan selalu merasa dekat dengan Allah.
“Thariqah berusaha untuk menghilangkan
sifat-sifat yang kurang terpuji melalui dzikrullah, menghias sanubari, dan
menumbuhkan cinta yang sejati kepada Allah, Rasulnya sampai cinta kepada tanah
airnya. Dan meningkatkan rasa nasionalisme yang sejati, menghargai dan
mensyukuri atas segala pemberian Allah seperti tanah air yang kita cintai ini.”
(Kata Habib Lutfi dalam pembukaan Muktamar ke XII JATMAN pada 15 Januari 2018)
Kaitan
Thariqah dan Syariat
Kalau
kita pahami lebih lanjut, thariqah dan syariat sebenarnya memang
tidak dapat dipisahkan, karena tujuan keduanya sama yaitu mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Karena ketika seseorang berthariqah tetapi ia meninggalkan
syariat, maka itu juga salah karena ia telah meninggalkan kewajibannya.
Imam
Malik berkata, “Barang siapa bersyari’at tanpa berhakikat (thariqah),
niscaya ia akan menjadi fasik. Sedangkan berhakikat (berthariqah) tanpa
bersyari’at, niscaya ia akan menjadi zindik. Barang siapa yang menghimpun
keduanya (syari’at dan hakikat), ia benar-benar telah berhakikat.” Syari’at,
Thariqah, dan Ma’rifat, inilah trilogi keseluruhan Agama Islam yang
memenuhi aspek dzahir dan batin
Thariqah
adalah buah dari syariat. Jadi kalau berthariqah tidak boleh
lepas dari pintunya dahulu yaitu syariat. Karena syariatlah yang
mengatur tentang kehidupan kita, dengan menggunakan hukum, dari mulai aqidah,
keimanan, keislaman, sehingga kita beriman kepada Allah, malaikat, kitab Allah,
para rasul, hari akhir, takdir yang baik dan buruk. Dan dengan syariat pula
kita mengetahui rukun Islam, yaitu dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat
dan haji.
Setelah
kita dapat menjalankan syariat dengan baik, dan kita sudah memgetahui
hukum-hukum dalam syariat maka kita baru menuju pada tingkatan yang lebih
tinggi, yaitu menuju thariqah dan belajar untuk mengenal Allah.
Maksudnya bahwa thariqah adalah tingkatan bagi orang yang sudah cukup
ilmunya, terutama yang sudah diwajibkan syariat. Karena tidak semua orang
langsung dapat menuju pada tingkat thariqah.
Orang
yang menuju thariqah haruslah mengetahui Allah, seperti mengetahui
tentang sifat wajib dan mustahil Allah, dan juga mengetahui sifat mumkin (jaiz)
Allah. Orang tersebut juga mengetahui tentang hukum-hukum dalam beribadah,
seperti rukun wudhu, rukun iman, hal-hal yang membatalkan wudhu, rukun shalat
serta hal-hal yang membatalkan dalam shalat. Dan juga orang tersebut dapat
membedakan mana yang halal dan yang haram. Bilamana hal-hal tersebut sudah
dapat terpenuhi maka tidak ada salahnya apabila orang tersebut masuk ke dalam
thariqah.
Antisipasi
dalam Berthariqah
Perlu
diketahui juga bahwa sufisme itu sudah tidak asing lagi di kalangan kita, dan
telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Jika kita tertarik
pada thariqah atau perkumpulan dzikir tertentu, kita juga harus mengetahui
tentang perkumpulan tersebut. Karena di jaman sekarang banyak
organisasi-organisasi yang mengatasnamakan Islam untuk kepentingan mereka dan
menyelewengkan tentang hukum-hukum yang telah ditetapkan.
Maka
untuk mengantisipasi hal tersebut, yang perlu kita lakukan adalah seperti
apakah thariqah tersebut dan siapakah yang memimpin thariqah tersebut.
Meskipun dalam dzikir yang dibaca itu memang dari Rasulullah Saw., namun
terkadang ada kelompok yang menyelewengkannya atau menyimpang dari ajaran
sehingga keluar dari jalan yang benar dan menyesatkan.
Pada
thariqah yang kita perlu ketahui dahulu adalah alirannya, semissal thariqah
Qadiriyah, Syadziliyah, Syatariyah dan lain sebagainya. Menurut data yang ada
pada Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN),
jumlah thariqah yang diakui itu ada sekitar 70 thariqah. Penegasan muktabar
atau tidaknya sebuah thariqah tentu harus melalui suatu penelitian. Pertama
dari ajarannya, kedua dari ketentuan wiridnya tergolong ma’tsur
atau tidak, dan yang ketiga memiliki silsilah atau mata rantai (sanad)
dengan guru yang jelas hingga pada pendiri thariqah tersebut.
Guru
thariqah yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti
tentang agama. Jika tidak mengerti maka bisa diragukan kapasitas keguruannya.
Sebab bagaimana ia bisa memimpin suatu organisasi ritual dan keruhanian
sementara ia tidak mengerti tentang agama? Sebab orang yang telah menapak jalur
thariqah haruslah sudah sempurna syariatnya dan guru tersebut juga telah
menjalankan semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini
juga terkait dengan akhlak sang guru. Seseorang dianggap mengerti tentang ilmu
agama minimal bisa dilihat dari bacaan Al-Qur’annya. Sebab seorang ulama diukur
pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat antara lain dari kefasihannya
membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Memang
dalam kenyataannya, terkadang banyak orang yang bingung tentang thariqah,
ada yang ingin masuk tetapi belum sampai pada tingkatan tersebut dan juga belum
mengetahui tentang pentingnya berthariqah. Perlu kita ketahui, jika kita masuk
pada thariqah maka keimanan kita akan terbimbing. Disitulah peran para
guru mursyid, sehingga tingkatan tauhid kita, ma’rifat kita tidak
salah dan tidak sembarangan menempatkan diri sebab ada bimbingan dari mursyid
tersebut.
Antara
Berthariqah dan Tidak
Bagaimana
dengan orang yang tidak berthariqah? Syarat berthariqah itu harus mengetahui
syariatnya dahulu, artinya kewajiban-kewajiban yang harus dimengerti oleh
setiap individu sudah dapat dipahami. Diantaranya hak Allah Swt., lalu hak para
rasulNya. Setelah kita mengenal Allah dan RasulNya kita perlu meyakini apa yang
telah disampaikannya, seperti rukun Islam, yaitu membaca syahadat, mengerjakan
shalat, melaksanakan puasa, berzakat bagi yang cukup syaratnya, serta naik haji
bagi yang mampu. Begitu juga mengetahui rukun iman, serta beberapa tuntunan
Islam seperti shalat, wudhu dan lain-lain.
Orang
yang menempuh jalan kepada Allah dengan sendirinya, tentu tidak sama dengan
orang yang menempuh jalan kepada Allah secara bersama-sama yaitu melalui
seorang mursyid. Sebagai contoh kalau kita ingin ke Mekkah dan kita
belum pernah ke Mekkah dan belum mengenal Mekkah, tentu berbeda dengan orang
yang datang ke tempat tersebut dengan disertai pembimbing atau mursyid.
Orang
yang tidak mengenal sama sekali tempat tersebut, karena meyakini berdasarkan
informasi dan kemampuannya maka itu sah-sah saja. Namun bagi orang yang
disertai mursyid akan lebih runtut dan sempurna, karena pembimbing tadi sudah
berpengalaman dan akan mengantar ke rukun yamani, sumur zamzam, makam Ibrahim,
dan lain-lain. Meski orang tersebut sudah sampai ke Ka’bah namun apabila tidak
tahu rukun yamani, dia tidak akan mampu untuk thawaf karena tidak tahu
bagaimana memulainya.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa seseorang yang ingin berthariqah haruslah
melalui para guru atau mursyid, agar jalan yang ditempuh dapat berjalan dengan
baik dan bisa mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin.
Agama
Islam adalah agama yang fleksibel, yaitu maksudnya bahwa agama Islam tidak
memberatkan kepada umatnya tentang suatu ibadah. Dalam arti orang Islam
melakukan suatu ibadah itu menurut kemampuannya masing-masing, karena kemampuan
seseorang dengan orang yang lain tentu berbeda-beda. Itulah sebabnya mengapa
tingkatan-tingkatan seseorang dalam beribadah kepada Allah pun berbeda-beda
pula. Memang tujuannya sama, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan
tetapi tentu hasilnya akan berbeda menurut dengan usaha yang dilakukan.
Dalam
beribadah tentu sekelompok orang memiliki cara yang berbeda-beda dalam mencapai
kesempurnaan untuk dapat mengerti Allah dan dekat dengan Allah Swt. Cara-cara
tersebut sah-sah saja asal tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh
syariat, dan tidak menyesatkan.
Kaitan
Thariqah dan Tasawuf
Tasawuf
adalah salah satu usaha peniadaan diri, yaitu menyerahkan seluruh jiwa dan raga
hanya untuk mengabdi kepada Allah Swt. Itulah cara yang kebanyakan ditempuh
oleh seorang sufi, melalui ritual-ritual khusus dan amalan-amalan yang
berbeda-beda pula. Amalan-amalan tersebut ditunjukan untuk menyanjung Allah dan
mengakui kebesaran Allah Swt. Allah adalah Dzat yang Mahapengasih dan
penyayang. Barangsiapa yang ingin berusaha dengan sungguh-sungguh pasti Allah
akan mengabulkannya.
Salah
satu ungkapan yang sangat masyhur di kalangan praktisi tasawuf Islam dari dahulu
hingga sekarang adalah man arafa nafsahu arafa rabbahu.
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّه
Artinya,
“Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Ibnu
Taimiyah menilainya sebagai hadits maudhu’. Sedangkan Az-Zarkasyi dalam
hadits-hadits masyhurnya mengutip perkataan Imam As-Sam’ani yang menyebutkan
bahwa ungkapan itu merupakan perkataan dari seorang ulama sufi terkenal Yahya
bin Muadz Ar-Razi.
Walau
ungkapan di atas merupakan hadits maudhu’ dan hanya perkataan salah seorang
ulama yang bernama Yahya bin Muadz Ar-Razi yang terlanjur dianggap sebagai
hadits oleh sebagian kalangan, namun maknanya sangat mendalam.
Imam
As-Suyuthi menjelaskan bahwa ketika seseorang mengetahui bahwa sifat-sifat yang
melekat di dalam dirinya merupakan kebalikan dari sifat-sifat Allah SWT. Ketika
ia mengetahui bahwa dirinya akan hancur, niscaya ia akan sadar bahwa Allah
mempunyai sifat baqa’ (abadi). Begitu juga ketika ia mengetahui dirinya
diliputi oleh dosa dan kesalahan, maka ia akan menyadari bahwa Allah bersifat
Maha Sempurna dan Maha Benar. Selanjutnya orang yang mengetahui kondisi dirinya
sebagaimana adanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagaimana ada-Nya.
Thariqah
itu
min ahli la ilaha illallah, dimana ajarannya mencermikan setelah kita iman
dan Islam lalu Ihsan. Makna Ihsan dalam hal ini adalah menyembahlah
kepada Allah seolah-olah kita melihat Allah. Kalau tidak mampu, kita harus
yakin bahwa kita sedang dilihat Allah Swt. Dengan merasa didengar dan dilihat
oleh Yang Maha Kuasa, itu akan mengurangi perbuatan-perbuatan yang merugikan
dirinya sendiri apalagi kepada orang lain. Karena kita malu, takut kepada Yang
Maha Kuasa.
Tasawuf
itu sendiri berfungsi untuk menjernihkan hati dan membersihkan hawa nafsu dari
berbagai sifat yang dimiliki manusia, utamanya sifat kesombongan yang
disebabkan oleh banyak hal. Jika ajaran tasawuf itu diamalkan, tidak ada yang
namanya saling dengki dan saling iri, justru yang muncul adalah saling mengisi.
Tasawuf
itu buah dari thariqah. Pakaian thariqah adalah tasawuf yang
bersumberkan dari akhlak dan tatakrama (adab). Contohnya, orang masuk
kamar mandi dengan kaki kiri terlebih dahulu, masuk masjid mendahulukan kaki
kanan, dll. Itu semua ajaran tasawuf. Contoh lain, sebelum makan baca Basmalah
dan setelah selesai baca Hamdalah. Apa yang diajarkan dalam tasawuf sebagai
bentuk rasa terimakasih kepada yang memberi rejeki. Kita ambil satu butir nasi
yang terjatuh, karena kita sadar bahwa kita tidak bisa membuat butir nasi, lalu
kita bersyukur. Itu semua ajaran tasawuf.
Nah,
kalau syariat itu terbatas. Maka jika syariat yang diberlakukan, orang
mabuk tidak boleh berdekatan dengan orang Muslim. Kalau tasawuf tidak demikian,
mereka harus diajak bicara, mengapa mereka mabuk. Kita tidak boleh tunduk
dengan pejabat karena ada alasan tertentu, akan tetapi kita wajib menjaga
wibawa pejabat di hadapan umum, sekalipun dengan pribadi kita ada
ketidakcocokan. Akan tetapi jangan asal tabrak. Ini semua juga ajaran tasawuf.
Berthariqah
dan Batasan Usia
Jika
belajar dzikir kepada Allah Swt. menunggu sudah tua, iya kalau umurnya sampai
tua. Bagaimana kalau masih muda meninggal? Yang terpenting adalah mereka
mengerti tata urutan berthariqah, mengerti syarat dan rukunnya dulu
seperti masalah wudhu dan shalat, mengerti sifat wajib, jaiz dan mustahil
Allah, mengetahui halal dan haram.
Kalau
menertibkan hati menunggu tua, nanti terlanjur hati berkarat tebal. Maka sejak
usia muda seyogyanya mereka mulai mengamalkan ajaran thariqah, seperti MATAN
(Mahasiswa Ahlit Thariqah An-Nahdliyyah).
Apakah
boleh mengikuti baiat thariqah, padahal masih belajar ilmu syariat?
Setiap Muslim tentu boleh, bahkan harus, berusaha menjaga serta meningkatkan
kualitas iman dan Islam di hatinya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan
berthariqah. Namun berthariqah sendiri bukan hal yang sangat mudah. Karena,
sebelum memasukinya, seseorang harus terlebih dulu mengetahui ilmu syariat.
Tapi juga bukan hal yang sangat sulit, seperti harus menguasai seluruh cabang
ilmu syariat secara mumpuni.
Yang
diprasyaratkan untuk masuk thariqah hanya pengetahuan tentang hal-hal
yang paling mendasar dalam ilmu syariat. Dalam aqidah, misalnya, ia
harus sudah mengenal sifat wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah. Dalam fiqih, ia
sudah mengetahui tata cara bersuci dan shalat, lengkap dengan syarat, rukun,
dan hal-hal yang membatalkannya, serta hal-hal yang dihalalkan atau diharamkan
oleh agama.
Jika
dasar-dasar ilmu syariat sudah dimiliki, ia sudah boleh berthariqah. Tentu saja
ia tetap mempunyai kewajiban melengkapi pengetahuan ilmu syariatnya yang bisa
dikaji sambil jalan. Syariat lainnya adalah umur yang cukup (minimal 8 tahun),
dan khusus bagi wanita yang berumah tangga harus mendapat izin dari suami. Jika
semuanya sudah terpenuhi, saya menghimbau segeralah ikut thariqah.
Semua
thariqah, asalkan mu’tabarah, ajarannya murni dan silsilahnya (sanad)
bersambung sampai Rasulullah Saw., sama baiknya. Karena semua mengajarkan
penjagaan hati dengan memperbanyak dzikrullah, istighfar dan shalawat.
Yang terpenting, masuklah thariqah dengan niat agar kita bisa
menjalankan Ihsan, jangan masuk thariqah karena khasiatnya atau
karena cerita kehebatan guru-guru mursyidnya.
Disadur dari Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan). Beliau merupakan Rais ‘Amm JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah).
0 komentar:
Posting Komentar