Sebagai sebuah ajaran, agama Islam tentu
memiliki aturan-aturan yang harus ditaati pemeluknya. Batasan-batasan ini
diyakini sebagai aturan ketuhanan (divinity
rules). Karena ia aturan ketuhanan, maka sudah sewajarnya jika ajaran Islam
hanya bisa dideduksi melalui risalah kenabian (baca: Alquran dan hadis).
Masalahnya, risalah kenabian bersifat terbatas sedangkan problem sosial manusia
bersifat tidak terbatas. Maka menyikapi realitas ini muncullah sebuah disiplin
ilmu bernama fikih.
Salah
satu problematika yang cukup menarik untuk disimak adalah permasalahan musik.
Beberapa sarjana fikih meyakini bahwa musik adalah hal yang dilarang, sementara
sebagian yang lain meyakini bahwa musik adalah hal yang dibolehkan. Bahkan
cenderung dianjurkan.
Ada
beberapa ulama yang berada di posisi kontra musik. Imam Syafi’i misalnya, ia disebut-sebut pernah
mengatakan: “Barangsiapa yang terlalu sering mendengarkan musik maka ia tak
pantas menjadi hakim dan kesaksiannya di pengadilan tidak diterima.” Dua
pekerjaan yang disebut Imam Syafi’i (menjadi hakim dan saksi) adalah pekerjaan
yang hanya boleh diemban oleh orang yang berwibawa. Musik, ujar beliau, adalah
sebuah kegiatan yang bisa merusak wibawa.
Tak
hanya beliau, beberapa sarjana fikih ternama pun disebut-sebut melarang untuk
mendengarkan musik: Imam Hanafi, Imam Malik hingga Ibnu Taymiyah. “Lekat dengan
minuman keras”, “identik dengan tarian striptis”, serta “bisa membuat lupa
Allah” adalah di antara hikmah-hikmah diharamkannya musik (ingat, hal-hal ini
adalah “hikmah”, bukan alasan. Secara fikih alasan dan hikmah memiliki
implikasi berbeda).
Namun
demikian, argumen ini banyak mendapatkan perlawanan dari para sarjana lain yang
tak kalah populer. Kelompok pro musik ini di antaranya diwakili oleh dua
spektrum penting: Ibnu Hazm, seorang ulama fikih murni. Dan jangan salah Imam
al-Ghazali, seorang fakih cum sufi, punya pendapat yang keren tentang musik.
Mari kita tengok dua pendapat ulama besar ini satu per satu.
Dalam
karya besarnya, Al-Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm berhasil membuktikan bahwa
semua risalah kenabian (baca: hadis) tentang keharaman musik adalah dalil yang
tak bisa dijadikan pegangan. Di buku itu membuktikan secara luar biasa bahwa
tak ada satu dalil otentik pun yang mengharamkan musik. “Mendengar musik,” ujar
Ibnu Hazm, “tak ubahnya seperti berjalan-jalan ke taman.”
Jika
Ibnu Hazm berada dalam kubu pro musik dengan cara khas fikih, maka al-Ghazali
berada dalam kubu pro musik dengan posisi yang sedikit unik. Ia mendedah
dalil-dalil keharaman musik secara rasional. Ia membuat premis-premis yang tak
bisa disangkal. Lalu ia sampai kepada kesimpulan: mendengarkan musik adalah hal
yang dianjurkan (sunnah)!
Dalam
Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali mengawali perbincangannya tentang musik dalam
sebuah bab tersendiri yang ia namakan Kitab Sima’
wal Wajd (Bab Mendengarkan Musik dan Ekstase). Ia berkata bahwa haram itu
hukum syariat. Karena hukum syariat, maka suatu hal bisa dihukumi haram melalui
dua hal: dalil dan analogi (qiyas).
Secara
logis dan analogis, ujar al-Ghazali masih dalam Ihya’-nya, musik adalah bunyian yang terstruktur (mawzun) yang timbul dari benda mati
(terompet, tabuhan, atau gitar) atau makhluk hidup (suara manusia atau binatang
lain). Musik, ujar al-Ghazali, hanya bisa dinikmati dengan indera pendengaran.
Jika musik itu enak didengar, maka indera dengar pun akan bilang kepada pikiran
bahwa musik tersebut nyaman. Begitu juga jika tidak enak didengar, maka pikiran
pun akan memberi sugesti bahwa musik tersebut tak nyaman.
Maka mendengar musik adalah kegiatan yang menyangkut salah
satu dari lima indera. Oleh karena itu, ujar al-Ghazali, jika musik—yang mana
ia adalah bunyian yang enak didengar—adalah haram, maka hendaknya bau wangi,
makanan enak, atau warna yang indah dipandang juga harusnya diharamkan.
Hal
ini tentu tak mungkin. Maka sebagaimana parfum dan pemandangan indah, musik
tidaklah haram, demikian ujar al-Ghazali. Musik hanyalah cernaan indera seperti
halnya bau wangi bagi hidung atau warna indah bagi mata.
Di
halaman lain, al-Ghazali membangun argumen lain begini: jika ada ular dan bayi
mendengarkan musik, maka dua makhluk ini akan menari. Ini berarti musik adalah
semacam divine nature di dalam diri manusia. “Jika mendengar musik
haram,” tulis al-Ghazali, “maka tentu suara burung pun akan haram pula.”
Lantas bagaimana dengan dalil keharaman
musik menurut al-Ghazali?
Jawabannya:
Dengan pengandaian bahwa hadis itu sahih,
al-Ghazali berpandangan bahwa semua hadis tentang keharaman musik itu bukanlah
karena musik itu sendiri haram. Melainkan karena faktor eksternal (amr
kharij) yakni misal tarian gadis, khamr, judi, dan lain-lain.
Keidentikan inilah yang pada akhirnya memicu Nabi Muhammad saw melarang
mendengar musik. Maka sesuai kaidah fikih, jika faktor eksternal ini tidak
ditemukan ketika mendengar musik, maka musik menjadi boleh. Bahkan jika musik bisa
mendekatkan diri kepada Tuhan, ia menjadi sunnah. Demikianlah
sekilas tentang musik dan fikih.
Dikutip dari alif.id
0 komentar:
Posting Komentar