Seorang pemikir agnostik Prancis
berkata bahwa seseorang dapat hidup tanpa agama, tapi sebaliknya ia tak akan
dapat hidup tanpa sebuah komune. Dalam Marxisme, komune itu seperti “hak milik
kolektif” yang berbeda secara tegas dengan “hak milik pribadi”. Komune adalah
segala nilai (sekaligus masyarakat itu sendiri) yang tumbuh dan hidup dalam
kurun sejarah yang panjang.
Sayangnya,
di Indonesia tidak mengenal istilah sekuler dalam arti pondasi dan ideologi
negara. Status negara hukum di Indonesia memungkinkan setiap aspirasi, hukum
agama, adat-istiadat dan norma-norma yang baik dapat berpartisipasi dalam
membentuk peraturan-peraturan konstitusional yang secara yuridis harus dipatuhi
oleh seluruh warga negara sesuai dengan tuntutan dan konteks yang berlaku.
Tentu saja,
hukum negara tidak dapat mengintervensi segala tindakan masyarakat. Seperti
tindakan kriminal dan berdosa, dua bentuk tindakan ini memiliki perbedaan yang
sangat substansial di hadapan hukum negara. Negara hanya bisa mengintervensi
bentuk tindakan kriminal sesuai dengan koridor undang-undang, sementara
tindakan berdosa murni wilayah privat agama yang secara vertikal hanya terkait
dengan hubungan antara pelaku dengan Tuhan yang ia yakini. Biasanya, urusan
yang berkaitan dengan agama diselesaikan dalam konteks lokalitas sesuai dengan
tradisi dan kebiasaan-kebiasaan setempat.
Negara menetapkan status yuridis
pada agama hanya pada wilayah hukum perdata/keluarga saja. Hal ini dilakukan
karena negara ingin memastikan stabilitas dalam hubungan rumah tangga bahkan
pada wilayah-wilayah yang paling spesifik, lagi-lagi negara ingin memastikan
setiap individu mendapatkan hak-haknya secara layak tanpa ada yang dirugikan
satu sama lain, seperti status yuridis pada masalah perkawinan.
Itulah
kenapa, jika ada seorang religius (minimal pada tahap warisan keimanan) yang
ternyata telah kehilangan imannya, ia tetap dianjurkan menikah secara resmi
(mesti tidak wajib) agar negara tetap dapat memastikan hak-haknya dihadapan
keadilan. Meski tindakan ini agak begitu naif, karena pernikahan adalah salah
satu bagian paling sakral dan normatif dalam agama. Ia tidak akan berarti
apa-apa ketika seseorang telah melepas imannya (paling tidak doktrin agamanya)
dan memilih “merekah” menjadi subjek yang bebas. Lagi-lagi, seseorang tidak
akan dapat hidup tanpa nilai yang berkembang dalam suatu “komune”, nilai itu
bisa berarti agama, norma-norma adat, yuridis, normatifitas dan segala sesuatu
yang menjadi pegangan bersama. Inilah “hak kolektif” yang tidak pernah bisa
ditinggalkan.
Perlu
diketahui, setiap komune pasti memiliki suatu episteme, yakni cara kerja suatu
pemikiran dalam masyarakat tertentu, episteme ini selalu menentukan arah dan
kebijakan praktis yang berkaitan dengan hubungan sosial dan norma-norma yang
diberlakukan. Artinya betapapun bebasnya kehidupan suatu masyarakat, mereka
pasti menetapkan suatu aturan baku meski hanya berlaku pada lokalitas mereka.
Aturan semacam ini sangat penting untuk membatasi kebebasan setiap individu
dihadapan kebebasan orang lain atau masyarakat secara kolektif. Hampir tidak
mungkin untuk hidup sebebas-bebasnya, disamping menyalahi demokrasi juga akan
merusak hak-hak individu.
Hampir semua
agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan, ini sifatnya universal karena tidak
mungkin kebaikan pada saat yang sama bersandingan dengan keburukan, dua hal ini
dalam linguistic-struktural bersifat oposisi biner yang selalu dipertentangkan.
Oposisi biner itu seperti ideologi, ia tidak hanya menggambarkan realitas
tetapi juga membentuk realitas itu sendiri. Itulah kenapa bahasa selalu menjadi
instrumen paling penting dalam menetapkan segala sesuatu. Jika suatu ketika
agama membawa bencana bagi umat manusia, maka yang perlu diperiksa adalah cara
bagaimana seseorang memahami agama. Interpretasi terhadap agama sama sekali
tidak mewaliki nilai-nilai ideal yang berlaku bagi agama tersebut. Seperti
kebaikan dan kejujuran, tidak akan pernah menjadi buruk hanya karena ia
disalahgunakan atau disalahtafsirkan.
Agama itu bukan budaya, tetapi agama
tidak dapat hidup tanpa budaya. Doktrin normatif agama mungkin universal bagi
penganutnya, karena ia tidak hanya menggambarkan kebenaran yang dijustifikasi
oleh keyakinannya, tetapi juga sebentuk “pandangan hidup” yang kiranya dapat
mewarnai kebaikan-kebaikan dilingkungan di mana ia hidup. Budaya sebagai baju
pelengkap bagi agama tidak pernah menjadi universal dan selalu berbeda-beda
dalam setiap konteks masyarakat secara luas
Status hukum
Islam tentang hijab misalnya, adalah sebuah aporia atau batas maksimal
ukuran sopan santun bagi perempuan yang dijustifikasi oleh kebudayaan tertentu
(karena tradisi hijab sudah hidup di luar atau bahkan sebelum Islam lahir),
hukum Islam paling tidak, ingin memastikan tidak akan terjadi chaos
dalam suatu masyarakat karena perbedaan mendasar akan kebutuhan biologis dan
seksual secara substansial. Dalam konteks episteme, masyarakat tertentu pasti
memiliki ukuran sopan santun tanpa harus menciderai hak-hak dan kebebasan
perempuan atas nama hijab.
Beberapa
feminis muslim juga berdebat, seperti Amina Wadud dan Mernissi tentang apakah
hijab masih relevan bagi kehidupan perempuan muslim saat ini, mengingat hijab
dianggap sebagai penanda akan “kekurangan” dan sebuah hasrat akan “keutuhan”
perempuan dihadapan laki-laki. Bagi Mernissi, hijab tak lain adalah legitimasi
bagi tradisi patriarki dalam masyarakat muslim. Waduh justru menganggap bahwa
hijab adalah ukuran sopan santun paling primordial bagi keutuhan perempuan
muslim. Betapa keadilan agama itu begitu sangat relatif dihadapan kehidupan
ini.
Jadi,
perempuan (bahkan juga laki-laki) dapat memilih secara bebas ukuran sopan
santun yang ia anggap layak diperjuangkan atas kehormatan yang ia miliki.
Mengingat, Indonesia adalah negara hukum berbasis demokrasi yang memberikan
kebebasan penuh pada setiap individu selama ia tidak bertindak secara kriminal,
terserah dosa macam apa yang ingin dilakukan karena ini hanya berkaitan antara
subjek pelaku dan Tuhan. Jika pun seseorang lebih memilih untuk melepaskan baju
keimannya, ia tetap harus menetapkan kaidah moral bagi dirinya, anak cucuknya,
dan yang lebih penting pengakuan terhadap kaidah moral secara kolektif. Bukan
untuk mengakui kebenaran “kaidah kolektif” tetapi agar tetap dapat bertahan
hidup.
Agama itu memang unik, kita bisa
benar-benar melepaskannya, tetapi agama tidak akan pernah bisa benar-benar
melepaskan diri kita, paling tidak dalam masyarakat kita (dalam komune yang
mengikat diri kita).
Dalam
konteks epistemologi, ada perbedaan fundamental antara “kebenaran” agama, ilmu
pengetahuan, sastra atau bahkan filsafat itu sendiri. Kebenaran agama biasanya
sangat dogmatis dan hanya “keyakinan” saja yang dapat menjastifikasi, kita
hanya perlu “melepas iman” untuk benar-benar mengerti bahwa agama itu sama
sekali tidak benar, bahkan tidak perlu.
Sastra,
menurut para penyair atau guru sufi, adalah gerbang menuju kebebasan yang
paripurna dalam ruang imajinasi. Ilmu pengetahuan adalah bentuk kepastian
tertinggi (diruang kesadaran) yang dapat dicapai oleh umat manusia. Sementara
filsafat, memberikan arti penting tentang kehidupan melalui “akal sehat” dan
spekulasi subjektifnya yang paling mendalam. Keempat hal ini dapat beralih
fungsi tetapi tidak dapat dipertukarkan secara tegas.
Adalah suatu
sikap yang tergesa-gesa, misalnya, jika menyamakan begitu saja antara agama dan
ilmu pengetahuan. Agama sebagai way of life hanya berlaku bagi seseorang
yang memiliki keteguhan iman terhadapanya, pada wilayah ini agama kebal kritik,
sejauh ia bergerak pada wilayah privat dan tidak menganggu pandangan hidup
orang lain. Sementara dimensi agama yang “historis”, bukan hanya perlu tetapi juga
penting untuk dikritik, karena sebagai sistem iman yang baku, agama perlu
penyesuaian-penyesuaian terhadap perkembangan zaman. Itulah kenapa, betapapun
canggihnya orientalis dalam mengkaji dunia ketimuran atau Islam misalnya,
mereka tidak akan pernah bisa bergerak melebihi sisi historis dari agama Islam.
Sementara ilmu pengetahuan adalah
bentuk paling objektif dalam melihat dunia material. Ilmu pengetahuan tidak
akan pernah bisa bergerak pada wilayah meta-empirik seperti agama, karena ia
membutuhkan justifikasi ilmiah dan obektif di mana seluruh sistem keyakinan
kita dan pandangan hidup kita, tidak boleh ikut campur secara tegas.
Jika Anda
masuk pada laboratorium-laboratorium sains, Anda harus melepaskan seluruh baju
kebudayaan dan harus melihat fakta-fakta secara apa adanya. Hal ini dilakukan
agar ilmu pengetahuan dapat menemukan hukum-hukum universal (dan ini bekerja
secara dialektis) atas kebenaran dan gerak alam semesta, yang dalam banyak hal
“agama” (dan penafsir agama) tidak dapat melakukannya.
Seseorang
dapat mengkritik habis-habisan sisi historis dari agama, tetapi ia tidak bisa menghakimi “agama” dan
secara sepihak terhadap pandangan hidup orang beragama. Karena itu menyalahi
privasi dan otoritas individual dari logika iman yang ia miliki. Begitu juga,
seseorang dapat mengkritik secara habis-habisan sisi kebenaran dari ilmu
pengetahuan, tetapi ia juga harus mengikuti alur hukum-hukum objektif yang
bekerja di dalamnya, yang otoritasnya hanya dimiliki oleh para ilmuwan. Kita
adalah kaum saintifis yang sudah terlanjur “percaya” dengan kebenaran-kebenaran
ilmu pengetahuan.
Agama pun
juga begitu, ia memiliki “otoritas pewaris nabi” yang menjaga dan melestarikan
kebenaran-kebenaran agama sebagai “pandangan hidup” bagi pengikutnya di tengah
gempuran orang-orang yang sudah tidak percaya dan bahkan menghakimi agama atas
nama kebebasan. Kritik atau otokritik sangatlah penting, tetapi bukan
diproyeksikan untuk menjatuhkan dan menghinakan sesuatu yang bukan menjadi hak
milik diri sendiri. “otoritas pewaris nabi” memang bukan wakil Tuhan, karena
Tuhan memang tidak membutuhkan wakil. Hanya kitalah yang membutuhkan wakil,
membutuhkan pengakuan, dan membutuhkan “pengangan” atas nama hidup, bisa berupa
agama, kebebasan, negara, ideologi, pandangan hidup, dan kaidah moral yang
diyakini benar. Kita hanya akan menjadi lebih baik, untuk diri kita sendiri.
Setiap
manusia membutuhkan “jalan pulang” atau “pergi saja”. Dalam hidup ini hanya ada
satu yang pasti, yakni kematian. Entah seberapa normatif dan bebasnya jalan
hidup yang kita pilih, tidak bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan
“pengangan-pengangan”, satu pengangan dilepas, kita akan segera bertemu dengan
pegangan yang lain. Jalan pulang, mengandaikan arah untuk kembali, menetap, dan
menatap masa depan. Kita tinggal memilih, untuk pergi jauh dan memutus jembatan
di belakang kita, berjalan menapaki ruang yang tak pernah dilewati. Atau,
memilih untuk kembali, di jalan pulang, di rumah asal usul kita.
Dikutip dari
alif.id
0 komentar:
Posting Komentar