Pages

Kamis, 17 Juni 2021

Filsafat Sebagai Basis Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer

 

Sumber gambar: Islamlib.com

Gagasan mengenai kebangkitan Islam (an-nahdah al-Islâmiyyah) di dunia Arab-Islam telah mengantarkan kaum muslimin kepada tiga persoalan utama, yakni sikap terhadap tradisi Islam, sikap terhadap tradisi Barat, dan sikap terhadap realitas kekinian. Ketiga persoalan ini, pada gilirannya, menjadi positioning sikap kultural yang menjadi poros perbincangan, perdebatan, dan pencarian para intelektual Arab kontemporer dalam upaya penggalian otentisitas tradisi yang diandaikan menjadi spirit dalam menghadapi realitas kekinian umat Islam (al-ashâlah wa al-mu’âsarah).

 

Berbagai eksperimentasi telah dilakukan, baik pada ranah politik maupun kebudayaan. Meskipun demikian, pandangan yang dominan dalam menyikapi ketiga persoalan di atas, kalau tidak apologis dan ideologis maka cenderung bersifat a-historis. Ini tampak pada frame works kalangan yang disebut tradisionalis dan fundamentalis. Kelompok ini beranggapan bahwa formula kebangkitan harus berpijak pada ranah tradisi. Mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran Islam klasik serta meresonansikannya untuk kembali pada ajaran Islam klasik secara total, dalam pandangan kelompok ini, merupakan suatu kebutuhan bagi kebangkitan Islam.

 

Demikian juga halnya dengan kalangan yang disebut modernis dan sekular. Kelompok ini mengusung asumsi yang berkebalikan dari kelompok tradisionalis. Mereka beranggapan bahwa formula kebangkitan Islam harus mengambil dari tradisi Barat, karena Islam dianggap tidak mengatur secara mendetil masalah-masalah kenegaraan selain hanya nilai-nilai universalnya saja, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan seterusnya.

 

Dalam arena inilah, Hassan Hanafi, seorang intelektual muslim yang namanya sudah sangat populer di tengah wacana keislaman di tanah air, secara serius dan konsisten, yang disertai dengan dedikasi keilmuan yang tinggi dan tanpa lelah berusaha untuk keluar dari jebakan sikap apologetik-ideologis dan a-historis dari kecenderungan dua kelompok di atas. Baginya, kebangkitan Islam tidak akan terwujud dengan hanya menonjolkan satu sikap kultural dan mengesampingkan dua sikap kultural yang lain, melainkan harus berpijak dalam keseimbangan pada ketiga sikap kultural di atas.

 

Menurut Hassan Hanafi, ketidakseimbangan di dalam sikap kultural, hanya akan menyebabkan pupusnya kesatuan identitas (wahdah asy-syakhshiyyah) dan “keretakan yang payah” di kalangan bangsa Arab sendiri, sehingga peradaban-peradaban, metode-metode pendidikan dan aliran-aliran politik saling berbenturan, yang pada gilirannya hanya mengakibatkan kesatuan nasional dan identitas kebangsaan menjadi hancur.

 

Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan salah satu eksplorasi kegelisahan Hassan Hanafi terhadap tiga sikap kultural yang tidak imbang, yang ada dalam kebudayaan Arab-Islam, terutama di ranah kajian filsafat. Sebuah identifikasi persoalan yang ia sebut dalam kerangka besar pemikirannya sebagai bagian dari “problem-problem kontemporer”.

 

Agak sedikit berbeda dengan karya Hassan Hanafi yang telah kami terbitkan sebelumnya, yakni: Islamologi 1: dari Teologi Statis ke Anarkis; Islamologi 2: dari Rasionalisme ke Empirisisme; dan Islamologi 3: dari Teosentrisme ke Antroposentrisme, yang lebih banyak berbicara tentang persoalan-persoalan keislaman secara umum, seperti teologi, ushul fiqh, filsafat, tasawauf, dan kesadaran sosial umat Islam, maka di dalam buku ini, Hassan Hanafi lebih memfokuskan kajiannya pada persoalan-persoalan filsafat di dunia Islam dan Barat. Namun demikian, kajian-kajian yang dilakukan oleh Hassan Hanafi (hampir di dalam seluruh karyanya) tentu memiliki keterkaitan yang erat.

 

Dalam buku ini, dia mengungkapkan betapa filsafat tengah mengalami puncak krisis di tengah-tengah masyarakat Arab-Islam. Filsafat yang seharusnya merefleksikan sebuah generasi dan peradaban, saat ini, menurutnya, justru telah menjadi dokumen dan artefak beku yang terus-menerus dibaca dan dipelajari, namun tanpa upaya mendialogkannya dengan realitas kekinian. Filsafat hanya “pajangan” pemikiran tanpa disertai pembacaan kritis dan kreatif terhadapnya.

 

Dengan demikian, filsafat seperti kehilangan konteks. Ia dianggap sebagai warisan tradisi yang taken for granted dan final serta terlepas dari konteks zamannya. Mempelajari filsafat, pada akhirnya hanya terperangkap dalam penjara-penjara pemikiran para filsuf, tanpa mengalami transformasi pemikiran dalam realitas sosial. Filsafat hanya menjadi alat analisis sosial bagi kaum intelektual dan sebagai eskapisme dari tanggung jawab intelektual mereka.

 

Kondisi di atas, menurut Hassan Hanafi, makin diperparah dengan menguatnya pandangan yang mengatakan bahwa ‘filsafat’ bersumber dari Barat, bukan dari tradisi, karena di dalam tradisi, istilah filsafat tidak populer. Istilah yang dikenal dalam tradisi adalah ‘hikmah’. Karena pemahaman seperti inilah maka terjadi dualisme dalam melihat realitas kekinian di negara-negara Arab-Islam.

 

Bagi Hassan Hanafi, baik tradisi maupun Barat dalam pemikiran filsafat harus dilihat dalam konteks dan semangat zaman sehingga tradisi tidak menjadi stagnan, dan Barat bukan menjadi acuan tanpa sikap kritis, melainkan harus dilihat dalam batas-batas peradaban dan kelahiran pemikiran-pemikiran filosofis tersebut (baca: oksidentalisme).

 

“Liberasi” Makna Membaca

 

Membaca, secara filsufis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal maupun kesadaran eksternal. Mengapa? Karena membaca adalah memahami. Dalam konteks ini, aktivitas membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, mendalami, mengidentifikasi, dan menginterpretasi dalam orientasi praksis. Untuk itu, terdapat relasionalitas antara pembaca dan yang dibaca dalam orientasi realitas sehingga tidak ada kesenjangan antara teks dan konteks, subjek dan objek. Dengan demikian, membaca adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap objek dengan sentuhan orientasi perubahan. Bahkan, membaca adalah tanggung jawab moral subjek terhadap realitas yang mengelilinginya.

 

Oleh karena itu, seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran hermeneutis. Proses membaca yang demikian itu akan berimplikasi pada terciptanya pola dialog interaktif, bebas dominasi, dan inklusif. Implikasi selanjutnya adalah terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas. Sebab, filsafat bukan semata-mata pikiran yang a-historis, a-sosial, dan a-kultural, melainkan merupakan sistem pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masa tertentu, dibangun oleh suatu generasi bangsa tertentu, dan melayani komunitas sosial tertentu serta mengekspresikan peradaban.

 

Filsuf adalah orang yang memiliki sikap kebudayaan dengan mengambil sikap terhadap tradisi klasik dan mengambil sikap kritis terhadapnya sehingga ia dapat menyingkap selubung persepsi klasik dalam rangka proses teoretisasi lain dengan menggunakan ratio (nalar) dan nature (alam) sebagai dua poros utama ilmu pengetahuan baru. Selain itu, ia juga mengambil sikap kritis terhadap tradisi Barat dengan mereduksikannya ke dalam batas-batas lokalnya. Dengan kata lain, seorang filsuf selalu melakukan internalisasi nilai untuk diproyeksikan pada wilayah praksis. Ia adalah orang yang cenderung pada bendanya sendiri, sebagai orang yang melepaskan diri dari al-manqûl menuju al-ma’qûl melalui observasi, sensasi, dan pengalaman empirik.

 

Sudah saatnya sekarang ini kita (baca: masyarakat muslim) mengeksplorasi perjalanan sejarah, beralih dari merujuk ke masa lampau menuju masa depan dengan berpijak pada pencapaian solusi-solusi yang telah ditawarkan untuk mengatasi problematika masa kini. Peralihan itu bukan berarti mencerabut kehendak masa kini dan mengabaikan tendensi atau kompensasi non-kesadaran dan melarikan kesadaran dari krisis-krisis zaman. Kembali pada masa lampau ataupun berorientasi menuju masa depan kadang merupakan sikap yang menyenangkan apabila di dalam sikap itu mengabaikan masa kini, desersi, tenang, melupakan dan mengompensasikannya. Bahkan sikap kembali pada masa lampau itu merupakan sikap yang tepat apabila bertujuan untuk membahas akar-akar sejarah krisis-krisis zaman sampai pada pencapaian solusi secara mendasar atau planning ke masa depan dan mempersiapkannya sehingga tidak terjebak dalam chaos, anarkisme yang membabi buta, dan kebimbangan.

 

Perspektif yang demikian ini bukan semata-mata bertujuan mengetahui peristiwa-peristiwa masa lalu dan akumulasi informasi dari dokumen-dokumen, prasasti-prasasti, manuskrip-manuskrip, dan sumber-sumber pokok sebagaimana yang terdapat dalam aliran historisisme yang dominan di Barat pada abad yang lampau dan dalam Historical Reductionism yang mulai dijauhi oleh kajian sejarah kontemporer. Sebab, model ini hanya mengamati peristiwa satu persatu tanpa memberikan makna, signifikansi ataupun hukum (sejarah), lebih mengedepankan ruang daripada waktu, discontinuance daripada continuation. Ia bukan sekadar mengamati berbagai peristiwa seolah-olah kita berada dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang dituangkan ke dalam kesadaran individual. Sejarah merupakan akar dan dasar bagi kesadaran. Ia bukan sekadar memori masa lalu, melainkan alur dan hukum, semangat sejarah. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran sejarah sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran nasional yang memberikan pengalaman-pengalaman sejarah masa lampau untuk melihat masa kini dan beberapa faktor pembentuknya.

 

Masa Kini dan Masa Lampau

 

Masa kini merupakan akumulasi dari masa lampau. Kendatipun berbagai peristiwa terjadi dalam rangkaian waktu, diachronism, namun hal itu mempunyai struktur, synchronism. Masa kini memberikan pencerahan pada masa lampau melalui pemilihan objek dan penarikan kesimpulan. Relasionalitas masa lampau dengan masa kini terjadi hanya dalam satu kesadaran nasional untuk memanifestasikan kontinuitas dalam kepribadian sejarah, untuk mengeksplorasi dan mengamati fase-fase dan alur-alur perkembangannya dalam sejarah. Masa lampau juga dapat membaca masa kini karena masa lampau sebenarnya merupakan faktor pembentuk masa kini. Masa lampau bisa jadi lebih partisipatif pada masa kini daripada masa kini itu sendiri. Manusia ada dalam sejarah dan hidup di dalamnya sedemikian rupa sehingga kesadaran sejarah yang merupakan kesadaran atas masa lampau mendominasi kesadaran atas masa kini dan kesadaran atas masa depan. Oleh karena itu, muncul gerakan-gerakan konservatif yang menyerukan kembali ke masa lampau sebagai satu-satunya jalan menuju kebangkitan masa kini dan mengejar masa depan. Pembacaan masa kini terhadap masa lampau dan pembacaan masa lampau terhadap masa kini merupakan dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan secara berkelindan. Keduanya merupakan dua orientasi untuk satu gerak: “bolak-balik”.

 

Hassan Hanafi, seorang filsuf kelahiran Mesir 13 Februari 1935 M., selalu menjadikan karya tulisnya sebagai persaksian atas dinamika zamannya. Ia selalu mengalunkan nada dekonstruksi-rekonstruksi terhadap realitas yang dibangun berdasarkan atas sikap kritis pada ‘diri’ (baca: tradisi intelektual Islam), sikap kritis terhadap ‘yang lain’ (baca: Barat), dan sikap kritis terhadap realitas. Untuk itu, ia selalu melakukan dialektika ‘diri’ dan ‘yang lain’ dalam orientasi praksis pada realitas aktualnya melalui analisis fungsional-efektif. Tujuannya adalah menyandingkan “tradisi” dan “modernitas” dalam gerak sejarah.

 

Sekarang ini, yang menjadi persoalan utama di dunia Islam bukanlah tajdîd at-turâts (memperbarui tradisi) atau at-turâts wa attajdîd (tradisi dan pembaruan), sebab yang menjadi starting point (pijakan) adalah ‘tradisi’. Pembaruan dilakukan dalam rangka kontinuitas kebudayaan nasional, peletakan landasan bagi masa kini, motivasi menuju kemajuan, dan keterlibatan dalam perubahan sosial. Tradisi adalah titik awal sebagai tanggung jawab budaya-kebangsaan, sedangkan pembaruan merupakan reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan tuntutan zaman. Yang lama mendahului yang baru, dan otentisitas menjadi landasan bagi konteks masa kini. Tradisi bukan merupakan fakta tunggal, melainkan ia adalah berbagai kecenderungan dan aliran yang mengekspresikan sikap, kekuatan sosial, ideologi-ideologi, dan berbagai macam pandangan.

 

Untuk itu, tradisi tidak mempunyai eksistensi yang independen, terlepas dari realitas yang dinamis dan selalu berubah, yang mengekspresikan semangat zaman, dan pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Ia merupakan kumpulan interpretasi yang diberikan oleh masing-masing generasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zamannya. Lebih-lebih, bahwa landasan primer yang menjadi sumber kemunculan tradisi itu memungkinkan bagi munculnya kemajemukan (pluralitas). Sebab, yang menjadi landasan dasarnya adalah realitas. Tradisi bukanlah kumpulan akidah yang bersifat teoretis-statis dan fakta-fakta mati yang tidak menerima perubahan, melainkan ia adalah sejumlah realisasi dari banyak teori yang muncul dalam situasi tertentu, dalam kondisi sejarah tertentu, dan dalam kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pandangan mereka tentang alam. Tradisi adalah potensi yang tersembunyi dalam psikologi publik.

 

Seorang pemikir harus memiliki jiwa nasionalis dan tidak banci. Itulah pernyataan yang sering kali diucapkan oleh Hassan Hanafi dalam berbagai kesempatan. Dalam konteks inilah dia, yang sejak kecil dirisaukan oleh realitas dunia Islam, khususnya Mesir, yang stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan, berusaha mengembangkan kesadaran, baik kesadaran keagamaan maupun kesadaran filosofis. Ia sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berkutat dan berhenti pada teks dan warisan masa lampau. Di sini ia tidak berhenti pada analisis historis dalam pengertian kembali ke masa lampau maupun analisis epistemologis, melainkan berlanjut pada analisis fungsional-praksis. Ia mempunyai sense of reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya, seperti Ad-Dîn wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqîdah ila ats-Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Qadhâya Mu’âshirah (terdiri atas 2 jilid), dan yang lainnya. Ia sangat konsen pada persoalan-persoalan riil masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan perampasan hak-hak dasar manusia yang banyak terjadi di dunia Islam. Ia sangat risih dengan sistem pelajaran dan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang tidak beranjak dari hafalan dan penumpukan materi klasik tanpa adanya inovasi-kreatif dan penghadapan pada tantangan realitas kontemporer.

 

Bagi Hassan Hanafi, sebuah pemikiran, bahkan risalah keagamaan, tidak ada artinya, bahkan bukan merupakan pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan. Dengan pernyataan tersebut, Hassan Hanafi menunjukkan dirinya tidak hanya sebagai pemikir muslim progresif garda depan, melainkan juga sebagai seorang pengusung strategi kebudayaan yang sangat kritis. Inilah yang membedakannya dari pemikir-pemikir muslim kontemporer lain, seperti Fazlur Rahman yang lebih terfokus pada pencarian metodologi memahami Al-Qur’an dan penyelidikan sejarah intelektual muslim masa Nabi hingga Abad Pertengahan, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang sangat kompeten pada kritik dekonstruktif terhadap nalar Islam klasik; bahkan Nasr Hamid Abu Zaid yang belum banyak beranjak dari posisinya sebagai pengamat pemikiran Islam.

 

Sejak semula Hassan Hanafi selalu mencurahkan perhatiannya pada realitas masyarakat muslim yang stagnan dan terbelakang. Perkembangan pemikiran kritisnya berbarengan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Jerman.

 

Kesadaran Hassan Hanafi atas realitas kehidupan terbangun sejak kecil, yakni sejak masih dalam usia bermain di sekolah dasar. Dari sini, perhatian utamanya adalah seni, tulisan formal, dan pada masa berikutnya adalah musik, yakni ketika ia berada di madrasah tsanawiyah. Kesadaran religius, yakni kesadaran atas hidup, muncul ketika ia berhubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islâm Harkah Ibdâ’iyyah fî al-Fann wa al-Hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Barangkali kekagumannya terhadap Iqbal, Bergson, Guyau, Nietzsche, dan setelah itu Dilthey, Driesch, dan Husserl hanyalah karena mereka adalah filsuf-filsuf kehidupan. Inilah yang pada akhirnya membangun hermeneutika Hassan Hanafi yang berangkat dari pengalaman yang dinamis dan kekaguman terhadap kaum romantisme Jerman, yaitu orang-orang yang keluar dari dan sekaligus melawan Hegel, seperti Schleiermacher dan Kierkegaard, dan seluruh peletak hermeneutika kontemporer. Hassan Hanafi tenggelam dalam sejarah filsafat. Dia sangat gandrung kepada tokoh-tokoh “murtad”, seperti Spinoza dan Kierkegaard.

 

Kesadaran (pemikiran) filosofis Hassan Hanafi sudah dimulai sejak ia berkenalan dengan Idealisme Jerman, terutama Fichte, filsafat perlawanan dan ego yang menempatkan subjek ego berlawanan dengan non-ego dan pelajaran tentang petunjuk yang simetris antara subjek, objek, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl. Idelisme-transendentalisme Jerman dijadikan sebagai titik permulaan filsafat Barat bersama-sama dengan filsafat esensialisme Iqbal. Diskursus tentang kesadaran adalah diskursus hati ke hati.

 

Pada tahap ini, Hassan Hanafi adalah penganut idealisme-esensialisme. Itulah yang pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek At-Turâts wa at-Tajdîdâî (Tradisi dan Modernitas). Namun demikian, konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi pada dasarnya ditemukan dan dibentuk di Prancis pada paro akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, Paris menjadi pusat utama pemikiran filsafat kontemporer di dunia. Di sinilah tempat pemikiran-pemikiran yang dominan pada era 1970-an diformulasikan. Di tempat ini Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealisme ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoretis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zurück zu den Sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri)-nya Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai esensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi: manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan, kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being and Time (Ada dan Waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontologi).

 

Sanad Keilmuan Hassan Hanafi

Orang yang memiliki andil besar dalam konstruk filosofis Hassan Hanafi adalah Jean Guitton. Ia adalah murid Bergson yang menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat di Sorbonne University dan sebagai tokoh pentolan modernis Katolik Roma. Dialah yang memandu Hassan Hanafi dalam membaca dan mengkaji filsafat Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam hal-hal praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton sangat tepat bagi pengembangan pemahaman Hassan Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hassan Hanafi banyak belajar dari Guitton tentang urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan yang diperdalam oleh seorang filsuf dan setelah itu digeneralisasikan sedemikian rupa sampai pada metafisika murni. Dialah yang sangat berpengaruh bagi kesadaran Hassan Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari idealisme ke realisme, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi. Dengan demikian, relasi Hassan Hanafi dengan Guitton adalah seperti relasi Aristoteles dengan Plato, Marx dengan Feuerbach, dan Feuerbach dengan Hegel. Dia mengembangkannya dari idea ke realitas, dari spirit ke dunia, dari kesadaran personal ke kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dari agama ke revolusi, dari Barat ke Timur, dari Masehisme ke Islam.

 

Hassan Hanafi menggunakan kritik negatif padahal Guitton ingin melestarikan kaidah-kaidah keimanan. Dia mengonstruk Teologi Revolusi padahal Guitton takut menjadi Marxisme dan bahwa ia takut kekerasan (violence) dan keimanan akan dirasuki hal-hal yang bukan merupakan bagian dari iman. Karena itu, aliran-aliran filsafat akan berkembang melalui kontradiksi dan akan mati dan berakhir melalui keseragaman

 

Dikutip dari buku berjudul, “Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer”.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih dalam buku tersebut, kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Studi Filsafat 1: Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer