Pages

Kamis, 17 Juni 2021

Menggali Kebermaknaan Hidup

 

Sumber gambar: tirto.id

Pandemi Covid-19 yang memapar jutaan penduduk bumi ini tidak hanya ditandai dengan berubahnya tatanan sosial secara drastis dan runtuhnya sendi-sendi perekonomian di segala sisi. Di jagat Indonesia, muncul pula polemik panjang yang sangat mencerahkan tentang peran sains dan agama (dan filsafat), yang dipicu oleh Goenawan Mohammad, lalu melibatkan banyak pakar dan intelektual.

 

Dalam kondisi pandemi seperti ini, ateis seperti Richard Dawkins akan dengan mudah bertanya kepada kita: Di mana peran Tuhan yang dipercayai miliaran manusia ini dalam menangani pandemi? Mengapa ia membiarkan jutaan manusia yang diciptakan-Nya berguguran tanpa turun tangan? Di mana agama yang bagi banyak orang adalah solusi untuk semua masalah kehidupan?

 

Bagi Dawkins, bahkan moralitas sekarang ini tidak lagi membutuhkan agama. Semangat zaman itu sendiri sudah melampaui agama. Buktinya, moral modern seperti penghapusan perbudakan, kesetaraan gender, bahkan hak-hak binatang, tidak  berasal dari agama, melainkan berkembang lewat modernitas sekuler yang justru melampaui agama. Bahkan agama sendiri dianggap pro perbudakan dan diskriminasi gender.

 

Pertanyaan yang sama juga diajukan kepada para pembela sains: mengapa para saintis dan pembelanya terlalu percaya diri bahkan ketika mereka sendiri percaya bahwa sampai hari ini ilmu pengetahuan hanya mampu menjawab nol koma nol nol nol sekian persen dari misteri alam raya ini?

 

Artinya, lebih banyak perkara alam ini yang tidak (atau belum) bisa dijawab oleh sains. Inilah yang melahirkan apa yang disebut sebagai theology of gaps, bahwa banyak hal yang tak bisa dijelaskan dengan sains. Dan di situlah agama mendapatkan legitimasinya. Polemik ini pun melahirkan kubu jalan ketiga, yang tidak mempertentangkan agama (dan filsafat) dengan sains, karena masing-masing memiliki wilayahnya sendiri yang bisa saling melengkapi. Terbukti bahwa sains tidak bisa dibendung oleh agama, dan agama tidak serta merta didelegitimasi oleh sains.

 

Kebahagiaan dan Spiritualitas Baru

 

Betapapun, perkembangan sains dalam beberapa dekade terakhir mengalami lompatan yang sangat mencengangkan. Sesuatu yang seolah-olah tak tersentuh oleh dunia ilmiah, pelan-pelan terbuka tabirnya oleh kecerdasan otak manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan juga sampai pada neurosains yang menjawab banyak hal dari dapur otak manusia. Elemen tubuh yang berisi 86 miliar neuron ini mampu menjawab perilaku manusia, kecerdasan, dan kesehatan tubuh.

 

Sementara, konon melalui neurosains inilah kita bisa mendefinisikan lebih jelas apa yang disebut oleh para mistikus sebagai “hati” yang mengendalikan manusia dalam proses pencarian makna hidup. Otak inilah ternyata berpusat segala hal yang terkait dengan manusia. Di dalam otak itu pula tumbuh apa yang dimanakan sebagai hormon bahagia, happy hormones. Jika hormon ini tumbuh, dan dihidupkan, ia memberikan rasa bahagia, damai, ekstase, serta rasa mengalami hidup bermakna.

 

Dari sinilah kemudian muncul optimisme baru bahwa perkara tak kasat mata pun bisa dideteksi oleh ilmu pengetahuan Bersama dengan positive psychology, neuroscience berkembang sedemikian rupa sehingga tingkat kebahagiaan dan spiritualitas manusia pun bisa diukur. Ia meramu dan menyatukan disiplin biologi, medicine, physiologi, psikologi, dan modeling matematika.

 

Karena itulah dengan berani Denny JA mencanangkan bahwa manusia saat ini membutuhkan spiritualitas baru yang didasarkan pada kemajuan ilmu pengetahuan dan riset-riset empirik. Spiritualitas baru ini akan memberikan peta jalan pada manusia untuk menemukan apa yang selama ini dicari oleh semua manusia: kebahagiaan.

 

Ketika Seneca, seorang filsuf Romawi bermazhab Stoik menyatakan bahwa: “Kebahagiaan tidak pernah sekalipun mempunyai sebuah ukuran”. Ketika Cicero, Stoik lainnya, juga menyatakan bahwa: “Kebahagiaan itu buta”. Maka bagi sains, Seneca dan Cicero hanya berspekulasi, karena ilmu pengetahuan belum sampai ke sana. Bagi sains: inilah saatnya menjawab spekulasi yang diproduksi dan digulirkan oleh filosof, mitologi, dan bahkan wahyu.

 

Apakah dengan demikian, mitologi dan agama sudah sampai pada titik kematiannya?

 

Tentu saja tak semudah itu. Denny JA sendiri menyatakan bahwa agama memiliki seribu nyawa. Meski narasi yang diproduksi oleh mitologi dan agama telah sedemikian rupa difalsifikasi oleh ilmu pengetahuan, narasi spiritualitas yang oleh Denny disebut sebagai narasi gelombang pertama (mitologi) dan gelombang kedua (wahyu) itu tetap mendapatkan tempat sebagai sandaran manusia.

 

Menyadari itu, Denny juga menggarisbawahi bahwa spiritualitas baru gelombang ketiga ini tidak menggantikan posisi mitologi dan agama wahyu yang ada dan kemungkinan akan tetap bertahan.

 

Bahkan, dalam banyak hal, rumusan-rumusan spekulatif tentang kebahagiaan dari sepanjang sejarah manusia diafirmasi oleh perkembangan neurosains dan spiritualitas baru ini. Spiritualitas baru ini seakan menjadi jalan pintas dari jalan panjang yang selama ini hanya bisa dilalui oleh manusia-manusia agung semacam bhikku, sufi, rohaniawan, dan orang[1]orang yang dianggap suci.

 

Denny menunjukkan itu. Ia membumbui rumusan spiritualisme barunya dengan kutipan-kutipan Jalaluddin Rumi, yang konon menggabungkan tiga capaian kebijakan sekaligus: visi spiritual yang mendalam sekelas Budha atau Yesus; renungan intelektual yang luas seperti Plato; kelihaian sastrawi seperti Shakespeare.

Dikutip dari kata pengantar dari editor buku berjudul, “Menggali Makna Hidup lewat Ilmu Pengetahuan”.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih dalam buku tersebut, kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Menggali Makna Hidup lewat Ilmu Pengetahuan pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer