Pages

Minggu, 18 September 2022

Pertarungan Politik Identitas vis-a-vis Politik Adu Jangkrik di Indonesia

Sumber: news.detik.com

Dilihat dari rentang waktu, ilmuwan sosial baru tertarik kepada isu politik identitas pada 1970-an, bermula dari Amerika Serikat ketika menghadapi masalah minoritas, gender, feminisme, ras, etnisitas, dan kelompok-kelompok sosial lainnya yang merasa terpinggirkan, merasa teraniaya. Dalam perkembangan berikutnya, cakupan politik identitas ini meluas kepada sektor agama, kepercayaan, dan simpul-simpul kultural yang beragam.

Di Indonesia, politik identitas lebih terkait dengan masalah etnisitas, agama, ideologi dan lokalitas kepentingan yang dipresentasikan pada umumnya oleh para elit negeri ini dengan bualan artikulasinya yang tampak mempesona dan visioner. Gerakan pemekaran daerah, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, dapat dipandang sebagai salah satu wujud dari politik identitas itu. Isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik mereka, tetapi apakah semuanya sejati atau lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin merupakan masalah yang tidak mudah untuk dieksplanasikan.

 

Pertanyaannya kemudian, apakah politik identitas ini akan membahayakan posisi nasionalisme dan pluralisme Indonesia di masa depan? Jika berbahaya, kira-kira dalam bentuk apa, dan bagaimana cara memitigasinya?

 

Politik Identitas Berkedok Agama

 

Penggunaan agama di sini merujuk pada semua agama, tidak hanya Islam. Namun, dalam hal ini, Islam menjadi perhatian peneliti dan menarik atensi politisi untuk memperalatnya untuk kepentingan tertentu. Pada saat dunia Islam terpecah, ia sedang berada di buritan peradaban sejak beberapa abad yang lalu, dalam pandangan Ahmad Syafii Maarif, akan sangat sulit menemukan pribadi-pribadi Muslim yang mampu secara psiko-kultural bersikap lebih tenang, objektif, dan realistik, kecuali mereka yang terdidik dan tercerahkan. Frasa tercerahkan di sini menempati posisi sentral sebab tidak semua yang terdidik akan tercerahkan, begitupun sebaliknya tidak semua yang tidak terdidik tidak tercerahkan. Fenomena ini terutama terlihat di kalangan mereka yang merantau ke negara-negara Barat yang jumlah mereka semakin membengkak dari tahun ke tahun.

 

Di negara-negara Uni Eropa, misalnya, sejak beberapa dekade terakhir, jumlah Muslim telah mencapai 20 juta, sebuah angka yang cukup fantastis bukan! Begitupun di Amerika, penduduk Muslimnya berkisar antara 6-8 juta, baik yang berasal dari imigran maupun konversi. Sekarang ini, orang sudah mulai berbincang tentang Islam and the West, sebagai balancing dari steriotipe Islam and the West sebagai kelanjutan dari konsep klasik Darul Islam dan Darul Harbi, yang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan perkembangan dunia mutakhir.

 

Sayangnya, Muslim perantauan baik di belahan bumi Barat maupun Timur, masih ada saja yang terpasung oleh konsep klasik Islam nan indah itu. Implikasinya, perasaan keterasingan – atau tidak membumi (down to earth) – acapkali menghantui mereka di tanah air baru itu. Akan pulang kampung situasi politik, ekonomi, sosial juga tidak memberi harapan, selain harus berhadap-hadapan dengan rezim-rezim despotik yang korup tidak jarang dilegitimasi oleh agama baik dari ulama partisan maupun intelektual opportunis. Munculnya kelompok ekstremisme umumnya berasal dari mereka yang merasa terasing ini. Ini adalah di antara tragedi diaspora Muslim di awal abad ke-21 yang tidak jarang menggunakan jubah Islam sebagai politik identitasnya.

 

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia

 

Penggunaan politik identitas di Indonesia dalam rentang belakangan ini begitu mengkhawatirkan. Indonesia darurat politik identitas. Pemilu DKI Jakarta tahun 2018 menjadi bukti untuk itu. Keterbelahan arus masyarakat di akar rumput, tidak bisa tidak, telah berhasil memporak-porandakannya. Mirisnya, penggunaan politik identitas menjadi preseden buruk bagi tumbuh-kembangnya demokrasi Indonesia. Lihat saja, kasus Ahok yang menista agama, pilpres tahun 2019 menjadi bukti untuk itu. Akankah di Pilpres 2024 akan terulang lagi? Sebuah jawaban yang membutuhkan renungan bagi kita semua. Masih relevankah menggunakan agama atau mimbar khutbah untuk melanggengkan politik “adu jangkrik” semacam ini. Semoga bangsa ini terus dewasa dalam mengarifi persoalan ini.

 

Modalitas bangsa ini sangat lebih dari memadai. Modalitas sosial, ekonomi, politik, sumber daya manusia, tradisi & kebudayaan, dan sumber daya alam yang melimpah sangat memadai untuk menuju Indonesia Emas di tahun 2045. Tinggal bagaimana, elit bangsa ini – dan elit partai – dan kita semua bijak dalam memanfaatkan modalitas ini. Jangan sampai kolonialisme jilid 2 kembali membabakbelurkan bangsa ini.

 

Disarikan dari Pendahuluan Buya Syafii Maarif, dalam Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme di Indonesia pdf

Islam di Ruang Publik: Politik Identitas dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer