Pages

Selasa, 07 Februari 2023

Fikih Kebinekaan

Diambil dari nasional.kompas.com

Istilah “Fikih Kebinekaan” merefleksikan semangat dan karakter fikih itu sendiri; meniscayakan kekayaan perspektif dan memberi ruang perbedaan pemahaman dalam mendialogkan teks-teks keagamaan (Al-Quran dan Hadis) dengan realitas masyarakat yang berbeda-beda. Tradisi menghargai perbedaan pendapat dan pilihan praktik dalam konteks hubungan sosial dan politik telah mengakar kuat dalam kajian-kajian fikih klasik. Meskipun tak jarang kepentingan hegemoni politik penguasa dimana mazhab fikih itu berkembang meminggirkan bahkan memberangus pemikiran-pemikiran lain yang dianggap menyimpang. Tragedi semacam ini dikenal dalam sejarah sebagai mihnah (inkuisisi), biasanya diikuti oleh pelarangan dan penghancuran buku-buku yang dituduh membahayakan (bibliosida).

M. Hasbi Ash Shiddieqy (1904-1975), ulama terkemuka kelahiran Aceh, pernah menggagas istilah yang seayun dengan Fikih Kebinekaan, yaitu Fikih Indonesia. Pemahaman fikih sangat dinamis, utamanya dalam ranah sosial-kemasyarakatan (mu’âmalah) dan politik (siyâsah). Hasbi menggarisbawahi pentingnya ketetapan fikih mempertimbangkan kecocokan dan kebutuhan masyarakat Indonesia agar produk fikih tidak tercerabut dari konteksnya. Menurutnya, hukum Islam harus mampu menjawab persoalan-persoalan baru yang belum terjawab sehingga tanggap terhadap perubahan sosial-politik (Suhirman, Al-Mawarid, 2010). Buku ini membahas tiga topik utama yang menjadi bagian penting dalam kajian fikih mu’âmalah dan fikih siyâsah kontemporer, yaitu konsep ummah (citizenship) yang lebih terbuka dan egaliter, hubungan mayoritas-minoritas dalam relasi setara tanpa diskriminasi, dan kepemimpinan dalam masyarakat majemuk yang menempatkan minoritas punya hak politik yang sama dengan mayoritas. Pembahasan ketiga topik tersebut berangkat dari perspektif Islam dengan mempertimbangkan konteks kekinian dalam kerangka negara-bangsa. Di sini, Fikih Kebinekaan mengkaji ulang konsep kewarganegaraan, hubungan sosial antar-kelompok, dan kepemimpinan politik dengan mengacu pada prinsip kesetaraan dan keadilan.

 

Dari sudut pandang diskursus keagamaan, kehadiran buku ini memiliki makna penting bagi proses pendewasaan demokratisasi politik yang bergulir pasca Orde Baru karena memberikan jawaban atas isu-isu krusial: konsep kewarganegaraan, relasi sosial antar kelompok yang majemuk, dan kepemimpinan politik. Kajian fikih klasik mainstream menjadikan agama sebagai basis legitimasi hak-hak politik. Orang yang berbeda agama tidak berhak mendapat pengakuan dan perlakuan politik yang sama. Kerangka Fikih Kebinekaan membuka tafsir baru atas persoalan tersebut dijiwai kesadaran kebangsaan yang inklusif, sejalan dengan tujuan negara menurut Al-Quran dan Hadis. Fikih Kebinekaan juga menjadi antitesis dari ancaman gejala intoleransi dan sektarianisme yang menguat dalam beberapa tahun terakhir ini. Kekerasan dan konflik sektarianisme di Timur Tengah yang belum terlihat surut harus menjadi cermin bagi Indonesia agar tidak terjerumus ke lubang yang sama. Membudayakan pemahaman keagamaan yang terbuka dan non-diskriminatif, terutama di lingkungan pendidikan dan generasi muda, akan membendung gejala penyesatan (takfirisme) yang kian mencemaskan. Singkat kata, Fikih Kebinekaan merupakan upaya ijtihadi Islam berkemajuan dalam kerangka keindonesiaan dan kemanusiaan.

 

Dikutip dari Buku Fikih Kebinekaan.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring pdf pada link di bawah ini.

Fikih Kebinekaan pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer