Haji
Yunus sedang
naik angkot berdua dengan Ujang.
Tiba-tiba masjid di pinggir jalan itu memutar kaset tilawatil Qur’an. Saat itu
memang menjelang datangnya waktu maghrib. Jalanan sedang macet sehingga para
penumpang angkot bisa mendengar jelas lantunan ayat suci al-Qur’an.
Terdengarlah alunan merdu Qari’ membaca surat al-Anfal. Namun pas tiba di ayat
ke-33:
وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ
mendadak
Haji Yunus menangis
tersedu-sedu. Semua penumpang, termasuk Ujang,
jadi terkaget-kaget melihatnya. Ujang
berusaha menenangkan gurunya itu. Namun Haji Yunus hanya
menundukkan kepalanya seolah tak sanggup mengangkat wajahnya.
Untunglah
tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di tempat tujuan, segera turun
dari angkot seraya membayar ke Pak Supir. Haji Yunus berjalan cepat menuju rumah
kontrakannya. Ujang setia
mengikuti dari belakang. Setelah itu mereka shalat maghrib berjamaah.
Selepas
shalat, Ujang memberanikan
diri bertanya: “Ada kejadian apa di angkot tadi?”
Haji
Yunus menghela
nafas panjang.
“Nak
Ujang, paham apa konteks ayat yang tadi kita dengar di angkot?”
Ujang dengan
tawadhu’ hanya berdiam diri menunggu penjelasan Sang Guru.
‘Surat
al-Anfal ayat 32 bercerita mengenai Abu Jahal yang dengan angkuhnya menantang
segera diturunkan azab kepadanya jikalau risalah yang disampaikan Nabi Muhammad
itu benar. Ini kesombongan luar biasa. Menantang turunnya azab.
Lantas
ayat ke-33 berbunyi:
وَمَا كَانَ اللَّهُ
لِيُعَذِّبَهُمْ وَأَنْتَ فِيهِمْ ۚ وَمَا كَانَ اللَّهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ
يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan
mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah
akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal:33)
“Ini
jawaban mengapa Allah menangguhkan azab yang diminta oleh Abu Jahal (dalam
riwayat lain dikabarkan ayat ini berkenaan dengan an-Nadhr bin Harits) karena
dua kondisi. Pertama, karena Nabi Muhammad ada bersama mereka.” Haji Yunus mulai
berkaca-kaca lagi matanya. Beliau lantas membuka kitab Tafsir.
Tafsir
al-Qasimi menjelaskan:
قال القاشاني: العذاب
سورة الغضب وأثره، فلا يكون إلا من غضب النبيّ، أو من غضب الله المسبب من ذنوب
الأمة، والنبيّ عليه الصلاة والسلام كان صورة الرحمة، لقوله تعالى: وَما
أَرْسَلْناكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ [الأنبياء: ١٠٧] . ولهذا لما كسروا
رباعيته قال: (اللهم اهد قومي فإنهم لا يعلمون) ولم يغضب كما غضب نوح عليه السلام
وقال رَبِّ لا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكافِرِينَ دَيَّاراً [نوح: ٢٦
Berkata al-Qasani bahwa azab itu adalah gambaran dari
kemarahan, maka itu tidak terjadi kecuali akibat kemarahan Nabi atau Allah yang
disebabkan dosa umat, sedangkan Nabi Muhammad itu gambaran dari rahmah, sesuai
ayat yang lain: ‘Dan tidaklah Kami mengutus engkau kecuali sebagai rahmat bagi
semesta’ (QS al-Anbiya 107). Ini terilustrasikan dari doa Nabi: ‘Ya Allah
tunjukilah kaumku sesungguhnya mereka belum mengetahui’, dan beliau Saw tidak
marah seperti marahnya Nabi Nuh as: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan
seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi’ (QS Nuh:26)
Haji
Yunus kemudian
membuka-buka Kitab Tafsir at-Thabari, lantas menjelaskan kepada Ujang:
“Kondisi
kedua yang membuat Allah menunda azab seperti yang mereka minta adalah karena
masih ada yang memohon ampunan Allah. Ber-istighfar. Para ahli tafsir berbeda
pandangan: ada yang bilang maksudnya orang musyrik Mekkah saat menjalankan
tradisi thawaf mengelilingi Ka’bah berseru, “ghufranaka” memohon ampun pada
penguasa Ka’bah, yaitu Allah. Ulama lain menganggap maksud istighfar itu adalah
mereka bertaubat dan masuk Islam. Sementara sebagian yang lain berpendapat
bahwa yang beristighfar itu adalah kaum yang sudah beriman kepada Nabi. Ada
pula yang mengambil makna kata istighfar di ayat tersebut sebagai shalat.
Perbedaan pandangan ahli tafsir ini telah dijelaskan dengan rinci oleh Tafsir
at-Thabari.”
Ujang bertanya,
“Jadi istighfar itu bisa membuat kita selamat dari azab Allah?”
Haji
Yunus kemudian
melihat Tafsir modern yang pengarangnya baru saja wafat, yaitu ktab Tafsir
Hadaiq ar-Ruh wa ar-Rayhan fi Rawabi ‘Ulumil Qur’an, karya Syekh Muhammad al-Amin a-Harari.
قال أهل المعاني دلت
هذه الآية على أن الاستغفار أمان وسلامة من العذاب
“Berkata Ahlul Ma’ani (pengarang
Tafsir al-Khazin),ayat ini menunjukkan bahwa istighfar itu menyelamatkan dari
azab Allah.”
Ujang bertanya
lagi, “lantas kenapa Wak Haji menangis saat mendengar ayat “Dan Allah
sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (Wahai Rasul) berada di
antara mereka.”
Haji
Yunus menjawab:
“Secara fisik, Nabi Muhammad telah wafat. Namun secara ruh, saya teringat
riwayat Abu Dawud ini:
مَا مِنْ أَحَدٍ
يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أَرُدَّ عَلَيْهِ
السَّلاَمَ
‘Tidak ada seorangpun yang memberikan
salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan ruhku kepadaku, sehingga aku
akan membalas salamnya.’
Ini
artinya di penjuru dunia setiap detik banyak sekali saudara kita yang
menyampaikan shalawat dan salam kepada Nabi. Dan kita percaya ruh beliau
dikembalikan Allah untuk menjawabnya.”
Ujang langsung
merinding. “Berarti saat pembacaan shalawat dalam acara maulid itu ruh Nabi
memang bisa hadir, Wak Haji? Dan kalau begitu ayat di atas secara spiritual
masih berlaku: dimana Nabi berada, azab Allah tidak akann turun. Inikah
alasannya para Kiai kita menyelenggarakan perayaan maulid atau membikin majelis
ta’lim dimana shalawat selalu dibacakan?’
Haji
Yunus mengangguk
pelan.
“Tapi
Wak Haji belum menjawab, kenapa tadi tiba-tiba menangis saat mendengar ayat ini
dibacakan?” Ujang masih penasaran.
Haji
Yunus kembali menangis dan bibirnya mengulang-ulang ayat di atas:
“wa anta fihim…”
“wa anta fihim…”
“wa anta fihim…”
“wa anta fihim…”
“wa anta fihim…”
“wa anta fihim…”
Tabik,
Nadirsyah
Hosen
Dikutip
dari nadirhosen.net
0 komentar:
Posting Komentar