Peringatan
maulid Nabi saw, yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, masih
menyisakan banyak pertanyaan. Penentuan tanggal 12 Rabiul Awal sebagai hari
ulang tahun kelahiran Nabi Saw adalah hal yang masih samar.
Kesamaran
sejarah tersebut berangkat dari sejarah kalender dalam Islam. Keinginan untuk
mengingat hari kelahiran Nabi Muhammad Saw sendiri baru muncul pada masa
khalifah Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun 638-an Masehi (22-32 H).
Ketika
itu, khalifah Umar ingin menjadikan penanggalan Hijriyah sebagai sistem
penanggalan resmi pemerintahan Islam pada masanya. Namun, berbagai pendapat pun
muncul untuk menetapkan dasar awal dimulainya kalender resmi itu.
Para
sahabat menemukan kesulitan ketika muncul gagasan untuk menjadikan hari
kelahiran Nabi sebagai patokan awal sistem penanggalan Hijriyah. Sebab tidak
satupun di antara mereka yang tahu persis kapan dan tanggal berapa Nabi
dilahirkan.
Di
samping itu, tradisi orang Arab saat itu juga tidak terbiasa mencatat sejarah
mereka dengan tulisan kerena kebiasaan menulis merupakan satu hal yang baru
pada zaman itu. Mereka juga tidak terbiasa dengan hisab tahun, meski beberapa
nama-nama bulan dalam kalender hijriyah saat itu telah dikenal.
Meski
demikian mereka biasa mengingat sejarah dengan peristiwa-peristiwa besar,
seperti penyerangan Ka’bah oleh tentara bergajah yang dipipin oleh Abrahah yang
bertepatan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa peristiwa tersebut diperkirakan bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal
Tahun Gajah atau 20 April 571 Masehi.
Mengenai
asal-usul peringatan maulid ini, seorang pengkaji Islam dari Universitas Leiden
Belanda, Noco Kptein telah memaparkan dalam disertasinya tentang Maulid Nabi
saw. Dalam disertasi tersebut dipaparkan bahwa peringatan maulid ini pertama
kali dilakukan pada masa Dinasti Fatimiyyah di Mesir, tepatnya pada masa
pemerintahan al-Mu’izz li Dinillah yang berkuasa pada pertengahan bad X Masehi
(953-975 M), atau empat abad setelah Nabi saw wafat. Terkait kitab yang menjadi
rujukannya adalah Tarikh
al-Ihtifal bi al-Maulid al-Nabawiy karya al-Imam al-Sandubi.
Al-Mu’izz
li Dinillah adalah seorang penguasa yang beraliran Syiah. Ia cenderung
menjadikan Maulid sebagai alat untuk mencapai kepentingan legitimasi politik.
Mereka ingin menguatkan diri dengan memiliki kaitan silsilah dengan Nabi
Muhammad saw.
Di
kalangan Sunni, berdasrkan catatan pakar sejarah, peringatan maulid pertama
kali digelar oleh penguasa Suriah, Sultan Attabiq Nuruddin (w. 575 H). Pada
masa itu, Maulid dilaksanakan pada malam hari yang diisi dengan pembacaan
syair-syair yang berisi pemujaan terhadap raja (ode) dan sangat kental nuansa
politiknya. Peringatan Maulid pernah dilarang pada masa pemerintahan al-Afdhal
Amirul Juyusy, karena dianggap sebagai bid’ah yang terlarang.
Kemudian
pada masa sultan Salahuddin al-Ayyubi, tradisi ini dihidupkan kembali. Bagi
sebagian kalangan, Sultan Salahuddin al-Ayyubi adalah orang pertama yang
mengadakan perayaan maulid nabi. Hal ini bisa benar jika yang dimaksud adalah
yang pertama, yaitu menghidupkan kembali tradisi yang telah mati dan sama
sekali bukan untuk kepentingan politik.
Selain
itu, peringatan maulid ini juga dilakukan untuk membakar semangat juang umat
Islam yang sedang terlibat dalam perang Salib melawan bangsa-bangsa Eropa
(Perancis, Jerman, dan Inggris.) Pada waktu itu, Yerussalem dan Masjid al-Aqsha
dikuasai oleh musuh, tetapi umat Islam banyak yang kehilangan semangat juang.
Pasukan Islam terpecah menjadi kelompok-kelompok politik kecil, sementara
kekhalifahan hanyalah dianggap sebagai jabatan simbolik saja.
Sultan
Salahuddin al-Ayyubi yang melihat kedaan tersebut menilai bahwa peringatan
maulid Nabi saw akan mampu membangkitkan kembali semangat juang umat Islam. Hal
ini karena dalam peringatan tersebut diungkapkan betapa gigihnya perjuangan
Rasulullah Saw dan para sahabat dalam menghadapi berbagai serangan kaum kafir.
Pada
musim haji tahun 579 H (1183 M), Sultan Salahuddin menginstruksikan kepada
seluruh jamaah haji agar sepulang dari menunaikan ibadah haji, mereka
memperingati Maulid Nabi setiap tanggal 12 Rabiul Awal melalui berbagai macam
kegiatan yang mampu membangkitkan semangat jihad pasukan Islam.
Pada
peringatan maulid tahun itu, Sultan Shalahuddin mengadakan sayembara penulisan
riwayat Nabi saw dengan menggunakan bahasa yang paling indah. Para ulama dan
sastrawan diundang untuk mengikuti sayembara tersebut. Akhirnya Syeikh Ja’far
al-Barzanji lah yang berhasil memenangkan sayembara tersebut dengan karyanya
yang berjudul ‘Iqd
al-Jawahir (kalung permata). Kemudian karya tersebut lebih
dikenal dengan kitab al-Barzanji.
Kitab inilah yang populer dipakai ketika peringatan maulid Nabi saw, termasuk
di Indonesia.
Pada
akhirnya, perjuangan Sultan Salahuddin menunjukkan hasil positif, semangat umat
Islam pun kembali bangkit. Sultan berhasil menghimpun berbagai kekuatan yang
sebelumnya sempat lumpuh. Karenanya, pada 1187 M, atau empat tahun
pasca-peringatan ini, Yerussalem dapat direbut kembali dan masjid al-Aqsha pun
dapat dibebaskan dari cengkeraman musuh. Sultan Salahuddin membantah klaim yang
menyatakan bahwa peringatan maulid adalah bid’ah yang terlarang, karena
peringatan ini adalah untuk syi’ar, bukan untuk ritual.
Al-Imam
al-Suyuti dalam al-Hawi li
al-Fatawa, menyebutkan bahwa gagasan menghidupkan kembali
perngatan maulid ini bukan semata-mata dari gagasan Sultan Salahuddin,
melainkan usulan dari saudara iparnya, Muzhaffaruddin di Irbil, Irak Utara.
Muzhaffaruddin memperingati maulid untuk mengimbangi maraknya perayaan Natal
yang dilakukan oleh kaum Nasrani di daerah kekuasaannya.
Pada
mulanya, ia mengadakan perayaan ini hanya berskala lokal istana saja dan tidak
rutin setiap tahun. Namun kemudian, Sultan Salahuddin menjadikannya sebagai
gerakan global untuk membangkitkan semangat juang Muslimin dalam menghadapi
tentara Salib.
Mencermati
kembali sejarah peringatan Maulid Nabi, menarik kiranya jika semangat Maulid
tidak hanya dijadikan sebagai budaya atau tradisi biasa, melainkan harus
kembalikan sebagai media syi’ar dan pemersatu umat, dan pembangkit semangat
juang umat Islam.
Dengan demikian, maulid dapat menjadi media konsolidasi umat
Islam. Wallahu a’lam bisshawab
Dikutip
dari islami.co
0 komentar:
Posting Komentar