Pages

Rabu, 29 Januari 2020

Islamisasi Nusantara Dari Aceh hingga Merauke

Sumber gamabr: tebuireng.online

Sejarah aktivitas dakwah Islam (Islamisasi) di permukaan bumi diawali di Makah (Arab Saudi), pada abad VII (610 M), sejak Nabi Muhammad putra Abdullah (40) menerima wahyu Ilahi pertama (Q.S. al-Alaq) melalui Malaikat Jibril di Gua Hira. Dengan status sebagai Rasulullah, beliau berkewajiban untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran Ilahi yang bersumber dari langit (wahyu) kepada umat manusia di seluruh dunia. Dalam pelaksanaan tugas suci tersebut, langkah pertama yang dilakukan oleh beliau adalah menyampaikan wahyu itu kepada anggota keluarga dan karib kerabat beliau sendiri.

Kemudian tercatatlah dalam tonggak awal sejarah Islamisasi, bahwa mereka yang pertama kali menjadi muslim adalah istri Nabi sendiri yang bernama Khadijah (65), kemudian saudara sepupunya Ali bin Abi Talib, anak angkatnya Zaid bin Haritsah, lalu sahabatnya Abu Bakar dan sejumlah warga Makah lainnya. Tugas suci tersebut dilakukannya selama 13 tahun di Makah, kemudian dilanjutkan ke Yatsrib (Madinah) selama 10 tahun. Dalam kurun waktu selama 23 tahun, mereka yang menyatakan dirinya sebagai muslim mencapai ribuan orang yang tersebar di wilayah Timur Tengah. Keberhasilan beliau dalam melakukan aktivitas dakwah Islam tersebut, dalam makna kuantitatif dan kualitatif (Islamisasi) di tengah masyarakat, khususnya di Makah dan Madinah (610-632 M/13 SH-10 H). Dalam hal ini beliau mendapatkan hidayah Allah, supaya melakukan pelbagai macam pendekatan (metode dakwah) kepada anggota masyarakat secara manusiawi (al-hikmah), seperti aktivitas dakwah bi al-hal (tindak tanduk), bi al-lisan (hadis), bi al amwal (harta), bi al-qalam (surat), dan bi al-jidal (dialogis). Strategi tersebut melahirkan sistematika metode dakwah.

Aneka dakwah tersebut di atas merupakan sistematika metode dakwah Rasulullah. Menurut bahasa, metode berasal dari dua kata yaitu ―meta‖ melalui dan ―hodos‖ (jalan, cara). Dengan demikian dapat diartikan bahwa metode adalah cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber lain menyebutkan, bahwa metode berasal dari bahasa jerman methodica, artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa pakar atau ilmuwan adalah sebagai berikut, yaitu menurut pendapat Bakhil Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturanperaturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain. Sedangkan menurut pendapat Syekh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek, agar mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pendapat tersebut juga selaras dengan pendapat al-Ghazali, bahwa amar makruf dan nahi munkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam. Di sini makna dakwah dirumuskan dengan istilah Islamisasi dalam visi kuantitas (pertambahan jumlah umat) dan kualitas (peningkatan dalam keimanan, keilmuan dan amal ibadah).

Dari pendapat tersebut dapat diambil pengertian, bahwa metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada umat (komunikan) untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah (bijak) dalam sikap dan tindakan, seperti ucapan, tulisan, santunan, perbuatan dan lainnya dengan rasa kasih sayang.

Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah dan suri teladan umat dalam pelbagai hal, setelah beliau wafat, maka segala macam bentuk kebajikan dan kebijakannya, termasuk aneka metode dakwah yang pernah dilaksanakannya selama ini, hal itu tetap diteruskan para sahabat, tabi’in (generasi setelah sahabat), tabi’ al-tabi’in (generasi setelah tabi’in) hingga umat Islam yang masih hidup saat ini. Adapun mereka yang menjadi penerus perjuangan nabi tersebut, mereka itu dinamakan ulama (pemimpin umat) dan umara (pemimpin rakyat). Mereka yang berperan sebagai dai dan mubalig tersebut mendapatkan predikat keagamaan yaitu seperti istilah ustaz, kiai, syekh, sultan, buya, sunan, imam, habib, tengku, dan lain-lain.

Hasil dari jihad dakwah mereka itu, yang bersambung terus menerus dari generasi ke generasi dan dari wilayah yang satu ke wilayah lainnya di permukaan bumi, pernah disiarkan dalam berita nasional di televisi, bahwa pada awal abad ke XXI (milenium), jumlah umat Islam di seluruh dunia hampir mencapai 2 miliar orang, yaitu 25 persen dari 7 miliar jiwa penghuni bumi. Sekarang posisi penganut Islam (kaum muslimin) sudah berada pada level kedua setelah penganut agama Kristen/Katolik. Informasi ini berdasarkan hasil sensus global jumlah penganut agama besar di dunia yang dimuat dalam sebuah jurnal ilmiah di Amerika.

Pada awal mulanya, mereka yang berstatus muslim itu adalah penganut agama non-Islam, termasuk keluarga Nabi Muhammad SAW sendiri dan para sahabat Rasulullah di Makah dan di Madinah 14 abad yang silam. Kemudian anak cucu keturunan mereka secara otomatis menjadi muslim, seperti Hasan dan Husin putra Ali bin Abi Talib dan Fatimah binti Muhammad. Mereka tercatat dalam susunan silsilah ahlul-bait sebagai cucu kesayangan Rasulullah. 

Dalam Warna-Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah, proses Islamisasi Hasan dan Husayn berbeda dengan proses Islamisasi ayah dan ibunya (Ali dan Fatimah). Kedua cucu Rasulullah tersebut tidak pernah tercatat dalam sejarah kelompok orang-orang yang masuk agama Islam, atau pindah keyakinan agama (para mualaf), karena keduanya lahir dari keluarga muslim, yang sudah dinyatakan muslim sejak lahir. Sedangkan Ali bin Abi Talib adalah tokoh pelopor para remaja yang masuk Islam, termasuk Fatimah binti Muhammad yang lahir sebelum turunnya wahyu di Gua Hira.

Maka proses Islamisasi itu dalam arti kuantitas dan kualitas terbagi dalam dua macam, yaitu:
1)   Kelompok orang yang sadar, dan sengaja memilih agama Islam (menjadi muslim) sebagai pedoman hidupnya, setelah berstatus penganut agama non-Islam (Hindu, Budha, Konghucu, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain) atau penganut kepercayaan leluhurnya (Animisme, Dinamisme, dan lain-lain). Mereka ini adalah kelompok muslim mualaf. Kasus sejarah perpindahan agama kelompok muslim mualaf tersebut, atas dasar pertimbangan yang beraneka ragam, seperti mereka berniat untuk menikahi atau dinikahi orang Islam dan sejumlah alasan lainnya. Sebagian dari mereka itu, atas ketekunannya belajar mendalami nilai-nilai kebenaran Islam dari pelbagai sumber, kemudian membandingkannya dengan nilai ajaran agama yang sedang dianutnya, ternyata Islam lebih baik dan lebih sempurna. Kisah itu berbeda dengan pengalaman para sahabat yang sering bergaul dengan Nabi Muhammad SAW, seperti Abu Bakar yang menjadi khalifah pertama setelah nabi wafat.
2)   Kelompok orang yang sejak lahir, bahkan sejak masih dalam kandungan sudah dinyatakan sebagai muslim. Mereka ini adalah putra-putri dari keluarga muslim yang kemudian menikah dan melahirkan anak cucu yang berstatus muslim pula. Mereka adalah kelompok muslim keturunan.

Sebagian dari muslim keturunan tersebut, mereka mendapatkan pendidikan keislaman yang cukup, baik di lingkungan keluarga maupun di lembaga pendidikan formal Islam, sehingga mereka itu menjadi muslim yang paham agama, bahkan menjadi tokoh Islam yang disebut ulama, dengan gelar panggilan syekh, ustaz, kiai, profesor, dan lain-lain. Mereka yang termasuk kelompok ini sering dinamakan kaum santri, yaitu muslim yang patuh dan taat pada ajaran agamanya.

Proses Islamisasi kedua kelompok tersebut (muslim mualaf dan muslim keturunan) telah berjalan sepanjang zaman di seluruh penjuru dunia. Menurut catatan sejarah Islam, hal itu dimulai sejak zaman jahiliah, ketika Nabi Muhammad Saw diangkat menjadi Rasulullah di Makah pada abad ke 7 M. Sejarah tersebut berlangsung sampai dengan sekarang ini di zaman teknologi canggih di abad milenium.

Kisah kasus semacam itu, termasuk di dalamnya dalam sejarah Islamisasi di Nusantara, seperti Islamisasi di tanah Jawa yang dilakukan oleh Walisongo. Dalam legenda yang menjadi cerita rakyat sampai saat ini, ulama yang pertama kali datang ke Jawa adalah Syekh Maulana Jumadil Kubra (Husein Jamaludin) yang dimakamkan di Trowulan Mojokerto Jawa Timur. Beliau mempunyai 2 orang anak bernama Syekh Maulana Ishak (1404) dan Syekh Maulana Malik Ibrahim (1419/882). Maulana Ishak mempunyai anak bernama Raden Paku (Sunan Giri), sedangkan Maulana Malik Ibrahim mempunyai anak bernama Sunan Ampel (1423-1484). Kemudian anaknya Sunan Ampel menjadi istri kedua Sunan Giri. Istri pertama Sunan Giri adalah puteri Sunan Bungkul Surabaya. Sunan Ampel adalah wali kota pertama di Surabaya (1423-1484). Kisah proses Islamisasi itu berjalan terus hingga saat ini, khususnya Islamisasi melalui perkawinan (dakwah bi al-nikah).

Dalam perjalanan waktu selama 5 abad, atas rahmat dan hidayah Allah SWT, bahwa dari 4 juta warga Surabaya, hanya 10 persen penganut agama non-Islam (Hindu, Budha, Konghucu, Kristen, dan Katolik). Dengan demikian berarti sekitar 90 persen adalah muslim. Mereka itu dalam kehidupan sosial keagamaan terbagi dalam pelbagai kelompok organisasi sosial kemasyarakatan, seperti menjadi warga Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdlatul Ulama dan lain sebagainya.

Buku ini diberi judul “Warna-Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah”. Di dalam buku ini terkandung informasi tentang tata cara pengembangan Islam di wilayah nusantara (Indonesia), baik Warna -Warni Islamisasi Serpihan Sejarah Dakwah dalam hal teknik penambahan kuantitas (jumlah) maupun teknik peningkatan (kualitas mutu)  umat Islam.

Salah satu dari sistematika metode yang dibahas adalah metode dakwah bi al-nikah (Islamisasi Via Perkawinan). Maksudnya adalah dakwah Islam yang dilakukan dengan melalui sistem pembentukan dan pembinaan keluarga muslim yang sakinah. Dari hasil pernikahan tersebut, lahirlah anak cucu mereka yang berstatus sebagai muslim, dan kemudian setelah balig, mereka nikah lagi dengan sesama muslim. Demikian proses selanjutnya tanpa terminal akhir hingga akhir zaman nanti.

Dalam masalah pernikahan sebagai sunnah rasul, Nabi Muhammad SAW melakukan poligami. Tercatat dalam sejarah, bahwa beliau mempunyai 14 orang istri, yaitu Siti Khadijah binti Khuwaylid, Saudah binti Sum‘ah, Aisyah binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Khattab, Zainab binti Khuzaymah, Zainab binti Jahasy, Ramlah binti Abu Sufyan, Salamah binti Umayah (Hindun), Maimunah binti al-Harits, Sofiyah binti Hayi, Juwairiyah binti alHarits bin Abi Dhirar, Khaulah binti Hakim, Umrah, Aminah binti al-Nukman. Pada saat beliau wafat, dia meninggalkan 9 orang istri.

Dengan sistem pernikahan ini, hubungan Rasulullah dengan para sahabat telah membentuk dan menjalin hubungan keluarga muslim yang kuat, seperti hubungan beliau dengan khulafaurrasyidin, (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib) adalah hubungan antara mertua dan menantu. Dengan itu terwujudlah sebuah keluarga besar kaum muslimin di Mekah dan di Madinah. Proses pernikahan yang membentuk keluarga muslim di tengah masyarakat, dan kemudian melahirkan anak-anak yang terdidik dan menjadi anak yang saleh. Hal ini menunjukkan, bahwa hasil dari pernikahan yang disunahkan Rasulullah, telah menambah jumlah (kuantitas) umat Islam di muka bumi.

Pertambahan jumlah umat Islam, dari hasil pernikahan yang melahirkan anak-anak yang saleh. Hal ini adalah sebuah bentuk dan wujud dari upaya peningkatan kuantitas dan kualitas umat Islam di muka bumi, yang mana hal ini berjalan terus sepanjang zaman di seluruh penjuru dunia.

Pelbagai macam metode dakwah Islam, seperti yang tersebut di atas adalah sebuah sistem dalam metodologi Islamisasi. Metode yang satu dengan lainnya saling terkait, dan tidak boleh dipisahkan di antaranya. Pelbagai metode tadi adalah komponen-komponen dari sebuah bangunan besar ilmu dakwah yang disebut Metodologi Islamisasi.

Dalam hal ini, para cendekiawan muslim, khususnya yang terlibat dalam aktivitas dakwah Islam, mereka perlu mengetahui dan sekaligus memahami beberapa komponen yang terdapat dalam metodologi Islamisasi. Buku ini diharapkan dapat dijadikan salah satu bahan kajian bagi para mahasiswa khususnya dan para praktisi dakwah Islam di tengah masyarakat.

Buku ini merupakan hasil penelitian dan pengamatan penulis di masyarakat selama ini. Penulis melakukan survei dan observasi di pelbagai wilayah di nusantara, mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Penulis juga mengunjungi Kalimantan Barat, ke kota Seribu Kuil Singkawang yang dikenal dengan istilah kota Amoy. Hasilnya direkam dalam buku ini yang merupakan laporan penelitian lapangan ke Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Selain itu, ditambahkan hasil penelitian penulis di Surabaya, Mojokerto, Bojonegoro, dan lokasi lainnya.

Dikutip dari Pendahuluan Buku Islamisasi Nusantara Dari Islam Hingga Merauke karangan Sheh Sulhawi Rubba

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf Mutiara Islamisasi Nusantara Dari Islam Hingga Merauke di bawah ini.

1 komentar:

  1. Silakan konfirmasi ke penulisnya sebelum upload pdf buku, berkaitan dengan hak cipta. (Sokhi Huda, editor buku)

    BalasHapus

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer