Pages

Selasa, 07 Januari 2020

Talal Asad dan Islam Sebagai Tradisi Diskursif


Sumber gambar: azquotes.com

Diskusi tentang bagaimana mengkonseptualisasikan Islam sebagai obyek penelitian (the object of inquiry) telah banyak menyita perhatian para pengkaji Islam dari luar (outsider). Pertanyaan yang menjadi topik diskusi di antara mereka antara lain adalah aspek apa yang perlu dilihat saat Islam dipelajari oleh para peneliti.

Pertanyaan yang lebih umum adalah bagaimana memahami dan menjelaskan Islam itu sendiri. Sejauh ini, beragam pendekatan telah banyak dirumuskan oleh para sarjana dari lintas bidang untuk menjawab pertanyaan tersebut. Namun demikian, masing-masing pendekatan tersebut memiliki kelemahan metodologis yang signifikan dan cenderung berdiri secara eksklusif, terpisah dari pendekatan yang lainnya.

Adalah Talal Asad, seorang antropolog beraliran post-strukturalis, yang mencoba mengatasi kelemahan dari pendekatan-pendekatan tersebut. Ia mengajukan gagasannya melalui sudut pandang disiplin ilmu yang ia tekuni, yaitu antropologi. Namun sekalipun latar belakang dan pijakan Asad adalah satu disiplin yang bersifat spesifik, pendekatan yang ia ajukan diakui oleh banyak sarjana lainnya memiliki potensi untuk digunakan crossing the boundary (lintas disiplin).

Asad meramu gagasannya dari perbagai referensi keilmuan, sehingga pendekatan yang ia rumuskan menjadi applicable untuk digunakan sebagai framework penelitian di luar disiplin ilmu antropologi. Selain itu, kelebihan lain dari pendekatan Asad adalah kemampuannya mengintegrasikan aspek-aspek tertentu dari pelbagai pendekatan yang ia kritik tersebut sehingga masing-masing pendekatan tidak berdiri secara terpisah dan eksklusif.

Beberapa Kelemahan

Secara umum pendekatan untuk mengkaji Islam dapat dipetakan ke dalam tiga kategori. Pertama, pendekatan yang paling awal digunakan adalah pendekatan teks yang mengkaji Islam dari referensi tekstual. Islam dilihat dari sudut pandang doktrin teologisnya dan pemikiran para sarjana (ulama)-nya. Pendekatan ini dicetuskan oleh para orientalis yang juga disebut sebagai Islamolog.

Kelemahan dari pendekatan ini adalah kecendrungannya untuk melakukan reduksi dan esensialisasi Islam. Pendekatan ini mengabaikan keragaman praktek popular berislam kaum muslimin. Islam teks dianggap sebagai universal dan ideal (orthodox), sementara Islam di luar teks dianggap sebagai penyimpangan (heterodox).

Kedua, sebagai respon terhadap pendekatan teks yang ingin melihat single Islam, sarjana humaniora merumuskan pendekatan antropologi terhadap Islam. Pendekatan ini melihat Islam dari sudut pandang keyakinan dan praktek pemeluknya, bukan dari sudut pandang teks. Pendekatan antropologi terhadap Islam memiliki beragam variasi. Yang paling menonjol ada dua, yaitu konsep Clifford Geertz dan Abdul Hamid Zein.

Geertz menekankan bahwa Islam adalah dua fenomena sekaligus: universal dan lokal. Sebagai fenomena lokal, ada banyak perbedaan keyakinan dan praktek di tengah umat Islam. Sebagai fenomena universal, ada dua common element dalam praktek-praktek lokal Islam, yaitu; pertama, Islam sebagai pengalaman beragama (religious experience) yang terdiri dari dua komponen, yakni pandangan hidup (worldview) dan etos; kedua, Islam sebagai tradisi makna.

Secara singkat, pendekatan yang dirumuskan oleh Geertz berusaha mencari titik temu atau apa yang diistilahkan pengkritiknya sebagai family resemblance di antara ragam manifestasi lokal Islam. Geertz membuat kesimpulannya tersebut setelah melakukan komparasi antara model Islam di Maroko dan Islam di Indonesia.

Sebagai respon terhadap pendekatan Clifford Geertz, Abdul Hamid Zein mengajukan gagasan lain. Menurutnya, kelemahan dari pendekatan Geertz adalah kecendrungan melakukan esensialisasi Islam dengan mencari kesamaan-kesamaan dari diversitas Islam. Para antropolog tidak seharusnya mencari titik temu tersebut karena setiap fenomena agama adalah unik. Selain itu, semua manifestasi beragama (baik yang bersifat diskursus maupun praktek) harus diposisikan secara equal.

Zen beragumen bahwa antropologi sebagai pendekatan keilmuan tidak boleh melakukan hirarkisasi terhadap wacana dan praktek beragama orang Islam. Antropologi tidak boleh membedakan antara Islam masa (folk Islam) dan Islam elit (elite Islam) dan mencari mana yang paling otentik dan valid dari beragam manifestasi Islam tersebut. Antropologi tidak perlu mencari ortodoksi dalam praktek beragama. Tugas antropologi menurutnya adalah mencari makna dari pengalaman beragama di tingkat lokal.

Proposal yang diajukan oleh Abdul Hamid Zein tersebut tampaknya menjadi pandangan paling favorit yang digunakan untuk mengkaji Islam oleh para antropolog. Namun, pendekatan ini memiliki setidaknya dua kelemahan.

Pertama, dengan menganggap sama (dalam pengertian valid dan otoritatif) semua diskursus dan praktek keislaman, pendekatan ini mengarah pada relatifisme reduktif. Framework ini membuat tidak nyaman dua belah pihak sekaligus, yaitu Islamolog, yang terbiasa melihat Islam melalui teks, dan muslim itu sendiri. Muslim dari kelompok mainstream tidak bisa menerima ketika praktek dan keyakinan mereka dianggap sama dengan praktek dari kelompok kecil yang biasanya dianggap sebagai menyimpang. Selain itu, dengan menganggap sama semua manifestasi Islam, antropologi sebenarnya telah mengambil alih tugas teologi yang berkecendrungan memberikan justifikasi.

Kedua, pendekatan ini mengabaikan proses perubahan atau reformasi yang terjadi di tengah lokalitas umat Islam setelah persinggungan mereka dengan bentuk Islam yang lain. Pendekatan ini mengandaikan seolah-olah praktek lokal itu terkurung, tidak berinteraksi, konstan (tidak berubah) saat mengalami perjumpaan dengan manifestasi Islam yang berbeda.

Ketiga, selain pendekatan teks dan antropologi, pendekatan yang juga banyak digunakan adalah pendekatan sosiologi dan ilmu politik. Pendekatan ini menekankan akvitisme sosial umat Islam. Manifestasi Islam, baik yang berupa wacana ataupun praktek, dianggap sebagai respon terhadap kondisi material tertentu, yaitu kondisi politik ekonomi. Pendekatan ini umumnya melihat Islam sebagai sebuah ideologi kontemporer yang merespon tantangan liberalisme Barat. Penekanan pada pendekatan ini adalah pada faktor struktur material yang membentuk sebuah ide. Kelemahan dari pendekatan ini bersifat ganda, yaitu mengesampingkan pentingnya teks Islam dalam membentuk ide dan menghilangkan agensi umat Islam. Umat Islam dianggap sebagai tawanan dari kondisi material yang melingkupi mereka.

Islam Sebagai Tradisi Diskursif: Tawaran Konsep Talal Asad

Talal Asad mengajukan konsep Islam sebagai tradisi diskursif. Dalam merumuskan konsep ini, Asad dipengaruhi oleh konsep tentang tradition yang dirumuskan oleh filosof Katolik kontemporer, Alasdair MacIntyre, konsep discourse dari Michel Foucault, konsep orthodoxy (doxa) dari Pierre Bourdieu.

Untuk memahami Islam dan masyarakat muslim, para pengkaji, khususnya antropolog, menurut Asad harus melihat peran penalaran khas umat Islam (Islamic reasoning), yaitu penalaran yang berbasis pada al-Quran dan Hadis. Para antropolog dan pengkaji Islam secara umum harus memulai studi mereka dengan terlebih dahulu memahami cara berfikir spesifik umat Islam, yaitu berbasis pada sumber ajaran Islam. Asad menulis:

“if one wants to write an anthropology of Islam one should begin, as Muslims do, from the concept of a discursive tradition that includes and relates itself to the founding texts of the Qur’an and the Hadith.”

“Jika seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus memulai, sebagaimana muslim melakukannya, dari konsep tradisi diskursif yang selalu memasukkan dan mengkaitkan dirinya dengan teks-teks dasar, yaitu al-Quran dan hadis.”

Asad mengingatkan para peneliti bahwa Islam adalah tradisi diskursif. Umat Islam dalam ruang dan waktu manapun selalu berupaya untuk melegitimasi praktek-praktek beragama mereka dengan kembali pada rujukan otoritatif. Sebagai tradisi diskursif, Islam memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencari bentuk beragama yang benar serta mencari tujuan dalam mempraktekkan ajaran keagamaan (instruct practitioners regarding the correct form and purpose of a given practice).

Adalah sebuah fakta yang harus dipahami oleh para peneliti, lanjut Asad, bahwa umat Islam selalu berusaha untuk mencari legitimasi dan otentisitas dengan menemukan ittisaliyyah (ketersambungan) dengan otoritas di masa lalu. Bagi umat Islam, proses pencarian inilah yang menentukan satu praktek beragama sebagai islami atau tidak. Sebuah doktrin atau praktek beragama baru akan dianggap otoritatif dan otentik jika telah diterima oleh masyarakat muslim beberapa generasi ke belakang atau memiliki jangkar dari tradisi intelektual di masa lalu.

Kecendrungan mencari legitimasi ini kemudian secara tidak langsung melahirkan apa yang disebut fenomena ortodoksi dan ortopraksi (keyakinan yang benar dan pengamalan yang benar) dan fenomena heterodoksi and heteropraksi (keyakinan yang keliru dan praktek yang keliru) di tengah umat Islam. Para peneliti tentang Islam, sebagaimana mereka tidak bisa menghindar dari tugas melihat proses penalaran yang menjadi ciri khas Islam di atas, juga tidak bisa menghindar dari investigasi terhadap proses terbentuknya ortodoksi dan ortopraksi. Mereka yang menghindar dari tugas ini, karena alasan apapun (misalnya karena merasa bahwa dirinya bukan teolog), sebenarnya telah melewatkan satu aspek inti dari Islam sebagai tradisi diskursif.

Jangkar Tradisi Islam

Kembali tentang pandangan Asad sebagai tradisi, selain melihat otoritas pada teks dan preseden dari masa lalu, tradisi Islam juga memiliki jangkar ke depan. Artinya, tradisi tidak sekedar replikasi model dari masa masa lalu.

Dalam hal ini Asad sesungguhnya tengah mengkontraskan pandangan Islam tentang tradisi dengan pandangan Barat. Dunia Barat, khususnya paska periode Pencerahan (the Enlightenment), cenderung melihat tradisi sebagai sesuatu yang serba negatif. Tradisi dimaknai sebagai “a set of unchanging doctrinal or cultural givens” (sekumpulan doktrin yang sudah tidak dapat berubah atau fakta kebudayaan yang sudah jadi).

Tidak hanya itu, tradisi juga dianggap sebagai lawan dari nalar (the opposite of reason). Bangsa yang memasuki fase modernity (kemodernan), menurut cara berfikir ini, adalah bangsa yang memutus diri dari tradisi.

Dalam Islam, menurut Asad, tradisi bukan sesuatu yang statis. Tradisi dapat berubah karena ia merespon tuntutan masa kini. Tradisi bukan berarti atavisme, regresifisme dan penolakan terhadap perubahan. Sebagai tradisi, Islam selalu memiliki kemampuan untuk bertransformasi menyesuaikan dengan tuntutan kekinian, tanpa kehilangan otentisitas dan kontinuitasnya dengan masa lalu. Hal itu disebabkan karena tradisi Islam melahirkan agency para ulama. Mereka inilah yang melakukan negosiasi antara praktek masa lalu sebagai referensi dan tuntutan masa kini dan masa depan.

Untuk memahami konsep tradisi yang dirumuskan Talal Asad, menarik untuk mengutip penjelasan Ovamir Anjum, seorang Asadian tulen yang menerapkan konsep Asad dalam penelitiannya mengenai Ibnu Taimiyah. Anjum mengibaratkan sifat tradisi Islam seperti proses bekerjanya organisme dalam mutasi genetik. Sebuah organisme mengalami perkembangan dengan mewariskan karakter dasarnya kepada keturunannya. Keturunan ini berkembang mencari bentuknya sendiri tanpa menjadi identik seperti pendahulunya, tetapi masih memiliki keterkaitan genetik dengan mereka.

Dari analogi di atas dapat dipahami bahwa para pengkaji Islam selain melihat penalaran Islami yang berbasis pada upaya pencarian legitimasi dari masa lalu, juga perlu melihat bagaimana para aktor Islam mencari bentuk baru dari tradisi Islam untuk masa sekarang dan yang akan datang. Dalam bahasa yang lain, para peneliti Islam harus melihat bagaimana sebuah wacana dan praktek keislaman terhubung dengan preseden masa lalu, dan bertransformasi menyesuaikan diri dengan tuntutan aktual dan obyektif yang melingkupinya.

Kelebihan Konsep Talal Asad

Hemat penulis, setidaknya ada empat kelebihan dari konsep yang diajukan oleh Talal Asad ini. Pertama, konsep tradisi diskursif sangat bermanfaat digunakan sebagai framework untuk memahami diversity (keragamaan) dalam pelbagai manifestasi lokal Islam serta hubungannya dengan Islam sebagai agama global. Konsep ini tidak mengurung satu fenomena lokal dalam ruang tertutup, tetapi menghubungkannya dengan identitas universal Islam.

Kedua, konsep ini merekonsiliasi antara pendekatan Islamologi yang melihat teks dan pendekatan antropologi yang berkecendrungan melakukan penelitian lapangan (fieldwork). Selama ini keduanya diposisikan terpisah dan tidak pernah saling menyapa. Melalui konsep tradisi diskursif, keduanya dapat diintegrasikan sekaligus.

Ketiga, konsep ini dapat menjadi framework untuk melihat hubungan antara dunia ide dan struktur material (ekonomi dan politik) yang membentuk ide-ide itu. Asad memasukkan analisa tentang power (kekuasaan) dalam perangkat konsepnya untuk melihat wacana dan praktek beragama umat Islam.

Keempat, konsep ini bermanfaat untuk melihat transformasi atau perubahan dalam pemikiran Islam atau budaya Islam. Asad tidak hanya menekankan tentang the past (masa lalu) saat melihat tradisi Islam, tapi juga memasukkan unsur change yang meliputi waktu sekarang (present) dan masa depan (future).

Berikut cuplikan tulisan Talal Asad dalam Qui Parle di bawah ini

Argumen umum saya sejauh ini adalah bahwa tidak ada antropologi Islam yang koheren yang dapat dibangun atas gagasan cetak biru sosial yang menentukan, atau pada gagasan totalitas sosial yang terintegrasi dalam struktur sosial dan ideologi agama yang berinteraksi. Ini tidak berarti bahwa tidak ada objek yang koheren untuk antropologi Islam adalah mungkin, atau cukup untuk mengatakan bahwa apa pun yang diyakini atau dilakukan oleh umat Islam dapat dianggap oleh antropolog sebagai bagian dari Islam. Sebagian besar ahli biologi Islam telah mendefinisikan ruang lingkup mereka terlalu luas, baik yang menganut prinsip esensialis maupun yang menggunakan prinsip nominalis. Jika seseorang ingin menulis antropologi Islam, ia harus memulai, seperti halnya umat Islam, dari konsep tradisi diskursif yang memasukkan dan menghubungkan dirinya dengan teks-teks pendiri Al-Qur'an dan Hadits. Islam bukanlah struktur sosial yang khas atau kumpulan keyakinan, artefak, adat istiadat, dan moral yang heterogen. Itu adalah tradisi.

Dalam sebuah artikel yang bermanfaat, "The Study of Islam in Local Contexts," Eick elman baru-baru ini menyatakan bahwa ada kebutuhan teoritis utama untuk mengambil "middle ground" antara studi tentang desa atau Islam suku dengan studi Islam universal. Mungkin memang demikian, tetapi kebutuhan teoretis yang paling mendesak untuk antropologi Islam adalah masalah tidak banyak menemukan skala yang tepat tetapi merumuskan konsep yang tepat. "A discursive tradition" hanyalah konsep semacam itu.

Apa itu tradition? Sebuah tradisi pada dasarnya terdiri dari wacana yang berusaha untuk mengajari para praktisi mengenai bentuk dan tujuan yang benar dari latihan tertentu yang, justru karena didirikan, memiliki sejarah. Wacana-wacana ini berhubungan secara konseptual dengan a past (ketika praktik dilembagakan, dan dari mana pengetahuan tentang titik dan kinerja yang tepat telah ditransmisikan) dan a future (bagaimana titik praktik itu dapat diamankan dalam jangka pendek atau jangka panjang, atau mengapa harus dimodifikasi atau ditinggalkan), melalui a present (bagaimana itu terkait dengan praktik, lembaga, dan kondisi sosial lainnya). An Islamic discursive tradition hanyalah sebuah tradisi wacana Muslim yang membahas konsepsi pas and future Islam, dengan mengacu pada praktik Islam tertentu di masa kini. Jelas, tidak semua yang dikatakan dan dilakukan umat Islam milik tradisi diskursif Islam. Tradisi Islam dalam pengertian ini juga tidak boleh meniru apa yang dilakukan di masa lalu. Bahkan ketika praktik tradisional tampak bagi antropolog sebagai peniru dari apa yang telah terjadi sebelumnya, itu akan menjadi konsep para praktisi tentang apa itu kinerja yang tepat, dan tentang bagaimana masa lalu terkait dengan praktik-praktik yang ada, yang akan sangat penting bagi tradisi, bukan pengulangan yang tampak dari bentuk lama.

Maksud saya bukanlah, seperti yang dikemukakan oleh beberapa antropolog Barat dan intelektual Muslim Barat, bahwa "tradition" saat ini adalah fiksi masa kini, sebuah reaksi terhadap kekuatan-kekuatan modernitas? bahwa dalam kondisi krisis saat ini, tradisi di dunia Muslim adalah senjata, tipu muslihat, pertahanan, yang dirancang untuk menghadapi ancaman dunia, bahwa itu adalah jubah lama untuk aspirasi baru dan gaya perilaku yang berbeda. bahwa ide-ide kontemporer dan pengaturan sosial benar-benar kuno ketika mereka tidak dengan sendirinya tidak lebih penting daripada kepura-puraan bahwa ide-ide baru telah diinjak-injak padahal sebenarnya tidak. Berbohong pada diri sendiri, juga kepada orang lain, tentang hubungan masa kini dengan masa lalu adalah hal yang biasa dalam masyarakat modern seperti halnya dalam masyarakat yang biasanya dipelajari oleh para antropolog. Poin penting tentang tradisi adalah bahwa semua praktik yang dilembagakan berorientasi pada konsepsi masa lalu.

Oleh karena itu bagi ahli antropologi Islam awal teoretis yang tepat adalah praktik yang dilembagakan (ditetapkan dalam konteks tertentu dan memiliki sejarah tertentu) di mana umat Islam dilantik sebagai Muslim. Untuk tujuan analitis, tidak ada perbedaan mendasar dalam hal ini antara Islam "klasik" dan "modern". The discourses di mana pengajaran dilakukan, di mana kinerja yang benar dari praktik didefinisikan dan dipelajari, adalah intrinsik untuk semua praktik Islam. Oleh karena itu agak menyesatkan untuk menyarankan, seperti yang telah dilakukan beberapa sosiolog, bahwa itu ortopraksi dan bukan ortodoksi, ritual dan bukan doktrin, yang penting dalam Islam. Ini menyesatkan karena pertikaian semacam itu mengabaikan sentralitas gagasan "the model yang benar" yang merupakan praktek dilembagakan? termasuk ritual? Seharusnya sesuai, model yang disampaikan dalam formula otoritatif, dalam tradisi Islam seperti yang lain. Dan saya merujuk di sini terutama bukan pada wacana terprogram dari gerakan-gerakan Islam "modernis" dan "fundamentalis", tetapi pada praktik-praktik mapan dari umat Muslim yang tidak berpendidikan. Suatu praktik adalah islami karena disahkan oleh tradisi Islam yang berbeda, dan diajarkan kepada umat Islam? Apakah dengan ‘alim, khatib, seorang syekh sufi, atau orang tua yang tidak terpelajar. (Mungkin perlu diingat di sini bahwa secara etimologis "Doktrin" berarti mengajar, dan karena itu doktrin ortodoks menunjukkan proses pengajaran yang benar, serta pernyataan yang benar tentang apa yang harus dipelajari).

Ortodoksi sangat penting untuk semua tradisi Islam. Tetapi pengertian di mana saya menggunakan istilah ini harus dibedakan dari pengertian yang diberikan oleh sebagian besar orientalis dan antropolog. Para antropolog seperti El Zein, yang ingin menyangkal makna khusus apa pun terhadap ortodoksi, dan mereka yang seperti Gellner, yang melihatnya sebagai seperangkat doktrin khusus "di jantung Islam," keduanya kehilangan sesuatu yang vital: bahwa ortodoksi bukan sekadar tubuh pendapat tetapi hubungan yang khas? hubungan kekuasaan dengan kebenaran. Di mana pun umat Islam memiliki kekuasaan untuk mengatur, menegakkan, mewajibkan, atau menyesuaikan praktik yang benar, dan untuk mengutuk, mengecualikan, melemahkan, atau mengganti yang salah, ada wilayah ortodoksi. Cara kekuatan ini dijalankan, kondisi yang memungkinkannya (sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain), dan hambatan yang mereka hadapi (dari Muslim dan non-Muslim) sama-sama menjadi perhatian antropologi Islam, terlepas dari apakah objek langsung penelitiannya adalah di kota atau di pedesaan, di masa sekarang atau di masa lalu. Argumen dan konflik tentang bentuk dan signifikansi praktik ada di sana sebagai bagian alami dari tradisi Islam.

Dalam representasi mereka tentang "tradisi Islam," orientalis dan antropolog sering memarginalkan tempat argumen dan alasan seputar praktik tradisional. Argumen secara umum direpresentasikan sebagai gejala "tradisi dalam krisis," dengan asumsi bahwa tradisi "normal" (apa yang disebut oleh Abdallah Laroui "tradisi sebagai struktur" dan berbeda dari "tradisi sebagai ideologi" [CJ, 33]) tidak termasuk penalaran sama seperti itu membutuhkan kesesuaian yang tidak terpikirkan. Tetapi kontras dan persamaan ini sendiri adalah karya dari motivasi historis, bermanifestasi dalam oposisi ideologis Edmund Burke antara "tradisi" dan "alasan," sebuah oposisi yang dielaborasi oleh ahli teori konservatif yang mengikutinya, dan diperkenalkan ke dalam sosiologi oleh Weber.

Alasan dan argumen harus terlibat dalam praktik tradisional setiap kali orang harus diajari tentang poin dan kinerja yang tepat dari praktik itu, dan setiap kali pengajaran bertemu dengan keraguan, ketidakpedulian, atau kurangnya pemahaman. Ini sebagian besar karena kita memikirkan argumen dalam hal debat formal, konfrontasi, dan polemik yang kita anggap tidak memiliki tempat dalam praktik tradisional. Namun proses mencoba untuk memenangkan seseorang atas kinerja yang rela dari praktik tradisional, yang berbeda dari upaya untuk menghancurkan posisi intelektual lawan, adalah suatu keharusan. bagian dari tradisi diskursif Islam seperti yang lainnya. Jika alasan dan argumen intrinsik pada praktik tradisional, dan bukan sekadar "tradisi dalam krisis," itu harus menjadi tugas pertama antropolog untuk menggambarkan dan menganalisis jenis-jenis penalaran, dan alasan untuk berdebat, yang mendasari praktik tradisional Islam.

Di sinilah analis dapat menemukan modalitas pusat kekuasaan, dan perlawanan yang ditemuinya - untuk proses berdebat, menggunakan kekuatan nalar, sekaligus mengandaikan dan merespons fakta perlawanan. Kekuasaan, dan perlawanan, dengan demikian merupakan intrinsik bagi pengembangan dan pelaksanaan praktik tradisional apapun. Konsekuensi teoretis dari hal ini adalah bahwa tradisi tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang pada dasarnya homogen, bahwa heterogenitas dalam praktik-praktik Muslim belum tentu merupakan indikasi tidak adanya tradisi Islam. Keragaman praktik tradisional Muslim dalam waktu, tempat, dan populasi yang berbeda menunjukkan perbedaan pemikiran Islektik yang dapat atau tidak dapat dipertahankan oleh kondisi sosial dan historis yang berbeda. Gagasan bahwa tradisi pada dasarnya homogeneous memiliki daya tarik intelektual yang kuat, tetapi keliru. Dalam akta, homogenitas yang tersebar luas adalah fungsi, bukan tradisi, tetapi pengembangan dan kontrol teknik komunikasi yang merupakan bagian dari masyarakat industri modern.

Meskipun tradisi Islam tidak homogen, mereka bercita-cita untuk koherensi, seperti semua tradisi diskursif lakukan. Bahwa mereka tidak selalu mencapainya adalah karena kendala kondisi politik dan ekonomi yang terkait dengan tradisi-tradisi itu, juga keterbatasan-keterbatasan yang melekat padanya. Dengan demikian, di zaman kita sekarang ini, upaya tradisi Islam untuk mengatur ingatan dan keinginan secara koheren semakin dibuat kembali oleh kekuatan sosial kapitalisme industri, yang menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pola keinginan dan kelupaan yang sangat berbeda. Antropologi Islam akankah karena itu berusaha memahami kondisi historis yang memungkinkan produksi dan pemeliharaan tradisi diskursif tertentu, atau transformasi mereka? dan upaya para praktisi untuk mencapai koherensi.

Saya telah berargumen bahwa para antropolog yang tertarik dengan Islam perlu memikirkan kembali objek studi mereka, dan bahwa konsep tradisi akan membantu dalam tugas ini. Saya sekarang ingin menyimpulkan dengan poin singkat terakhir. Menulis tentang suatu tradisi berarti berada dalam hubungan naratif tertentu dengannya, suatu hubungan yang akan bervariasi menurut apakah seseorang mendukung atau menentang tradisi tersebut, atau menganggapnya sebagai netral secara moral. Koherensi bahwa setiap pihak menemukan, atau gagal menemukan, dalam tradisi itu akan bergantung pada posisi historis khusus mereka. Dengan kata lain, jelas tidak ada, juga tidak ada, hal seperti itu yang secara universal dapat diterima dari tradisi yang hidup. Setiap representasi tradisi dapat diperdebatkan. Bentuk apa yang diambil oleh kontestasi, jika itu terjadi, akan ditentukan tidak hanya oleh kekuatan dan pengetahuan yang disebarkan oleh masing-masing pihak, tetapi juga oleh kehidupan kolektif yang mereka cita-citakan? Atau untuk kelangsungan hidup siapa mereka cukup acuh tak acuh. Deklarasi netralitas moral, di sini seperti biasa, tidak ada jaminan kepolosan politik.

Dikutip dari Muhammad Rofid dalam ibtimes.id/ dan tulisan Talal Asad dalam Qui Parle

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf The Idea of An Anthropology of Islam di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer