Pages

Rabu, 08 Januari 2020

Citra Islam Indonesia dan Conservative Turn

Sumber gambar: betuelulusoy.com


Sejak jatuhnya Soeharto di tahun 1998, terjadi perkembangan di Indonesia yang banyak mengubah citra Islam Indonesia dan anggapan tentang Muslim Indonesia yang selama ini dikenal toleran dan cenderung mau berkompromi. Di masa jaya Orde Baru, tahun 1970-an hingga tahun 1980-an, Islam Indonesia telah menunjukkan wajah yang tersenyum—mungkin sudah selayaknya begitu, karena dipimpin oleh penguasa otoriter yang dikenal sebagai “the smiling general”. Yang menonjol adalah wacana yang modernis dan mendukung program-program pembangunan pemerintah, yang merangkul ideologi negara Pancasila yang sebenarnya sekuler, mendukung keselarasan hubungan (dan kesamaan hak) dengan non-Muslim yang minoritas, dan menganggap ide negara Islam tidak cocok untuk Indonesia. Beberapa tokoh pentingnya menyebut-nyebut “Islam kultural” sebagai alternatif dari Islam politis dan menekankan bahwa kultur Muslim Indonesia sama saja sahnya dengan aneka rupa Islam di Timur Tengah.

Seperti senyum Soeharto, wajah ramah para penyambung lidah Muslim terkemuka menyembunyikan beberapa kenyataan yang tidak mengenakkan, seperti terutama pembunuhan massal terhadap tertuduh komunis di tahun 1965–1966, yang telah direkayasa militer Soeharto tetapi sebagian besar dilakukan oleh pasukan pembunuh yang direkrut dari organisasi Muslim besar. Ada juga pemikiran dan gerakan Islam yang terpendam dan lebih fundamentalis, dan ada ketakutan yang luas di kalangan Muslim—yang tidak sepenuhnya tidak berdasar—tentang usaha orang Kristen untuk melemahkan Islam. Namun, yang paling menonjol adalah wacana yang liberal, toleran, dan terbuka seperti yang kita jumpai pada Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid. Wacana seperti ini secara luas dibahas oleh pers dan terlihat pengaruhnya di universitas-universitas, di Kementerian Agama dan organisasi-organisasi Muslim yang besar, dan juga kalangan kelas menengah yang sedang muncul.

Era pasca-Suharto menawarkan wajah Islam Indonesia yang amat berbeda. Selama beberapa tahun, terjadi konflik antaragama di seluruh negeri. Gerakan jihad (didukung oleh faksi militer dan kelompokkelompok kepentingan di daerah) membawa panji-panji Islam ke konflik-konflik di daerah, mengubahnya menjadi medan perang untuk sebuah perjuangan yang tampaknya akan memecah-belah bangsa. Kelompok teroris yang tampak punya koneksi lintasnegara melakukan serangan yang menghebohkan, termasuk serangkaian pengeboman simultan di gereja-gereja di seluruh negeri pada malam Natal tahun 2000 dan pengeboman Bali pada Oktober 2002, yang menewaskan sekitar dua ratus orang dan melukai ratusan orang lebih, banyak di antara mereka adalah turis mancanegara. Jajak pendapat di awal tahun 2000-an secara mengejutkan menunjukkan dukungan yang tinggi dari kalangan masyarakat luas terhadap kelompok-kelompok Muslim radikal dan dukungan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk ide negara Islam. Upaya untuk memasukkan acuan kepada syariah—yang biasa disebut Piagam Jakarta—ke dalam Konstitusi ditolak oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam sidangnya di tahun 2001 dan 2002. Namun, di tahun-tahun sesudahnya, banyak provinsi dan kabupaten yang memakai aturan syariah, setidak-tidaknya menjunjungnya secara simbolis.

Namun, tampaknya perkembangan tadi kebanyakan hanyalah respons sementara atas demam perubahan politik, dan bukan indikasi terjadinya perubahan sikap mayoritas Muslim Indonesia. Sementara itu, baik kekerasan dalam masyarakat maupun serangan teroris telah mereda. Dan kini menjadi jelas bahwa banyak dari aksi kekerasan itu yang berhubungan langsung dengan perjuangan mendapatkan redistribusi sumber daya ekonomi dan politik di Indonesia pascaSoeharto. Di sebagian besar daerah yang dilanda konflik, telah terjadi keseimbangan kekuatan baru, meskipun dalam beberapa kasus itu hanya terjadi setelah warga direlokasi, dan kebutuhan akan hidup rukun bertetangga telah secara luas diakui. Sebagian besar jaringan teroris telah diungkap dan dipetakan oleh polisi; banyak dari anggota teroris itu yang terbunuh atau ditahan; penerimaan masyarakat pada kekerasan atas nama Islam telah jauh berkurang. Penerbitan peraturan-peraturan daerah (perda) syariah telah berhenti—kecuali di Aceh yang masih mengagendakan pelaksanaan syariah. Partai politik Islam, yang pada pemilu 1999 dan 2004 telah mengumpulkan suara hingga 40% seperti yang pernah mereka kantongi di tahun 1955, mencatat penurunan yang signifikan pada tahun 2009, kembali terjatuh ke perolehan di bawah 25 persen.

Perkembangan yang lebih bertahan lama tampaknya adalah munculnya gerakan Islam transnasional yang dinamis yang bersaing untuk memperebutkan pengaruh dengan dua organisasi arus utama yang sudah mapan, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), dan untuk memberikan sumbangan nyata pada penentuan arah perdebatan Indonesia. Yang paling menonjol di antara mereka, di antaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan afiliasinya, yang merupakan versi Indonesia dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok nonpolitik seperti Jama’ah Tabligh dan gerakan Salafi. Selain itu, di dalam tubuh Muhammadiyah dan NU sendiri, tarik menarik antara kubu liberal dan progresif di satu sisi dengan kubu konservatif dan fundamentalis di sisi lain telah bergeser ke arah yang disebut belakangan.

“THE CONSERVATIVE TURN”

Di tahun 2005 sebuah conservative turn tampaknya telah terjadi di dalam arus utama Islam, dan tampaknya pandangan modernis dan liberal yang selama ini mendapat dukungan luas di dalam Muhammadiyah dan NU telah kian ditolak. Kedua organisasi ini mengadakan kongres lima-tahunan mereka pada tahun 2004, dan pada kedua kongres ini susunan pengurus dibersihkan dari pemimpin yang dianggap “liberal”, termasuk orang-orang yang telah memberikan pengabdian yang besar kepada organisasi mereka. Banyak ulama dan pemimpin Muslim lainnya tampaknya lebih sibuk dengan perjuangan melawan sekte dan ide “sesat”.

Tanda paling jelas dari terjadinya conservative turn barangkali bisa dilihat dari sejumlah fatwa kontroversial yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2005. Salah satu fatwa itu menyatakan bahwa sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama—SiPiLis, dalam singkatan sugestif yang diciptakan oleh kaum fundamentalis—adalah bertentangan dengan Islam. Fatwa ini—yang diyakini terinspirasi oleh orang Islam radikal yang belakangan bergabung ke dalam MUI tetapi juga didukung oleh banyak kaum konservatif dari arus utama—dari luar tampak seperti serangan frontal pada kelompok kecil yang menyebut diri mereka Muslim “liberal” dari Jaringan Islam Liberal (JIL). Namun, sebenarnya fatwa itu berusaha mendelegitimasi kategori intelektual Muslim dan aktivis LSM yang lebih luas, termasuk beberapa tokoh Muslim yang paling dihormati dalam dekade sebelumnya. Fatwa lain mengutuk pelaksanaan doa bersama lintas-iman (yang telah muncul sejak terjadi pertikaian politik dan konflik antaragama, ketika wakil-wakil dari berbagai agama bergabung untuk memanjatkan doa bersama memohon kesejahteraan dan kedamaian) dan fatwa yang mengharamkan perkawinan beda agama, termasuk pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslim. Fatwa terhadap Ahmadiyah tidak hanya menyatakan mazhab ini berada di luar Islam, dan Muslim yang bergabung menjadi murtad, tetapi itu juga meminta pemerintah untuk secara efektif melarang segala aktivitasnya. MUI didirikan pada tahun 1975 sebagai penasihat pemerintah dalam masalah kebijakan yang terkait Islam dan sebagai saluran komunikasi antara pemerintah dan umat Muslim. Selama seperempat abad, suaranya lebih banyak bernada mencari jalan tengah dan kompromi, jika tidak untuk kepentingan politik; tetapi ia juga melihat dirinya sebagai pengawas ortodoksi agama dan berkali-kali mengeluarkan pernyataan yang mengutuk gerakan dan sekte-sekte yang menyimpang. (MUI mengutuk Ahmadiyah cabang Qadiyani pada awal tahun 1980, tapi ini tak berpengaruh pada kebijakan pemerintah.) Para pengkritik rezim Soeharto telah melontarkan tumpukan cemoohan pada MUI karena ketertundukkannya pada keinginan pemerintah. Namun secara umum, keberadaan lembaga yang dapat mewakili sudut pandang umat kepada pemerintah ini masih dihargai (Lihat juga Bruinessen 1996). Setelah Soeharto jatuh, MUI menyatakan dirinya mandiri dari pemerintah, dan sejak itu, ia telah menetapkan agenda sendiri. Setidak-tidaknya, seorang analis menafsirkan bahwa MUI saat ini lebih tegas (dan konservatif) dalam menempatkan dirinya “untuk menyekat perannya agar lebih selaras dengan umat” menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia mungkin sejak awal telah menganut pandangan konservatif seperti itu (Gillespie 2007, h. 202).

Conservative turn tidak berarti bahwa suara liberal dan progresif dari masa lalu telah tiba-tiba terbungkam. Sebenarnya banyak yang menyuarakan protes. Mantan Pimpinan Muhammadiyah dan NU, Ahmad Syafi’i Ma’arif, dan Abdurrahman Wahid, yang benar-benar populer bagi konstituen mereka, berbicara secara keras dan jelas. Begitu pula beberapa anggota terkemuka dari dua organisasi ini, serta sejumlah besar aktivis muda. Tetapi, mereka telah kehilangan kekuasaan untuk menentukan perdebatan dan memberikan inisiatif itu kepada kaum konservatif dan fundamentalis.

APA YANG TERJADI?

Perkembangan ini menuntut penjelasan. Menarik untuk melihat kaitan langsung antara demokratisasi Indonesia dan turunnya pengaruh pandangan liberal dan progresif. Namun, asumsi bahwa mayoritas itu bersifat konservatif atau cenderung berpandangan fundamentalis tidak bisa diyakini begitu saja. Ini berarti pemikiran Islam liberal hanya bisa berkembang apabila dilindungi oleh rezim otoriter. Argumen lainnya adalah demokratisasi politik telah menarik banyak dari orang-orang yang sebelumnya terlibat dalam organisasi atau lembaga-lembaga yang mendukung perdebatan intelektual ke dalam karier di partai politik atau institusi, sehingga melemahkan landasan sosial bagi wacana Islam liberal dan progresif.

Penjelasan lain (yang berulang-ulang disodorkan oleh kaum liberal yang merasa terkepung) terkait adanya pengaruh dari Timur Tengah, khususnya Semenanjung Arab, dalam bentuk kembalinya para lulusan dari Universitas Saudi, institut pendidikan yang didanai Arab Saudi dan Kuwait, sponsor penerjemahan sejumlah teks “fundamentalis”, dukungan ideologis dan keuangan untuk gerakan Islam lintasnegara. Menonjolnya keturunan Arab yang memegang kepemimpinan gerakan radikal tampaknya mengarah kepada peran mereka sebagai perantara proses Arabisasi Islam Indonesia. Tak bisa disangkal, pelaku keturunan Arab dan dana Arab memang meningkat, tetapi seperti telah saya nyatakan di bagian lain, pengaruh mereka tidak secara khusus bekerja dalam arah anti-liberal maupun fundamentalis.

Pemunculan gerakan Islam lintas negara di muka umum merupakan fenomena penting yang pasti telah mengubah pemandangan Islam Indonesia, serta mengikis pentingnya peran Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam menentukan arus utama moderat. Terlalu dini untuk mengatakan apakah pergeseran dua organisasi ini ke pandangan konservatif bersifat sementara; pengamatan saya pada Musyawarah Nasional NU pada bulan Maret 2010 menunjukkan tren antiliberal telah mereda dan bahkan mungkin telah berbalik (Bruinessen 2010).

Empat studi yang rinci yang menjadi tubuh utama buku ini merupakan, dalam pandangan saya, sumbangan besar untuk memahami perkembangan Islam Indonesia pasca-Soeharto. Dan karena berdasar pada penelitian lapangan langsung, karya ini akan memberikan pemahaman tentang aspek utama dari apa yang bisa disebut “conservative turn” di dalam tubuh Islam Indonesia. Untuk menempatkan perkembangan ini ke dalam konteks sosial dan sejarah yang lebih luas, bab-bab itu akan didahului dengan tinjauan luas tentang organisasi dan gerakan Muslim Indonesia

Dikutip dari Martin Van Bruinessen dalam tulisan Pengantar “Perkembangan Kontemporer Islam Indonesia dan “Conservative Turn” Awal Abad ke-21

Agar pembaca dapat mengulas lebih dalam pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) pdf buku Conservative Turn: Islam Indonesia Dalam Ancaman Fundamentalisme di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer