Pages

Rabu, 29 Desember 2021

Mengarusutamakan Kembali Nalar Filosofis di Era Disrupsi

sumber gambar: mudabicara.com


Para filsuf, sebagaimana para ilmuwan, membuat beberapa klaim. Akan tetapi, tidak seperti para ilmuwan, para filsuf tidak menggunakan tabung reaksi, teleskop, kamar kabut, atau peralatan lain yang serupa dalam kerja mereka. Ini memunculkan pertanyaan: bukti macam apa yang tersedia untuk mendukung klaim filosofis? Klaim filosofis bersifat spekulatif. Akan tetapi, jika ini berarti bahwa klaim tersebut tanpa dasar, kita mungkin layak bertanya mengapa seseorang harus membuat klaim tersebut dan mengapa ia harus meyakininya dengan tingkat keyakinan yang paling tipis.

 

Mengutip karya orang lain yang telah terbit tentu tidak akan memberi tahu kita tentang dasar macam apa yang dimiliki oleh klaim-klaim filosofis karena ia hanya menangguhkan pertanyaan. Kita sekarang perlu tahu dasar macam apa yang tersedia untuk mendukung klaim-klaim yang tertulis itu. Alasan apa yang dimiliki oleh para pengarang tersebut untuk membuat klaim tersebut? Ada pendapat umum tentang nilai evidensial dari testimoni. Bahkan jika testimoni dapat memberi kita alasan untuk memercayai bahwa proposisi P itu benar, maka sumber terakhir dari testimoni itu—yaitu, filsuf yang membuat klaim tersebut pertama kali—masih harus memiliki alasan lain untuk memercayai bahwa P benar. Kita perlu tahu alasan macam apakah itu.

 

Sekali lagi, merupakan sebuah pelajaran umum yang penting dalam epistemologi bahwa seseorang bisa layak untuk membuat klaim tertentu bahkan jika orang itu tidak memiliki bukti untuk mendukung klaimnya itu.1 Akan tetapi, mungkin tidak semua klaim (bahkan tidak semua klaim filosofis) memiliki status itu. Selain itu, bahkan jika beberapa filsuf bisa membuat sejumlah klaim tertentu tanpa memberikan bukti pendukungnya, dan klaim-klaim itu kemudian saling bertentangan, kita perlu memilih di antara klaim-klaim itu. Di dalam melakukan pemilihan terhadap klaim-klaim yang diajukan, kita dituntut untuk memiliki alasan terhadap pilihan kita sendiri.

 

Semisal kita setidaknya dapat mengidentifikasi beberapa jenis bukti yang mendukung sejumlah klaim filosofis. Persoalannya tidak berakhir di sana karena kita masih perlu mengevaluasi bukti-bukti itu. Kita perlu tahu seberapa baik bukti itu. Di satu waktu orang berpikir bahwa kondisi perut ayam memberi bukti tentang apa yang akan terjadi. Jelas itu bukan cara terbaik untuk memprediksi masa depan. Akan tetapi apakah ada alasan mengapa kita harus mengandaikan bahwa filsuf saat ini lebih sedikit keliru? Ini bukan soal sepele. Beberapa filsuf berpikir bahwa rekam jejak filsafat dalam menemukan kebenaran, yang berbeda dengan mengungkapkan kekeliruan, itu tidak lebih baik dibanding rekam jejak pengujian perut ayam sebagai sebuah petunjuk untuk memprediksi masa depan. Jadi, jika persoalan pertama berkaitan dengan bukti macam apa yang mendukung klaim filosofis, persoalan kedua berkaitan dengan seberapa andal klaim itu—seberapa mungkin klaim itu mengarah pada klaim yang benar yang berbeda dari klaim yang keliru.

 

Fakta bahwa filsuf tidak memiliki laboratorium yang dilengkapi dengan alat pengujian dan pengukuran mungkin mendukung keyakinan bahwa mereka tidak membutuhkannya dan, secara umum, bahwa para filsuf tidak membutuhkan informasi empiris apa pun di dalam mengembangkan dan mempertahankan pandangan mereka. Alasannya adalah bahwa jika para filsuf itu tidak bersandar pada data empiris, mereka pasti bersandar pada data non-empiris. Jenis data ini pasti merupakan data khusus yang dapat diakses melalui refleksi intelektual di atas kursi. Dan jika hipotesis para filsuf diuji oleh data non-empiris, hipotesis itu sendiri tidak mungkin merupakan hipotesis empiris. Hipotesis itu tidak akan berupa hipotesis tentang dunia empiris, melainkan hipotesis tentang bagaimana kita memikirkan dunia empiris. Ia adalah hipotesis tentang representasi kita atas sesuatu. Filsafat kemudian menjadi sebuah penyelidikan tentang hakikat representasi atau konsep kita tentang sesuatu. Ini merangkum ide tentang filsafat sebagai analisis konseptual dan hipotesis filosofis sebagai klaim tentang seperti apa itu konsep dan bagaimana ia secara niscaya saling terkait dengan konsep lain. Konsepsi filsafat yang seperti ini terus berpengaruh.

 

Namun, rangkaian argumen pada paragraf di atas itu dapat dilawan. Bahkan jika para filsuf tidak memiliki laboratorium dan tidak melakukan eksperimen empiris, itu tidak berarti bahwa data empiris tidak relevan bagi teori filsafat. Data empiris mungkin di[1]butuhkan oleh teori filsafat. Toh, banyak fisikawan teoretis sendiri juga tidak memiliki laboratorium dan tidak melakukan eksperimen empiris. Akan tetapi, mereka bergantung pada hasil dari penelitian laboratorium dan penelitian lapangan para fisikawan eksperimental untuk memperoleh bukti bagi teori-teori mereka.

 

Menurut satu konsepsi tentang filsafat—yaitu naturalisme—hipotesis filosofis itu dapat menerima dukungan empiris (atau bantahan empiris). Dukungan itu sering kali tidak langsung. Bahkan mungkin dukungan itu lebih bersifat tidak langsung dibanding dukungan yang diterima teori fisika level-atas dari pengamatan empiris. Akan tetapi, yang jelas dukungan itu ada. Konsepsi filsafat semacam ini mungkin membuat klaim lebih lanjut tentang dukungan tersebut. Untuk memperkuat, ia mungkin mengklaim bahwa bukti empiris memberi bukti filosofis dalam bentuknya yang terbatas terhadap klaim filosofis; bahwa ia adalah dukungan evidensial terbaik yang dapat dimiliki oleh klaim filosofis; atau bahwa ia adalah satu-satunya dukungan evidensial yang dapat dimiliki oleh klaim filosofis. Kita akan membahas naturalisme dan metodenya secara khusus di bab 6.

 

Sesuatu yang kita pelajari dari pembahasan kita sejauh ini adalah bahwa, tidak seperti banyak disiplin lain, para filsuf tidak hanya tidak sepakat tentang klaim apa yang terjamin, tetapi juga tentang metode apa yang harus digunakan dan data macam apa yang dapat mendukung klaim mereka. Soal metode dan data apa yang seharusnya digunakan oleh filsafat itu menjadi soal yang sama kontroversialnya dengan masalah-masalah lain di dalam filsafat. Buku ini mengambil pendekatan “rel kembar”. Ia mendeskripsikan sejumlah metode dan data yang pernah digunakan oleh para filsuf. Ia juga membahas masalah normatif tentang bagaimana seharusnya metode itu dievaluasi dan seberapa banyak dukungan yang diberikan oleh beragam jenis data kepada klaim filosofis.

 

Dalam membahas masalah normatif ini, tiap-tiap bab berisi studi kasus: contoh aktual tentang bagaimana metode atau jenis data tertentu digunakan untuk mendukung, atau meruntuhkan, klaim filosofis. Buku ini membahas masalah deskriptif dan normatif sekaligus, karena kita perlu kejelasan tentang bukti apa yang diberikan seorang filsuf terhadap klaim tertentu dan juga seberapa andal dukungan itu. Tampak tidak ada cara lain yang lebih baik untuk menguji metode yang diajukan atau nilai data tertentu selain dengan menelaah seberapa baik ia dalam menyelesaikan masalah filosofis yang rumit. Bertrand Russell pernah mengingatkan kita, “tidak ada nilai apa pun yang dapat dikatakan tentang metode kecuali melalui contoh-contoh” (Russell 1914, 240). Jadi penggunaan studi kasus itu sendiri merupakan sebuah perangkat metodologis yang takterhindarkan di dalam filsafat.

 

Buku ini akan berkaitan dengan tiga pertanyaan besar tentang metodologi filsafat: (P1) Data macam apa yang mendukung hipotesis filosofis dan seberapa besar dukungan yang dapat ia berikan? (P2) Prinsip apa yang mengatur pemilihan hipotesis filosofis? (P3) Hipotesis macam apa yang diandaikan sebagai hipotesis filosofis?.

 

Data bagi hipotesis filosofis yang dibahas dalam buku ini mencakup data yang diberikan oleh pandangan umum atau common sense (bab 1), eksperimen pikiran (bab 3), dan sains (bab 6). Prinsip pemilihan hipotesis filosofis yang dibahas mencakup prinsip analisis (bab 2), kesederhanaan (bab 4), dan penjelasan (bab 5).

 

Persoalan tentang metode dan jenis data yang seharusnya digunakan oleh para filsuf terkait erat dengan pandangan tentang hakikat filsafat. Pandangan-pandangan semacam itu menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai “metafilsafat”: telaah filosofis terhadap filsafat itu sendiri. Analisis konseptual dan naturalisme merupakan contoh dari pandangan metafilosofis yang berbeda. (“Analisis konseptual” dan “naturalisme” sebenarnya sama-sama merupakan istilah umum yang mencakup sejumlah pandangan metafilosofis). Pandangan metafilosofis sulit sekali untuk diperdebatkan. Lagi pula, banyak filsuf juga tidak memperdebatkan, bahkan juga tidak mempertegas, pandangan metafilosofis apa yang mereka pegang. Seringkali apa pun pandangan metafilosofis yang mungkin mereka miliki adalah asumsi latar belakang yang hanya tersirat di dalam karya mereka. Praktik ini dapat dipahami: para filsuf ingin tetap fokus menangani masalah filosofis pada “tatanan-pertama” yang berkaitan dengan hakikat pikiran, kebenaran, dunia fisik, dan semacamnya, bukan masalah pada “tatanan-kedua” yang terkait dengan hakikat filsafat itu sendiri. Akan tetapi, soal hakikat filsafat itu juga masih merupakan wilayah penyelidikan filosofis yang sah. Dan karena pandangan-pandangan kita tentang wilayah ini, dan tentang hakikat problem filosofis sendiri, akan berhubungan dengan bagaimana kita menangani problem filosofis pada tatanan-pertama, problem metafilsafat ini juga layak untuk ditelaah.

 

Meskipun metodologi filsafat berhubungan dengan masalah metafilsafat yang besar, ini tidak boleh menyesatkan kita. Banyak metodologi filsafat terdiri dari pembuatan dan penilaian argumen, distingsi dan kualifikasi. Praktik ini sebagian besar bukan tempat khusus bagi beberapa kelompok metafilsafat tertentu. Sebagian besar, mereka melakukan upaya bersama.

 

Pokok bahasan buku ini adalah problem-problem filosofis, prinsip yang digunakan untuk menyelesaikan problem itu, dan metafilsafat yang mendasarinya untuk merefleksikan problem yang lebih umum terkait kerja teoretis yang ketat di dalam filsafat. Beberapa orang mungkin khawatir soal seberapa jauh buku ini mengabaikan sejarah filsafat. Masalah tentang relasi filsafat dengan sejarah filsafat adalah masalah yang kontroversial. Meskipun di dalam buku ini saya tidak mengacu pada sejarah filsafat, itu bukan karena buku ini berkomitmen pada klaim bahwa sejarah filsafat tidak memiliki hubungan yang penting dengan bagaimana filsafat seharusnya ditelaah.4 Ruang lingkup buku ini memang sengaja dibatasi dengan beberapa cara. Jika sejarah filsafat memiliki hubungan yang penting dengan soal bagaimana seharusnya filsafat ditelaah, sepertinya pelajaran historis yang relevan dapat melengkapi klaim-klaim filosofis non-historis yang dibuat dalam buku ini.

 

Dikutip dari Buku Pengantar Metode-metode Filsafat.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Dunia Sophie, Novel Filsafat pdf

Buku Putih Mazhab Syiah pdf 

Belajar Menjadi Sufi pdf 

Sejarah Islam di Nusantara pdf 

Perang Salib Sudut Pandang Islam pdf

Pengantar Metode-metode Filsafat pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer