Sumber gambar: pwmu.co |
Di
antara sejumlah besar capaian peradaban umat Islam masa klasik adalah
penaklukan (dalam sumber Arab, futuhat) yang mereka lakukan ke arah
Barat, yakni dari Hijaz menuju Syiria (Syam), lalu kemudian ke wilayah Mesir,
Afrika Utara (Ifriqiyya) hingga menyeberang ke Andalusia, Semenanjung Iberia.
Penaklukan ini begitu penting dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Andalusia
adalah titik barat terujung dari wilayah yang ditaklukkan umat Islam. Tidak
hanya itu, wilayah ini dapat pula dipersepsi sebagai perwakilan dari peradaban
Barat, sehingga penaklukannya memiliki relevansi kultural tersendiri, lebih
dari wilayah-wilayah lainnya. Kedua, bahwa ternyata pencapaian sosial dan
budaya yang dilakukan oleh umat Islam di Andalusia berakhir secara ‘tragis’, dan
hampir tidak menyisakan apa-apa. Dapat disebut bahwa penaklukan Andalusia
berakhir dengan sebuah anti-klimaks dalam berbagai aspek.
Sejarah Islam Andalusia bermula dengan penaklukan yang
dilakukan oleh tentara Muslim pada awal abad ke 2H/8M. Di bawah ini dikutipkan
sebuah paragraf dari sejarawan Albert Hourani:
The Arabs first landed in Spain in
710 and soon created there a province of the caliphate which extended as far as
the north of the peninsula. The Arabs and Berbers of the first settlement were
joined by a second wave of soldier from Syria, who were to play an important
part, for after the ‘Abbasid revolution a member of the Umayyad family was able
to take refuge in Spain and found supporters there. A new Umayyad dynasty was
created and ruled for almost three hundred years, although it was not until the
middle of the tenth century that the ruler took the title of caliph. In their
new kingdom the Umayyads were involved in the same process of change as took
place in the east. A society where Muslims ruled over a non-Muslim majority
gradually changed into one where a considerable part of the population accepted
the religion and language of the rulers, and a government which ruled at first
in a decentralized way, by political manipulation, became a powerful
centralized one ruling by bureaucratic control.
Penjelasan Hourani di atas menekankan pentingnya
penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam dan betapa penaklukan itu memengaruhi
secara sangat signifikan keadaan sosial dan kultural Andalusia. Namun demikian,
Hourani dengan jelas pula menekankan betapa perubahan yang ada, khususnya yang
berkaitan dengan agama dan bahasa, terjadi secara gradual dan perlahan, bukan
sebuah perubahan mendadak dan revolusioner. Dengan kata lain, meskipun
Andalusia mengalami perubahan yang relatif drastis pada aspek politik dan
kemiliteran, perubahan tersebut terjadi dalam tempo yang relatif lebih perlahan
dalam urusan agama dan budaya, khususnya bahasa.
Pada masa-masa awal umat Islam di Andalusia adalah
merupakan minoritas dalam jumlah namun mengendalikan kekuasaan politik dan
kekuatan militer. Jarak yang begitu jauh dari pusat peradaban Islam di Timur
(Syria-Hijaz) mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk Muslim berjalan relatif
lambat, dan karenanya penanaman pengaruh Islam dan penyebarluasan penggunaan
bahasa Arab juga berjalan sangat perlahan. Malah pada masa awal terdapat
kecenderungan terjadinya asimilasi budaya Arab Muslim dengan budaya setempat.
Ini misalnya terlihat dalam kasus amir pertama, ‘Abd al-‘Aziz ibn Musa yang
menikahi janda dari Jenderal Roderick yang dia kalahkan. Sang amir kemudian
dituduh telah terpengaruh oleh isterinya dan beralih agama, sehingga akhirnya
dia dieksekusi. Kasus ini diangkat sekedar untuk menunjukkan betapa saling
pengaruh adalah hal yang lumrah dalam interaksi sosial kultural, bahkan
religius.
Menarik untuk dicatat bahwa ternyata permusuhan politik
antara Dinasti Abbasiyah (yang menguasai dunia Islam Timur) dengan Umayyah di
Andalusia tidak menghalangi Muslim Andalusia untuk belajar dari Muslim di Timur
dalam hal pengembangan kebudayaan Islam. Chejne menulis sebagai berikut:
Although al-Andalus assumed an
independent political posture from the outset, the Muslims of al-Andalus turned
not inward for self-development, but outward toward the East for
religiocultural inspiration and guidance. In fact, borrowing from Spain was
relatively small, indeed much smaller than the heavy borrowing from the East.
There is no indication of extensive translation from Greek or Latin into Arabic
in al-Andalus as in the East ... Nor is there any indication that the
intellectual life in Spain was in a state of development sufficient to exert
appreciable influence on the intellectual perspective of the Muslims... Under
those circumstances, al-Andalus was the recipient, slavishly dependent on the
East for intellectual nourishment, and remained so for a long time.
Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa Andalusia
mengimpor sejumlah besar buku-buku karya para ulama dari dunia Islam Timur,
sejumlah besar orang pindah dari Timur ke Andalusia dan sebaliknya. Beberapa
contoh ilmuan Andalusia yang belajar ke Timur dan kemudian kembali ke Andalusia
dapat ditemukan dalam bab khusus mengenai wilayah ini dalam karya Al-Andalusi, Thabaqât
al-Umâm. Di antara yang paling populer adalah sufi besar Muhyiddin ibn
‘Arabî, yang bertualang belajar dan mengajar ke berbagai penjuru dunia Islam
Timur.
Dikutip dari L. Hidayat Siregar dalam Andalusia:
Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik.
Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam,
kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.
Bangkit dan Runtuhnya Islam di Andalusia: Jejak Kejayaan
Peradaban Islam di Spanyol pdf
0 komentar:
Posting Komentar