Pages

Rabu, 24 Juni 2020

AL-Hallaj dalam Catatan Lois Massignon


Massignon ini orang yang sangat berjasa bagi pemikiran Islam, khususnya dalam bidang tasawuf. Ia seorang Katolik yang saleh, Islamisis yang teguh, intelektual akademis organik yang brilian, dan seorang mistik yang sublim. Beliau sangat tekun meneliti dan mencari makhtuthat (manuskrip) Al-Hallaj. Tanpa jasa besar Massignon mungkin kita tidak akan pernah tahu Al-Hallaj sebenarnya.

Prosa tentang Louis Massignon, sang intelektual besar Perancis, senantiasa memiliki puspa ragam wajah. Meskipun demikian, Massignon punya keterartikan dengan dunia mistisisme Islam. Hal ini terkonfirmasi bahwa ia menjadikan al-Hallaj sebagai figur teladan, jelas bukan hal yang rahasia. Massignon memahami secara mendalam bahwa meditasi atas ayat-ayat Alquran, peneladanan atas sang Nabi saw dan barakah yang muncul dari wahyu Qurani membentuk asal-muasal dan substansi tasawuf.

Massignon wafat pada awal 1962. Namun, Nasr melukiskan bahwa dia secara intens merasakan kehadirannya di makam al-Hallaj, saat terakhir kali ia dapat mengunjungi makam itu pada tahun 1978. Makam sang “sufi martir” ini berada di tengah-tengah sekumpulan makam para sufi Islam abad ke-3 atau ke-4 Hijrah. Letaknya ada di sebuah pesanggrahan tua yang menjadi bagian sebuah pembangunan perkotaan yang penuh sengkarut. Sekali lagi, bukan kebetulan Massignon dipilih al-Hallaj.

Tanpa upaya Massignon, makam al-Hallaj besar kemungkinan sudah lenyap atau tertutupi oleh bangunan-bangunan baru tanpa sedikit pun ciri yang tertinggal. Meditasi Massignon atas hidup, karya dan spiritualitas al-Hallaj membawanya pada inti tradisi Islam. Bisa dikatakan bahwa jasa terbesar Massignon kepada pentingnya kajian-kajian keislaman adalah bahwa melalui optik al-Hallaj, dia menunjukkan dan sekaligus menegaskan bahwa tasawuf bersumber dari Alquran.

Akhiran, sebagai penutup, sajak Hafiz berikut, yang pernah dibacakan oleh Massignon di tengah-tengah konferensi Islam-Kristen di Tioumliline, puncak pegunungan Atlas, merupakan gambaran yang puitis tentang kehidupannya.

Dia yang nuraninya menjadi hidup lewat cinta tak pernah mati.
Kekekalan kita tercatat dalam halaman-halaman buku semesta.

Al-Hallaj, Martir Sufi Urip Sajeroning Mati, Mati Sajeroning Urip

Seperti apa awal mulanya, Husain ibn Manshur mendapat sebutan Al-Hallaj, sebuah nama yang berarti pengais (khususnya kapas). Dari cerita buku Tadzkiratul Awliya karya Fariduddin Aththar, pada suatu hari Husain ibn Manshur melewati sebuah gudang kapas dan melihat seonggok buah kapas.

Kemudian secara tak sengaja ketika jarinya menunjuk pada onggokan buah kapas lalu betapa mengherankan dan menakjubkannya. Biji-biji buah kapas itu pun terpisah dari serat kapasnya. Selain hal tersebut dia juga dijuluki Hallaj Al-Asrar—pengais segenap kalbu—karena dia mampu membaca pikiran orang dan menjawab berbagai pertanyaan mereka sebelum ditanyakan kepadanya.

Al-Hallaj terkenal bukan hanya karena keajaibannya, melainkan juga karena kezuhudannya. Pada saat usianya lima puluh tahun, Al-Hallaj memilih untuk tidak mengikuti agama tertentu, melainkan mengambil dan mengamalkan praktik apa saja yang paling sulit bagi nafs (ego)-nya dari setiap agama. Dia tidak pernah meninggalkan salat wajib, dengan salat wajib dia melakukan wudhu jasmani secara sempurna. Ketika Al-Hallaj mulai menempuh jalan ini, dia hanya mempunyai sehelai jubah tua dengan penuh tambalan dan dia pakai selama bertahun-tahun.

Suatu hari, jubah itu diambil secara paksa, dan ternyata ada banyak kutu dan serangga bersarang didalamnya, anehnya ketika ditimbang jubah tersebut beratnya hanya setengah ons. Kezuhudan Al-Hallaj adalah sarana yang ditempanya untuk mencapai Allah, yang dengan-Nya dia menjalin hubungan yang sangat khusus sifatnya, suatu hari, pada waktu musim ibadah haji di Makkah, Al-Hallaj melihat orang-orang bersujud dan berdoa,

“Wahai Engkau Pembimbing mereka yang tersesat, Engkau jauh di atas segenap pujian mereka yang memuji-Mu dan sifat yang mereka lukiskan kepada-Mu. Engkau tahu bahwa aku tak sanggup bersyukur dengan sebaik-baiknya atas kemurahan-Mu. Lakukan ini di tempatku, sebab yang demikian itulah satu-satunya bentuk syukur yang benar.”

Kisah penangkapan dan eksekusi brutal terhadap Al-Hallaj sangatlah menyayat kalbu. Pada suatu waktu, dia berkata kepada sahabatnya, As-Syibli, bahwa dia sibuk dengan sebuah tugas yang teramat penting dan bakal membawa dirinya pada ajal di ujung kematiannya. Ketika dia sudah termasyhur dengan berbagai keajaibannya yang dibicarakan orang dimana-mana, Al-Hallaj kemudian memiliki pengikut dan musuh yang sama banyaknya. Sehingga sampai akhirnya, khalifah mendengar dan bahkan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Al-Hallaj mengucapkan kata-kata yang berkekuatan bid’ah luar biasa. “Ana Al Haqq” – Akulah Kebenaran.”

Banyak musuh Al-Hallaj sengaja menjebaknya untuk mengucapkan Dia-lah Kebenaran, namun dia hanya menjawab, “Ya, segala sesuatu adalah Dia! Kalian bilang bahwa Husain (Al-Hallaj) telah hilang, memang benar. Namun Samudra yang meliputi segala sesuatu tidaklah demikian”.

Jauh hari sebelum tahun penangkapan dan eksekusinya, kala al-Hallaj masih belajar di bawah bimbingan Junaid, dia diperintahkan untuk bersikap sabar dan tenang. Tahun-tahun pun berlalu, kemudian dia datang lagi menemui Junaid dengan mengajukan sejumlah pertanyaan. Dari salah satu jawaban Junaid ada satu yang cukup mengerikan. Junaid mengatan, tak lama lagi Al-Hallaj akan melumuri tiang gantungan dengan darahnya sendiri.

Tampaknya, ramalan itu benar-benar terjadi. Pernah juga Junaid ditanya tentang apakah kata-kata al-Hallaj bisa ditafsirkan akan mampu untuk menyelamatkan hidupnya. Junaid menjawab, “Bunuhlah dia, sebab saat ini bukan lagi waktunya menafsirkan.”

Lalu Al-Hallaj pun dijebloskan ke dalam penjara. Pada malam pertama dia dipenjara, para sipir kebingungan mencari-carinya. Semua sipir merasa heran karena sel tempat Al-Hallaj kosong. Malam kedua, bukan hanya Al-Hallaj yang hilang, akan tetapi penjaranya pun hilang! Berikutnya di malam ketiga, tidak terjadi apa-apa dan semuanya kembali normal. Para sipir penjara bertanya, di mana engkau pada malam pertama? Al-Hallaj dengan sangat tenang menjawab, “Pada malam pertama aku ada di kehadirat Allah, maka dari itu aku tidak berada di sini, selanjutnya pada malam kedua, Allah berada di sini, untuk itu aku dan penjara ini tidak ada. Di malam ketiga aku di suruh-Nya kembali!” Semua sipir hanya terdiam membisu.

Beberapa hari sebelum dieksekusi, suatu malam Al-Hallaj menemui sekitar tiga ratus narapidana yang ditahan bersamanya dalam keadaan dibelenggu. Al-Hallaj bilang kalau dia bakal membebaskan mereka semua. Mereka semua heran karena dia berbicara hanya tentang kebebasan teman-teman narapidananya (orang lain), tapi justru dia tidak perduli dengan kebebasan dia sendiri. Al-Hallaj berbicara pada para napi dengan lantang:

“Kita semua dalam belenggu Allah di sini. Jika kita mau, kita bisa membuka semua belenggu ini,” kemudian dia menunjuk belenggu-belenggu di tangan para napi dengan jarinya, dan semua belenggu pun terbuka.

Prototipe Pemikiran Al-Hallaj

Untuk mengetahui alur pemikiran Al-Hallaj kita harus membaca karya utama Al-Hallaj yaitu Kitab Al-Thawasin, berisi kumpulan narasi pemikirannya. Sebagian besar karya-karya Al-Hallaj (pemikiran) dalam bentuk puisi (syi'r) yg tentunya perlu bekal pengetahuan yg cukup dalam membacanya. Al-Hallaj adalah seorang Sufi Kristusi, andaikata kita boleh mempergunakan terma seperti itu, demikian Nasr berujar. Dalam pengertian ini, bukan berarti bahwa al-Hallaj terpengaruh oleh Kristen secara historis. Manifestasi al-barakah al-‘isawiyyah tidak ada sangkut-paut dengan kehadiran Kristen sebagai satu agama yang lain.

Ketika banyak orang mengejar dan memuaskan diri dengan simbol-simbol dan baju-baju eksoteris yang mengecoh, kaum sufi mencari Essensi yang esoteris dan ingin bersembunyi di tanah tak dikenal.

Ketika banyak orang manggut-manggut di depan kekuasaan atau hasrat puja-puji rakyat, kaum sufi tak menjunjung tinggi-besar apapun kecuali Sang Essensi. Tak pelak, seluruh pikiran dan gerak mereka seperti itu mengancam sekaligus meruntuhkan kewibawaan dua otoritas maha perkasa : otoritas politik (struktural) dan otoritas keagamaan (kultural).

Imam Jalaludin As-Suyuti, salah satu pembela Ibnu Arabi yang gigih, mengatakan :

“Ma Kana Kabirun fi ‘Ashr Illa Kana Lahu ‘Aduwn min al Safalah”

(Orang besar dalam sejarah selalu punya musuh orang-orang bodoh).

وقلوب وددكم تشتاقكم والى لذيذ لقائكم ترتاح

Hati dan jiwa pencintamu merinduimu. Kelezatan bertemu engkau. O, betapa damai.

Tanggal 27 Maret 922, eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar. Sejumlah ulama Fiqh, Hadits dan Kalam menjadi saksi. Faqih literalis ekstrim sekaligus orang yang paling bertanggungjawab atas fatwa mati dan pengadilan Hallaj: Muhammad bin Daud (w. 297 H), pendiri mazhab fiqh Zhahiri, berdiri paling depan.

Sejumlah sufi besar juga hadir, meski memperlihatkan sikap dan suasana batin yang berbeda, menyaksikan peristiwa paling dramatis ini. Mereka, untuk menyebut beberapa saja, adalah Abu al Qasim Al Junaed, Abu Bakar al Syibli (w. 334), Ibrahim bin Fatik. Yang terakhir ini adalah sahabat setia yang selalu menemani Hallaj di penjara.

Tak jelas bentuk hukuman mati untuk Hallaj itu, apakah di tiang gantungan, dipenggal atau disalib di pelepah kayu keras. Mungkin tak penting betul untuk dijawab. Tetapi beberapa menit menjelang kematiannya, meski tubuhnya dililit rantai besi, Hallaj dengan riang, seperti akan bertemu kekasih, menengadahkan wajahnya ke langit biru yang bersih, seakan siap menyambut kedatangannya.

Dia menyampaikan kata-kata monumental yang indah beberapa detik sebelum nafasnya pergi.

"Oh Tuhan, lihatlah, hamba-hamba-Mu telah berkumpul. Mereka menginginkan kematianku demi membela-Mu dan untuk lebih dekat dengan-Mu. O. Tuhan, ampuni dan kasihi mereka."

"Andai saja Engkau menyingkapkan kelambu wajah-Mu kepada mereka sebagaimana Engkau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tak akan melakukan ini kepadaku."

"Andai saja Engkau turunkan kelambu wajah-Mu dariku, sebagaimana Engkau menurunkannya dari mereka, niscaya aku tak akan diuji seperti ini. Hanya Engkaulah Pemilik segala Puji atas apa yang Engkau lakukan. Hanya engkaulah pemilik segala puji atas apa yang Engkau kehendaki”.

Setelah itu dia bergumam lirih:

اقتلونى يا ثقاتى إن فى قتلى حياتى
ومماتى فى حياتى وحياتى فى مماتى
إن عندى محو ذاتى من أجل المكرمات
وبقائى فى صفاتى من قبيح السيئات
فاقتلونى واحرقونى بعظام الفانيات

Bunuhlah aku, O, Kasihku
Kematianku adalah hidupku
Kematianku ada dalam hidupku
Hidupku ada dalam kematianku.
Ketiadaanku adalah kehormatan terbesar
Hidupku seperti ini tak lagi berharga
Bunuhlah aku, bakarlah aku
Bersama tulang-tlang yang rapuh
(Diwan, Qasidah 10)

Suasana senyap. Hallaj diam. Abu al Harits al Sayyaf, sang algojo, melangkah gagah dengan wajah amat angkuh, mendekati Hallaj. Ia menampar pipinya dan memukul hidungnya begitu keras hingga darah mengaliri jubahnya. Hallaj, kata para saksi, sungkem kepada Tuhan:

”Ilahi, Ashbahtu fi manzilah al Raghaib”
(Tuhanku kini aku telah berada di Rumah Idaman).

Disadur dari Bahrudin Achmad dan alif.id

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Al-Hallaj Haqaiq al-Tafsir au Khalaqa Khalaiq al-Qur’an wa al-I’tibar pdf

Hallaj ou La Religion de La Croix pdf

Al-Thawasin al-Hallaj pdf

Al-Thawasin pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer