Pages

Selasa, 02 Juni 2020

Ideologi Agama Bawa Damai: Belajar Dari Imam dan Pastor


Para “agamawan humanis”, untuk mudahnya sebutlah begitu sementara ini, seringkali dongkol dengan kebiasaan industri informasi dan komunikasi massa (umumnya media massa populer, tetapi kadang juga buku-buku instan, yang ditulis terburu-buru untuk momentum tertentu dan biasanya dangkal) mengungkap hal-hal yang melulu buruk mengenai ekspresi sosialpolitik dari agama. Yang biasanya diungkap adalah aksi-aksi kekerasan, seringkali dengan akibat amat memilukan, yang dilakukan atas nama agama. Dalam model pemberitaan seperti ini, orang-orang dengan motivasi keagamaan itu disebut dengan kata-kata seram: zealots, extremists, militants – belakangan, terrorists. Kadang liputan itu dilengkapi dengan ilustrasi foto yang mengerikan, membangunkan bulu kuduk. Model pemberitaan yang sebaliknya, berisi kisah yang enak didengar, misalnya tentang upayaupaya perdamaian oleh kalangan agamawan, amat jarang ditemukan (lihat misalnya Esposito 1992 atau, yang lebih baru, Cavanaugh 2009).

Para agamawan di atas itu punya sejumlah alasan untuk merasa dikecewakan. Pertama, kekerasan hanyalah salah satu wajah sosial-politik dari agama – dan tidak selamanya merupakan wajahnya yang terpenting. Maka model pemberitaan di atas, sekalipun jika benar didasarkan atas peristiwa yang betul terjadi, dipandang tidak adil terhadap agama. Apalagi jika diingat bahwa tradisi agama-agama, selain memiliki ajaran (yang memang bisa, dan sering, diselewengkan dan disalahgunakan) yang menyerukan perdamaian (perlu diingat: sebagian pemuka agama bahkan mengklaim bahwa inilah inti ajaran agama), juga memiliki sederet tokoh yang telah terbukti mau dan berani berkorban, bahkan dengan mengorbankan jiwa mereka, untuk memperjuangkan ajaran itu. Dalam sejarah agama-agama abad ke-20, misalnya, kita bisa menyebut nama Mahatma Gandhi (Hindu), Martin Luther King Jr. (Kristen), Malcolm X (Islam), Ibu Theresa (Katolik), dan Dalai Lama (Buddha) – untuk hanya menyebut beberapa nama yang menonjol. Agar adil, pemberitaan mengenai kekerasan berjubah agama seharusnya mengungkap pula akar-akar kultural dan struktural terjadinya kekerasan itu, oleh para aktor agama di sebuah lingkungan sosial, ekonomi dan politik tertentu. Tetapi persis alasan inilah yang seringkali absen dari model pemberitaan di atas.

Alasan lain kekecewaan para agamawan di atas terkait dengan semacam strategi kampanye penyebaran nilai-nilai perdamaian dan nirkekerasan. Model peliputan itu dianggap tidak berorientasi kepada penyelesaian konflik dan pengupayaan perdamaian, atau setidak-tidaknya lebih merugikan daripada menguntungkannya. Model itu kemungkinan besar hanya akan memancing munculnya kekerasan tandingannya – sekarang atau nanti, langsung atau tidak; menjadi unsur yang ikut merakit terbentuknya budaya dan lingkaran kekerasan. Banyak sekali contoh yang memperlihatkan bagaimana seorang atau sekelompok agamawan yang semula berwawasan pluralis, sedikitnya inklusivis, beralih menjadi sebaliknya, berwawasan eksklusif dan bersikap ekstrem, karena deraan informasi yang dangkal dan tidak lengkap mengenai kekerasan yang dilakukan oleh atau terhadap rekan-rekannya seiman oleh kelompok agama lain. Dalam kasus seperti ini, berlakulah rumus: “fundamentalisms breed another fundamentalisms”, fundamentalisme hanya akan melahirkan fundamentalisme lainnya.

Ketika menyebut “agamawan humanis” di atas, saya teringat kepada orang-orang seperti Abdullahi Ahmed An-Na’im asal Sudan, yang harus mengasingkan diri ke luar negeri karena komitmennya kepada penegakan hak-hak asasi manusia (HAM), berbasis keyakinannya kepada ajaran-ajaran Islam, dilecehkan regim di negerinya sendiri. Atau orang seperti Sulak Sivaraksa, seorang tokoh Buddha di Thailand, yang terus melawan arus dan tetap mengabarkan bahwa kekerasan, apa pun alasannya, hanya akan mengkhianati dan mencederai ajaran-ajaran Buddha. Atau trio pendeta Buddha (Maha Ghosanada), aktivis HAM Yahudi (Liz Bernstein), dan pendeta Jesuit (Bob Maat), yang tanpa kenal lelah dan menempuh segala risiko memimpin sejumlah kelompok umat Buddha di Kamboja dalam aksi-aksi tanpa-kekerasan dalam menyelesaikan konflik. Belakangan, tokoh-tokoh agamawan seperti ini lebih banyak lagi, meskipun skala perjuangan mereka lebih mikro, seperti dituangkan dalam dua volume buku Peacemakers in Actions (lebih jauh lihat Bab II dalam buku ini).

Orang-orang seperti mereka, seraya teguh percaya akan kebenaran yang termuat dalam agama mereka, tetap tidak menutup peluang bagi berlangsungnya dialog dan pertukaran budaya dengan orang-orang dengan latar belakang mana pun – baik yang religius maupun yang sekular. Mereka bukan saja menyepakati pluralisme (yang lebih “berisiko” dari sekadar inklusivisme, apalagi eksklusivisme), tetapi juga menyatakan komitmen mereka untuk menegakkannya, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa.

Saya menyebut mereka “humanis”, karena mereka percaya bahwa agama, sekalipun didesain oleh dan bersumber dari Yang Mahasuci di atas manusia dan di atas makhluk lain mana pun di alam semesta ini, diturunkan untuk – dan hanya untuk – manusia, semua manusia, bukan untuk Tuhan itu sendiri atau sekelompok kecil umat manusia yang terpilih sebagai nabi atau utusan-Nya. Didorong oleh religiusitas yang menggempal dalam jiwa mereka, mereka melihat citra dan bayangan Yang Mahasuci dalam diri manusia, juga dalam tindak penciptaan manusia, kehidupan, dan alam semesta. Dan untuk semua itu, mereka tidak bisa berbuat lain kecuali mengusahakan tetap terpeliharanya kesucian semua itu, kesucian penciptaan dan martabat kehidupan, dengan manusia sebagai porosnya. Bagi mereka, menjadi religius adalah menjadi saksi mengenai kesucian dan ketinggian harkat penciptaan ini. Dalam posisi ini, kekerasan atas nama agama, yang mengharuskan jatuhnya korban manusia di atas altar perjuangan demi Yang Mahasuci, bukan saja absurd, tapi juga scandalous!

Dihadapkan kepada model pemberitaan yang melulu menyasar sisi kekerasan dari ekspresi sosial-politik agama seperti disebutkan di atas, para agamawan humanis itu kini seakan sedang berperang melawan dua kubu yang sama “kelas berat”-nya, militansinya, ekstremnya. Mereka terjepit di antara dua itu, yang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan, meminjam Esposito (1992), “saling menyetankan”.

Yang pertama adalah kaum “fundamentalis agama”, yang merasa bahwa sesuatu yang bernama kebenaran sudah ada di tangan mereka (dan hanya di tangan mereka), yang bulat tanpa benjol sedikit pun karena sumbernya Tuhan yang sepenuhnya benar, dan tugas mereka adalah memperjuangkannya, termasuk dengan kekerasan kalau perlu. orang-orang yang tergabung dalam kubu ini (yang ada di semua agama, tanpa kecuali) dengan sendirinya militan dan ekstremis, karena mereka memandang bahwa mereka adalah kelompok pilihan yang diberi keistimewaan untuk membawa misi suci, dan yang mati di jalannya berarti mati syahid.

Sedang kubu yang kedua adalah kaum “fundamentalis sekular”, yang merasa bahwa agama sudah tidak punya hak hidup sekarang ini, dengan berbagai alasan: karena semua persoalan harus diputuskan hanya oleh akal; bahwa intervensi agama dalam urusan dunia hanya mendatangkan pertumpahan darah; dan bahwa perpaduan agama dan politik itu tidak normal dan berbahaya. Kaum ini mengingatkan kita kepada pemimpin tertentu Revolusi Perancis yang menjadikan sekularisasi total sebagai salah satu program utamanya, yang merasa bahwa gereja adalah lawan yang sedikit pun tidak punya kebajikan dan harus diluluhlantakkan, di abad ke-18.

Kecuali para petualang politik dan ekonomi (mereka bisa sekular dan bisa juga agamawan) tertentu, atau orang-orang tertentu yang naik-turun karir mereka banyak ditentukan oleh ada atau tidaknya semacam krisis kemanusiaan yang besar (misalnya para pemegang kebijakan di sebuah negara besar, para diplomat atau wartawan, atau para pekerja keamanan bersenjata dengan aneka baju), yang memperoleh banyak manfaat dengan berlangsungnya aksi-aksi kekerasan berbaju agama, tidak ada seorang pun yang diuntungkan oleh situasi di atas. Mereka yang berada di kedua kubu fundamentalis pun tidak diuntungkan oleh situasi itu, kecuali jika mereka memang berpandangan bahwa kehidupan dunia yang normal adalah sebuah kehidupan yang ditandai oleh berlangsungnya aksi-aksi kekerasan yang berkelanjutan. Hal ini tidak boleh disepelekan, karena beberapa ahli, misalnya yang terkenal adalah Konrad Lorenz (1966), menyatakan bahwa kekerasan adalah bawaan dasar manusia yang harus disalurkan. Di sisi lain, makin banyak studi belakangan yang menunjukkan adanya pihak-pihak yang diuntungkan oleh terjadinya aksi-aksi kekerasan atau perang, yang terbaru misalnya adalah studi Aisha Ahmad (2017), tentang berkembangnya pasar gelap (dari senjata dan candu hingga jilbab dan burka) akibat naiknya Islamisme bersenjata dan kekerasan yang menyertainya di negara-negara seperti Afghanistan, Pakistan dan Somalia.

Ambiguitas Agama

Jika benar demikian duduk perkaranya, pertanyaan yang perlu kita jawab adalah: bagaimana perilaku saling menyetankan di atas itu bisa diakhiri, sedikitnya diminimalisasi terus-menerus, dan segala upaya ke arah perdamaian ditopang dan digalakkan? Bagaimana maksud baik para agamawan humanis di atas itu, untuk membangun jembatan dialog dan pertukaran budaya di antara umat manusia, dapat disistematisasikan dan diagendakan, dibangun strategi, ketrampilan dan teknik-tekniknya?

Yang pertama-tama perlu segera disadari dan diterima adalah fakta bahwa hubungan antara agama dan kekerasan adalah hubungan yang ditandai oleh ambiguitas, sifat mendua, yang sangat nyata. Kalangan agamawan tertentu boleh saja mengklaim bahwa orientasi kepada perdamaian sudah intrinsik ada dalam tradisi agama-agama. Namun demikian, di sisi lain, juga dapat dibenarkan jika dikatakan bahwa agama secara intrinsik juga dapat memancing terjadinya konflik dan kekerasan.

Mengenai butir terakhir di atas, tidak terlalu sulit bagi kita untuk memperoleh penjelasannya. Khazanah sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, dan tentunya juga sejarah, memberi kita banyak tilikan untuk soal ini (untuk versi-versi yang lebih ringkas, padat dan saling melengkapi, lihat misalnya Boulding 1986; Carter & Smith 2004; dan Appleby 2015). Pertama-tama, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa agama diakui dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan eksistensial manusia mengenai apa dan siapa dirinya di tengah alam semesta yang kadang membingungkan dan menimbulkan rasa putus asa ini. Dari sini agama berkembang menjadi sumber penemuan identitas diri (dan kemudian kelompok). Dalam posisi yang demikian, agama menyatukan orang-orang tertentu ke dalam kelompok-kelompok tertentu, dan karena itu juga membeda-bedakan orang dari satu ke lain kelompok. Pembedaan ini menciptakan dinamika psikologis antara kelompok “kita” dan “mereka”, yang akan menguat dan mengeras di tengah situasi dan dinamika konflik apa pun.

Kedua, identifikasi “kita” dan “mereka” di atas, yang membutuhkan legitimasi terus-menerus agar tidak usang, dikembangkan lewat narasi besar berupa dasar-dasar keimanan, kisah-kisah dan ritual keagamaan, keterlibatan dalam upacara-upacara keagamaan tertentu, dan seterusnya. Narasi ini seringkali diperkokoh oleh bentuk-bentuk ekspresi keagamaan yang amat kasat mata seperti kekhasan pakaian, arsitektur, musik dan lainnya. Semua ini akan menambah kekokohan identitas diri dan kelompok di atas, dan memperteguh pembedaan di antara banyak orang dan kelompok. Dalam situasi yang amat genting, narasi seperti ini akan berkembang makin tajam, mengarah kepada eskalasi konflik: kelompok sendiri, “kita”, disucikan dan makin disucikan; sedang kelompok lain, “mereka”, dilecehken dan disetankan.

Lalu, ketiga, dalam situasi genting, kedua hal di atas – fungsi agama sebagai pemberi atau penanda identitas seseorang atau kelompok dan narasi yang menopangnya – dapat berkembang lebih jauh ke dalam apa yang mencirikan pola utama kekerasan keagamaan selama ini, yaitu pemberian legitimasi kepada penggunaan kekerasan (bersenjata) dalam jihad besar (atau crusade), “perjuangan suci”, melawan kelompok-kelompok lain, kelompok “mereka”. Pemberian legitimasi ini dapat berlangsung dalam berbagai cara, misalnya: (i) seruan formal kepada tradisi keagamaan tertentu, yang menunjukkan situasi-situasi khusus di mana penggunaan kekerasan (bersenjata) dapat dibenarkan, bahkan diwajibkan; (ii) penguatan narasi-narasi yang menunjukkan kejahatan dan kebengisan kelompok lain, kelompok “mereka”, yang mengancam keselamatan kelompok “kita”; dan (iii) rujukan kepada sebuah misi suci keagamaan tertentu di mana tindakan militeristik, setidaknya dalam situasi tertentu, dapat dibenarkan atau bahkan diwajibkan.

Kemudian, bagaimanakah sebuah aksi kekerasan (bersenjata) pada akhirnya dapat dibenarkan oleh agama? Inilah sebab keempat mengapa agama secara intrinsik potensial untuk melahirkan konflik yang berujung pada aksi-aksi kekerasan, yakni: karena komunitas agama tertentu, kelompok “kita”, pada akhirnya memerlukan sebuah ruang dan wilayah di mana “kita” bisa unggul dan mendominasi, jika ini merupakan pilihan yang harus diambil. Logikanya sederhana: Jika Anda mau dan mampu mengungguli kelompok-kelompok lain, mengapa Anda harus berbaik-baik kepada mereka?

Kalau kita lihat sejarah sekilas saja, maka akan tampak jelas bahwa ambiguitas di atas adalah fakta-fakta keras, sebuah hard fact, yang sulit ditolak. Karenanya, hal itu mestinya tidak terlalu mengagetkan siapa pun atau mengecewakan siapa pun. Kenyataan itu juga tidak perlu membuat galau dan malu para agamawan yang mendambakan dunia yang damai, karena selalu ada jarak antara apa yang diajarkan agama dan apa yang dilakukan oleh para pemeluknya, antara keinginan dan kenyataan, antara cita-cita luhur dan fakta yang sebaliknya. Sementara benar bahwa agama, bahkan inti ajarannya, menyerukan perdamaian, juga benar dikatakan bahwa, semua agama, baik dalam sejarah maupun dalam konteks kontemporernya, merupakan salah satu dari beberapa sumber konflik kekerasan yang paling pokok. 

Pengakuan mengenai fakta keras itu sendiri sebenarnya tidak terlalu penting pada dirinya sendiri. Yang lebih penting adalah apa yang harus dilakukan setelah kita menyadari dan mengakui fakta itu. Dalam hal ini, ambiguitas di atas harus dijadikan sebagai kesempatan, sebagai peluang baru, justru untuk menunjukkan dan mewujudkan potensi intrinsik agama sebagai sumberdaya perdamaian. Para agamawan yang punya komitmen kepada perdamaian tidak hanya boleh berkeluh-kesah. Tidak cukup bagi mereka untuk hanya mengatakan bahwa agama dapat berperan seperti itu, melainkan juga menyatakan komitmen mereka dalam aksi-aksi konkret ke arah itu. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan militansi.

Untuk sampai ke sana, sisi kedua dari agama di atas, yaitu sisinya sebagai salah satu sumber konflik kekerasan, pertama-tama harus diurai dan diperhatikan sungguh-sungguh. Ekspresi kekerasan atas nama agama harus ditinjau secara teliti, dilihat kasus demi kasus, dalam konteksnya yang luas. Ini bukan untuk menekankan terutama sisi buruk agama, melainkan untuk memperoleh potretnya yang lebih utuh, selengkap-lengkapnya, sebagai dasar bagi perumusan agenda dan strategi kerja ke arah upayaupaya perdamaian di masa depan. Dalam hal ini, kabar buruk yang benar, yang akurat, harus dipandang lebih baik ketimbang kabar baik yang palsu, yang bohong.

Militansi Agama: Dari Konflik Menuju Bina Damai

Jika ancang-ancangnya benar demikian, kita memiliki tiga pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, dalam kondisi apa saja para aktor agama yang militan melakukan aksi-aksi kekerasan atas nama agama? Kedua, sebaliknya, dalam kondisi apa pula para aktor agama menolak aksi-aksi kekerasan dan menentang komitmen aktor agama yang ekstremis atau militan untuk menggunakan kekerasan sebagai tugas suci atau sebuah privelese keagamaan? Dan ketiga, dalam kondisi apa pula para agamawan yang memiliki komitmen kepada perdamaian dapat mengembangkan diri menjadi para agen pembangun perdamaian (peace builder)?

Dalam studinya yang berpengaruh, The Ambivalence of the Sacred (2000), Scott Appleby mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Secara ringkas, menurutnya, kekerasan keagamaan terjadi ketika para pemimpin ekstremis agama tertentu, dalam reaksi mereka terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat, berhasil memanfaatkan argumen-argumen keagamaan (atau etnis-keagamaan) untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lain. Penolakan keagamaan terhadap berbagai kekuatan ektremisme dimungkinkan jika para pemimpin agama berhasil menumbuhkan militansi nirkekerasan (non-violent militancy), baik sebagai norma agama maupun sebagai strategi untuk menentang dan mengatasi ketidakadilan dalam sebuah lingkungan struktural suatu masyarakat. Upaya-upaya perdamaian oleh agama terjadi ketika para pemeluk agama yang militan dan mau mendedikasikan diri mereka kepada sikap dan aksi-aksi tanpa kekerasan, memiliki kemampuan teknis dan profesional untuk mencegah, memberi sinyal awal, memerantarai dan melakukan unsur-unsur lain ke arah transformasi konflik dan kekerasan.

Saya mencatat dua unsur kunci dalam argumen Appleby di atas. Yang pertama adalah militansi, dan yang kedua adalah persepsi mengenai ketidakadilan yang menjadi dasar pijak para aktor agama untuk melakukan kekerasan atas nama agama.

Mengenai yang pertama, saya sudah cukup mendiskusikannya di atas. Jika kekerasan atas nama agama memerlukan militansi, maka upayaupaya perdamaian oleh agama juga mensyaratkan militansi. Dengan kata lain, upaya-upaya ini harus ditegaskan dan gencar dilakukan, dengan organisasi yang rapi dan agenda yang jelas, dengan ketrampilan dan teknik-teknik yang memungkinkan pencapaiannya. Hal ini penting dan harus dilakukan untuk menunjukkan bahwa sentimen dan komitmen keagamaan bukanlah hak prerogratif mereka yang eksklusif dalam wawasan keagamaannya, yang biasanya mudah menggunakan aksi-aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka yang berwawasan eksklusif itu punya hak untuk menafsirkan dan mengekspresikan agama menurut cara pandang mereka, tetapi hal itu bukanlah satu-satunya penafsiran dan ekspresi agama yang sah.

Di atas sudah disebutkan bahwa aksi-aksi kekerasan atas nama agama turut dibangun oleh narasi-narasi yang memperkokoh identitas “kita”, seraya menyetankan “mereka”. Agar kampanye perdamaian atas nama agama dapat berjalan baik, para agamawan yang menolak caracara kekerasan harus membangun narasi-narasi tandingannya, yang dapat menopang perdamaian. Narasi-narasi beraura permusuhan harus ditandingi dengan narasi-narasi yang mendorong tumbuhnya rasa saling menghormati di antara sesama manusia dan cita-cita humanisme.

Dasar argumentasi yang sama juga harus disampaikan kepada kaum fundamentalis sekular yang sering mencibir dan melecehkan kemampuan agama sebagai sumberdaya perdamaian. Cita-cita luhur Pencerahan, yang menggaungkan kritisisme atau bahkan antipati kepada agama, pada praktiknya juga sama tidak mulusnya dengan cita-cita yang diinspirasikan oleh sumber-sumber lain seperti agama. Abad ke-20 yang baru lalu mencatat bahwa, sekalipun membawa kemakmuran ekonomi dan banyak kemudahan hidup lain pada segmen tertentu umat manusia, proyek modernisme juga memakan banyak korban, langsung atau tidak: perlombaan senjata dan nuklirisme, kerusakan lingkungan, alienasi, kemiskinan massa di belahan dunia yang tertinggal, dan seterusnya.

Semua ini hanya menunjukkan pentingnya kaum fundamentalis sekular itu untuk bersikap lebih rendah hati, bersiap diri mendengar suara lain, termasuk suara agamawan. Mereka harus menyadari bahwa keinginan untuk memperoleh semacam ketenangan batin, rasa aman, dan identitas kelompok, di tengah dunia yang bagi sebagian orang sering tak termaknakan ini, adalah sesuatu yang tidak bisa disepelekan. Kalau mereka menyatakan bahwa adalah manusia itu sendiri yang berdaulat atas dirinya, bukankah agamawan juga adalah manusia yang patut dihargai kedaulatannya, dengan mendengarkan suara dan aspirasinya?

Selain itu, peralatan agama secara fungsional juga dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan perdamaian. Jika kaum fundamentalis sekular tidak percaya pada “jalan agama”, dialog dengan kalangan agamawan – sebagai sesama manusia – tetap saja diperlukan dalam rangka koeksistensi damai. Yang lebih fungsional dari itu juga bisa: karena daya rengkuh agama tetap besar, Anda dapat memanfaatkan sumberdayanya yang menopang perdamaian, sekalipun Anda sebenarnya skeptis kepadanya.

Akhirnya, di era yang disebut pascamodern ini, siapa pun tidak bisa mengabaikan peran yang disebut kepemimpinan karismatik seperti yang menjadi ciri banyak pemimpin agama. Jika seorang pemimpin agama yang karismatik dapat memompa aksi-aksi kekerasan, mengapa Anda tidak berusaha untuk mendekatinya dan mengajaknya untuk berperan sebagai peacebuilder? Singkatnya, jika kerja sama dengan agama yang sepenuh, setengah atau bahkan seperempat hati tidak mungkin dilakukan, maka berusahalah untuk tidak menyerang dan melecehkannya.

Yang juga sangat jelas adalah unsur kunci kedua dalam argumen Appleby di atas, yaitu persepsi mengenai ketidakadilan yang mendorong aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Kaitan keduanya sangat erat, tapi banyak di antara kita yang lupa atau pura-pura lupa mengenainya. Dalam pidatonya untuk merayakan Hari Perdamaian, 1 Januari 1972, Paus Paulus VI menyampaikan satu pernyataan yang terkenal terkait soal ini: “If you want peace, work for justice!” Sebenarnya, inti itu pulalah yang disampaikan oleh tak kurang dari proklamator kita, Presiden Sukarno, dalam “Membangun Dunia Kembali” (30 September 1960): “Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme par l’homme et de nation par nation.”

Dihadapkan pada fakta yang sangat jelas ini, yang pertama-tama harus dilakukan adalah melihat aksi-aksi kekerasan atas nama agama dalam konteks yang lebih luas, untuk menemukan akar-akar ketidakadilan struktural yang menjadi penyebabnya. Setelah itu, panggilan perdamaian oleh agama harus didesain dengan menempatkan ketidakadilan struktural ini sebagai musuh yang harus diperangi dengan segala cara dan bersamasama. Jika tidak demikian, agamawan yang menyuarakan perdamaian hanya akan dituduh tidak berbuat apa-apa, kalau bukan malah bersepakat dengan status quo ketidakadilan itu.

Di balik itu adalah pekerjaan yang lebih berat, memerlukan keterampilan dan teknik, keberanian dan pengorbanan: bagaimana menumbuhkan keyakinan bahwa penyelesaian dengan cara-cara damai terhadap sebuah ketidakadilan struktural adalah cara yang lebih baik, lebih membekas dalam jangka panjang, lebih sedikit membawa korban, dari penyelesaian dengan cara-cara kekerasan. Untuk itu, para agamawan yang anti-kekerasan harus lebih rajin berbagi gagasan dan pengalaman, selain menggalang kerja sama dengan aktor-aktor lain yang sama-sama mendambakan perdamaian. Tidak sederhana, memang, karena perkaranya juga tidak bisa digampang-gampangkan - seluruhnya membutuhkan waktu dan banyak kerepotan yang perlu.

Dikutip dari Pengantar Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang.            

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer