Pages

Rabu, 24 Maret 2021

Fikih Energi Terbarukan

 

Sumber gambar: kumparan.com

Energi Terbarukan Sebagai Fokus

Tidak seorang pun memungkiri bahwa energi adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sering dinyatakan bahwa energi adalah bagian vital dari kehidupan. Ketersediaan sumber energi mutlak untuk menjalankan berbagai aktivitas dalam kehidupan kita. Keduanya saling membutuhkan dan memanfaatkan. Energi ada karena adanya kehidupan. Kehidupan ada juga karena adanya energi. Oleh karena itu, ketika membicarakan energi pada dasarnya sama dengan membahas kehidupan dan keberlangsungannya (hifdh an-nafs wa al-hayat).

Dewasa ini, energi terbarukan (renewable energy, ath-thaqah al-mutajaddadah) merupakan kebutuhan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda lagi. Kita tidak bisa lagi terus-menerus bergantung pada energi fosil. Ketersediaan sumber energi fosil selain tidak dapat diperbarui juga semakin menipis baik di Indonesia maupun di dunia. Menurut beberapa ahli, dengan pola konsumsi seperti sekarang, dalam waktu hanya belasan hingga puluhan tahun cadangan minyak dan gas Indonesia akan habis. Ini antara lain bisa dilihat dari naiknya harga minyak dalam negeri dan tidak stabilnya harga minyak di pasar internasional. Oleh karena itu, demi keberlangsungan kehidupan umat manusia dan mengantisipasi kelangkaan energi, upaya-upaya menuju pengolahan energi terbarukan merupakan alternatif terbaik untuk dilakukan.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang membentangi garis khatulistiwa memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah. Sumber daya alam ini adalah sumber energi yang sangat penting (dlaruriy) bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan. Sinar matahari (surya), angin, biomassa, gelombang laut, air yang mengalir (hydro), dan panas bumi (geothermal) sebagai proses alam yang berkelanjutan selalu tersedia di Indonesia. Sumber energi tersebut adalah sumber energi penting yang ramah lingkungan, tidak mencemari lingkungan, dan tidak memberikan kontribusi terhadap perubahan iklim serta pemanasan global. Kenyataan ini menegaskan bahwa sumber energi yang tidak merugikan lingkungan dan ekologi telah tersedia. Dewasa ini tidak ada alasan untuk tidak mengelola energi terbarukan sebagai energi alternatif.

Selain karena sumber energi terbarukan tersedia secara melimpah, lestari dan tidak akan habis, juga karakter energi ini relatif ramah lingkungan (rendah atau tidak ada limbah dan polusi) dan sumber energi terbarukan bisa dimanfaatkan secara cuma-cuma dengan investasi teknologi yang sesuai. Pemanfaatan berbagai jenis sumber energi terbarukan tertentu tidak memerlukan perawatan yang banyak jika dibandingkan dengan sumber energi konvensional sehingga mengurangi biaya operasional, dapat membantu mendorong perekonomian dan menciptakan peluang kerja, juga secara ekonomi lebih murah dibandingkan dengan energi konvensional dalam jangka panjang, bebas dari fluktuasi harga pasar terbuka bahan bakar fosil, dan beberapa teknologi mudah digunakan di tempat terpencil serta dapat diproduksi di berbagai tempat dan tidak tersentralisasi.

Namun dalam kenyataannya, saat ini penggunaan energi terbarukan di Indonesia baru sekitar 6,8% dalam bauran energi final. Pemerintah masih harus terus mendorong pengembangan energi baru dan terbarukan yang mengacu pada Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2010-2025 November 2007 dan Kebijakan Energi Nasional (KEN) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, yang menargetkan persentase pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional minimal sebesar 23% pada 2025.

Atas alasan ini, Konsorsium Energi Mandiri Lestari (Kemala) yang diinisiasi oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-PBNU), Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada (PUSTEK UGM), Pusat Studi Energi, Universitas Gadjah Mada (PSE UGM), dan Center for Civic Engagement and Studies (CCES) berupaya untuk mengembangkan sistem berbasis energi terbarukan melalui pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi dan Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat dalam kerangka program komprehensif pengembangan ekonomi  dalam kerangka program komprehensif pengembangan ekonomi hijau guna peningkatan kesejahteraan lokal. Inisiasi PLTS ini bukan semata-mata karena dorongan mengembangkan prakarsa energi alternatif, melainkan karena listrik di daerah ini menjadi kebutuhan yang sangat mendesak sementara PLN belum mampu menjangkaunya. Selain itu, tujuan utama pengadaan PLTS ini untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat miskin. Instalasi PLTS pada setiap rumah dan sejumlah tempat publik diharapkan dapat digunakan masyarakat setempat untuk mengelola dan mengolah produksi pertanian serta perkebunan menjadi usaha produktif yang berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan keluarga setiap bulannya.

Peningkatan pendapatan keluarga ini selain diharapkan mampu menyejahterakan keluarga masing-masing juga bisa menjadi ruang efektif untuk memperkuat solidaritas sosial di antara mereka. Adanya solidaritas ini diharapkan perwujudan keadilan dan kemakmuran masyarakat setempat segera terwujud. Lebih penting lagi dari seluruh upaya ini adalah perubahan kehidupan masyarakat yang lebih baik, lebih adil, lebih makmur, dan lebih beradab di masa mendatang melalui alih generasi yang terdidik. Perubahan ini tetap berbasis pada potensi pertanian dan perkebunan setempat.

Fikih Sebagai Perspektif

Sebetulnya pengembangan energi terbarukan adalah bagian dari inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang umum terjadi dalam rekayasa teknologi. Ini bagian dari urusan dunia yang diserahkan sepenuhnya pada kreativitas dan inovasi dari akal budi manusia. Sebagaimana umumnya perkembangan teknologi, selagi tidak menimbulkan madlarat/mafsadah dalam pandangan Islam pada dasarnya tidak ada larangan. Akan tetapi, mengapa perlu ada dukungan pandangan agama (fikih) untuk meyakinkan inovasi energi terbarukan ini?

Sebagai gagasan dan gerakan baik, inovasi energi terbarukan membutuhkan banyak dukungan. Bukan sekedar dukungan sosial, ekonomi, dan politik, tetapi juga dukungan moral keagamaan agar semuanya dapat berjalan secara serasi dan seimbang. Dukungan ini bukan untuk melegitimasi, melainkan untuk memastikan kemaslahatan melekat serta tidak ada efek kemafsadatan dalam inovasi energi terbarukan ini baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. 

Fikih energi terbarukan di sini tidak membahas soal halal dan haram, melainkan memosisikan konsep dan praktik energi terbarukan dalam pandangan agama, baik dari sisi kemaslahatan maupun kemafsadatan untuk kehidupan masyarakat, baik saat digunakan maupun konsekuensi ke depannya. Namun berdasarkan pengalaman saat mempersiapkan dan mengelola pembangunan PLTS di Tanjung Jabung Timur dan Solok Selatan, terdapat banyak masalah dalam kehidupan masyarakat yang membutuhkan jawaban agama. Untuk itulah fikih hadir memberikan respons.

Fikih sendiri sering didefinisikan sebagai al-‘ilmu bi al-ahkam asysyar'iyyah al-‘amaliyyah al-muktasabu min adillatiha at-tafshiliyyah yakni ilmu tentang hukum-hukum agama yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci. Fikih dapat didefinisikan sebagai penalaran seorang faqih atas ayat-ayat al-Qur’an, al-Hadits, dan dalil-dalil lain yang terkait dengan realitas mukallaf untuk menemukan hukumnya yang bersifat praktis (‘amaly).

Buku ini akan memberikan penalaran agama yang diambil dari dalil-dalil tafshiliyyah (terperinci) terkait dengan energi terbarukan yang dihadapi oleh mukallaf. Hasil penalaran ini tidak selalu berupa hukum-hukum praktis yang bersifat taklifiyyah seperti wajib, haram, makruh, sunnah, dan mubah, melainkan juga berupa pandangan etis yang semestinya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang mukallaf dalam kaitan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih maslahat. 

Selain itu, dalam buku ini juga dibahas sejumlah masalah-masalah praktis yang ditemukan di lapangan terkait dengan persiapan, penerapan, pengelolaan, dan pemanfaatan energi terbarukan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Pembahasan ini dipandang sangat penting karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, sehingga pendekatan dan penjelasan keagamaan menjadi relevan diberikan. Selain untuk memudahkan dalam mencerna masalah yang dihadapi dan posisi hukumnya, penjelasan keagamaan ini juga menjadi kebutuhan masyarakat. Agama dalam kehidupan masyarakat memiliki posisi yang sangat sentral dan signifikan. Hampir semua masalah kehidupan didekati dengan pandangan keagamaan. Tanpa justifikasi keagamaan, solusi yang diberikan seolah masih menggantung dan belum menancap dalam hati sanubari masyarakat.

Bahtsul Masa’il sebagai Metode 

Buku ini memilih bahtsul masa’il sebagai metode untuk mengkaji, menjawab, dan menemukan hukum dari masalah-masalah yang diajukan terkait energi terbarukan. Bahtsul masa’il sendiri adalah forum ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan ulama pondok pesantren dalam merespons dan menemukan solusi hukum Islam atas masalah-masalah aktual yang berkembang di masyarakat yang belum ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits.  

Bahtsul masa’il dapat diartikan sebagai taqrir jama’iy (ijtihad kolektif) ulama NU dan ulama pesantren. Hanya saja, ulama NU tidak mau menggunakan nama ijtihad. Meskipun menurut kami sudah cakap, namun ulama NU secara tawadlu’ merasa belum mencapai maqam atau derajat mujtahid, sehingga tidak mau menggunakan kata ijtihad. Ulama-ulama NU lebih memilih istilah taqrir jama’iy.

Bahtsul masa’il adalah tradisi keilmuan dan tradisi akademik pesantren yang telah mengakar dari generasi ke generasi. Layaknya aktivitas akademik, dalam bahtsul masa’il terjadi diskusi, debat adu argumentasi (dalil), adu referensi (maraji’), dan adu pemaknaan atas teks-teks keagamaan sesuai dengan standar akademik pesantren yang ketat. Berbagai ilmu keislaman digunakan untuk membahas dan mengkaji masalah-masalah tersebut. Diantaranya yang paling utama adalah ilmu ushul fikih, qawa’id fiqhiyyah, tafsir al-Qur’an, ‘ulum at-tafsir, hadits, dan ‘ulumul hadits.

Berdasarkan pengalaman, bahtsul masa’il merupakan forum akademik yang sangat dinamis, demokratis, dan berwibawa. Disebut dinamis, karena persoalan (masa’il) yang dibahas adalah isu-isu aktual yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Masalah yang sama bila dibahas oleh forum yang berbeda bisa jadi menghasilkan keputusan yang berbeda, dan keputusan yang berbeda itu tidak saling meniadakan atau membatalkan, melainkan berdiri masing-masing secara otonom. Mereka memegangi kaidah: al-ijtihadu la yunqadlu bil ijtihad (suatu hasil ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh hasil ijtihad yang lain). 

Selanjutnya dikatakan demokratis, karena dalam forum bahtsul masa’il tidak ada pembedaan antara kyai dan santri, baik yang tua maupun muda. Semuanya berposisi sama sebagai mubahits (pembahas) yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Pendapat siapa pun yang paling kuat, itulah yang diambil sebagai dasar pertimbangan dalam keputusan hukum. Bahtsul masa’il tidak memaksakan dan mendominasi. Tidak pernah dilakukan voting (pemungutan suara) untuk pengambilan keputusan. Semua keputusan diambil dengan mufakat, baik mufakat setuju maupun mufakat berbeda (setuju dalam perbedaan). Tidak jarang keputusan bahtsul masa’il menyajikan dua atau lebih pendapat hukum yang berbeda, dan semuanya memiliki bobot yang sama. Seperti keputusan bahtsul masa’il tentang status hukum bunga bank. Ulama NU dalam masalah ini mufakat dalam perbedaan (ikhtilaf). Keputusan status hukum bunga bank ada tiga pendapat: halal, haram, dan syubhat (antara halal dan haram). Muktamar tidak mengambil sikap, membiarkan keputusan pada tiga pendapat yakni halal, haram, dan syubhat.

Sedangkan dikatakan berwibawa, karena meskipun ketika proses terjadi perdebatan yang sengit dan alot, namun setelah diputuskan dan dibacakan al-fatihah oleh pimpinan sidang, semua pembahas menghormati hasil keputusan itu. Tidak ada gugatan ‘banding’ atau ‘kasasi’ atas putusan yang telah diketok palu. Bagi sebagian masyarakat NU, mereka lebih percaya terhadap hasil keputusan bahtsul masa’il ketimbang hasil yang lain, termasuk keputusan pemerintah. Mereka berkeyakinan bahwa dalam keputusan bahtsul masa’il ada Tuhan di situ, memiliki dimensi teologis. Keputusan bahtsul masa’il diyakini sebagai keputusan keagamaan yang dihasilkan para ulama secara ikhlas dan dilakukan dengan standar akademik pesantren yang sangat ketat. Sementara keputusan pemerintah dipandang hanya keputusan duniawi, yakni keputusan politik yang biasanya diliputi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Keputusan bahtsul masa’il berdampak hingga ke akhirat, sementara keputusan pemerintah hanya mengikat di dunia saja.

Isi buku ini, terutama terkait dengan pembahasan masalah-masalah dalam pendekatan agama, dibahas dalam forum bahtsul masa’il yang diselenggarakan oleh Konsorsium Kemala bekerja sama dengan Lembaga Bahtsul Masa’il, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) dan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam-PBNU). Setiap mubahits (pembahas) dalam forum ini bertanggungjawab membahas dan menjawab sejumlah masa’il dengan argumentasi ‘aqli dan naqli, lengkap dengan ‘ibarat al-kutubnya. Lalu, mubahits yang lain mengkritisi, menanggapi, memberi masukan, dan melengkapi draft jawaban hingga akhirnya diputuskan sebagai keputusan kolektif. Hasil-hasil bahtsul masa’il ini kemudian diolah kembali oleh tim perumus dan diselaraskan hingga menjadi buku yang sekarang sedang dibaca.

Dikutip dari Abd Moqsith Ghazali, dkk, dalam Fikih Energi Terbarukan; Pandangan dan Respon Islam atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Fikih Energi Terbarukan; Pandangan dan Respon Islam atas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer