Pages

Rabu, 24 Maret 2021

Tradisi Intelektualisme Islam

 

Sumber gambar: qureta.com

Pada abad pertengahan dunia Islam, kehidupan sosial-keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah ditandai dengan kuatnya perdebatan antara golongan ortodoks dan kaum filosof. Kelompok ortodoksi berusaha meruntuhkan supremasi filsafat, sedangkan kaum filosof mencarikan jalan untuk menghapuskan “label haram” berfilsafat di dunia Islam. Perdebatan klasik di atas kanvas sejarah pemikiran Islam tersebut di antaranya dapat dilihat dari munculnya Tahafut al-Falasifah, karya monumental Imam al-Ghazali, yang mencitrakan dimensi pertentangan antara agama dan filsafat.

Harmoni agama dan filsafat yang sebelumnya telah dipupuk oleh para filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu Sina, memperoleh kritik tajam dari hujjah al-Islam tersebut. Dalam Tahafut al-Falasifah-nya, tokoh besar aliran teologi Asy’ariah itu memarang satu demi satu topik-topik filsafat al-Farabi dan Ibnu Sina yang dinilainya mengandung banyak kesesatan dalam premis-premis pemikiran mereka. Lebih-lebih mengenai tiga pokok persoalan filsafat, yaitu kekadiman alam, pengetahuan Tuhan dan keabadian jiwa, al-Ghazali berpendapat bahwa para filosof Muslim tersebut telah menyalahi kaidah dan ajaran dasar Islam.

Konstelasi Pemikiran

Delapan puluh tahun kemudian, sepeninggal al-Ghazali, seorang filosof Muslim berkebangsaan Andalusia-Spanyol, Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, mencoba menata ulang puing-puing menara filsafat di dunia Islam. Melalui beberapa karyanya, seperti Fashl al-Maqal, Damimat al-‘Ilm al-Ilahiy, alKashf ‘an Manahij al-Adillah, dan Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd memberikan tanggapan atas kritik tajam al-Ghazali terhadap pemikiran para filosof  Muslim pendahulunya. Filosof yang juga seorang ketua Mahkamah Agung di Cordova ini terpanggil untuk memberikan respons, karena kritik al-Ghazali terhadap filsafat dirasakannya memiliki dampak psiko-sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Muslim. Pemikiran rasional yang telah tumbuh subur di berbagai kawasan dunia Islam pada saat itu mengalami hambatan teologis dalam pertumbuhannya.

Melalui berbagai karyanya di atas, khususnya Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd berusaha untuk menegakkan kembali supremasi filsafat. Namun, sebagai filosof yang mengagumi karya-karya Aristoteles, Ibnu Rusyd juga bermaksud meluruskan gagasan para filosof Muslim pendahulunya yang dipandang telah merancukannya dengan filsafat  Neoplatonik. Oleh karen itu, dalam kebanyakan karyanya, filosof Muslim yang di Barat dikenal dengan sebutan Averroes  itu bukan hanya menanggapi serius kritik al-Ghazali, tetapi juga mengoreksi pemikiran al-Farabi dan Ibnu Sina sendiri. Bahkan, kritik Ibnu Rusyd terhadap kedua filosof Muslim Neoplatonik tersebut tidak kalah seriusnya bila dibanding dengan tegurannya terhadap al-Ghazali.

Dari sekian banyak isu filsafat Ibnu Sina, problematika penciptaan alam menjadi topik yang memperoleh teguran serius dari Ibnu Rusyd. Masalah ini bukan saja dinilai oleh Qadhi di Seville tersebut sebagai pemicu perdebatan di antara kaum filosof dan kalangan teolog, tetapi--meminjam penuturan Harun Nasution-juga dipandang sebagai topik sensitif yang berhubungan dengan kedudukan tauhid dalam ajaran Islam.

Ibnu Sina merupakan salah seorang filsuf Muslim yang secara serius menawarkan harmonisasi antara al-Qur’an dengan filsafat Yunani. Upayanya ini tampak dari penyelarasan antara alam semesta--yang menurutnya--akan ada seterusnya dengan Tuhan yang bersifat abadi tanpa harus merusak citra KemahaesaanNya. Dalam rangka menjelaskan pola hubungan Tuhan dengan alam semesta berdasarkan prinsip-prinsip tauhid ini, Ibnu Sina memperkenalkan kaidah-kaidah penalaran yang sangat distingtif dan berbeda dengan pemikiran Aristoteles. Namun demikian, Ibnu Sina juga mengakui, bahwa dalam menjelaskan persoalan ini banyak argumen-argumen ontologis Aristoteles yang mewarnai filsafatnya, seperti premis yang menyatakan bahwa gerak alam semesta tidak bisa dipahami secara rasional tanpa adanya “Penggerak Pertama, al-Muharrik al-Awwal” (Allah SWT). Menurut Ibnu Sina, pandangan Aristoteles mengenai adanya “Penggerak Pertama” tersebut akan membawa pada konklusi bahwa Allah SWT sekedar menjadi “Sebab Tujuan, ‘Illah Ghaiyah”. Artinya, Tuhan di sini hanya merupakan tujuan yang menjadi arah dari gerak-gerak alam semesta, tidak sampai mengarahkan pada kebenaran penalaran, bahwa Allah SWT adalah “Sebab Pencipta, ‘Illah Fa’iliyah” bagi alam semesta. Ibnu Sina menegaskan, bahwa pernyataan paling belakangan itulah yang sebenarnya menjadi konklusi al-Qur’an mengenai penciptaan segala sesuatu.

Mumkin al-Wujud dan Wajib al-Wujud

Untuk memberikan penjelasan yang seimbang antara penalaran Aristoteles dan konklusi al-Qur’an tersebut, Ibnu Sina membagi segala yang ada (wujud, being) ke dalam dua kategori, yakni mumkin al-wujud dan wajib al-wujud. Mumkin al-wujud mengandung arti, bahwa alam ini ada maupun tidak adanya bukan merupakan suatu keniscayaan. Menurut Ibnu Sina, setiap sesuatu yang bersifat mungkin wujudnya, seperti alam semesta ini, tidak lebih kuat “keberadaannya” dari pada “ketiadaannya”, kecuali karena adanya penunjang (murajjih) yang wajib adanya (wajib al-wujud). Wajib al-wujud di sini tidak lain adalah Allah SWT, sehingga jika wujud yang niscaya ini diandaikan tidak ada, maka menjadi mustahil adanya semua kenyataan wujud di alam semesta.

Pandangan kausalitas Ibnu Sina tentang wujud di atas mengandung implikasi, bahwa alam semesta--sebagai mumkin al-wujud--adanya merupakan keniscayaan atau “akibat” dari “sebab” keberadaan Allah SWT sebagai Wajib al-Wujud. Menurut Ibnu Sina, anggapan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menafikan ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan adanya iradah dan ikhtiar bagi Allah SWT, karena keniscayaan wujud alam semesta ini tetap merupakan makhluk-Nya. Artinya, alam semesta ini bukan ada dengan sendirinya (thabi’iy) atau secara kebetulan (bi al-ittifaq), melainkan benar-benar diciptakan Allah SWT secara emanasi.

Oleh karena itu, seperti halnya al-Farabi yang berpendapat bahwa “al-Wahid la yashduru ‘anhu illa al-wahid”, Ibnu Sina juga menyatakan, bahwa karena Allah SWT itu Maha Esa, maka yang melimpah dari-Nya mesti juga satu. Alasannya, bahwa Yang Maha Esa itu mesti esa dari segala segi dan Dia tidak mengandung makna pluralitas apapun. Dalam konsep emanasinya, Ibnu Sina menyatakan ketika Allah SWT berfikir tentang Dzat-Nya, maka hanya satu yang secara langsung melimpah, yaitu “al-‘aql al-awwal”. Di dalam akal pertama inilah terkandung kejamakan potensial, yakni adanya sifat “wajib” dan “mungkin”. Wajibnya alam merupakan limpahan dari Allah SWT sehingga ia menjadi wajib al-wujud lighairihi. Sedangkan jika ditinjau dari hakikat dirinya sebagai ciptaan, maka wujud alam semesta sebenarnya adalah mumkin al-wujud bidzatihi.

Makna kejamakan potensial tersebut juga mengandung pengertian, bahwa di dalam “akal pertama” dan “akal-akal” lain di bawahnya terkandung tiga obyek pemikiran. Pertama, Tuhan sebagai Wajib al-Wujud bi Dzatihi; Kedua, dirinya sebagai wajib al-wujud lighairihi; Ketiga, dirinya sebagai mumkin al-wujud bidzatihi. Akal pertama berfikir tentang Dzat Tuhan sebagai Wajib al-Wujud bi Dzatihi mewujudkan “akal kedua”. Sedangkan akal pertama berfikir tentang dirinya sendiri sebagai wajib alwujud lighairihi menghasilkan jiwa falak tertinggi. Adapun dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkin al-wujud bidzatihi menghasilkan jisim falak tersebut. Demikianlah seterusnya, dengan cara yang sama, proses ta’aqqul tersebut dari yang satu pertama (akal pertama) berlangsung sampai pada “akal kesepuluh”. Melalui keseluruhan proses ta’aqqul tersebut selesailah wujud alam semesta dengan segala tingkatannya sebagaimana dinarasikan dalam teori emanasi Ibnu Sina. Dengan teori inilah Ibnu Sina menjelaskan bagaimana yang terbilang banyak dan bersifat materi melimpah dari Yang Maha Esa dan immateri.

Harmonisasi Pemikiran

Konsep emanasi tersebut dengan jelas menunjukkan orientasi Ibnu Sina untuk menyelaraskan konsep wujud Aristoteles dengan gagasan tentang pancaran dari Plotinus. Harmonisasi ini dilakukan oleh Ibnu Sina dalam rangka memberikan makna baru terhadap “Tuhan Penggerak” dalam pemikiran Aristoteles agar bergeser menjadi Tuhan Pencipta seperti dinyatakan secara tegas di dalam al-Qur’an.

Sampai di sini dapat dimengerti, bahwa emanasi yang sesungguhnya merupakan produk filsafat Plotinus, berubah menjadi doktrin penciptaan yang tipikal Islam setelah dijelaskan melalui nalar Ibnu Sina. Emanasi telah dirubah dan dipadukan sedemikian rupa oleh Ibnu Sina dengan dalil-dalil ontologis Aristoteles dan ajaran-ajaran dasar Islam. Melalui upayanya inilah, Ibnu Sina dikenal sebagai filosof yang telah berlaku adil terhadap filsafat dan agama.

Kendatipun Ibnu Sina telah berjuang keras melengkapi dan mendamaikan pemikiran Yunani yang dualistik dan mereformulasikannya sesuai dengan ajaran Islam, ternyata juga masih menyisakan kontroversi pemikiran di abad pertengahan Islam. Di kemudian hari, kita dapati formulasi intelektual tentang keselarasan filsafat dan agama yang ditawarkan Ibnu Sina tersebut memperoleh sejumlah kritik yang sangat tajam dari Imam al-Ghazali. Adapun inisiatif Ibnu Sina mendamaikan filsafat Aristoteles dengan Plato dan Plotinus justru menghasilkan kritik yang tajam dari Ibnu Rusyd. Ibnu Sina dipandang oleh Ibnu Rusyd melakukan kesalahan yang mendasar dalam memahami mazhab Aristoteles dan mencampuraduknya dengan konsepsi lainnya yang berbau Neoplatonik.

Dalam Tahafut al-Tahafut, Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa pembuktian Ibnu Sina mengenai wujud Tuhan dengan menggunakan dalil pembagian wujud kepada kategori mumkin dan dharuriy adalah lemah dan banyak dipengaruhi oleh premispremis kaum mutakallimin. Ibnu Rusyd menilai pembagian wujud seperti itu bukanlah pandangan kaum filosof terdahulu, melainkan merupakan pendapat Ibnu Sina sendiri yang dinisbatkan kepada mereka. Oleh karena itu, dalil tersebut dianggap tidak akan sampai pada martabat burhaniy, melainkan hanya sampai pada tingkat kepuasan khithabiy maupun jadaliy yang menjadi orientasi kebenaran kaum mutakallimin. Atas dasar argumentasi ini, Ibnu Rusyd menganggap Ibnu Sina telah gagal dalam membuktikan adanya Tuhan, karena pembagian wujud secara sababiyah itu bersifat tidak jelas dan tidak meyakinkan.

Lebih lanjut, Ibnu Rusyd juga merasa prihatin atas kekeliruan Ibnu Sina tersebut, sehingga memicu kritik Imam al-Ghazali yang beranggapan bahwa kaum filosof berpendapat bahwa jisim-jisim samawi itu kadim dan tidak memerlukan adanya sebab-sebab bagi keberadaan mereka. Ibnu Rusyd menyadari kritik hujjatul Islam tersebut, karena dalil-dalil yang digunakan oleh Ibnu Sina memang tidak dapat menafikan konsekuensi penalaran tentang adanya banyak yang kadim (ta’addud al-qudama’). Selain itu, dalil ontologis tersebut hanya akan membawa pada sisi kemustahilan adanya lingkaran sababiyah kepada wujud dharuriy yang tanpa memerlukan sebab dan tidak kepada wujud yang tidak bersebab sama sekali.

Tiga Metode: Sebuah Solusi

Sebagai jawaban atas kritiknya terhadap Ibnu Sina, maka Ibnu Rusyd menawarkan tiga metode pembuktian lain yang diyakininya mampu mengantarkan seseorang pada pengakuan adanya Tuhan. Suatu metode yang dinyatakan sendiri oleh Ibnu Rusyd sebagai perpaduan antara Nash agama dengan filsafat Aristoteles. Dengan perpaduan tersebut, Ibnu Rusyd tentu saja berbeda secara diametral dengan juru tafsir dan pembela Aristoteles yang lainnya, seperti Alexander d’Aphrodise dan Thamestius

Pertama, dalil ikhtira’. Metode ini didasarkan pada kenyataan bahwa segala yang ada di alam semesta ini adalah diciptakan, bukan terjadi secara kebetulan atau dengan sendirinya. Dalil ini dibuktikan dengan pengalaman manusia dalam melihat keteraturan yang terdapat di alam semesta, bahwa semua yang ada secara tertib dan berpola ini diciptakan untuk manusia.

Kedua, dalil ‘inayah Ilahiy. Metode ini didasarkan pada kenyataan, bahwa semua yang ada di alam semesta sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia, karena semua itu telah dijadikan oleh Allah SWT yang menghendaki kesesuaian tersebut. Menurut Ibnu Rusyd, setiap kejadian dengan landasan seperti itu tentu ada yang menciptakannya.

Ketiga, dalil harakah. Metode ini didasarkan pada konsepsi Aristoteles, bahwa pada gerakan segala yang ada di alam semesta meniscayakan pada gambaran tentang adanya Penggerak Pertama. Yaitu, penggerak yang tidak bergerak dan Maha Penggerak yang tidak ada penggerak selain-Nya.

Kemudian, Ibnu Rusyd juga memberikan tanggapan kritis terhadap teori emanasi Ibnu Sina. Menurut Ibnu Rusyd, kesepakan di antara para filosof terdahulu menegaskan, bahwa prinsip atau dasar itu mesti hanya satu bagi semua makhluk. Dari sini terlahirlah suatu kaidah, bahwa “dari Yang Satu hanya satu yang melimpah”. Atas dasar itu, Ibnu Rusyd mempertanyakan kembali tentang bagaimana terjadinya yang berbilang dan beraneka ragam (alam semesta) dari yang Maha Esa?

Ibnu Rusyd berpendapat, bahwa teori emanasi Ibnu Sina terlalu bersifat Neopaltonis dan tidak menggambarkan sama sekali pendirian Aristoteles, bahwa “alam ini satu dan keluar  saja berbeda secara diametral dengan juru tafsir dan pembela Aristoteles yang lainnya, seperti Alexander d’Aphrodise dan Thamestius dari Yang Satu”. Bagi Ibnu Rusyd, teori Ibnu Sina masih mengandung banyak kerancuan berfikir. Misalnya, jika benar bahwa ia berpegang pada prinsip “dari al-Fa’il al-Awwal hanya satu yang melimpah”, kenapa dari satu pertama yang melimpah (yakni Akal Pertama) terdapat di dalamnya kejamakan potensial. Padahal, semestinya dari satu yang melimpah pertama tersebut juga hanya satu yang melimpah. Menurut Ibnu Rusyd, makna yang benar dari perkataan Aristoteles adalah dari Yang Satu (Tuhan) menyebabkan adanya “akibat pertama” (al-ma’lul al-awwal) yang terdapat di dalamnya makna banyak, dan yang banyak ini mesti satu. Artinya, keesaan itu menghendaki bahwa yang banyak kembali kepada Yang Satu. Satu yang telah menciptakan banyak tadi adalah satu. Ia memiliki arti yang sederhana dan timbul dari Satu Yang Sederhana (yaitu Tuhan).

Atas dasar itu, Ibnu Rusyd selanjutnya mengemukakan konsepsinya tentang penciptaan alam yang lebih mendekati pada teori Aristoteles. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sesungguhnya alam semesta secara keseluruhannya diciptakan oleh Allah SWT tidak secara sekaligus, tetapi perbuatan mencipta tersebut mesti berlangsung sejak azali dan berlangsung secara terus menerus.

Fakta sejarah menunjukkan bahwa ternyata Ibnu Rusyd juga memiliki kritik tersendiri terhadap Ibnu Sina. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kritik Ibnu Rusyd tersebut lebih menarik bila dibanding dengan kritiknya terhadap Imam alGhazali. Sebagian sejarawan menilai kritik Ibnu Rusyd terhadap Ibnu Sina merupakan kritik sesama filosof. Sedangkan kritiknya terhada Imam al-Ghazali adalah kritik terhadap seorang teolog Asy’ariah yang sufistik. Oleh karena itu, studi ini dimaksudkan untuk memahami lebih mendalami manhaj al-naqdiy Ibnu Rusyd terhadap konsepsi Ibnu Sina mengenai kosmologi.

Dikutip dari M. Lutfi Mustofa, dalam Tradisi Intelektualisme Islam (Polemik Kosmpologi Abad Pertengahan).

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini. 

Tradisi Intelektualisme Islam (Polemik Kosmologi Abad Pertengahan) pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer