Pages

Selasa, 09 November 2021

Dari Teosenteris ke Antroposentris

 

Sumber gambar: nusantarakini.com

Sejarah agama-agama sering diwarnai oleh realitas yang paradoksal: di satu sisi, agama menganjurkan perdamaian, tetapi di sisi lain, menyerukan perang dan kekerasan; di satu sisi, ia mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, tetapi di sisi lain, mencampakkannya melalui serangkaian perang dan kekerasan. Lihat saja bagaimana agama terlibat (atau dilibatkan?) dalam sejarah perang sepanjang peradaban manusia: Perang Salib, Inkuisisi, Perang Agama abad ke-16 dan 17, dan lain-lain. Belum lagi perang dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di antara umat beragama yang sama.

 

Dalam Islam, misalnya, sudah banyak lembaran sejarah diwarnai oleh pertumpahan darah dan kekerasan di kalangan penganutnya. Sudah banyak korban berjatuhan akibat konflik kekerasan yang melanda agama ini. Bahkan, tiga dari empat khalifah Rasyidin menjadi korban dari kekerasan sesama Muslim: Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Mereka semua dibunuh secara tragis di tangan umat Muslim yang semestinya menebarkan pesan-pesan perdamaian. Belum lagi korban-korban berjatuhan akibat serangkaian perang yang dimunculkan oleh umat Muslim awal akibat perpecahan internal di antara mereka, misalnya Perang Shiffin, Perang Jamal, dan semacamnya.

 

Aksi kekerasan tidak hanya terjadi pada awal-awal pemerintahan Islam. Kekerasan bahkan terjadi ketika peradaban Islam mencapai puncak kemajuannya di tangan Bani Abbasiyah. Kita memang mengenang masa-masa kejayaan Islam tersebut sebagai the Golden Age of Islam, Abad Keemasan Islam. Tetapi, siapa sangka pada masa-masa tersebut darah umat Islam juga tumpah? Rezimisasi doktrin keislaman yang sesuai dengan mazhab-resmi Negara melalui lembaga inkuisisi (mihnah) paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedi berdarah pada masa Dinasti Abbasiyah. Mihnah adalah lembaga bentukan Negara untuk mengawal dan “menertibkan” pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan “selera” penguasa.

 

Eksistensi mihnah ini merupakan bentuk intervensi Negara untuk melakukan penyeragaman pemikiran keagamaan di kalangan umat Muslim. Dengan lembaga tersebut, umat Muslim tidak diizinkan untuk berbeda atau keluar dari mazhab-resmi Negara (baca: Mu’tazilah). Sekali rezim Negara mendapati pemikiran yang berbeda dari mazhab Mu’tazilah, Negara segera bertindak dan mempersekusi pemikiran tersebut. Salah satu korban akibat penerapan lembaga mihnah ini adalah Imam Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali) yang tetap bersikukuh pada keyakinannya yang beraliran Sunni. Salah satu titik konflik antara Imam Ahmad dan Negara adalah soal doktrin kemakhlukan al-Qur’an. Dalam konteks ini, Imam Ahmad meyakini bahwa al-Qur’an bukanlah makhluk. Sebaliknya, Negara meyakini bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Di luar doktrin kemakhlukan Al-Qur’an ini, masih banyak doktrin keagamaan lainnya yang dibakukan oleh rezim Negara melalui lembaga mihnah ini.

 

Jatuhnya korban di kalangan internal umat Muslim tidak hanya terjadi pada masa-masa awal Islam. Korban justru semakin banyak berjatuhan di era modern saat ini akibat terjadinya konflik kekerasan yang melibatkan umat Muslim di seluruh dunia. Konflik kekerasan yang bernuansa ideologi-keagamaan yang melanda dunia Islam, terutama kawasan Timur Tengah, menjadi contoh mutakhir soal aksi-aksi kekerasan yang dimaksud. Hingga hari ini, kawasan tersebut masih membara, diliputi konflik dan pertumpahan darah sesama penganut Islam. Pendek kata, tiada hari tanpa konflik-kekerasan di Timur Tengah. Jumlah korban yang ditimbulkan akibat konflik-kekerasan di kawasan ini sudah tidak terhitung jumlahnya: mencapai angka ratusan ribu jiwa. Tetapi, jatuhnya korban yang sedemikian banyak ini tidak segera menyadarkan umat Muslim tentang arti kedamaian dan nilai-nilai kemanusiaan di satu sisi, dan betapa meruginya konflik kekerasan bagi mereka, di sisi lain. Mereka benar-benar sudah mengabaikan kalkulasi untung-rugi konflik sembari terus saling menghancurkan di antara mereka sendiri.

 

Penjelasan di atas hanya mengulas bagaimana pola konflik dan kekerasan menjadi mekanisme penyelesaian masalah di kalangan internal umat Muslim—terutama di Timur Tengah—yang terus direplikasi dan direproduksi. Fakta konflik dan kekerasan antar-agama yang berbeda tidak perlu lagi diulas di sini, karena sudah menjadi bagian dari sejarah kemanusiaan yang diketahui oleh umum. Konflik paling fenomenal adalah antara penganut Katolik dan Protestan di Eropa; antara Kristen dan Yahudi; antara Hindu dan Islam di India; antara Buddha dan Islam di Myanmar, dan lain sebagainya. Di kalangan internal Islam sendiri, konflik antara Sunni dan Syi’ah merupakan cerita lama yang tidak pernah menemukan mekanisme resolusinya. Konflik Sunni-Syi’ah bahkan dimulai sejak awal penyebaran agama ini ke luar Jazirah Arab. Hingga saat ini, peta peradaban Islam bahkan terbelah ke dalam dua kubu besar ini: Sunni dan Syi’ah.

 

PERTANYAAN yang menarik direnungkan adalah, mengapa sejarah agama-agama selalu kental dengan nuansa kekerasan? Mengapa kepenganutan agama-agama harus menimbulkan korban jiwa akibat perbedaan pemahaman keagamaan?

 

Menjawab pertanyaan di atas, menjadi relevan kiranya jika kita merefleksikan asumsi teoretik yang dikembangkan oleh J. Harold Ellens (2007) bahwa setiap kekerasan yang berlatar agama dapat dilacak pada unsur destruktif yang dimiliki oleh hampir setiap agama. Lebih jauh, dia mengatakan bahwa komunitas beragama selalu terjatuh pada pandangan kosmologis Manikean yang membelah realitas menjadi dua kutub yang saling berhadapan: realitas kebenaran versus realitas kebatilan. Kerangka pikir semacam ini, menurutnya, berakar pada kredo agama-agama Samawi yang membelah realitas manusia hanya pada dua kutub yang saling berlawanan: benar-salah, putih-hitam, terang-gelap, suci-kotor, dan semacamnya. Akibatnya, kesadaran kosmologis setiap penganut agama dipenuhi oleh imajinasi untuk meneguhkan dirinya sendiri dan meluruskan atau bahkan menghabisi pihak lain yang diposisikan sebagai musuhnya.

 

Dalam konteks pemikiran Islam, kelompok garis keras sering merepresentasikan pihak yang mengklaim dirinya sebagai yang paling autentik, paling benar, paling suci, dan semacamnya. Mereka melakukan truth-claim terhadap apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang harus diikuti oleh pihak lain. Sementara itu, kelompok lain di luarnya menjadi target dari upaya-upaya pemurnian atau dakwah mereka. Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb misalnya, merupakan figur-figur Islamis kontemporer yang memandang dunia ini secara Manikean, hitam-putih dan absolutis. Dalam konteks ini, mereka merepresentasikan diri sebagai pihak yang loyal terhadap segala perintah Tuhan, sementara itu pihak-pihak lain merepresentasikan para pembangkang perintah Tuhan. Tidak ada opsi lain untuk mengubah dunia yang dipandang sudah tersesat dari jalan Tuhan kecuali meluruskannya kembali, baik melalui cara damai atau kekerasan.

 

Di kalangan kaum Islamis sendiri, terdapat kecenderungan ramifikasi dan pembelahan pemikiran secara beragam. Mereka membentuk konfigurasi gerakan yang tidak tunggal. Kecenderungannya adalah mereka dapat bersatu ketika menghadapi tantangan dari luar yang dipersepsikan sebagai ancaman/musuh bersama yang dapat menghancurkan Islam. Pada saat lain, mereka sebenarnya bukanlah kelompok yang solid secara ideologis karena gampang sekali terpecah-belah menjadi sub-sub kekuatan kecil akibat ekspektasi yang beragam dari para tokohnya. Terpecahnya kelompok-kelompok radikal seperti AlQaidah menjadi beberapa organisasi kecil seperti Al-Nusrah, ISIS, dan lain-lain, menggambarkan kenyataan begitu mudahnya kelompok-kelompok radikal melakukan pembelahan. Kekuatan-kekuatan kecil ini dapat solid pada saat menghadapi tantangan eksternal, tetapi juga rapuh ketika menghadapi tantangan internal.

 

BUKU yang ada di hadapan pembaca ini menggambarkan dengan sangat jelas betapa Islam bukanlah agama yang monolitik dan tunggal. Selalu ada kontestasi di kalangan internal penganutnya tentang tafsir kebenaran yang dianggapnya paling autentik. Secara akademik, buku yang ditulis oleh Dr. Aksin Wijaya, seorang akademisi muda dari IAIN Ponorogo, hendak menyodorkan fakta penafsiran agama yang bernuansa kekerasan versus penafsiran agama yang bernuansa perdamaian. Dua kutub pemikiran dalam Islam selalu berkontestasi. Model penafsiran yang menunggalkan absolutisme keagamaan direpresentasikan oleh figur-figur kelompok Salafî-Wahâbî dan Islamis (al-Maududi dan Sayyid Qutb). Selain absolutis, karakteristik dasar dari corak keberagamaan model ini adalah teosentris, yakni berorientasi pada melayani Tuhan.

 

Di lain pihak, terdapat pula figur-figur Muslim yang menyerukan model keberagamaan yang antroposentris. Yakni model keberagamaan yang bertumpu pada nilai-nilai perdamaian, kasih sayang, dan visi rahmatan lil ‘âlamîn. Model keberagamaan kelompok kedua ini diwakili dengan baik oleh tokoh-tokoh pembaru seperti Muhammad Sa’id Al-Asymawi, Abû Al-Qasim Hâj Hammad, Muhammad Syahrûr, dan lain-lain. Tokoh-tokoh semacam ini merasa gerah atas sepak terjang kaum Islamis yang berusaha menunggalkan paham keagamaan yang absolutis dan teosentris, karena model keberagamaan ini cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan universal. Manusia dilihat sebagai objek nominal yang bersifat hitam-putih, iman-kafir, Islam non-Islam, dan semacamnya.

 

Di atas itu semua, dalam perspektif penulis buku ini, harus ada upaya pengarus-utamaan (mainstreaming) tafsir keagamaan yang antroposentris agar nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan universal dapat ditegakkan. Ketika model keberagamaan antroposentris ini dapat diaktualisasikan ke dalam realitas empiris umat Muslim, maka peradaban yang lahir dari rahim Islam tidak diwarnai oleh berbagai bentuk konflik dan kekerasan. Sebaliknya, tafsir antroposentris akan melahirkan wajah Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan universal karena lebih menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek, dari segala hiruk-pikuk keberagaman umat Muslim. Inilah yang menurut saya menjadi kontribusi dari buku ini dalam menciptakan model keberagamaan baru yang relevan dengan kebutuhan zaman yang bergerak semakin maju, beradab, dan menempatkan manusia sebagai subjek, bukan objek, keberagamaan. Semoga buku ini menghadirkan manfaat sebesar-besarnya untuk semakin mendewasakan cara pandang umat Muslim dalam melihat realitas normatif-tekstualnya, sehingga muncul penghormatan dan penghargaan terhadap perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan uni[1]versal. Inilah yang dikehendaki oleh penulis buku ini sebagai model keberagamaan yang antroposentris, bukan teosentris. Semoga!

 

Dikutip dari Prof. Masdar Hilmy, M.A., Ph.D, dalam Pengantar Buku Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia.

Berikut agar pembaca dapat mengulas lebih kami sertakan versi luring/offline pada link di bawah ini.

Dari Membela Tuhan ke MembelaManusia pdf

Arah Baru Studi Alquran pdf

Hidup Beragama dalam Sorotan UUD1945 dan Piagam Madinah pdf

Kontestasi Merebut Kebenaran IslamDi Indonesia pdf

MENUSANTARAKAN ISLAM (MenelusuriJejak Pergumulan Islam yang Tak Kunjung Usai di Nusantara pdf

Menusantarakan Islam pdf

Nalar Kritis Epistmologi Islam;Membincang Dialog Kritis Para Kritikus Muslim pdf

Menggugat Otentisitas Wahyu; KritikAtas Nalar Tafsir Gender pdf

Teori Interpretasi AlQuran IbnRusyd; Kritik Ideologis-Hermeneutis pdf

Sejarah Kenabian Dalam PerspektifTafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer