Budaya Melayu merupakan suatu entitas yang dinamis, sehingga diperlukan paradigma berpikir yang dinamis pula. Tanpa sudut pandang seperti ini, maka konsep Melayu itu tidak dapat dipahami secara holistik dan komprehensif. Saat ini, ada banyak definisi tentang Melayu itu sendiri. Seperti yang diutarakan oleh Prof. Zainal Kling dari Universitas Malaya, Malaysia. Menurutnya, Melayu merupakan kawasan geografis dunia yang meliputi seluruh wilayah masyarakat yang berbahasa rumpun Melayu di Asia Tenggara, terutama di kawasan kepulauan yang kini menjadi unit-unit geopolitiknya seperti; Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina, selatan Thailand, kelompok-kelompok masyarakat di Singapura, Vietnam, Kamboja, dan Taiwan. Pengertian ini didasarkan pada corak kemiripan bahasa, karena bahasa merupakan satu-satunya bukti sejarah yang masih tersisa dan dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu kawasan yang ditempati oleh kelompok-kelompok rumpun Melayu tersebut. (dikutip dari seminar budaya melayu :2010)
Salah
satu ciri kebudayaan Melayu adalah sifatnya yang inklusif. Inklusivisme
merupakan karakter dasar orang-orang Melayu. Tempat hidup orang-orang Melayu
yang berada di pinggir laut dan sungai, memungkinkan mereka bersentuhan dengan
orang-orang dari seluruh penjuru dunia. Masyarakat Melayu menyerap secara aktif
kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar. Akhirnya, Melayu dapat membangun
kebudayaan yang unggul dalam berbagai segi kebudayaan. Demikian menurut
Mahyudin alMudra dari “Pemangku Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu
(BKPBM) Yogyakarta” dalam salah satu makalahnya.
Fakta
historis menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu merupakan “buah” dari hasil
pertemuan antara Melayu dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang mendatangi
kawasan Melayu. Sebelum kedatangan kebudayaan luar, masyarakat Melayu telah
menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sistem bercocok tanam, dan
mampu membuat peralatan dari logam. Kebudayaan Melayu yang sudah terbentuk
tersebut kemudian diperkarya oleh kedatangan kebudayaan besar dunia, yang
terdiri dari empat fase, yaitu: kebudayaan India, kebudayaan China, kebudayaan
Arab (Timur Tengah), dan kebudayaan Barat. Pertemuan kebudayaan ini dapat
berlangsung dengan damai ataupun dengan ketegangan.
Fase
pertama adalah pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan India. Hal ini
dapat dilihat dari perkembangan agama Hindu-Buddha, sistem pemujaan yang
semakin solid, sistem kerajaan, dan bahasa yang berkembang di dunia Melayu.
Fase kedua adalah pertemuan kebudayaan Melayu dengan kebudayaan China, yang
dapat dilhat akan pengaruh Konfusianismenya, perdagangan, kerajinan, dan
kesenian dalam masyarakat Melayu. Fase ketiga ditandai dengan pertemuan
kebudayaan Melayu dengan kebudayaan Asia Barat (Timur Tengah atau Arab) yang
berupa agama Islam, sistem kesultanan, baca-tulis, sistem pendidikan,
arsitektur, dan sebagainya. Terakhir, fase keempat adalah pertemuan kebudayaan
Melayu dengan kebudayaan Barat, seperti: perkembangan agama Kristen-Katholik,
sistem pemerintahan, sistem
pendidikan, busana, dan arsitektur.
Diantara
persentuhan budaya-budaya tersebut kebudayaan dari Asia Barat (Arab) yang
berupa agama Islam, merupakan kebudayaan yang paling banyak berpengaruh dan
paling dominan. Begitu kuat dan dominannya pengaruh Islam terhadap kebudayaan
Melayu tersebut, maka beberapa sarjana mengambil kesimpulan bahwa “Dunia Melayu
Dunia Islam”.
Secara
kultural, sintesa kebudayaan Melayu dan Islam dapat lihat dalam ungkapan “Adat
bersendi syarak, syarak bersendikan Kitabullah”, ungkapan ini biasa dijumpai di
daerah-daerah, seperti: Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Palembang, Banjar,
Bugis, Gorontalo, Ternate, dan sebagainya. Bagi mereka, menjadi Melayu adalah
menjadi Islam. Sebaliknya, mereka yang keluar dari Islam, sekaligus adalah
keluar dari Melayu (Lihat: Mochtar Naim, 2011: 1).
Dikutip
dari Sinopsis buku “Islam dan
Kebudayaan Melayu Nusantara”.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline)
pdf pada link di bawah ini.
Islam dan Kebudayaan Melayu Nusantara pdf
Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan; Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-kota Indonesia 1
Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan; Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-kota Indonesia 2
0 komentar:
Posting Komentar