Pages

Sabtu, 30 Mei 2020

Islam, Institusionalisasi Khalifah dan Masa Depan Ideologi Politik Islam

Sumber gambar: publika.co.id

Kajian tentang politik dalam Islam memiliki perbedaan yang berbeda dengan isu-isu lain, seperti ibadah, akhlak dan muamalat. Pemberian perhatian dari berbagai kalangan terhadap isu ini cukup menonjol dalam rentang abad yang sesuai dengan perjalanan Islam, terutama dalam satu abad terakhir, kompilasi berbagai gejolak dan gerakan politik secara keseluruhan yang terjadi di negara-negara yang berpenduduk Muslim.

Isu politik dalam Islam masih cukup menarik untuk diperbincangkan. Hanya muncul empat alasan mengapa masalah ini masih dianggap penting untuk dibicarakan. Pertama, bahas anggapan tentang isu politik sebagai isu agama, artinya kajian tentang politik disamakan dengan kajian tentang hudud, qishas, ​​ibadah, faraid dan berbagai jenisnya yang merupakan satu-kesatuan dalam studi keagamaan. Di beberapa buku klasik, kajian politik masuk dalam bab al-siyasah, suatu kajian yang merupakan keniscayaan untuk menjadi bagian dari praktik ibadah (thalab al-ilm). Kedua, membahas berbagai hal tentang kembali pada ajaran dan praktik klasik dalam kehidupan kenegaraan, prioritas kembali pada ajaran Nabi dan khulafa 'al-rasyidin. Dua era ini dianggap sebagai era keemasan zaman keemasan dalam praktik perpolitikan yang sesuai dengan ajaran Alquran dan Sunnah. Ketiga, pada saat yang bersamaan, praktik demokrasi ala Barat di berbagai negara yang melibatkan Muslim menggantikan instabilitas dan ketidaknyamanan karena dianggap prematur dan bertentangan dengan tradisi yang telah lama dibangun oleh penduduk lokal. Demokrasi kemudian melahirkan hegemoni dan negara pemaksaan tertentu yang dianggap terlalu vulgar dalam mempraktikkan demokrasi dalam kehidupan bernegara. Keempat, pada saat yang bersamaan di beberapa Perguruan Tinggi Islam, kajian Islam politik dan politik Islam yang diperoleh ruang yang sangat luas. Di beberapa IAIN / UIN ada program Studi Politik Islam yang salah satu misinya mengembangkan dan mempelajari kajian politik Islam dan Islam politik dalam ranah teoretik dan praktik.

Historical Review

Sesungguhnya, kajian tentang politik Islam adalah kajian yang masih cukup menarik. Literatur dan sumber bacaan yang dapat diakses oleh mahasiswa juga pemerhati adalah literatur yang memiliki sanad cukup kuat, berbasis literatur klasik. Selain al-Qur'an dan al-Hadis yang dapat dengan mudah ditemukan berbagai sumber kajian politik, juga beberapa tafsir dan kitab hadits yang ditulis pada abad VII dan VIII M. Di sisi lain, kita juga dapat menemukan literatur kajian politik Islam dari pemikir yang lahir pada abad IX, X dan XI M seperti al-Mawardi, Ibn Khaldun, al-Ghazali, al Farabi. Karya al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah dan Ibn Khaldun, Muqaddimah, merupakan literatur klasik yang sangat kaya akan ide dan wawasan politik yang masih hangat untuk dibicarakan sekarang. Sementara kita juga dapat mengkaji karya Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah, yang merupakan pikiran-pikiran segar yang masih relevan untuk diperbincangkan hingga sekarang. Sementara di literatur pada awal era modern, kita dapat mengakses karya ‐ karya Muhammad Rasyid Ridha, Ali Abdul Raziq dan beberapa ilmuwan yang lahir pada abad XIX M.

Pada era abad ke-20, kajian politik Islam sudah cukup mewarnai studi-studi keislaman. Di beberapa perguruan tinggi di Timur Tengah muncul beberapa karya akademik dari dosen dan guru besar yang memiliki kepedulian terhadap isu ‐ isu politik. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Disertasi dan karya akademik IAIN pada 1980/90-an sudah banyak diterbitkan dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, baik mengambil lokus politik Islam secara luas maupun isu-isu lokal keindonesiaan. Ada beberapa nama yang disebut disebut Deliar Noer, Munawir Sjadzali, Bachtiar Effendy, Fachry Ali dan beberapa nama lain yang cukup menonjol dalam kajian politik Islam.

Bagaimana dengan literatur yang ditulis oleh penulis Barat? Studi tentang Timur di beberapa universitas Barat sudah lama berkembang. Studi tentang Islam telah terjadi dari abad XVII hingga sekarang, sehingga muncul Studi Islam di beberapa universitas. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika karya ‐ karya akademik mereka lebih menonjol dan lebih banyak dibandingkan dengan karya akademik yang diterbitkan oleh penulis dari Islam. Nama-nama populer seperti Bernard Lewis, M. Watt, Marshall G. Hudgson, HAR. Gibb, D. MacDonald, dan lain-lain akan banyak mewarnai perpustakaan kajian politik Islam. Demikian pula seperti John L. Esposito, J. Obert Voll, Charle J. Adam adalah nama-nama yang akan banyak meramaikan rak-rak perpustakaan di IAIN/UIN.

Perbincangan Lembaga politik Islam belakangan ini semakin menarik seiring dengan meluasnya pengaruh demokrasi Barat Yang hampir menyentuh setiap segmen kehidupan. Demokrasi Barat seakan menjadi pilihan akhir ideologi besar, termasuk di dalamnya, Islam.

Negara yang menarik penduduknya beragama Islam tidak mampu bertahan dari lembaga politik yang dapat mengakuisisi lembaga politik Islam, atau lembaga politik tradisional yang mengadopsi dari warisan nenek moyang. Kalaupun tetap bertahan dengan pola ketradisionalannya, friksi-friksi politik sulit terhindarkan yang pada akhirnya berakibat runtuhnya kehidupan bermasyarakat.

Keberhasilan Islam yang ditunjukkan oleh Nabi dalam menciptakan tatanan politik membuat kekaguman banyak masyarakat, etika dan budaya telah memberikan kontribusi penting bagi peradaban dunia. Namun, berhasil ini tidak diikuti oleh keberhasilan di bidang politik. Hal ini disambut oleh Oliver Roy dalam Kegagalan Islam, “Islamis telah bertransformasi menjadi sejenis neofundamentalisme yang semata-mata berkaitan, mengulas kembali hukum muslim, syariah, tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik baru.”

Hal ini tidak berarti, Roy menyatakan Nabi sebagai pembawa risalah tidak melengkapinya dengan danya sistem politik yang jelas. Namun, umat Islam setelah Nabi meninggal tidak memiliki patokan yang baku mengenai sistem politik, dan kenyataannya mereka cenderung berbeda dalam menfasirkan sistem politik Islam.

Pertanyaannya kemudian adalah: apakah ajaran Islam itu memberikan konsep yang jelas tentang politik atau hanya mengajarkan nilai moral agama saja?

Membuka Keran Multi-Interpretasi

Mengenai konsep politik Islam, di kalangan ulama dan pemerhati sepakat bahwa persoalan ini menjadi zhanni al-dalālah. Karena al-Qur'an menyediakan ruang penafsiran yang berbeda, begitu pula dasar hukum yang disandarkan kepada Nabi. Sebagaimana diketahui Nabi saw tidak meninggalkan wasiat tertentu tentang siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam Madinah. Sementara itu klaim kelompok Ali, menantu Nabi bahwa ia telah mewasiati Ali sebagai penggantinya yang berdasarkan pada hadis hadis-hadis ghadir-khumm yang kesahihannya perlu ditanyakan. Ulama Sunnī cenderung menolak seluruh klaim tersebut. Di samping periwayatannya dianggap tidak perlu, hadis ini dikenal masyarakat setelah Nabi wafat, sehingga tingkat subjektivitasnya sangat tinggi. Oleh karena itu, Nabi tidak meninggalkan wasiat, sahabat ‐ sahabat senior seperti Abū Bakar, ’Umar bin Khaththāb, Abū Ub Ubaidah mendukung di Tsaqīfah Bani Sa’idah untuk membicarakan kepemimpinan umat Islam. Forum dan masyarakat memutuskan untuk mengangkat Abū Bakar sebagai pengganti Nabi, sebagai pemimpin umat Islam. Terpilihnya Abū Bakar sebagai pemimpin umat setelah Nabi, memunculkan istilah baru dalam khazanah politik Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan khalifah atau khulafā al-rāsyidīn.

Saat Abū Bakar, penggantinya ’Umar bin Khaththāb,’ Utsmān bin ’Affan dan’ Alī bin Abi Thalib yang dikenal dengan khulafā al-rāsyidīn (khalifah yang mendapat petunjuk) memakai laqob khalifah untuk menunjuk status kepemimpinannya. Keempat khalifah ini dianggap sebagai khalifah utama (ideal chalips) yang dipilih berdasarkan kesepakatan umat Islam oleh para tokoh tokoh ‐ tokoh sahabat Nabi dan pemimpin suku.

Proses pemilihan yang pertama kali dilakukan oleh khalifah empat telah mengalami penyimpangan pada masa Umayyah. Kepemimpinan umat tidak lagi pada otoritas publik, dikembalikan ke atas selera penguasa. Otoritas publik untuk menentukan pemimpin dialihkan pada otoritas keluarga, sehingga diperlukan khalifah turun-temurun.

Di samping itu, dinasti Umayyah telah mengganti fungsi khalifah dari khalîfaturrasûl yang menggantikan Rasulullah ke khalîfatullâh (wakil Allah). Penggantian istilah ini dimaksudkan untuk mencari legitimasi politik, agar kepemimpinannya diterima secara luas di masyarakat.

Khalifah: Otoritas Agama atau Politik?

Belakangan, perdebatan muncul, apakah khalifah memiliki otoritas agama atau otoritas politik, dan apakah Islam memiliki konsep yang baku tentang pemerintahan, atau persetujuan yang terkait pengembangan di masyarakat yang lalu dinamai Islam?

Penegasan teks al-Qur'an tentang khalifah, diterjemahkan disebut di awal tulisan ini membahasnya sebagai zhannī al-dalalah. Teks al-Qur’ān tersebut cenderung interpretatif. Sebagian besar, ayat-ayat tentang khalifah sama sekali tidak memiliki implikasi politis, sebagian lain setuju sebaliknya. Mengajukan Qomaruddin Khan dan ‘Alī‘ Abdurāziq mengharuskan menafikan implikasi politis ayat-ayat yang bersinggungan dengan khalifah.

Dalam pemikiran politik Islam, sebagaimana dikatakan oleh Din Syamsuddin, ada tiga paradigma konsep pemerintahan yang menandai hubungan antara agama dan negara. Pertama, kecenderungan untuk menyatukan agama dan negara, wilayah agama juga mencakup wilayah politik. Menurut konsep ini negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Ilahi kedaulatan ilahi (divine sovereignity), karena kedaulatan itu berasal dan ada pada tangan Tuhan. Paradigma ini dianut oleh kelompok syiah yang memandang negara mempunyai fungsi keagamaan.

Paradigma kedua, memandang agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara, karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral. Pandangan ini diwakili oleh para ulama Sunni, seperti al-Māwardī w. 1058, seorang kritikus politik terkemuka. Pemikir lain adalah al-Ghazali w.1111, kendati al-Ghazali tidak secara khusus dikenal sebagai pemikir politik, namun beberapa karyanya mengandung pemikiran politik yang signifikan.

Paradigma ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integratik atau simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya para sekularistik mengajukan pemisahan agama dan negara. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak Islam sebagai dasar negara atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara.

Salah seorang pemrakarsa pemikiran ini adalah Ali Abdurraziq, seorang cendekiawan Muslim Mesir. Pada 1925, Ali menerbitkan buku yang sangat populer, al-Islam wa Ushul al-Hukm yang menimbulkan kontroversi luas waktu itu. Ketiga pemikiran di atas menjadi standar dan tarik-menarik yang cukup rentan di kalangan pemikir Muslim sampai kini.

Sementara khalifah yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Khulafa al-Rasyidin berupaya untuk menegakkan nilai inklusivitas dengan pemberian ruang gerak yang lebih terbuka terhadap sistem kekuasaan, bahwa pemimpin tidak harus datang dari kelas tertentu, melainkan seluruh komponen masyarakat serta ruang publik yang lebih luas untuk berpartisipasi dalam menjunjung nilai-nilai kebersamaan. Dari sini timbul pertanyaan, mengapa bentuk idealisasi itu baru muncul setelah wafatnya Nabi saw. Ada yang berpendapat, Nabi saw. tidak membentuk sistem pemerintahan yang utuh sebagaimana yang terjadi pada generasi sesudahnya. Hal itu disebabkan oleh posisi Nabi saw sendiri sebagai rasul yang dalam beberapa hal langsung dibimbing oleh Allah. Sementara khalifah sesudahnya tidaklah demikian, kepemimpinan mereka ditentukan oleh umat. Pemerintahan ideal pada masa Nabi belum terbentuk, yang ada hanyalah sebuah cita-cita membangun masyarakat dalam komunitas negara-bangsa akan tetapi belum mencapai sistem pemerintahan ideal. Masa ini merupakan embrio yang pada tahap berikutnya diteruskan oleh para sahabat. Sebab, jika memang posisi Nabi sebagai kepala pemerintahan snagat mungkin sudah melakukan kaderisasi atau ada wasiat tertentu untuk menggantikan posisinya. Yang terjadi malah sebaliknya, Nabi tidak memberikan reaksi terhadap kemungkinan yang akan terjadi sesudahnya.

Otonomi "Piagam Madinah"

“Piagam Madinah” menegaskan bahwa, Nabi menetapkan ketentuan yang disepakati bersama, bukan mendirikan negara agama. Seluruh kelompok agama dan suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi masing-masing. Ketentuan tersebut lebih didasarkan pada konsensus daripada paksaan. Dokumen ini sama dengan teori kontraknya J.J. Rousseau yang menyatakan, bahwa kebebasan bukanlah kebebasan liberal dari individu, tetapi kebebasan untuk semua masyarakat. Kebebasan ini merupakan implikasi positif dari kebebasan untuk semua.

Sebenarnya, tidak ada pemikir-pemikir ahli yang mempersoalkan, bahwa keharusan untuk menegakkannya khalifah sebagaimana di dalam Alquran atau al-Sunnah. Dapat dijelaskan bahwa istilah khalifah beserta derivasinya yang terdapat di dalam Alquran tidak dipergunakan dalam pengertiann politik, akan tetapi sebagai “pewarisan kekuasaan” atau “yang menerima warisan kekuasaan” saja. Walaupun begitu setelah Nabi wafat, negara yang ditegakkan disebut khalifah yang berarti rezim penerima kekuasaan. Dalam tradisi sunni disepakati, bahwa Nabi tidak penah mengangkat dirinya, jadi khalifah tidak mungkin diartikan sebagai pengertian politik. Bahkan, seandainya Nabi mengangkat seseorang, maka orang tersebut tidak dapat mewakilinya karena tidak mungkin orang yang masih hidup mewakili yang sudah mati.

Karena khalifah tidak memiliki makna politik, maka posisi khalifah ditempatkan sebagai pusat pemersatu umat melalui ikatan keagamaan yang didukung oleh suprastruktur politik. Fungsi ini yang oleh Ibn Taimiyah disebut khalifah al-nubuwwah yang memiliki otoritas agama bukan politik, meskipun dijabat oleh orang yang punya otoritas politik.

Khalifah yang memiliki fungsi seperti ini, menurut Ibn Taimiyah dipilih berdasarkan empat kriteria, yaitu seorang khalifah harus dari suku Quraisy, diangkat melalui konsultasi di antara orang-orang Muslim, mendapat sumpah setia dari orang-orang Muslim dan bersikap adil. Khalifah dalam pengertian agama di atas hanya ada satu dalam dunia Islam, sementara khalifah dalam arti politik tergantung kepada kebutuhan masyarakat. Karena kehidupan ritualitas berada dalam satu pemimpin yang mengatur lalu lintas persatuan dan kesatuan umat Islam.

Dalam sejarah umat Islam khalifah difungsikan untuk menyelesaikan problem yang dihadapi umat seperti yang dllakukan oleh Abu Bakar. Persoalan yang dimaksud tidak hanya terbatas pada pemberian ruang dialog, tetapi menyangkut bagaimana khalifah memberikan penyelesaian persoalan-persoalan politik, sosial atau ekonomi.

Melihat realitas Muslim dan negara-negara Islam sekarang ini, mungkinkah institusi khilafah ditegakkan kembali di tengah ketidakstabilan politik negara-negara Islam?

Hanya sedikit para penulis yang mengkaji persoalan khilafah sebagai lembaga politik yang pernah ada di dunia Islam. Namun sangat jarang yang memberikan alternatif terhadap problem politik umat Islam saat ini dengan mengkaji kemungkinan dilembagakannya kembali institusi khilafah.

Khilafah dalam Pusaran Ulama Barat

Karya Bernard Lewis, The Political Language of Islam membicarakan khilafah yang muncul dalam bahasa politik Islam. Dalam buku ini Lewis menghubungkan bahasa politik dengan kejadian-kejadian politik di sepanjang sejarah dinasti Islam. Di samping khalifah, juga disinggung lembaga politik lainnya, seperti sultan, raja, dan amir. Buku ini sangat menarik karena kekayaan dan kemampuan wacana Lewis dalam menghubungkan dengan kejadian politik. Sementara itu, Patricia Crone dan Martin Hinds dalam God’s Caliph: Religious Authority in The First Centuries of Islam, yang ditopang oleh literatur yang kaya, mengulas seputar timbulnya khalifah dalam Islam. Sementara tulisan W. Montgomery Watt, Islamic Political Thought 1980 lebih menitikberatkan kepada nilai universal khalifah, sehingga keberadaannya relatif diterima di awal pemerintahan Islam. Buku ini juga mengupas sifat dasar dan otoritas khalifah sebagai pemimpin politik dan agama. Tulisan-tulisan lain adalah karya Oliver Roy, The Failureof Political Islam 1994, John L. Esposito, Islam and Politics 1995, Nazih N. Ayubi, The Political Islam: Religion and Politics in The Arab World 1994 merupakan karya berbahasa Inggris lainnya yang mengupas tentang hal yang sama.

Sementara itu, Qomaruddin Khan, pemikiran politik Ibn Taimiyah 1986 edisi Indonesia mengungkap pandangan politik Ibn Taimiyah serta keberpihakannya terhadap tradisionalisme Islam. Qomarudin dalam mengulas institusi khalifah tampak terjebak ke dalam sikap apologetik. Tulisan Qomarudin lainnya adalah Political Concept in the Quran 1973, berbicara dalam hal yang sama. Sementara Hamid Enayat, dalam Islamic Political Thought, 1982 lebih memfokuskan pada pandangan ulama sunni dan syi’i tentang pemerintahan Islam. Buku ini membeberkan konsep dasar imamah serta perbedaannya dengan khilafah.

Literatur Arab klasik terkenal yang mengupas konsep khilafah ini adalah karya al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Buku ini mengulas tentang pengertian khalifah, syarat-syaratnya serta bentuk pemerintahannya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah mengulas berbagai aspek dan nilai-nilai universal khalifah. Al-Syarashtani, al-Milal wa al-Nihal dan Muhammad Rasyid Ridha, al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzhma 1314 H mengulas hal yang sama. Karya Ibn Taimiyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd al-Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariah, juga membahas pikiran-pikiran politik Islam. Buku ini ditulis sebagai bantahan terhadap karya Ibn Mutahhar al-Hilli, Minhaj al-Karamah fi al-Ma’rifah wa al-Imamah. Kedua buku tersebut dijadikan referensi utama dalam membandingkan perbedaan pandangan antara Sunni-Syi’i mengenai pemerintahan Islam. Buku lainnya adalah karya Abul A’la al-Maududi, al-Khilafah wa al-Mulk 1978 yang membahas pandangan-pandangan dan pembelaan Maududi mengenai khlifaha. Karya Muhammad Abu Zahrab, Aliran Politik dan Akidah dalam Islam 1996 juga mengulas hal yang sama. Tulisan Ozay Mehmet mengenai khalifah modern dalam Jurnal Ulumul Quran 1993 cukup representatif untuk diangkat kembal ke permukaan, serta pandangan-pandagan Isma’il al-Faruqi dalam berbagai artikelnya. Kedua tokoh intelektual Muslim tersebut banyak mengulas pentingnya pelembagaan kembali khilafah modern dengan memperhatikan lemahnya kekuatan politik di dunia Islam.

Karya-karya serupa dalam literatur Indonesia tidak banyak ditemukan, termasuk dalam bentuk Disertasi atau Tesis. Disertasi Khalid Medhat Abue El Fadhl, Trends in Islamic Political Thought: Authoritarian and Totalitarian Tendencies and Prospects for Democracy McGill Montreal merupakan salah satu sumber pembanding penulis dalam menganalisis data-data historis maupun sosiologis. Disertasi tersebut mengulas tentang kekhalifahan di dunia Islam dan beberapa catatan kritis mengenai problem pemerintahan Islam sekarang ini.

Berbeda dari karya-karya yang disebutkan di atas, tulisan ini berusaha mengangkat problem politik umat Islam, bagaimana dialektika Islam dan negara dalam perebutan ruang-ruang politik.       

Dikutip dari Pengantar Islam Negara.              

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Islam Negara pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer