Pages

Senin, 28 Maret 2022

Pencarian Islam Otentik dan Islam Nusantara: Trajektori dan Sejarahnya

Diambil dari nu.or.id


Para Indonesianis maupun orang-orang Indonesia benar-benar kehilangan atas wafatnya antropolog dan humanis Cliford Geertz pada akhir Oktober 2006. Geertz telah melanglang buana melampaui Jawa dan Bali serta menggeluti cakrawala yang jauh lebih luas sehingga ada perasaan di kalangan para Indonesianis bahwa, entah sepakat atau tidak dengan gagasan-gagasannya, dia adalah salah seorang dari kita. Tak syak lagi dia sudah memberikan banyak hal untuk dipertimbangkan pada bidang kajian ini. Dalam berbagai kontribusi seperti Agricultural Involution (1963), Islam Observed (1968), dan Negara (1980), kesemuanya dibangun atas reputasi yang dibentuk oleh Religion of Java-nya yang sangat berpengaruh sejak 1960, gagasan-gagasan Geertz tak pernah gagal membangkitkan gairah.

 

Semasa hidup hingga lama setelah wafatnya, Geertz kerap dibandingkan seorang cendekiawan lain yang kontribusinya menurut saya sangat memengaruhi cara pandang orang terhadap Indonesia. Sebuah majalah Indonesia ternama bahkan menyebut mereka sebagai dua dari delapan orang asing dalam daftar seratus “tokoh Indonesia abad kedua puluh”. Tokoh kedua (atau lebih tepat, pertama) adalah Christiaan Snouck Hurgronje (1857–1936); seorang orientalis Belanda, muslim pura-pura, penjajah. Berbeda dari Geertz yang disambut hangat oleh orang-orang Indonesia yang menulis biografnya dalam edisi majalah tersebut, Munawar Khalil menyatakan si orang Belanda ini sebagai “tikus air yang menyusup ke dalam masyarakat Muslim untuk mencuri ‘rahasia’ perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial”.

 

Meski buku ini bukanlah sebuah kritik terhadap Geertz maupun pembelaan untuk Snouck, berbagai sumbangan penting Snouck bagi pembentukan kajian Indonesia akan dibicarakan seiring buku ini menyelami tema-tema utamanya, yaitu: Apa yang dianggap sebagai unsur-unsur Islam Indonesia? Dan, siapa yang bisa kita sebut telah membuatnya? Seperti yang akan saya perlihatkan, proses, atau tepatnya proses-proses, yang memberikan fondasi bagi sebuah konsensus mengenai pertanyaan-pertanyaan ini digerakkan oleh keeratan hubungan Muslim Asia Tenggara dengan sesama pemeluk Islam di Tanah Air dan di luar negeri, baik sebelum maupun di bawah kolonialisme Belanda yang menjadikan mereka bangsa Indonesia. Jauh melampaui sekadar fakta hegemoni latar belakang, keterlibatan langsung para penasihat orientalis seperti Snouck, yang bertindak atas nama negara kolonial dan berpura-pura menguntungkan umat Islam, merupakan sebuah alur utama yang memperumit kisah tersebut.

 

SUFISME DAN YANG MODERN

 

Berbekal pengetahuan akan masa lalu, kita bisa dengan mudah menyatakan bahwa skeptisisme yang digemari Geertz mengenai vitalitas jangka panjang proses Islamisasi, yang diungkapkan dalam Islam Observed-nya, barangkali sekarang tampak keliru. Namun, kita juga bisa menantang penggambarannya terhadap sejarah Islam Indonesia sebagai “hingga belakangan ini, sangat lentur, tentatif, sinkretis, dan, yang paling penting, multisuara”. Jika, bagi Geertz, watak multisuara Islam Indonesia adalah yang paling penting, dengan menengok ke sekitar empat dekade kemudian, kita bisa menyatakan bahwa syarat “hingga belakangan ini” itulah yang sebenarnya merupakan pengamatan paling relevan. Bisa dibilang bahwa Geertz membaca bidang-bidang kajiannya dengan memperhatikan kecendekiawanan modernis dan penjelasan para informan yang tampaknya merupakan pencela banyak praktik lokal yang dia dokumentasikan. Sebagaimana akan kita lihat, para informan semacam itu dan juru bicara mereka dari Barat memiliki sejarah yang berkelindan.

 

Dalam sebuah kritik mutakhir terhadap bidang kajian kolonial, Frederick Cooper mempertanyakan kegunaan trinitas kudus “identitas”, “globalisasi”, dan “modernitas”. Dia menuntut tingkat kespesifkan yang lebih tinggi dalam wacana akademik dan menuntut kajian yang membaca kolonialisme bukan sebagai sebuah kisah yang dituturkan dengan latar belakang bangkitnya modernitas, melainkan lebih sebagai perjumpaan-perjumpaan tempat konsep-konsep seperti “bangsa”, “yang modern”, dan “agama” diberi makna.3

 

Buku ini sebagiannya dimaksudkan untuk mendorong tantangan ini. Sebelumnya saya sudah berusaha menunjukkan kontribusi Islam terhadap terbentuknya Indonesia, sekarang saya ingin beralih untuk menyelidiki bagaimana Islam ditafsirkan dan dibentuk oleh beragam aktor di kawasan ini; termasuk orang-orang Kristen Belanda. Yang sangat penting bagi penyelidikan saya adalah perdebatan mengenai posisi praksis tarekat—berbagai ritual perenungan mistis yang diorganisasi di bawah bimbingan seorang guru yang dikenal sebagai syekh—yang hanya mewakili satu aspek dari Sufsme sebagai sebuah bidang pengetahuan Islami.

 

Dalam perjalanannya, sebuah kisah yang jauh lebih luas dan kerap lebih politis harus dituturkan, kisah yang secara implisit mempertanyakan pemahaman yang berlaku saat ini bahwa Sufsme adalah bentuk Islam yang paling menerima terhadap kontak dengan Barat. Dengan menyatakan semua itu, saya tidak sedang menawarkan sebuah narasi mengenai bagaimana Sufsme dan anti-Sufsme dimainkan pada abad kedua puluh secara keseluruhan, juga bukan mengenai bagaimana Islam dan politik saling beririsan di Indonesia saat ini. Sebaliknya, ini akan tetap merupakan sebuah kisah kolonial, meski sebuah kisah yang sesekali tampak tak terlalu berbeda dari yang dimainkan dengan taruhan yang sangat tinggi hari ini.

 

KERANGKA NARASI Dalam menyatakan bahwa seseorang atau sesuatu memiliki “bahan-bahan pembuatan” dari sesuatu yang lain dan menyiratkan sebuah proses pembentukan yang terus berlanjut, saya akan mengatakan bahwa Islam Indonesia merupakan sebuah proyek nasional yang terus-menerus didefnisikan kembali oleh pemeluknya. Namun, pada tingkat yang lebih jelas, judul buku ini menunjukkan bahwa terdapat banyak proses yang bekerja dalam perjalanan menuju proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945—di antara proses-proses itu, proyek reformis dan kolonial barangkali adalah yang dinyatakan secara paling eksplisit. Meskipun proyek kolonial mendominasi dalam buku ini, saya rasa penting untuk tidak mengawalinya dengan mengistimewakan pengalaman Barat. Oleh karena itu, tiga bab pertama (Bagian Satu) menggambarkan tren-tren utama dalam pembentukan wacana Islam Asia Tenggara, berawal dari langkah pertama ke arah Islamisasi kawasan ini pada 1200-an, dan berlanjut hingga 1880-an ketika Belanda akan membuat berbagai intervensi de jure yang lebih eksplisit dalam Hukum Muslim. Latar belakang ini diperlukan untuk membuat unsur-unsur dalam kisah kolonial berikutnya menjadi jelas.

 

Bab 1 mendokumentasikan proses Islamisasi di seluruh Nusantara. Bab ini juga menguraikan argumen bahwa pengetahuan kita saat ini sebagian besar dibentuk oleh penerimaan terhadap pembingkaian dan validasi retrospektif atas ajaran-ajaran Suf abad ketujuh belas. Ajaran-ajaran tersebut menekankan hubungan mistis antara Nabi dan sekelompok elite terpelajar yang dilindungi oleh otoritas kerajaan. Bab 2 meninjau bagaimana, pada abad kedelapan belas, struktur pembelajaran yang lebih formal terbentuk di Nusantara ketika para cendekiawan Asia Tenggara mulai lebih berpartisipasi dalam jaringan Timur Tengah. Saya akan menyatakan bahwa saat itu terdapat sebuah upaya yang lebih eksplisit dari pihak kerajaan untuk mengalihkan publik yang tengah mengalami Islamisasi menjauh dari daya tarik Sufsme spekulatif dan menuju komitmen yang lebih kuat terhadap hukum Islam (dan dengan demikian terhadap pemerintahan). Selanjutnya, Bab 3 mengkaji kebangkitan, terutama pada abad kesembilan belas, sebuah bentuk baru otoritas populis yang memperluas cakupan aktivitas Islami melampaui jangkauan istana-istana yang semakin terpinggirkan. Secara khusus bab ini memeriksa implikasi praktis penggunaan pers litografs oleh beberapa persaudaraan mistis dengan koneksi Mekah yang lebih baru.

 

Bagian kedua dari buku ini, sebaliknya, berkenaan dengan pengalaman paralel jangka panjang Belanda (dan, hingga tingkat tertentu, Inggris) dengan Islam di Asia Tenggara, dengan memberikan penekanan yang setara pada berbagai interaksi di Hindia dan cara interaksi-interaksi ini dipahami di metropolis. Bab 4 berfokus pada berbagai gagasan yang sangat kabur mengenai Islam yang terbentuk selama pelayaran pertama pada 1590-an, dengan menekankan posisi Protestantisme dalam mengembangkan pemahaman mengenai Islam dan hubungan problematisnya dengan VOC.

 

Dengan menurunnya imperium-imperium perdagangan pada pengujung abad kedelapan belas, Bab 5 mengkaji berbagai perubahan yang terbentuk pada abad kesembilan belas di bawah pengaruh budaya ilmu pengetahuan yang baru dan konsep baru mengenai imperium yang dikembangkan oleh pemerintah Den Haag dan Batavia. Berbagai perkembangan intelektual ini mengakibatkan upaya yang kian aktif dari kalangan orang-orang Barat dalam mengukur dan memahami bagaimana Islam diorganisasikan di Nusantara. Mereka juga berusaha untuk mendidik para pejabat mereka untuk mempelajari bidang Hukum Islam sebagai persiapan penempatan mereka di lapangan. Usaha keras untuk menunjukkan pembingkaian yang paralel terhadap Hindia sebagai sebuah ladang misi penting dalam membentuk dan kadang menantang upaya-upaya kolonial ini dipaparkan di Bab 6.

 

Setelah menjelaskan dua alur utama sejarah Indonesia—alur Islam dan Kolonial—buku ini beralih ke per empat ketiga yang membicarakan berbagai implikasi berkelindannya kecendekiawanan pribumi dan Belanda mengenai pertanyaan tentang agama. Di sini, fokus kita adalah kepada Snouck Hurgronje serta jaringan sekutu dan informannya. Kita akan menyelidiki aktivitas mereka secara mendetail dan dalam periode waktu yang agak singkat karena berada dalam hitungan tahun, bukannya dekade atau abad.

 

Bab 7 bermula dengan berbagai intervensi Snouck Hurgronje dalam bidang kajian ini di Belanda, berbagai kritiknya terhadap serangan yuridis dan misiologis atas ortopraksi Islam di Hindia, serta persekutuannya dengan mereka yang dianggapnya memiliki penafsiran yang lebih terdidik mengenai Islam. Oleh karena itu, pandangan-pandangan tersebut disokongnya sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi kesejahteraan publik yang saat itu masih berupa Hindia Belanda. Secara khusus bab ini akan membicarakan ketidaksukaan Snouck dan para sekutunya terhadap beragam mistisisme populis yang oleh para guru muslim pesaing—yang tidak terlalu peduli pada hukum—dapat digunakan untuk tujuan mereka sendiri.

 

Bab 8 menyelami hubungan-hubungan ini secara lebih mendalam, dengan mengikuti Snouck ketika tiba di Batavia pada 1889 dan melakukan kerja lapangan di Jawa dan Aceh, memeriksa posisinya baik dalam masyarakat Belanda maupun masyarakat pribumi. Sementara oleh para atasannya dia dipandang sebagai seorang informan mengenai kaum Muslim, orang-orang Muslim sendiri bisa melihatnya sebagai seorang mediator bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, Bab 9 menjelaskan posisi mereka yang tidak begitu terpikat, dan yang menentang otoritas Snouck karena memandang kebijakan-kebijakan “etis”-nya (demikian berbagai kebijakan tersebut dikenal) untuk memodernisasi Hindia Muslim sebagai bagian dari proyek Kristenisasi dalam jangka yang lebih panjang.

 

Bagian terakhir buku ini membahas hubungan antara para cendekiawan Belanda dan pembaharu muslim pada paruh pertama abad kedua puluh dan konsensus mereka yang nyata bahwa sebuah Islam baru sedang muncul di tanah Hindia. Bentuk baru inilah yang akan menggantikan tradisi kuno mistisisme “India” di kawasan ini. Bab 10 melanjutkan apa yang terhenti di Bab 3, melacak perdebatan yang terus berlangsung mengenai Sufsme dalam kaitannya dengan gagasan mengenai ortodoksi yang terus berubah.

 

Sementara itu, Bab 11 akan membicarakan cara para penerus Snouck, yang dididik dalam sejarah Islam melalui penggunaan berbagai manuskrip yang telah dia kumpulkan, mengunggulkan sebuah alur aktivisme muslim tertentu yang oleh orang-orang saat itu semakin kerap disebut “Indonesia”. Bab ini juga akan menyelidiki bahwasanya dukungan itu sebenarnya problematis bagi otoritas kolonial, bahkan meskipun mereka mengandalkan hubungan yang terbentuk antara para penasihat dan pemimpin keagamaan lokal untuk mengendalikan berbagai situasi yang berpotensi meledak.

 

Bab 12 menunjukkan bahwa dengan bangkitnya sebuah gerakan nasional yang dirumuskan oleh sebagian aktornya dalam kerangka Islam, para penasihat dan reformis yang menjadi teman sepemahaman mereka akan disalahkan dan dipinggirkan oleh sebuah negara kolonial yang reaksioner, persis sebelum pendudukan Jepang.

 

Dikutip dari Kata Pengantar dalam buku Sejarah Islam di Nusantara.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Sejarah Islam di Nusantara pdf

Sejarah Islam yang hilang pdf

Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer pdf

Filsafat Moral pdf

Kuliah-kuliah tasawuf pdf

Pengantar Filsafat Islam pdf


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer