Pages

Senin, 28 Maret 2022

Dekonstruksi Tradisi Intelektual Islam: Sebuah Pembacaan Filosofis Hassan Hanafi

Diambil dari Islamlib.com

Membaca, secara filosofis, adalah salah satu langkah dalam proses pembangunan kesadaran, baik kesadaran personal maupun kesadaran sosial, kesadaran internal maupun kesadaran eksternal. Mengapa? Karena membaca adalah memahami. Dalam konteks ini, aktivitas membaca bukan hanya melantunkan, melainkan mengkaji, menndalami, mengidentifikasi, dan menginterpretasi dalam orientasi praksis. Untuk itu, terdapat relasionalitas antara pembaca dan yang dibaca dalam orientasi realitas sehingga tidak ada kesenjangan antara teks dan konteks, subjek dan objek. Dengan demikian, membaca adalah menakar dan menafsir yang merupakan refleksi kritis subjek terhadap objek dengan sentuhan orientasi perubahan.

 

Bahkan, membaca adalah tanggung jawab moral subjek terhadap realitas yang mengelilinginya. Oleh karena itu, seorang pembaca dalam pembacaannya akan senantiasa mempertimbangkan kesadaran historis, kesadaran spekulatif, dan kesadaran praksis atas realitas yang melingkupinya, yang merupakan triangle lingkaran hermeneutis. Proses membaca yang demikian itu akan berimplikasi pada terciptanya pola dialog interaktif, bebas dominasi, dan inklusif. Implikasi selanjutnya adalah terciptanya alternatif solusi-solusi kreatif yang signifikan dengan problematika yang sedang menyelimuti realitas. Sebab, filsafat bukan semata-mata pikiran yang a-historis, a-sosial, dan a-kultural, melainkan merupakan sistem pemikiran yang tumbuh dan berkembang dalam suatu masa tertentu, dibangun oleh suatu generasi bangsa tertentu, dan melayani komunitas sosial tertentu serta mengekspresikan peradaban.

 

Filsuf adalah orang yang memiliki sikap kebudayaan dengan mengambil sikap terhadap tradisi klasik dan mengambil sikap kritis terhadapnya sehingga ia dapat menyingkap selubung persepsi klasik dalam rangka proses teoretisasi lain dengan menggunakan ratio (nalar) dan nature (alam) sebagai dua poros utama ilmu pengetahuan baru. Selain itu, ia juga mengambil sikap kritis terhadap tradisi Barat dengan mereduksikannya ke dalam batas-batas lokalnya. Dengan kata lain, seorang filsuf selalu melakukan internalisasi nilai untuk diproyeksikan pada wilayah praksis. Ia adalah orang yang cenderung pada bendanya sendiri, sebagai orang yang melepaskan diri dari al-manqûl menuju al-ma’qûl melalui observasi, sensasi, dan pengalaman empirik.

 

Sudah saatnya sekarang ini kita (baca: masyarakat muslim) mengeksplorasi perjalanan sejarah, beralih dari merujuk ke masa lampau menuju masa depan dengan berpijak pada pencapaian solusi-solusi yang telah ditawarkan untuk mengatasi problematika masa kini. Peralihan itu bukan berarti mencerabut kehendak masa kini dan mengabaikan tendensi atau kompensasi non-kesadaran dan melarikan kesadaran dari krisis-krisis zaman. Kembali pada masa lampau ataupun berorientasi menuju masa depan kadang merupakan sikap yang menyenangkan apabila di dalam sikap itu mengabaikan masa kini, desersi, tenang, melupakan dan mengompensasikannya. Bahkan sikap kembali pada masa lampau itu merupakan sikap yang tepat apabila bertujuan untuk membahas akar-akar sejarah krisis-krisis zaman sampai pada pencapaian solusi secara mendasar atau planning ke masa depan dan mempersiapkannya sehingga tidak terjebak dalam chaos, anarkisme yang membabi buta, dan kebimbangan.

 

Perspektif yang demikian ini bukan semata-mata berrtujuan mengetahui peristiwa-peristiwa masa lalu dan akumulasi informasi dari dokumen-dokumen, prasasti-prasasti, manuskrip-manuskrip, dan sumber-sumber pokok sebagaimana yang terdapat dalam aliran historisisme yang dominan di Barat pada abad yang lampau dan dalam Historical Reductionism yang mulai dijauhi oleh kajian sejarah kontemporer. Sebab, model ini hanya mengamati peristiwa satu persatu tanpa memberikan makna, signifikansi ataupun hukum (sejarah), lebih mengedepankan ruang daripada waktu, discontinuance daripada continuation. Ia bukan sekadar mengamati berbagai peristiwa seolah-olah kita berada dalam museum, melainkan merupakan intensi, kesadaran kolektif yang dituangkan ke dalam kesadaran individual. Sejarah merupakan akar dan dasar bagi kesadaran. Ia bukan sekadar memori masa lalu, melainkan alur dan hukum, semangat sejarah. Tujuannya adalah mengembangkan dan memperdalam kesadaran sejarah sebagai sarana untuk memperdalam kesadaran nasional yang memberikan pengalaman-pengalaman sejarah masa lampau untuk melihat masa kini dan beberapa faktor pembentuknya.

 

Masa kini merupakan akumulasi dari masa lampau. Kendatipun berbagai peristiwa terjadi dalam rangkaian waktu, diachronism, namun hal itu mempunyai struktur, synchronism. Masa kini memberikan pencerahan pada masa lampau melalui pemilihan objek dan penarikan kesimpulan. Relasionalitas masa lampau dengan masa kini terjadi hanya dalam satu kesadaran nasional untuk memanifestasikan kontinuitas dalam kepribadian sejarah, untuk mengeksplorasi dan mengamati fase-fase dan alur-alur perkembangannya dalam sejarah. Masa lampau juga dapat membaca masa kini karena masa lampau sebenarnya merupakan faktor pembentuk masa kini. Masa lampau bisa jadi lebih partisipatif pada masa kini daripada masa kini itu sendiri. Manusia ada dalam sejarah dan hidup di dalamnya sedemikian rupa sehingga kesadaran sejarah yang merupakan kesadaran atas masa lampau mendominasi kesadaran atas masa kini dan kesadaran atas masa depan. Oleh karena itu, muncul gerakan-gerakan konservatif yang menyerukan kembali ke masa lampau sebagai satu-satunya jalan menuju kebangkitan masa kini dan mengejar masa depan. Pembacaan masa kini terhadap masa lampau dan pembacaan masa lampau terhadap masa kini merupakan dua gerakan yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan secara berkelindan. Keduanya merupakan dua orientasi untuk satu gerak: “bolak-balik”.

 

Hassan Hanafi, seorang filsuf kelahiran Mesir 13 Februari 1935 M., selalu menjadikan karya tulisnya sebagai persaksian atas dinamika zamannya. Ia selalu mengalunkan nada dekonstruksi-rekonstruksi terhadap realitas yang dibangun berdasarkan atas sikap kritis pada ‘diri’ (baca: tradisi intelektual Islam), sikap kritis terhadap ‘yang lain’ (baca: Barat), dan sikap kritis terhadap realitas. Untuk itu, ia selalu melakukan dialektika ‘diri’ dan ‘yang lain’ dalam orientasi praksis pada realitas aktualnya melalui analisis fungsional-efektif. Tujuannya adalah menyandingkan “tradisi” dan “modernitas” dalam gerak sejarah.

 

Sekarang ini, yang menjadi persoalan utama di dunia Islam bukanlah tajdîd at-turâts (memperbarui tradisi) atau at-turâts wa at-tajdîd (tradisi dan pembaruan), sebab yang menjadi starting point (pijakan) adalah ‘tradisi’. Pembaruan dilakukan dalam rangka kontinuitas kebudayaan nasional, peletakan landasan bagi masa kini, motivasi menuju kemajuan, dan keterlibatan dalam perubahan sosial. Tradisi adalah titik awal sebagai tanggung jawab budaya-kebangsaan, sedangkan pembaruan merupakan reinterpretasi terhadap tradisi sesuai dengan tuntutan zaman. Yang lama mendahului yang baru, dan otentisitas menjadi landasan bagi konteks masa kini. Tradisi bukan merupakan fakta tunggal, melainkan ia adalah berbagai kecenderungan dan aliran yang mengekspresikan sikap, kekuatan sosial, ideologi-ideologi, dan berbagai macam pandangan. Untuk itu, tradisi tidak mempunyai eksistensi yang independen, terlepas dari realitas yang dinamis dan selalu berubah, yang mengekspresikan semangat zaman, dan pembentukan generasi dan fase perkembangan sejarah. Ia merupakan kumpulan interpretasi yang diberikan oleh masing-masing generasi sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan zamannya. Lebih-lebih, bahwa landasan primer yang menjadi sumber kemunculan tradisi itu memungkinkan bagi munculnya kemajemukan (pluralitas). Sebab, yang menjadi landasan dasarnya adalah realitas. Tradisi bukanlah kumpulan akidah yang bersifat teoretis-statis dan fakta-fakta mati yang tidak menerima perubahan, melainkan ia adalah sejumlah realisasi dari banyak teori yang muncul dalam situasi tertentu, dalam kondisi sejarah tertentu, dan dalam kelompok masyarakat tertentu yang memberikan pandangan mereka tentang alam. Tradisi adalah potensi yang tersembunyi dalam psikologi public.

 

Seorang pemikir harus memiliki jiwa nasionalis dan tidak banci. Itulah pernyataan yang sering kali diucapkan oleh Hassan Hanafi dalam berbagai kesempatan. Dalam konteks inilah dia, yang sejak kecil dirisaukan oleh realitas dunia Islam, khususnya Mesir, yang stagnan dan berada dalam ketidakberdayaan, berusaha mengembangkan kesadaran, baik kesadaran keagamaan maupun kesadaran filosofis. Ia sangat gerah terhadap kaum intelektual yang hanya berkutat dan berhenti pada teks dan warisan masa lampau. Di sini ia tidak berhenti pada analisis historis dalam pengertian kembali ke masa lampau maupun analisis epistemologis, melainkan berlanjut pada analisis fungsional-praksis. Ia mempunyai sense of reality yang sangat kuat sebagaimana yang dituangkan dalam karya-karyanya, seperti Ad-Dîn wa ats-Tsaurah (terdiri atas 8 jilid), Min al-Aqîdah ila ats-Tsaurah (terdiri atas 5 jilid), Qadhâya Mu’âshirah (terdiri atas 2 jilid), dan yang lainnya. Ia sangat konsen pada persoalan-persoalan riil masyarakat muslim, seperti ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penindasan, dan perampasan hak-hak dasar manusia yang banyak terjadi di dunia Islam. Ia sangat risih dengan sistem pelajaran dan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas yang tidak beranjak dari hafalan dan penumpukan materi klasik tanpa adanya inovasi-kreatif dan penghadapan pada tantangan realitas kontemporer. Bagi Hassan Hanafi, sebuah pemikiran, bahkan risalah keagamaan, tidak ada artinya, bahkan bukan merupakan pemikiran, jika tidak bersentuhan dengan realitas dalam semangat perubahan. Dengan pernyataan tersebut, Hassan Hanafi menunjukkan dirinya tidak hanya sebagai pemikir muslim progresif garda depan, melainkan juga sebagai seorang pengusung strategi kebudayaan yang sangat kritis. Inilah yang membedakannya dari pemikir-pemikir muslim kontemporer lain, seperti Fazlur Rahman yang lebih terfokus pada pencarian metodologi memahami Al-Qur’an dan penyelidikan sejarah intelektual muslim masa Nabi hingga Abad Pertengahan, Muhammad Arkoun dan Muhammad ‘Abed al-Jabiri yang sangat kompeten pada kritik dekonstruktif terhadap nalar Islam klasik; bahkan Nasr Hamid Abu Zaid yang belum banyak beranjak dari posisinya sebagai pengamat pemikiran Islam.

 

Sejak semula Hassan Hanafi selalu mencurahkan perhatiannya pada realitas masyarakat muslim yang stagnan dan terbelakang. Perkembangan pemikiran kritisnya berbarengan dengan perkembangan pemikiran kritis Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Jerman.

 

Kesadaran Hassan Hanafi atas realitas kehidupan terbangun sejak kecil, yakni sejak masih dalam usia bermain di sekolah dasar. Dari sini, perhatian utamanya adalah seni, tulisan formal, dan pada masa berikutnya adalah musik, yakni ketika ia berada di madrasah tsanawiyah. Kesadaran religius, yakni kesadaran atas hidup, muncul ketika ia berhubungan dengan gerakan Ikhwanul Muslimin. Tulisan Sayyid Quthb yang bertitel Al-Islâm Harkah Ibdâ’iyyah fî al-Fann wa al-Hayah adalah tulisan yang mengekspresikan totalitas gejolak jiwanya. Barangkali kekagumannya terhadap Iqbal, Bergson, Guyau, Nietzsche, dan setelah itu Dilthey, Driesch, dan Husserl hanyalah karena mereka adalah filsuf-filsuf kehidupan. Inilah yang pada akhirnya membangun hermeneutika Hassan Hanafi yang berangkat dari pengalaman yang dinamis dan kekaguman terhadap kaum romantisme Jerman, yaitu orang-orang yang keluar dari dan sekaligus melawan Hegel, seperti Schleiermacher dan Kierkegaard, dan seluruh peletak hermeneutika kontemporer. Hassan Hanafi tenggelam dalam sejarah filsafat. Dia sangat gandrung kepada tokoh-tokoh “murtad”, seperti Spinoza dan Kierkegaard.

 

Kesadaran (pemikiran) filosofis Hassan Hanafi sudah dimulai sejak ia berkenalan dengan Idealisme Jerman, terutama Fichte, filsafat perlawanan dan ego yang menempatkan subjek ego berlawanan dengan non-ego dan pelajaran tentang petunjuk yang simetris antara subjek, objek, dan intensionalitas dalam pandangan Husserl. Idelisme-tran[1]sendentalisme Jerman dijadikan sebagai titik permulaan filsafat Barat bersama-sama dengan filsafat esensialisme Iqbal. Diskursus tentang kesadaran adalah diskursus hati ke hati. Pada tahap ini, Hassan Hanafi adalah penganut idealisme-esensialisme. Itulah yang pada masa berikutnya menjadi domain kesadaran dalam proyek At-Turâts wa at-Tajdîdâh (Tradisi dan Modernitas).

 

Namun demikian, konstruksi kesadaran pemikiran filosofis Hassan Hanafi pada dasarnya ditemukan dan dibentuk di Prancis pada paro akhir tahun 1950-an. Pada tahun 1960-an, Paris menjadi pusat utama pemikiran filsafat kontemporer di dunia. Di sinilah tempat pemikiran-pemikiran yang dominan pada era 1970-an diformulasikan. Di tempat ini Hassan Hanafi mengalami lompatan ideologis dari idealisme ke realisme, pengalaman personal. Pada saat itu ia hanya bisa melakukan tindakan yang mempunyai landasan teoretis. Ia berangkat dari dunia, sense, realitas, manusia, dan benda-benda materiil setelah mengalami sejumlah benturan. Di sini ia secara gradual tenggelam dalam filsafat-filsafat Zurück zu den Sachen selbst (kembali pada benda-benda sendiri)-nya Bergson, Husserl, Heidegger, penyatuan dengan benda untuk mencapai esensinya, hidup dengan benda-benda. Ia menyelidiki kisi-kisi filsafat eksistensi: manusia di dunia, eksistensi manusia, realitas manusia, tubuh, waktu, kehidupan, kesadaran, penemuan, kegelisahan yang menggerakkan, gundah, dan keterbatasan. Buku Being and Time (Ada dan Waktu) karya Heidegger membuat Hassan Hanafi menyadari dunia dan metafisika yang ada (ontologi).

 

Namun demikian, sebagaimana yang diakuinya sendiri, Hassan Hanafi sejak semula (baca:kecil) cenderung lebih mengagumi Geist (spirit) dan idealisme Jerman, dan penyatuan spirit dan fisik daripada yang lain. Makalah pertama yang ditulis semasa di universitas adalah Al-Khashâ’ish al-Musytarikah bain ar-Rûh al-‘Arâbiyyah wa ar-Rûh al-’Ilmâniyyah. Spiritualitas kedua peradaban itu adalah seruan kepada ide, alam, potensi, nalar, otoritas, dan sistem. Kekaguman itu terus berlangsung sampai sekarang. Oleh karena itu, ketika ia memahami idealisme Jerman dengan sempurna maka ia menjadi fenomenolog, menjadi “Fichte”, sang filsuf tanah yang handal, filsuf oposisi, filsuf penggerak nasionalisme, dan menjadi Hegelian Kiri pasca neo-Kantian. Demikian itu jika dikaitkan dengan kondisi objektif kehidupan bangsa Arab yang didominasi oleh tradisi klasik. Artinya, Hassan Hanafi hendak mentransformasikan agama ke dalam filsafat berdasarkan filsafat Hegel, mentransformasikan filsafat ke dalam dunia berdasarkan filsafat Feuerbach.

 

Perhatian Hassan Hanafi terhadap filsafat Islam sudah terbangun semenjak dia masih di Mesir, sebelum berangkat ke Prancis. Di luar kampus ia membaca karya-karya Hassan al-Banna, Sayyid Quthub, Abu al-Hassan an-Nadwi, Muhammad al-Ghazali dan pemikir-pemikir muslim kontemporer ternama lainnya. Saat itulah ia merasakan sesuatu terjadi dalam dirinya. Ia menyadari akan kebangkitan Islam dan umat Islam, menyadari eksistensi, kehidupan, realitas, masyarakat, negara, masa depan, dan misi kehidupannya. Dalam graduasi pengalaman kampus ia mendengar pengetahuan tentang sepuluh akal, akal aktif, esensi dan atribut, dan fisika Ibn Sina. Semua pengetahuan itu terasa asing dan seolah-olah bukan merupakan bagian dari tradisi Islam. Jiwanya berada di tengah-tengah kaum pembaru, namun nalar (rasio kritis)-nya berada di kampus yang kosong dari diskursus tentang problematika dan tantangan yang dihadapi umat Islam dan dunia Islam. Kenyataan seperti ini muncul akibat metode pengajaran di universitas yang menggunakan sistem imla’ dan talqin. Saat itu ia mencabut diri dari filsafat Islam sebagaimana ia melepaskan diri dari Ilmu Kalam yang semata-mata bersifat teoretis dan tidak menyentuh realitas kehidupan umat Islam. Pengajaran hanya diberikan untuk membaca dan menghafal masa lampau, sama sekali tidak ada refleksi terhadap masa kini. Metode pengajaran dan materi kuliah tidak bersentuhan sama sekali dengan realitas di luar kelas. Dalam konteks ini ia berada pada posisi minoritas. Ketika mempelajari tasawuf, untuk yang pertama kalinya ia menyadari urgensi kembali pada Al-Qur’an sebagai neraca utama, urgensi relasi antara tauhid Islam dan wahdah asy-syuhûd wa wahdah al-wujûd sebagaimana yang dinyatakan kaum Sufi.

 

Pada tahun yang sama, yakni ketika Hassan Hanafi berada pada tingkat tiga, dia mendengar Iqbal yang berbicara tentang makna hidup, penciptaan, inovasi, potensi, jihad, esensialisme, dan masyarakat. Di situ ia menyadari bahwa pemikiran Islam itu mengakumulasikan masa lampau dan masa kini, dan melakukan konseptualisasi terhadap realitas umat Islam. Hal ini berbeda dengan teori-teori sepuluh akal, esensi dan atribut, serta maqâmât dan ahwâl. Inilah jenis filsafat yang diinginkan Hassan Hanafi. Dia menempatkan Iqbal vis-a-vis Kierkegaard, Sartre, Marcel dan kaum eksistensialis lainnya. Dari sini ia mulai aktif untuk membuat sebuah paradigma Islam yang universal, yang didasarkan pada nalar baik dan buruk, kesatuan kebenaran, kebaikan dan keindahan (estetika).

 

Krisis kehidupan intelektual di berbagai universitas di Mesir, penindasan terhadap Ikhwanul Muslimin, dan krisis penelitian intelektual Islam yang dikombinasikan dengan krisis diri Hassan Hanafi pada akhirnya memberi dukungan kepada dirinya untuk berkonsentrasi pada proyek pembaruan Islam. Pada titik ini ia menyatakan:

“aku ke masjid Umar dan membaca Al-Qur’an. Di sinilah untuk pertama kalinya aku merasakan intuisi filosofis Al-Qur’an, urgensi dunia kesadaran dan kepekaan, dan tuntutan kontinuitas perjuangan ...” “Tak ada waktu luang untuk musik maupun bermain biola. Ide Islam kontemporer mulai berdengung di telingaku seperti sebuah melodi. Melodi musik itu kosong tanpa muatan ide-intelektual. Aku tidak bisa tetap di Mesir. Apa yang akan aku pelajari?”

 

Oleh karena itu, di dalam diri Hassan Hanafi mengalir dua kesadaran, yakni cogito rasionalisme dan ego eksistensialisme yang direpresentasikan dalam delapan tahun masa hidupnya: idealisme[1]rasionalisme (1956–1960) dan realisme-eksistensialisme (1961–1966). Namun demikian, dia tetap menjaga optimisme idealisme dan mengabaikan pesimisme eksistensialisme, menjaga peranan nalar (‘aql) dalam idealisme dan meninggalkan irasionalitas dalam eksistensialisme, mempertahankan argumentasi pragmatisme dalam idealisme dan menggusur ketidakbergunaan dalam eksistensialisme. Menurutnya, nalar dan realitas sama-sama berorientasi pada satu tindakan: praksis. Adapun yang membuatnya bahagia adalah ketika ia menemukan pandangan tersebut di dalam salah satu bab dari buku Logische Untersuchungen jilid I karya Husserl. Ketika ia melepaskan tradisi agama dari sumber wahyu, maka sempurnalah kesatuan wahyu, nalar, dan realitas. Kesatuan ini menjadi bagian terakhir dari karyanya yang bertitel Manâhij at-Tafsîr (Les Méthodes d’Exégèse). Inilah yang mendorong Hassan Hanafi melakukan penerjemahan karya-karya tentang “agama rasional” (Kant) dan “agama natural” (Lessing). Pada saat itu, Hassan Hanafi lebih dekat pada wahdah al-wujûd (unitas eksistensi) dalam pengertian kehendak subjektif sebagaimana dalam pandangan Ficthe, bukan dalam pengertian abstrak dalam pandangan Schelling, yang melakukan singkronisasi idealisme-subjektif Fichte dan idealisme-objektif Hegel dalam membentuk filsafat identitas. Dia membaca, hidup, berpikir, dan beraksi. Sampai sekarang, baginya, romantisme adalah titik pertemuan antara idealisme dan eksistensialisme, titik pertemuan antara kesadaran dan kehidupan. Di sini, proyek Hassan Hanafi yang ingin menciptakan metodologi dan teologi Islam baru yang universal-komprehensif terus berlanjut namun pendekatannya berubah.

 

Orang yang memiliki andil besar dalam konstruk filosofis Hassan Hanafi adalah Jean Guitton. Ia adalah murid Bergson yang menjadi Guru Besar Ilmu Filsafat di Sorbonne University dan sebagai tokoh pentolan modernis Katolik Roma. Dialah yang memandu Hassan Hanafi dalam membaca dan mengkaji filsafat Barat. Dia juga yang memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam hal-hal praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Metode dan perspektif umum Guitton sangat tepat bagi pengembangan pemahaman Hassan Hanafi tentang pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi-posisi yang berbeda. Hassan Hanafi banyak belajar dari Guitton tentang urgensi starting point dalam filsafat. Filsafat membutuhkan titik permulaan yang diperdalam oleh seorang filsuf dan setelah itu digeneralisasikan sedemikian rupa sampai pada metafisika murni. Dialah yang sangat berpengaruh bagi kesadaran Hassan Hanafi tentang kehidupan, transformasi dari idealisme ke realisme, dan transformasi dari pikiran ke eksistensi. Dengan demikian, relasi Hassan Hanafi dengan Guitton adalah seperti relasi Aristoteles dengan Plato, Marx dengan Feuerbach, dan Feuerbach dengan Hegel. Dia mengembangkannya dari idea ke realitas, dari spirit ke dunia, dari kesadaran personal ke kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dari agama ke revolusi, dari Barat ke Timur, dari Masehisme ke Islam.

 

Hassan Hanafi menggunakan kritik negatif padahal Guitton ingin melestarikan kaidah-kaidah keimanan. Dia mengonstruk Teologi Revolusi padahal Guitton takut menjadi Marxisme dan bahwa ia takut kekerasan (violence) dan keimanan akan dirasuki hal-hal yang bukan merupakan bagian dari iman. Karena itu, aliran-aliran filsafat akan berkembang melalui kontradiksi dan akan mati dan berakhir melalui keseragaman.

 

Hassan Hanafi berangkat dengan metode dasar sosio-legal pemikiran Islam, memanfaatkan perspektif yang mengakumulasikan perspektif-perspektif Islam tentang ta’wîl (interpretasi esoteris) dan tafsîr (Quranic exegesis) dengan pendekatan-pendekatan kontemporer, yakni dengan menggunakan analisis filsafat dalam rangka membongkar kebekuan (stagnasi) generasi muslim. Untuk itu, ia menulis karya monumental bertitel Les Méthodes d’Exégèse: essai sur La Science des Fondements de la Compréhension “’Ilm Ushul al-Fiqh” (Metode Penafsiran: Essai tentang Ilmu Pengetahuan Dasar-Dasar Pemahaman dalam Bidang Ushul Fiqh). Karya ini merupakan upaya pertamanya merekonstruksi peradaban Islam pada level kesadaran untuk mengeksplorasi diri-subjektif sehingga dapat melakukan pemilihan kembali terhadaap sumber dan pusat peradaban dan mentransformasikannya dari teosentris, yakni peradaban yang berpusat pada Tuhan, ke antroposentris, yakni peradaban yang berpusat pada manusia. Introduksi yang ditulis adalah permulaan bagi proyek At-Turâts wa at-Tajdîd tentang kritik terhadap metode-metode kaum orientalis dan Islamisis dalam mengkaji “tradisi”, pembuatan metode analisis pengalaman-pengalaman kesadaran, dan deskripsi praksis-praksis pseudo-morfologi linguistik. Dalam hal ini ia tidak hanya berkutat pada aras epistemologis, tetapi ia ingin melakukan pembebasan manusia dari berbagai penindasan dan ketidakberdayaan. Inilah yang membedakannya dari Arkoun maupun Al-Jabiri.

 

Hassan Hanafi tidak menutup mata terhadap fenomena riil Dunia Islam yang tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan Barat. Oleh karena itu, ia melakukan kajian terhadap perkembangan kesadaran filosofis Eropa dengan kacamata kesadaran non-Eropa. Orientasinya adalah melihat kesadaran Eropa dengan kesadaran distingtif yang netral-objektif. Hal ini dilakukan setelah ia melakukan pembacaan kritis terhadap filsafat Eropa yang bermula pada cogito-eksklusif Descartes dan berakhir pada cogito-inklusif Husserl, dan mengkomparasikan rasionalisme dengan eksistensialisme. Ia ingin mendeklarasikan akhir dari kesadaran Eropa dan permulaan kesadaran Dunia Ketiga yang direpresentasikan oleh peradaban bangsa-bangsa non-Eropa: Mesir, Cina, dan India. Pada saat itu Mesir telah mendominasi dunia dengan pembebasan dan sosialismenya. Seluruh dunia berbicara tentang gerakan-gerakan pembebasan nasional yang terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Perang kemerdekaan nasional Aljazair sangat dominan di Prancis dan dinamika Latin menjadi sumber revolusi dunia.

 

Hassan Hanafi merelasikan aliran-aliran filsafat Eropa dengan hukum aksi dan reaksi. Untuk itu, konstruk kesadaran Eropa terdiri atas gelombang kesadaran imanen (nâzil) yang direpresentasikan oleh empirisme dan gelombang transenden (shâ’id) yang direpresentasikan oleh rasionalisme serta aliran-aliran filsafat kehidupan dan filsafat ke[1]hendak yang bergelayutan di antara empirisme dan rasionalisme. Di situlah terdapat naturalisme, spiritualisme, dan eksistensialisme. Sumber utama evolusi kesadaran Eropa adalah Yunani-Romawi dan Yahudi-Masehi. Di sini Hassan Hanafi berkonsentrasi pada perkembangan pemahaman agama bangsa Eropa yang berawal dan berakhir pada Kant (agama rasional) dan Kierkegaard (agama eksistensial).

 

Setelah melakukan pembacaan atas Husserl, berkenalan dengan fenomenologi, dan permulaan kesadaran personal-individual dan kesadaran peradaban, Hassan Hanafi melahirkan karya yang bertitel L’Exégèse de la Phénoménologie, L’ Etat actuel de la Méthode Phénoménologique et son application au phénomène religieux (Tafsir Fenomenologi: Status Quo Metode Fenomenologi dan Implikasinya pada Fenomena Agama). Di dalam karya ini ia menggunakan metode interpretasi untuk memahami fenomenologi dan mentransformasikannya ke dalam fenomenologi implikatif-dinamis dan menginterpretasikannya sebagai intuisi-religius-ideal. Rujukan implikasinya adalah dalam fenomena agama, filsafat agama, filsafat mediasi, dan filsafat konsepsi, dalam fenomenologi agama, fenomenologi objek, aksi, ataupun interpretasi. Jika diasumsikan bahwa fenomenologi adalah teori tentang konsepsi kesadaran personal dan kesadaran peradaban Eropa, terutama yang berkaitan dengan upaya peletakan kaidah-kidah metodologi fenomenologi dalam tiga hal: penangguhan, pembangunan, dan penjelasan nilai yang dahulu Bangsa Eropa hanya mengenal dua hal, maka ia membawa angin baru. Dalam kerangka ini, filsafat Barat dalam pandangan Hassan Hanafi, khususnya idealisme transendental, adalah reinkarnasi Khatbah di Atas Bukit-nya Al-Masih, sedangkan Kant dan Fichte hanyalah neo-al-Masih.

 

Dengan menggunakan kekuatan analisis fenomenologis Hassan Hanafi juga melahirkan karya ilmiah yang ketiga dengan titel La Phénoménologie de L’Exégèse, Essai d’une Herméneutique existentielle a partior du Nouveau Testament (Fenomenologi Interpretasi: Upaya Penafsiran Eksistensialis yang Dimulai dari Perjanjian Baru). Karya ini merupakan implikasi khusus dari metodologi fenomenologi dalam fenomena agama. Ia menggunakan Perjanjian Baru sebagai starting point yang disignifikansikan dengan tiga teori kesadaran, yakni historis, spekulatif, dan praksis. dari situ kemudian lahirlah karya yang bertitel Pengantar Studi Filsafat. Di sini, Hassan Hanafi mencoba menemukan korelasi teks dan realitas dalam kasus Perjanjian Baru. Di sinilah ilmu kritik historis terhadap kitab suci mulai dikenal di samping aneka ragam kritik, khususnya yang konservatif, liberal, dan aliran sejarah bentuk sastra. Realitas adalah basis teks dan teks berkembang mengikuti perkembangan realitas. Di samping itu, pengalaman manusia juga berada di belakang teks. Bahkan sebenarnya, kalam Tuhan adalah kalam manusia yang terbentuk oleh eksperimen dan pengalamannya. Jadi, eksistensi manusia, baik personal maupun komunal, merupakan sumber kelahiran teks.

 

Proyek untuk menyandingkan ‘tradisi’ dan ‘modernitas’ direalisasikan oleh Hassan Hanafi dengan melakukan pembacaan kritis terhadap tradisi dengan landasan analisis fungsional-efektif. Ia sangat menghindari generalisasi dan reduksi. Sebab ia menyadari bahwa intensionalitas pembaca (al-qâri`) memberikan peluang terhadap “relativitas sebab yang melahirkan pluralitas akibat”. Tekanan pada intensionalitas subjek berakibat pada pengorbanan objektivitas teks demi kepentingan subjek (al-qâri`). Subjek sangat dominan dalam menentukan makna teks. Dari sinilah akan muncul pluralitas tafsir yang berarti juga pluralitas intensionalitas dan prestasi. Akibatnya, aroma stagnasi pemikiran dan strategi kebudayaan dapat dibongkar. Masyarakat tidak lagi berselimut dalam ketidakberdayaan, melainkan akan selalu bergerak mewarnai gerak zaman dan berlomba menorehkan tinta emas dalam sejarah.

 

Pemikiran Hassan Hanafi senantiasa mempresentasikan hubungan dialektis antara subjek diri (al-Ana, Self) dan yang lain (al-Akhar, Other) dalam proses sejarah. Demikian itu adalah dalam rangka melakukan reinterpretasi terhadap tradisi yang relevan dengan tuntutan kontemporer. Teori pengetahuan Hassan Hanafi mempunyai paradigma kebenaran relatif dengan rasio sebagai sarana untuk mencapai kebenaran. Untuk itu, terjadi sebuah relasi kesadaran subjek dengan realitas objektif. Realitas dipandang sebagai objek sejauh ia dipersepsikan subjek dengan kesadaran. Jadi, terdapat relasi-unifikatif di antara subjek, objek, dan kesadaran.

 

Kesadaran manusia terhadap apa yang dilakukan akan menghasilkan keabadian. Keabadian merupakan perbuatan manusia dalam sejarah peradaban. Melalui perbuatan atau tindakan, manusia dapat mengenali kesatuan antara yang faktual dan yang ideal, dan dapat mentransformasikan kesatuan yang hanya merupakan proyeksi menjadi kesatuan yang sebenarnya. Tauhid bukanlah sebuah fakta, realitas, ataupun gagasan, melainkan merupakan sebuah proses yang tercipta melalui tindakan manusia. Dalam hal ini, subjek merupakan pusat kesadaran; realitas dipandang sebagai fenomena yang ditangkap sebagai data, dan data, bagi Hassan Hanafi, merupakan dasar praksis manusia.

 

Kesadaran tidak pernah bersifat pasif. Menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Sesuatu yang disadari dijadikan sebagai sesuatu yang-ada-bagi-saya. Kesadaran tidak seperti cermin atau foto. Kesadaran merupakan praksis, tindakan. Untuk itu terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan objek kesadaran (noema). Kendatipun demikian, interaksi ini tidak boleh dianggap sebagai kerja sama antara dua unsur yang sama-sama penting karena pada akhirnya yang tersisa hanya kesadaran. Objek yang disadari (noema) hanyalah suatu ciptaan kesadaran. Di sini tidak ada bipolaritas ‘kesadaran dan alam’, ‘subjek dan objek’ dan mengatasi cogito Cartesian yang tertutup.

 

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bagaimana corak atau watak pemikiran Hassan Hanafi yang hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Sebagai anak zaman, Dia merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional dikarenakan ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana tradisional sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan yang akan datang. Bahkan ia tidak termasuk dalam kategori fundamentalis dikarenakan ia memakai analisis intelektual dengan penekanan pada rasionalitas.

 

Hassan Hanafi merupakan seorang reformis pemikiran Islam yang telah berusaha keras untuk mengakumulasikan pemikiran fenomenologi dengan aplikasi metodologi dialektika yang didasarkan pada kesadaran. Semua ini dilakukan dalam rangka membebaskan masyarakat muslim dari keterbelakangan dan determinasi, baik internal maupun eksternal. Sebagai pemikir yang menyadari urgensi historisitas, dia senantiasa beranjak dari konteks sejarah dalam rangka menapaki kehidupan kontemporer. Oleh karenanya, ia senantiasa berupaya melakukan rekonstruksi terhadap tradisi yang merupakan fakta sejarah dalam menjawab problema kontemporer. Inilah yang membuat corak pemikirannya berwatak dinamis dan progresif yang dibingkai dalam proyek At-Turâts wa At-Tajdîd (Tradisi dan Modernitas). Dengan demikian, ia adalah salah seorang pemikir post-tradisionalis yang berupaya melakukan dekonstruksi dan sekaligus rekonstruksi terhadap tradisi.

 

Hassan Hanafi memandang dirinya sebagai “penyulut obor” bagi zamannya dalam upaya memberi pencerahan (at-tanwîr, aufklarung). Ia merupakan seorang pemikir yang menggunakan rasionalitas di samping tetap menghargai dan tidak mengabaikan aspek perasaan manusia. Rasionalitas yang digunakan bersama-sama dengan kekuatan perasaan selalu diwarnai pertimbangan sejauh mana pemikiran itu mampu lebih aktual. Artinya, di samping tuntutan relevansi dengan jalan pikiran manusia, ia sekaligus memberi kemanfaatan dan kesejahteraan bagi manusia. Aspek rasio dan konteks tuntutan umat harus menjadi starting point bagi sebuah pemikiran.

 

Buku Studi Filsafat ini, yang diterjemahkan dari buku Dirâsât Falsafiyyah, merupakan buku yang memuat eksplanasi dan eksplorasi tentang transformasi yang terjadi dalam upaya mengarahkan cita-cita masyarakat pada tahun 80-an tentang strategi kebudayaan maupun siklus-siklus keilmuan. Buku ini tidak berisi tentang teori-teori filsafat yang idealistik dan terkesan mengawang-awang, melainkan berisi tentang filsafat Islam, terutama pemikiran Islam kontemporer dalam tema-tema pokok tentang tradisi dan reformasi. Pada bagian ini Hassan Hanafi berbicara tentang persoalan-persoalan tradisi, strategi kebudayaan, kebangkitan kebudayaan, filsafat, politik, dan perubahan sosial yang didasarkan pada pengalaman Mesir. Hassan Hanafi juga melengkapi tulisannya dengan mengupas persoalan tentang Filsafat Barat Modern dalam pandangan Kant dan Vico serta Filsafat Barat Kontemporer dalam pandangan Feuerbach dan Ortega. Dengan demikian, pembaca diajak untuk melanglang buana dalam proses dialektika menuju identitas sebagai pribadi-pribadi yang berpikiran sehat dan mempunyai kepedulian terhadap persoalan-persoalan yang sedang menyelimuti realitas yang mengelilinginya

 

Dikutip dari Miftah Faqih dalam Pengantar Penerjemah buku Studi Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Studi Filsafat I; Pembacaan Atas Tradisi Islam Kontemporer pdf

Studi Filsafat II; Pembacaan Atas Tradisi Barat Modern pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer