Pages

Senin, 28 Maret 2022

Trajektori Historisitas Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 140-1680

Diambil dari spotwisata.com

Sejarawan Perancis, Lucien Febvre, dalam mengkritik pendekatan Toynbee yang terlalu disederhanakan, memberikan tamsil. Seorang raja pada menit terakhir sebelum maut datang menjemput, meminta wazir istana menceritakan keseluruhan sejarah dari dahulu sampai sekarang. "Baginda," kata wazir yang bijaksana itu, "manusia-manusia itu lahir, mencintai, dan meninggal."

 

Begitu naifnya pendekatan sejarah semacam itu, seakan-akan orang (termasuk raja) tidak butuh makan dan minum, tidak perlu busana, kecuali lahir-kawin-mati. Memang dapat dimengerti sikap wazir tersebut, sang raja sedang sekarat, tidak punya waktu lagi untuk mendengar sejarah yang berpanjang lebar. Namun dalam keadaan normal yang dibutuhkan adalah sejarah total. Sejarah yang tidak hanya terpaku kepada raja dan lingkungan istana. Tidak terbatas kepada persoalan politik dan perang, tetapi menyangkut semua aspek kehidupan, dengan kata lain berdimensi multidispliner.

 

Buku yang ditulis oleh Anthony Reid ini termasuk dalam jenis sejarah total, bahkan termasuk yang pertama mengenai Asia Tenggara yang memakai pendekatan tersebut. Buku ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama (terbit tahun 1988) telah diterjemahkan oleh Mochtar Pabottingi ke dalam bahasa Indonesia tahun 1992 dengan judul Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, jilid l· Tanah di Bawah Angin (dengan kata pengantar dari Onghokham). Sedangkan jilid II terbit tahun 1993 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tahun ini (1999).

 

Kedua volume pernah diterbitkan dalam satu buku oleh Silkworm Press (Chiang Mai, 1995) dengan tujuan memberikan kesempatan untuk menilai sumbangan buku ini bagi studi Asia Tenggara. Tidak diragukan lagi bahwa kajian Reid yang ambisius dan berlingkup luas telah menarik perhatian ilmuwan Asia Tenggara bahkan yang berada di luar wilayah ini. Ini menjadi pendorong untuk membuat studi lanjutan tentang wilayah ini pada periode yang lain.

 

Menurut Norman G. Owen, sejarah Asia Tenggara dapat dibagi menjadi tiga periode panjang. Pertama, era klasik yang menghasilkan candi besar seperti Borobudur, Angkor, dan Pagan. Kedua, zaman modem yang ditandai dengan kolonialisme dan pascakolonialisme. Terjepit di tengah adalah masa tradisional, dari abad ke-13 sampai ke-18. Periode ini cenderung tampil statis, kontras dengan masa pembangunan monumen pada negara klasik dan dinamika perdagangan dari kolonialis modern.

 

Namun kesimpulan kita akan berubah dengan munculnya buku Reid. Jilid 1, The Landt; Below the Wmds, dilengkapi dengan rincian tentang kehidupan sehari-hari dari makanan sampai minuman, perbudakan serta praktik seksual di kerajaan-kerajaan dengan bahasa, agama, dan adat yang berlainan. Jilid II lebih ambisius. Reid mencoba menggambarkan kurun niaga yang disertai urbanisasi, revolusi keagamaan dan kebangkitan monarki absolut yang berkembang abad ke-15 dan runtuh abad ke-17 di kawasan ini. Jilid I ibarat gambar (lukisan) sedangkan jilid II adalah kisah.

 

Buku ini memiliki berbagai kelebihan. Mengumpulkan data saja dari masyarakat berbagai negara di Asia Tenggara sudah merupakan pekerjaan luar biasa. Kepustakaannya terdiri 500 sumber dari lebih 20 bahasa Eropa dan Asia. Juga disertakan peta dan ilustrasi (kapal, senjata, tanaman rempah dan benteng, raja, saudagar, kuil, dan masjid).

 

Pendekatan komparatif sering memperjelas sesuatu yang tampak kabur bila dilihat dalam konteks terbatas pada satu negara: kejayaan alat tukar perak, "revolusi kemiliteran" (senjata api dan perahu bermeriam), kebangkitan dan kejatuhan komunitas pedagang asing, kecenderungan penguasa memeras warganya (dengan meminta sepersepuluh sampai sepertiga dari seluruh hasil tanah mereka). Reid juga menengarai kesejajaran di antara agama-agama baru dalam hubungannya dengan kesejahteraan, keberanian berperang, tulisan, dan penyembuhan.

 

Upaya untuk mencocokkan pengembangan khas lokal dengan pola umum regional tentu menimbulkan berbagai pertanyaan, tetapi di sinilah terletak kekuatan buku Reid, bukan kelemahannya. Sebagaimana halnya karya Fernand Braudel La Mediterranee et le monde mediterran een a /' epoque de Philippe (Mediterania dan Dunia Mediterania pada Masa Philip II) menjadi sebuah model bagi satu generasi sejarawan Eropa, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga, berdasar model Braudel, untuk tahun-tahun mendatang, menjadi titik tolak kajian sejarah total kawasan ini.

 

Reid melontarkan ide bahwa Asia Tenggara yang miskin, rural, dan inward-looking yang dihadapi oleh para kolonialis Eropa abad XIX adalah produk dari defisit budaya yang inheren. Padahal sebelurnnya, Asia Tenggara relatif sejahtera, dengan tingkat urbanisasi yang tinggi dan terbuka terhadap serangkaian ide dan teknologi yang menjanjikan peningkatan kebutuhan material dan spiritual. Jauh dari kekurangan etos ekonomi seperti diklaim belakangan oleh kolonialis: seorang Jawa, seperti dikatakan oleh seorang penjabat Belanda tahun 1600, "mau menjual ayahnya sendiri untuk mendapatkan sedikit uang."

 

Era kesejahteraan yang berlandaskan perdagangan ternyata tidak berumur panjang. Kurun Niaga Asia Tenggara yang pertama dihancurkan oleh krisis abad XVII yang disebabkan oleh alasan yang sekarang cukup familiar: pemerintah yang lebih kuat dan lebih boros memeras sampai mati para saudagar yang telah berjasa membangun ekonomi negara; penurunan secara umum dalam perdagangan dunia, yang berkaitan dengan krisis moneter internasional; dan upaya penciptaan monopoli regional dan perubahan iklim global.

 

Tidak ada buku sebelum ini yang begitu memerhatikan kehidupan sehari-hari orang biasa di Asia Tenggara. Jilid dua dapat dibaca tersendiri sebagai penjelasan tentang apa makna abad perdagangan itu sebagai suatu periode bagi Asia Tenggara. Tetapi bersamaan dengan jilid pertama, The Lands Below the Winds tujuannya adalah menyampaikan sebuah "sejarah total" yang di dalamnya peperangan, dinasti kerajaan dan pedagang asing tidak lagi menjadi prioritas melebihi masalah makanan, kesehatan, dan hiburan bagi orang awam.

 

Anthony Reid berkeyakinan bahwa memandang Asia Tenggara sebagai suatu kesatuan, memungkinkan kita untuk menerangkan sejumlah bidang ke hidupan yang, jika tidak, akan tetap tinggal kabur. Ini lantaran, untuk setiap bidang budaya, sumber-sumbernya sangat fragmentaris. Jika kita menelaahnya bersama-sama, suatu gambaran yang padu tentang gaya hidup di kawasan tersebut secara keseluruhan mulai muncul. Sekalipun sangat beragam dalam ha! bahasa dan kebudayaan, kawasan ini berhadapan dengan keadaan cuaca, lingkungan dan perdagangan yang sama, dan karena itu mengembangkan seperang· kat kebudayaan material yang sangat mirip.

 

Tujuan studi ini ialah untuk menunjukkan bagaimana sejarah total dapat menampilkan masalah-masalah yang penting selama dua abad sebelum tegaknya hegemoni niaga Belanda di Asia Tenggara. Sejauh dimungkinkan oleh ketersediaan sumber, penulisnya telah memusatkan perhatian pada hal-hal dan perubahan-perubahan yang paling memengaruhi penduduk secara luas. Jadi perhatian bukan lagi ditujukan semata-mata kepada para penguasa atau tokoh-tokoh asing sebagaimana dalam buku sejarah Asia Tenggara lazimnya.

 

Buku jilid II ini menjelaskan proses keterlibatan Asia Tenggara dalam pe.rdagangan intemasional pada bab pertama. Fokus bah kedua adalah kota-kota maritim dan pelaksanaan perdagangan di bawah perlindungan raja. Bab ketiga menguraikan interaksi kompleks antara lingkungan ekonomi dengan agama dunia (terutama Islam dan Kristen), dan bagaimana peningkatan "rasionalisasi" kepercayaan lokal dapat membantu semangat dagang. Bab keempat mendiskusikan implikasi keberhasilan ekonomi tersebut. Penguasa absolut yang menguasai pelabuhan besar menjadi kuat karena kemampuan mereka memonopoli perdagangan lokal dan akses mereka terhadap teknologi militer Eropa. Meskipun demikian, penguasa kerajaan itu meninggalkan persoalan mendasar, karena kurun niaga "gagal menciptakan model yang memuaskan bagaimana pemerintah dapat kuat dan sekaligus mematuhi hukum."

 

Bab lima membahas asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara. Kemiskinan yang berasal dari kontrol Eropa terhadap kota-kota yang dominan di pesisir Asia Tenggara, kemunduran politik, pola musim yang tidak menguntungkan, penarikan diri dari perdagangan internasional, membantu menciptakan "krisis abad ke-17" yang dari situ dapat ditelusuri "keterbelakangan" (underdevelopment) Asia Tenggara yang masih tersisa sampai hari ini.

 

Tesis dasar dari buku jilid dua adalah perubahan dalam ekonomi maritim internasional mulai tahun 1450 mendorong kesejahteraan perdagangan yang sebelumnya tidak memiliki preseden, bersama-sama dengan kosmopolitan isme kultural clan suatu kecenderungan menuju politik yang tersentralisasi di seluruh Asia Tenggara yang berlanjut sampai penurunan ekonomi medio abad ke-17. (Victor Lieberman, 1995, halaman 797)

 

Reid memulai buku ini dengan menggambarkan pertumbuhan permintaan Eropa, Lautan India, clan Cina terhadap produk Asia Tenggara. Stimulus perdagangan maritim disajikan sebagai penggerak utama perubahan. Dengan mempergunakan sumber primer clan sekunder dari 5-6 bahasa yang berbeda, Reid secara kuantitatif menggambarkan perdagangan lada, rempah-rempah, tekstil, dan perdagangan intraregional. Kemudian ia secara sistematis menganalisis dampak dari ekspansi perdagangan terhadap monetisasi lokal, kredit clan struktur pasar, organisasi pedagang, kehidupan perkotaan, praktik agama.

 

Berbeda dengan periode sesudahnya, antara tahun 1450..1630, pedagang clan pelaut Asia Tenggara (orang Melayu, Mon, clan Pesisir Utara) menjadi aktor utama, bersaing dengan Portugis clan India. Urbanisasi memperlihatkan vitalitas yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun 1650 sekitar sejuta penduduk atau 5 O/o dari keseluruhan populasi di wilayah ini, tinggal di kota yang berpenduduk 30.000 orang atau lebih, sebuah proporsi yang jauh lebih besar dari Eropa Utara.

 

Kemudian, di Nusantara, kota-kota baru dan pasar menciptakan jaringan untuk penyebaran Islam clan Kristen yang disebut Reid sebagai revolusi agama. Animisme yang selama ini menjadi agama Asia Tenggara berhadapan dengan agama kitab suci. Reid menggambarkan bagaimana konversi agama ini terjadi dari animisme menjadi Islam atau Kristen.

 

Perubahan clan Kesinambungan

 

Kurun niaga telah mengubah Asia Tenggara clan memungkinkannya menjadi pemeran penting dalam perdagangan dunia. Cengkih, pala, lada, clan kayu cendana yang dihasilkannya merupakan komoditas utama dalam perdagangan antarbenua: geografinya memungkinkan banyak terlibat dalam perdagangan maritim, sistem politiknya sangat terbuka bagi pengaruh dari luar. Melonjaknya jumlah rempah-rempah Maluku di Laut Tengah, sangat banyaknya armada Cina yang dikirim ke Asia Tenggara dan ekspor lada secara besar-besar, tampaknya berawal di sekitar tahun 1400. Puncak perdagangan yang sangat menguntungkan itu berlangsung dalam tahun 1570-1630. Setelah itu mulai berlangsung penurunan yang mencapai titik bawahnya pada tahun 1680.

 

Braudel mengatakan dengan tanpa mengecilkan peranan dari individu dan keadaan, ia yakin bahwa masa pertumbuhan ekonomi selama abad ke-15 dan ke-16 menciptakan situasi yang senantiasa bermanfaat bagi negara-negara yang besar dan kecil. Dalam kurun niaga terjadi perubahan besar, kota-kota bermunculan dan menjadi makmur, daerah tertentu di Asia Tenggara beralih menganut agama besar yang universal dan sebagian besar penduduknya bergantung kepada perdagangan internasional untuk sumber hidup, pakaian bahkan makanan.

 

Kurun niaga ditandai oleh inovasi berkesinambungan, oleh penggunaan dan penerimaan secara terus-menerus gagasan-gagasan baru. Kota-kota berpasar yang multietnik itu menentukan derap perubahan dan menyebabkan orang-orang Asia Tenggara terlibat dalam perdagangan dunia.

 

Baik kaum Marxis maupun nasionalis generasi masa lalu, sama-sama percaya bahwa pernah ada evolusi yang "wajar" dari masyarakat-masyarakat Asia ke arah kapitalisme namun kemudian terhalang di sekitar masa modern karena distorsi kolonialisme. Untungnya, kini makin sedikit pendapat bahwa kapitalisme merupakan tahapan yang harus dilalui setiap masyarakat dalam perkembangannya. Dipisahkan dari feodalisme Eropa dan sosialisme seperti diramalkan Marxisme, maka kapitalisme kehilangan sebagian besar manfaatnya sebagai suatu kategori. Seperti dikemukakan Braudel, kapitalisme (istilah yang tidak pernah digunakan oleh Karl Marx) tidak ada dalam masyarakat praindustri kecuali sebagai "sesuatu yang terpisah, yang berbeda dan sesungguhnya asing dari konteks sosial dan ekonomi yang mengitarinya."

 

Namun dalam kenyataannya, kata sifat itu banyak manfaatnya. Di Asia Tenggara sedikit banyaknya terdapat pelaku-pelaku kapitalis (khususnya dalam perdagangan antarbenua), institusi-institusi kapitalis dan metode-metode kapitalis, seperti juga di Eropa dan tempat-tempat lain. Bahkan kawasan ini dalam puncak kurun niaga telah berkembang lebih jauh dibanding dengan bagian dunia lain yang juga bertumpu pada perdagangan maritim, hanya saja kurang berkembang ke arah akumulasi dan mobilisasi modal milik pribadi dan perusahaan-perusahaan.

 

Sementara itu, institusi kapitalis yang paling berhasil di Asia Tenggara (dan mungkin di seluruh dunia) dalam abad ke-17 adalah voe (Vereenigde Oost Jndische Compagnie). Permintaan dunia akan rempah-rempah yang telah mendorong komersialisasi sepanjang kurun niaga itu, menjadi sebab mengapa kekuatan dunia kapitalis yang pertama itu mendirikan pusatnya di Jawa.

 

Para pedagang maritim Asia Tenggara bukan satu-satunya yang dirugikan oleh perdagangan Belanda yang kaya dan solid itu dalam paruh pertama abad ke-17; nasib yang sama juga menimpa sebagian orang Eropa. Namun kerugian yang diderita orang Asia Tenggara jauh lebih parah.

 

Kota-kota di Asia Tenggara juga berkepentingan atas pasar yang baik fungsinya, keamanan hak milik, pemerintahan berdasar hukum, tetapi heterogenitas menyebabkan mereka lebih sulit mewujudkan hal-hal itu. Mereka tidak sanggup bertahan menghadapi persaingan ketat dalam abad ke-17, kecuali bila mereka bersatu dalam sebuah negara yang kuat demi kepentingan-kepentingan mereka yang berbeda. Kurun niaga berakhir dalarn krisis abad ke-17, ketika kota-kota dagang yang diperintah orang-orang Asia kehilangan tempatnya baik dalam perdagangan dunia maupun dalam masyarakatnya sendiri. Krisis itu lebih permanen di Asia Tenggara dan mungkin di seluruh Asia, dibandingkan dengan Eropa. Pernah diperkirakan bahwa peranan Asia Tenggara dalam perdagangan antarbenua jatuh baik abad ke-17 maupun abad ke-18 sementara Eropa hanya terhambat dalam abad ke-17 saja dan naik lagi dalam abad ke-18 (Wallerstein II: 17-18).

 

Narnun pergeseran yang paling penting dalam jangka panjang bukannya menurunnya perdagangan secara mutlak, melainkan berkurangnya kepen[1]tingan perdagangan, para pedagang, kota-kota dan kosmopolitanisme dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Abad ke-17 tidak saja ditandai dengan pengunduran diri dari ketergantungan pada pasar internasional namun juga meningkatnya kebencian atas gagasan-gagasan asing. Negara-negara absolut yang terbentuk dalam persaingan perdagangan, perang dan tenaga kerja, makin banyak beralih pada penonjolan simbolis keunggulannya dalam bidang-bidang yang tidak memerlukan persaingan keras.

 

Perubahan yang paling nyata tetapi juga paling mendasar dalam kurun niaga adalah bidang agama dan budaya masyarakat (mentalitas). Orang Islam dan Kristen seperti halnya orang Yahudi dan pengikut agama Cina, pada mulanya berada dalam keadaan yang di Afrika dinamakan "status karantina," diterima sebagai minoritas pedagang tetapi tidak diharapkan akan mengubah agama penduduk setempat atau menerima mereka. Keberhasilan utama Islam di wilayah bawah angin terjadi antara tahun 1400 dan 1650. Periode islamisasi dan kristenisasi yang paling kuat bertepatan dengan puncak kurun niaga yaitu masa membanjirnya perak tahun 1570-1630.

 

Perubahan-perubahan dalam loyalitas keagamaan sedikit banyaknya ber· sifat permanen. Masyarakat Islam, Kristen, Budha T heravada, Konfusius tetap tidak berubah dan pada satu pihak identitas-identitas itu memisahkan Asia Tenggara dan di pihak lain menyatukannya dengan umat agama yang sama di belahan bumi lain. Namun bila diperhatikan ciri-ciri kebiasaan-kebiasaan yang menyangkut kepercayaan masyarakat, tampak bahwa dalam kurun niaga muncul sikap menolak pada dunia nyata (material), jarak yang makin besar antara manusia dan yang suci dan bangkitnya ukuran-ukuran lahiriah mengenai moralitas personal, di samping persekutuan yang makin jelas antara negara-negara yang makin besar dan norma·norma lahiriah dari agama.

 

Dalam permasalahan pemahaman mengenai manusia yang demikian rumit itu, seperti halnya mengenai dimensi luar di mana perdagangan dan kekuasaan saling menyilang, krisis abad ke-17 menandai perubahan ke arah yang tidak pernah diubah lagi hingga munculnya krisis lain dalam pertengahan abad ke-20. Kalau dimulai dengan daerah-daerah yang lebih jelas ukurannya, maka tampak bahwa kota·kota dagang kosmopolitan mendominasi kehidupan orang· orang Asia Tenggara baik dalam hal demografis, ekonomis, maupun kultural antara akhir abad ke-17 dan pertengahan abad ke20.

 

Pulihnya kekuasaan negara·negara pribumi atas berbagai sumber daya utama dan jalur-jalur niaga di kawasan ini tidak dicapai tanpa melalui pergolakan di daerah-daerah yang sangat besar yang terjadi dalam masa hidup kita, namun hal itu akhirnya berakibat pada berulangnya pertumbuhan ekonomi yang pesat, pertumbuhan kota-kota, sentralisasi negara dan perubahan-perubahan dalam kehidupan dan mentalitas.

 

Perubahan-perubahan dalam soal agama dan nilai-nilai dalam masa kita, sekalipun terjadi dalam wadah loyalitas-loyalitas agama yang telah mapan, tidaklah kurang mendasar dibandingkan dengan yang terjadi dalam kurun niaga. Sekali lagi norma-norma lahirilah mengenai moralitas personal kembali menentukan dibandingkan dunia spiritual yang mengagumkan itu, negara yang berkembang kini kembali telah menciptakan persekutuan dengan norma-norma lahiriah-bukan saja dengan agama-agama kitab suci, melainkan juga dengan modernitas, ilmu pengetahuan, kesehatan, pembangunan, nasionalisme-untuk menghasilkan identitas yang beraneka ragam.

 

Reid tidak bermaksud mengagung-agungkan kurun niaga itu atau meng· gambarkan masa akhirnya sebagai kekalahan atau kegagalan. Bagaimanapujuga hubungan yang kurang mendalam dengan sistem perdagangan dan intelektual dalam abad ke-18 dan bahkan dalam abad ke-19 terlepas dari laporan kolonialnya, menyebabkan keanekaragaman di Asia Tenggara tetap terpelihara.

 

Perbedaan tingkat hidup antara Asia Tenggara dan Eropa baru tampak sejak abad ke-19. Sebelum akhir abad ke-17 sudah jelas bahwa Asia Tenggara tidak akan menempuh jalan yang ditempuh negara-negara kuat yang bersikeras menuntut bagiannya dalam perdagangan dunia.

 

Karena kini Asia Tenggara telah kembali pada jalan tersebut sekali lagi, apa pun hasilnya, maka tahapan pertama kurun niaga kini menjadi lebih relevan. Sementara orang-orang Asia Tenggara secara bersemangat sedang membentuk masa kininya, maka mereka tidak perlu diusik oleh era kolonial, dengan kenangan mengenai melemahnya kekuatan politik, stratifikasi sosial dan kekayaan ekonomi yang terpaksa harus dilepas pada orang-orang lain. Zaman yang lebih awal lagi membuktikan bahwa penduduk Asia Tenggara temyata telah memberikan tanggapan yang kreatif terhadap perubahan ekonomi yang pesat, adanya beraneka ragam bentuk sosial serta kemungkinan politik dan intelektual.

 

Asal-usul Kemiskinan di Asia Tenggara

 

Reid memulai bah mengenai asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara dengan mengutip de Rovere van Bruegel (1787: 350) "Kalau membandingkan Banten di masa lampau, ketika bangsa-bangsa Eropa muncul di Asia, dengan keadaannya yang miskin sekarang, maka orang harus pasrah pada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan kerajaan-kerajaan dan menghancurkannya lagi sekehendakNya, Pusat perdagangan yang terbesar di Ttmur itu telah menjadi tempat orang-orang sial."

 

Uraian pada bagian sebelumnya dari buku ini seharusnya sudah bisa menghilangkan kesan bahwa dunia Timur tidak berubah sementara unsur-unsur dinamika pertumbuhan kapitalis dan perkembangan teknologi hanya terpusat di Eropa. Perkembangan pesat di Eropa abad ke-16 memang secara mendasar mengubah cara-cara interaksinya dengan wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk cara orang Eropa memandang orang-orang Asia.

 

Pada dasamya perubahan-perubahan yang terjadi di Asia Tenggara itu berupa interaksi yang intensif dengan ekonomi global di abad ke 15 dan ke-16 dan pengunduran diri dari ekonomi global di pertengahan abad ke-17. Kedua tahapan itu membawa dampak yang sangat besar dalam setiap aspek kehidupan. Tahapan ekspansif yang dikemukakan sebelumnya memiliki persamaan-persamaan maupun perbedaan dengan perkembangan di Eropa.

 

Persarnaannya antara lain integrasi dalam perdagangan global, komersialisasi produk dan konsumsi, pertumbuhan kota-kota, spesialisasi dalam fungsi-fungsi ekonomi, monetisasi perpajakan, perkembangan teknologi transportasi dan militer yang pesat dan pertumbuhan negara absolut. Sebagai akibat dari pengaruh perdagangan global itu Asia Tenggara memiliki persamaan yang lebih besar dengan Eropa Barat dan Jepang dibandingkan sebagian besar dari daratan Asia.

 

Perbedaan antara Asia Tenggara dengan wilayah lainnya di awal era modern ini tidak kurang penting. Dibandingkan tidak saja dengan Eropa tetapi juga dengan bagian lain dari Asia, di Asia Tenggara tidak terdapat perlindungan yang tegas terhadap milik pribadi sehingga menghambat perkembangan lembaga-Iembaga keuangan dan mencegah akumulasi modal tetap. Pada satu pihak perkembangan pasar yang pesat dan kekuasaan raja pada pihak lain, justru menimbulkan ketegangan-ketegangan dan bukan persekutuan antara keduanya. Dalam jangka pendek keadaan itu dapat diatasi dengan berbagai cara, namun kelemahan penting yang terdapat di setiap pusat perdagangan tersebut tidak memungkin untuk mengembangkan solusi-solusi jangka pendek ke dalam jalur-jalur alternatif guna pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

 

Apa yang menyebabkan kemiskinan di Asia Tenggara dilihat dari hubungan antara penguasa dan rakyat? Pada masa itu, di Campa, rakyat tidak bisa memiliki barang berharga. Sedangkan orang Kamboja hanya bisa memiliki harta selama diperkenankan Raja. Di Tongking, Vietnam Utara, sudah menjadi kebijakan lstana untuk tidak membiarkan rakyat kaya karena dengan itu mereka akan sombong. ltulah sebabnya rakyat di Cochin-china, Vietnam Selatan, ingin tampak lebih miskin daripada yang sesungguhnya. Mereka menguburkan uang dan barang-barang berharga. Begitu pula di Siam (Thailand) penduduk berusaha menyembunyikan barang yang bergerak. Di Birma pemerintah meng[1]hambat rakyat jadi kaya dan di Aceh raja tidak memperkenakan rakyat kuat dan orang kaya berusaha tidak menampakkan kekayaannya. Sebab itu di Mangindanao (Filipina) rakyat tak pernah berusaha kaya kecuali mencari sesuap nasi. Demikian kutipan dari kisah perjalanan orang Eropa yang berkunjung ke berbagai tempat di Asia Tenggara.

 

Penduduk Asia Tenggara kurang berminat mengalihkan hartanya menjadi "modal terpasang" (fixed capital), seperti bangunan, kapal, barang dagangan, atau mesin. Harta biasanya dalam bentuk permata dan pakaian indah yang mudah dibawa bila harus melarikan diri. Kebiasaan membangun rumah panggung dari kayu-mudah hancur dan mudah dibangun kembali-menghambat penumpukan harta dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Mundurnya perdagangan Asia Tenggara dalam abad ke-17 biasanya dijelaskan sebagai kemenangan militer dan ekonomi dari voe, kadangkala ditambahkan dengan munculnya negara-negara pedalaman agraris yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan. Sejak itu Jawa ditandai dengan sikap penolakan atas pelayaran, kelas pedagang yang lemah dan masyarakat yang hierarkis. Faktor ini tampaknya spesifik untuk Asia Tenggara.

 

Yang menarik dalam buku Reid ini adalah dimasukkannya unsur iklim sebagai penyebab krisis ekonomi. la menjelaskan bahwa pada masa itu sifat global dari proses pendinginan itu negatif terhadap panen dan jumlah produksi gandum. Faktor iklim dapat memengaruhi angka ke.matian karena penyakit dan paceklik karena kekeringan.

 

Namun di tengah krisis itu terdapat satu kelompok yang masih bisa bertahan yaitu etnis Cina. Mereka terkenal ulet dan gigih. Di Cina ada pepatah: "Pribumi buta dalam soal dagang, Belanda punya mata satu, sedangkan orang Cina memiliki dua mata."

 

Urbanisme dan Kapitalisme

 

Kapitalisme didukung oleh kelompok pedagang di perkotaan. Selain itu lembaga tertentu seperti perbankan juga ikut menyokong. Kota-kota temama di Eropa telah mengembangkan lembaga impersonal untuk membuat andil dan melindungi modal, sesuatu yang tidak terdapat sama sekali di Asia Tenggara. Ini meliputi bank yang fungsinya di Asia Tenggara masih dilakukan para tukang emas dan orang yang meminjamkan uang. Bursa perdagangan, bank dan perusahaan berizin resmi di Amsterdam, Antwerpen, London dan Paris memungkinkan mobilisasi tabungan bukan hanya dimanfaatkan pangeran dan minoritas pedagang untuk tujuan yang produktif, tetapi juga bagi penduduk kota dan elite pedesaan dalam strata yang luas.

 

Di balik masalah teknik kapitalis ini terletak persoalan politik yang mendalam: Keamanan pribadi dan hak milik, tidak dapat diukur dengan uang, perbedaan ini sangat besar antara Asia Tenggara dengan Eropa.

 

Bagaimanapun negara-kota meliputi pasar dan juga istana dan keduanya memiliki nilai-nilai yang berbeda. Ketika pertumbuhan perdagangan sangat cepat, mungkin pasar mendapat hasil yang lebih besar dari istana. Pendapat Johns tentang Hikayat Bayan Budiman, pada abad ke-16, dengan cerita tentang seorang saudagar yang pergi berdagang dan meninggalkan seekor burung beo untuk menjaga kesucian istrinya, mungkin produk dari individualis yang baru muncul dan etos merkantilisme.)

 

Pilihan budaya dan strategi ekonomi selalu sating memengaruhi dan saling mendongkel. Memang Asia tidak berbeda dengan Eropa dalam perkembangan evolusi tertentunya. Tetapi ada perbedaan mencolok dalam hubungan erat antara kekuasaan dan perdagangan. Di Asia Tenggara para penguasa dan menteri bergiat sepenuhnya dalam perdagangan dan sastra. Mereka menghargai hat itu. Para pedagang cenderung berhasil menjadi pemegang kekuasaan, baik dengan cara bersekutu dengan kekuasaan yang sudah ada maupun dengan membentuk kekuasaan baru. Baik Van Leur maupun Meilink Roelofsz mengemukakan bahwa tidak terdapatnya kelas pedagang dengan etosnya sendiri yang membedakan dengan pihak istana adalah hambatan ke arah perkembangan kapitalisme. Pada masyarakat India atau Eropa Timur, pembedaan kasta pedagang atau minoritas agama dengan para pemegang kekuasaan yang merendahkan mereka juga dianggap sebagai hambatan bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.

 

Perjumpaan antara orang Barat dan Timur terjadi dalam situasi damai dan perang. Orang-orang Portugis dan Eropa lainnya menyadari bahwa mereka memiliki keunggulan tertentu dalam teknologi militer serta organisasi dan menggunakannya untuk memperoleh mata dagangan yang tidak bisa mereka peroleh dengan cara lain. Keunggulan orang Eropa: a) senjata api yang lebih unggul terutama di kapal-kapal, b) benteng yang hampir tidak tertembus, c) orang-orang Asia yang menjadi sekutu-sekutunya.

 

Tahun 1629 sebagai titik balik kemunduran Asia Tenggara, pada waktu itu terjadi kekalahan Aceh semasa Iskandar Muda dan kekalahan Mataram di bawah Sultan Agung dari Belanda. Taktik yang paling disenangi VOC adalah menentukan seorang "raja Kompeni" yang bisa dipaksa untuk menyerahkan hak tunggal pada voe untuk mengekspor lada dengan harga yang rendah dan mengimpor tekstil India dengan harga yang tinggi.

 

Akhirnya penguasa nusantara itu dapat ditaklukkan oleh Belanda meskipun sebelumnya telah menunjukkan perlawanan dan kemampuannya. Sultan Ageng dari Banten aqalah perwujudan dari semangat independensi usaha perdagangan dan inovasi teknologi, terutama sebelum dihancurkan oleh voe. Ageng menjadi pahlawan dalam tragedi klasik Belanda yang ditulis pada tahun 1769. Tampaknya ia adalah orang Asia Tenggara pertama yang mendapat kehormatan semacam itu (Lombard 1990: I: 401).

 

Masalah Negara-Negara Absolut

 

"Raja-raja ini, yang menguasai secara absolut keberuntungan dan hidup warganya, sangat goyah kekuasaannya. Tidak seorang pun atau paling banyak hanya segelintir saja, yang setia dan mencintai rajanya seperti halnya kami mencintai raja kami." (La Loubere, 1691 ; 106)

 

Sanjungan atas penguasa Asia Tenggara senantiasa bertentangan dengan lemahnya keadaan mereka yang sesungguhnya. Kekuasaan penguasa atas rakyat demikian besar dan raja memiliki kekuasaan langsung atas hidup dan mati warganya. Namun semua negara berada dalam proses pembentukan koalisi di antara para penguasa lokal seusai penaklukan. Hubungan antara penguasa dan vasal selalu dirundingkan kembali. Dasar hukum dan birokrasi dari semua negara masih rapuh. Belum banyak batas wilayah yang dinyatakan di antara berbagai penguasa yang penuh ambisi itu. Negara-negara muncul dan hilang secara cepat.

 

Di antara sesama negara absolut itu sendiri seakan terdapat perbedaan peringkat. Semua negara di Asia Tenggara mengakui bahwa Cina lebih besar dan lebih kuat dari mereka sendiri. Dalam abad ke-15 semua penguasa Asia Tenggara akan merasa puas bila memegang surat pengakuan di mana nama negara mereka dicantumkan. Para penguasa dari negara kecil tertentu bahkan pergi sendiri ke Cina untuk menyatakan takluknya dan menerima status vasal dari sang Kaisar. Upeti adalah cara satu-satunya untuk berdagang secara legal dan aman dengan Cina. Dan ternyata cara itu sangat menguntungkan bagi penguasa tersebut dan juga bagi mereka yang mengatur pengiriman-pengiriman tersebut.

 

Dalam lingkungan Asia Tenggara, terdapat tiruan-tiruan dari sistern upeti seperti itu, yang sering hanya merupakan suatu kesernpatan untuk berdagang di pelabuhan yang lebih besar dengan irnbalan pengakuan sirnbolik atas supremasi pelabuhan tersebut.

 

Raja-raja dari negara absolut mernpunyai berbagai kekurangan. Terlepas dari kebesarannya, secara pribadi Sultan Iskandar Muda merniliki kelemahan terhadap wanita rnisalnya ia menginginkan perempuan kulit putih dan meminta dikirirni dua perernpuan lnggris. "Kalau saya bisa mendapat anak dari salah satu dari mereka dan ternyata anak itu laki-laki, saya akan menjadikannya raja Pariaman, Pasaman dan pesisir yang menghasilkan lada yang kau bawa, sehingga engkau tidak perlu lagi meminta lada pada saya, kecuali cukup pada raja Inggrisrnu itu." (Copland 1614: 13). Selain itu, Sultan Iskandar Muda mengambil perempuan sekehendaknya bagi harernnya, kalau suaminya keberatan, maka ia rnemerintahkan kemaluan sang suami dipotong." (hal. 257). Meskipun demikian ia telah berjasa meletakkan dasar hukurn. Iskandar Muda dapat dijuluki sebagai "Bapak Pernbuat Undang-Undang Tertulis" dan undang-undang tersebut dilaksanakan pada masanya dengan empat pengadilan: a) pengadilan kriminal, b) pengadilan agarna, c) pengadilan untuk menyelesaikan soal utang, d) pengadilan untuk masalah-masalah perdagangan.

 

Kelernahan raja absolut lainnya terlihat di Matararn. Arnangkurat I mengembangkan monopoli kerajaan sedemikian rupa sehingga sangat destrukti£ la rnelarang rakyatnya berdagang ke luar negeri, rnenutup pelabuhan untuk jangka waktu yang lama dan tahun 1655 menyita atau menghancurkan perahu· perahu dagang dan perahu nelayan milik penduduk pesisir. Seorang utusan VOC bercerita, "Saya pernah nekad menasihati raja agar ia mengizinkan rakyatnya berlayar, menjadi kaya". "Rakyatku tidak memiliki apa-apa seperti kalian, sernua rniliknya adalah milik saya dan kalau tidak rnemerintah dengan keras saya tidak bisa rnenjadi raja."(van Goens, 1656: 200-201). Sebelumnya, Arnangkurat I mengumpulkan 2.000 ulama penting di Mataram dan menyuruh bunuh mereka tak lama setelah ia naik tahta tahun 1646 karena ia mencurigai rnereka mendukung pernberontakan.

 

Berbeda dengan absolutisrne di Eropa di rnasa yang sama, absolutisme Asia Tenggara tidak disertai dengan institusi-institusi atau teori-teori, yang membenarkan adanya elernen-elemen lain dalam masyarakat untuk mernanfaatkan akurnulasi kekuasaan yang baru. Karena raja-raja membuat intervensi secara langsung dalam pasar, masyarakat tidak merasakan adanya kebutuhan bersekutu dengan kelas pedagang guna menghancurkan kekuasaan-kekuasaan lokal, seperti yang terjadi di sejumlah negara Eropa. Bila raja absolut itu mempunyai sekutu, maka mereka adalah orang asing yang menurut definisi terpisah dari negara. Dan sekalipun pluralisme ada di mana-mana dalam sejarah Asia Tenggara, hal itu kurang ditonjolkan dalam literatur politik wilayah tersebut.

 

Meskipun terbentuk negara absolut, para pemimpin setempat bukannya tidak memikirkan metode mengatasi masalah ini agar kekuasaan tidak seluruhnya terpusat pada satu tangan. Caranya bukan dengan menerapkan ideologi impor tetapi dengan mempergunakan struktur asli seperti monarki dualis di Goa-Tallo Makassar. Di Makassar ada keturunan raja yang jadi raja dan satu lagi menjabat perdana menteri. Konsep raja kedua dikenal di negeri-negeri yang menganut Budha Theravada di Asia Tenggara Daratan. Pada kerajaan-kerajaan di dunia melayu terdapat raja dan raja muda. Di Minangkabau ada pemisahan (trias politika?): raja alam, raja adat, dan raja ibadat.

 

Jenis kelamin memang pernah dipersoalkan terhadap penguasa tertinggi kerajaan. Eksperimen raja perempuan di Aceh dan Patani tahun 1584 dan 1641 terjadi karena tidak tersedia raja pria. Kitab Tajussafatin (Mahkota Raja-Raja) sangat menentang penguasa wanita tetapi bisa menerima sang putri menjadi raja guna menghindari keadaan yang lebih parah, dengan syarat tidak adanya ahli waris pria (Bukhari, 1603: 53-{)4). Kelemahan ratu di Aceh ada tiga; a) kekuasaannya berkurang sehingga sang ratu tidak dapat menengahi pertengkaran di antara elite politik dan ekonomi dalam negeri. b) ratu tidak begitu kuat menghadapi orang asing, tidak sanggup mencegah voe menguasai daerah taklukannya yang kaya dengan lada dan timah. c) pemerintahan ratu yang tidak pernah dianggap sah oleh para ulama itu tidak menjadi model ideal bagi generasi berikutnya. Penentangan para ulama Aceh terhadap ratu Aceh itu akhirnya berhasil setelah mereka menerima surat dari Mekah yang menyatakan pemerintahan wanita bertentangan dengan agama.

 

Basis kekuatan yang berdasarkan absolutisme mengalami kehancuran pada akhir kurun niaga. Periode ini meninggalkan warisan undang-undang tertulis dan beberapa teknik aturan birokrasi, tetapi gaga) menciptakan suatu model yang baik mengenai pemerintahan yang kuat dan juga berdasarkan undang-undang, terpusat tetapi juga konstitusional. Setelah itu pada masa berikutnya terdapat berbagai bentuk kekuasaan yang praktis tetapi berbeda dengan kenangan tentang zaman kebesaran yang telah lampau tersebut.

 

Ttdak ada gading yang tidak retak. Ada satu dua kritik kecil yang dapat diajukan. Pada buku asli halaman ii Alinea ke-3 dikatakan bahwa Cochin-China adalah Vietnam Tengah, Anthony Reid keliru, seharusnya wilayah itu termasuk Vietnam Selatan. Selain itu, terdapat berbagai kutipan yang berasal dari Bahasa Melayu. Teks ini diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan kemudian dialihbahasakan Kembali ke Bahasa Indonesia. Tentu dalam proses alih Bahasa yang bolak-balik ini ada yang hilang bahkan janggal.

 

Namun terlepas dari kelemahan ringan tersebut, buku ini dapat dianggap sebagai bacaan wajib bagi mahasiswa dan ilmuwan yang berminat terhadap kajian Asia Tenggara untuk tahun-tahun mendatang. Bahkan, meminjam istilah John N. Miksic dari National University of Singapore, “termasuk buku klasik mengenai sejarah Asia Tenggara”. Bersama dengan Nusa Jawa karya Denys Lombard, buku Anthony Reid ini telah mengawali penulisan sejarah total di Kawasan Asia Tenggara.

 

Dikutip dari Dr. Asvi Warman Adam dalam buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II.

 

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin pdf

Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid II pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer