Pages

Senin, 06 April 2020

Surat Terbuka Untuk Afrizal Nur, Penulis Buku Tafsir al-Misbah Dalam Sorotan


Sumber gambar: uloom.id


Buku “Tafsir Al-Mishbah Dalam Sorotan” yang ditulis oleh Saudara Dr. Afrizal Nur, MA. menurut penulisnya “awalnya adalah disertasi di Universitas Kebangsaan Malaysia dan sudah diuji secara ilmiah.“ Namun, berbagai sorotan yang dikemukakan oleh penulis kesemuanya negatif, baik kandungan sorotan itu sendiri maupun sorotannya terhadap penulis Tafsir Al-Misbah, Prof Dr. M. Quraish Shihab.

Tulisan tersebut menuai kritik dari berbagai pihak. Tidak sedikit yang menyoalkannya baik dari sisi metodologi ataupun substansi. Salah satu tokoh kaliber yang mengkritisinya adalah Dr. Muchlis M. Hanafi, Sekjend Organisasi Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia (OIAAI). Di mana ketua OIAAI ini adalah Dr. TGB. H. Muhammad Zainul Majdi, M.A., mantan gubernur Nusa Tenggara Barat (2008-2018), sekaligus mengenyam pendidikannya sejak S1 hingga S3 bidang Tafsir Alquran di Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir.

Kritiksasi Muchlis M. Hanafi

Sebagaimana kita ketahui bersama, Muchlis M. Hanafi merupakan doktor bidang Tafsir Alquran, alumni Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir. Sehari-hari ia bekerja di Pusat Studi Al­Qur’an (PSQ) bersama Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Beberapa waktu yang lalu beliau dihubungi oleh Penerbit Al­Kautsar Jakarta untuk membedah buku yang berjudul Tafsir Al-Mishbah dalam Sorotan: Kritik terhadap Karya Tafsir M. Quraish Shihab, sebuah buku karya Dr. Afrizal Nur, MA sebagai hasil “rombakan” dari Tesis Ph.D tahun 2013 di Jurusan Al-Qur’an dan Sunah di bawah penyeliaan Prof. Dr. Najib bin Abdul Kadir, yang bertajuk Kajian Analitikal Terhadap Pengaruh Negatif dalam Tafsir Al-Mishbah … (h. 212). Akan tetapi, saat itu Dr. Muchlis berhalangan hadir karena satu dan lain hal. Selain itu, hemat beliau, memberikan catatan dalam bentuk tertulis terhadap buku tersebut lebih baik daripada mengupasnya di ruang publik yang belum tentu audiens bisa memahami persoalan secara utuh karena durasi yang terbatas.

Oleh karena itu, setelah membaca buku tersebut secara saksama, beliau tuliskan surat ini dengan lampiran catatan untuk buku tersebut. Dalam surat ini beliau tuangkan kritikannya secara akademis terhadap buku tersebut.

Sebagai sebuah “rombakan” dari disertasi, tentu substansi karya ini telah melalui proses akademik berupa bimbingan dan ujian disertasi. Sampai­-sampai, Ustaz Abdul Shomad (UAS) yang sangat popular itu dalam endorsement­nya mengatakan, “Buku ini amat sangat mendidik. Isinya tidak diragukan karena disertasi doktor: ilmiah, tidak menghujat, tidak caci maki, murni ilmiah, keilmuan” (cover belakang buku). Dr. Muchlis tidak tahu, apakah UAS sudah membaca betul buku ini, huruf demi huruf, bab demi bab, seperti yang beliau lakukan atau belum. Sebab, beliau mempunyai kesan yang berbeda ketika membaca karya tersebut. Inilah yang ingin beliau sampaikan dalam catatan berikut.

Catatan tersebut beliau tuangkan secara ringkas dalam surat ini dan secara panjang lebar dalam lampiran. Sebelum itu, beliau perlu sampaikan dua hal. Pertama, catatan tersebut bukan sebagai pembelaan terhadap Prof. M. Quraish Shihab (MQS) karena beliau adalah murid dan bekerja bersamanya. MQS tidak memerlukan pembelaan dan memang tidak perlu dibela. Karya-karyanya yang berjumlah puluhan, bahkan ratusan, dan murid-murid beliau yang tersebar di mana-mana cukup menjadi saksi bahwa Prof. Quraish adalah sosok yang mumpuni di bidang kajian tafsir dan ilmu-­ilmu Al­Qur’an. Tentu, tanpa menutup kemungkinan beliau juga bisa salah. Kedua, beliau juga menyampaikan dalam catatan ini, bila ada kata-kata yang kurang berkenan, mohon dimaafkan. Terkadang, ungkapan yang terkesan keras tidak bisa dihindari dalam tradisi ulama dulu ketika berpolemik melalui tulisan. Akan tetapi, seperti diajarkan oleh para ulama kita, “al-khilaf fi al-ra’y la yufsid fil wudd qadhiyyah.”

Secara umum, catatan untuk karya Afrizal beliau bagi dalam dua bagian. Pertama, terkait metodologi. Kedua, terkait substansi. Dari sisi metodologi, ada beberapa poin yang menjadi catatan beliau:

Kritik Metodologi

Pertama, Buku Afrizal “Tafsir Al-Mishbah dalam Sorotan” bersumber dari tesis Ph.D yang berjudul, “Kajian Analitikal Terhadap Pengaruh Negatif dalam Tafsir Al-Mishbah”. Dalam pengantar buku tidak disebutkan langkah-langkah penelitian yang Afrizal lakukan, seperti identifikasi, rumusan, dan batasan masalah; metode penelitian, teknik pengumpulan dan ana lisis data, dan lainnya. Akan tetapi, dengan membaca buku tersebut, beliau bisa menduga ada persoalan mendasar di situ. Misalnya, variabel “pengaruh negatif”; pengaruh terhadap siapa dan bagaimana Afrizal mengukur variabel tersebut? Siapa yang pernah melakukan penelitian tentang pengaruh Tafsir Al-Misbah sehingga Afrizal berkesimpulan ada “pengaruh negatif”, tidak ada data yang beliau temukan di buku ini, sehingga bisa beliau katakan itu hanya khayalan dan ilusinya .

Kedua, Metode yang Afrizal gunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif­analitis. Pertanyaannya, apakah cukup untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh negatif dalam Tafsir Al-Mishbah dengan hanya membatasi pada lima sumber yang Afrizal gunakan, yaitu tafsir karya Ibnu Katsir, Syekh Abdurrahman al­-Sa‘di, Syekh Abu Bakar al­-Jaza’iri, M. Ali al­Shabuni, dan Buya Hamka (h. 86)? Atas dasar apa Afrizal membatasi diri pada yang lima itu? Dari sini muncul kekeliruan ketika di banyak tempat Afrizal berkesimpulan, sebagai contoh, “Tidak ada al­-Shabuni, al­-Sa‘di, dan al­-Jaza’iri menafsirkan orang mukmin pada ayat ini dengan orang­orang khusus atau orang-orang pilihan” (h. 165, lihat juga h. 100, dll.). Afrizal menilai kesalahan Prof Quraish dengan cara membandingkannya dengan ulama rujukan Afrizal, dan kalau berbeda dengan ulama itu atau tidak ada dalam karya mereka, dia anggap tafsiran Prof. Quraish salah. Al-haqq lâ yu‘rafu bi al-rijâl. Betapa banyak ulama­-ulama tafsir yang Afrizal bisa rujuk untuk memahami keragaman tafsir. Ini sama halnya dia menggunakan kaca mata renang untuk melihat dan menganalisis mikroba yang ada pada makhluk hidup, atau menggunakan kaca mata kuda untuk melihat dunia yang teramat luas.

Ketiga, Beliau menemukan banyak sekali kerancuan dalam alur pikir Afrizal, sehingga kesimpulannya keliru. Dalam ilmu mantiq (logika), apalagi dalam sebuah karya ilmiah disertasi, kesalahan­kesalahan dalam berpikir pada saat menyusun premis­-premisnya maupun menarik kesimpulan haruslah dihindari. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kesalahan dalam berpikir, antara lain,

Satu, Fallacy of hasty generalization (kekeliruan karena membuat generalisasi dan kesimpulan yang terburu-­buru). Kekeliruan berpikir karena serampangan membuat generalisasi, yaitu mengambil kesimpulan umum dari kasus individual yang terlampau sedikit, sehingga kesimpulan yang ditarik melampaui batas lingkungannya, seperti: Dia orang Islam, mengapa membunuh? Kalau begitu, orang Islam memang jahat. Ini bisa dilihat dari penilaian Afrizal: Prof. Quraish seorang mufasir, mengapa mengutip dari orang Syiah? Kalau begitu Prof. Quraish itu Syiah (h. 86–87). Sangat berlebihan ketika Afrizal mengatakan, “Pengutipannya dari mufasir Syiah ini (Thabathaba‘i) selalu kita temukan di setiap halaman Tafsir AlMishbah” (h. 85). Atas dasar apa Antum berkesimpulan dengan kata “selalu” dan “di setiap halaman”? Apakah benar demikian faktanya? Atau, karena Prof. Quraish menggunakan rujukan dari berbagai kalangan, termasuk Syi’ah serta orientalis dan sarjana Barat, lalu Afrizal berkesimpulan bahwa “Prof. Quraish adalah mufasir yang menggunakan teori filsafat eklektik” atau “Prof. Quraish suka berubah-­ubah dalam pemikiran dan penafsiran atau unpredictable”, seperti tulisan Afrizal pada penutup buku ini (h. 207). Ketergesaan Afrizal dalam menyimpulkan yang berakhir salah memahami pendapat Prof. Quraish terlihat contohnya ketika Afrizal membahas persoalan jilbab adalah persoalan budaya (h. 152).

Dua, Fallacy of forced hypothesis (kekeliruan karena memaksakan praduga). Kekeliruan berpikir karena menetapkan kebenaran suatu dugaan, seperti tuduhan bahwa Prof. Quraish adalah penganut Syi’ah, beraliran kiri (h. 102–103), liberal dan sesat, dengan mengutip fatwa dan kriteria sesat menurut MUI (h. 88, 117). Obsesi Afrizal untuk menganggap Prof. Quraish aneh, nyleneh, salah, dan syi’ah terlihat sekali. Padahal, argumen yang Afrizal kemukakan rapuh seperti akan beliau jelaskan dalam lampiran. Beliau khawatir ini hanya menjadi fitnah terhadap Prof. Quraish, fitnah yang lahir dari fanatisme terhadap pandangan tertentu; suatu hal yang tidak boleh terjadi dalam sebuah karya ilmiah.

Tiga, Fallacy of appealing to authority (kekeliruan karena mendasarkan pada otoritas). Kekeliruan berpikir karena mendasarkan diri pada kewibawaan atau kehormatan seseorang, tetapi dipergunakan untuk permasalahan di luar otoritas ahli tersebut. Al­Qur’an adalah kalamullah yang tidak terbatas, sedangkan tafsir adalah upaya memahami kalam tersebut berdasarkan kemampuan manusia, sehingga hasilnya bisa berbeda antara satu manusia (baca: mufasir) dengan lainnya. Kalam­Nya tidak terbatas, sedangkan pemahaman manusia terbatas. Mengapa Afrizal hanya berpegang pada segelintir mufasir, meskipun dinilai alim, untuk memahami kebenaran maksud firman Allah. Seakan-akan Afrizal berkeyakinan bahwa kalau suatu tafsiran tidak ada dalam Tafsir Ibnu Kasir, al-Sa‘di, al­-Jaza’iri, dan Ali al-­Shabuni, tafsiran itu salah. Dalam kaidah tafsir, al-ma‘ânî al-muhtamalah murâdah; terbuka peluang keragaman pemahaman. Prinsip i‘rif al-haqq ta‘rif ahlih, al-haqq lâ yu‘rafu bi al-rijâl, dan al-hikmah dhâllah al-mu’min annâ wajadaha fa huwa ahaqq bihâ, seharusnya dipedomani dalam mencari kebenaran.

Empat, Fallacy of oversimplification (kekeliruan karena alasan terlalu sederhana). Ini adalah kekeliruan berpikir karena berargumentasi dengan alasan yang tidak kuat atau tidak cukup bukti, atau kurangnya informasi yang Afrizal miliki (naqs al-ma‘lûmât). Ini bisa dilihat dalam rincian lampiran surat ini.

Kritik Substansi

Dari segi substansi, beliau mendapat kesan Afrizal sering sekali mengabaikan amânah ‘ilmiyyah yang menjadi prinsip etika penulisan karya ilmiah. Secara sederhana, amânah ‘ilmiyyah dimaksud adalah yang dijelaskan para ulama dengan rumusan:

إن كنت ناقلا فالصحة # وإن كنت مدعيا فالدليل

Kalau Anda mengutip, kutiplah dengan benar. Kalau Anda mengklaim sesuatu, datangkanlah argumennya

Sering beliau temukan Afrizal mengutip pandangan Prof. Quraish dalam Tafsir Al-Misbah secara tidak utuh. Sesuatu yang dikutip oleh Prof. Quraish dari pemikir lain justru Afrizal anggap sebagai pendapat Prof. Quraish. Padahal, beliau sendiri menyampaikan bantahannya, tetapi Afrizal abaikan bantahan tersebut (lihat kritik Afrizal soal: Hukum Qisas Boleh Diganti dengan Hukuman Penjara, h. 130; Selain Dagingnya, Babi Halal, h. 140; Hukum Potong Tangan Dapat Diganti Dengan Penjara, h. 146; Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama Pengganti Rasulullah Saw., h. 161, dll.). Kutipan yang tidak utuh, apalagi hanya untuk memperturuti selera mencari kesalahan, adalah sikap yang menyalahi amanah ilmiah. Jika Afrizal berusaha memenuhi obsesi mencari kesalahan dengan mengabaikan hal­hal yang prinsip, Afrizal telah “menzalimi” Prof. Quraish dengan menisbahkan sesuatu tidak pada tempatnya. Lupakah Afrizal pada pesan Al­Qur’an, “Jangan sampai kebencian atau ketidaksukaan kita terhadap seseorang membuat kita berlaku tidak adil kepadanya?

Dikutip dari Pengantar Surat Terbuka untuk Penulis Buku Tafsir al-Misbah Dalam Sorotan karya Dr. Muchlis M. Hanafi, MA.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer