Pages

Senin, 06 April 2020

Mengulik Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, dan Sejenisnya

Sumber gambar: tasqofah.id


Sebagaimana diketahui bahwa Hizbut Tahrir merupakan gerakan politik transnasional-global diluar sistem pemerintahan yang membawa visi dan misi tegaknya khilafah serta terealisasinya syari’at Islam dalam setiap lini kehidupan. Melalui visi dan misi idealis ini, tidak sedikit generasi kita yang menaruh simpati, terpesona dan akhirnya menjadi kader dan pengikut setia Hizbut Tahrir dengan tanpa menyadari bahwa di balik visi dan misi tersebut, sebenarnya terdapat sekian banyak pemikiran, ideologi dan fatwa hukum Hizbut Tahrir yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang lurus, murni dan asli seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, sahabat dan para ulama salaf.

Fakta sejarah telah mencatat, mereka mereduksi dan mendistorsi agama Allah SWT serta memasarkan kebathilan-kebathilan. Kelompok yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani (1326-1397 H/ 1908-1977 M) diPalestina yang pernah menjadi anggota partai sosialis kiri yang beraliran komunis-marxis ini, juga kerap kali mengeluarkan fatwa-fatwa hukum yang menentang agama. Dari sini, kemudian mereka menjadi obyek penyesatan dan kritik dari berbagai elemen umat Islam. Tulisan ini hadir bukan bermaksud untuk menyudutkan Hizbut Tahrir atau menambah perpecahan dan firqoh dikalangan ummat Islam, akan tetapi kehadirannya untuk mengungkap sebuah fakta kebenaran akidah serta mengajak kembali ke dalam naungan Islam yang benar ala Ahlussunnah wal Jama’ah.

Penyimpangan Hizbut Tahrir

Berikut ini, sebagian penyimpangan konsep ideologis Hizbut Tahrir (HT), diantaranya;

Konsep Mengingkari Qodlo’-Qodar; (Taqdir Allah pada Perbuatan Ikhtiyari Manusia)

Dalam kitabnya asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah Taqiyuddin an-Nabhani menulis,
“Segala perbuatan manusia tidak terkait dengan Qadla Allah SWT, karena perbuatan tersebut ia lakukan atas inisiatif manusia itu sendiri dan dari ikhtiarnya. Maka semua perbuatan yang mengandung unsur kesengajaan dan kehendak manusia tidak masuk dalam ruang lingkup qadla” (asy-Syakhshiyyah al Islamiyyah vol I hal 94-95). Jadi menggantungkan adanya pahala sebagai balasan terhadap kebaikan dan siksaan sebagai balasan dari kesesatan, menunjukkan bahwa kebenaran dan kesesatan adalah perbuatan murni manusia itu sendiri, bukan berasal dari Allah”. (Nidham al-Islam hal 22)

Menurut pandangan kami, Ucapan ini bertentangan dengan al-Qur’an, hadits Nabi SAW, ketetapan ulama dan logika normal. Allah SWT berfirman: “Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al-Furqaan: 2). Dalam firman yang lain, “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (QS. Ash-Shaffat: 96). Lalu penjelasan tersebut dita’kid (diperkuat), “Sesungguhnya Kami (Allah SWT) menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qomar: 49).

Rasulullah saw. bersabda, “Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya" (HR. Al-Hakim dan al- Baihaqi)”. Al-Imam Abu Hanifah dalam al Fiqh al Akbar berkata, “Tidak ada satupun di dunia maupun di akhirat terjadi kecuali dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya”. (al Fiqhu al Akbar vol 1 hal 29). Tentang perbuatan hamba, dia berkata, “Dan Allah lah Dzat yang menciptakan seluruh pekerjaan hamba-Nya dengan kehendak, pengetahuan, penciptaan dan ketentuan-Nya.”

Secara logika normal asumsi Hizbut Tahrir pun tidak bisa dinalar.  Mereka menjadikan Allah SWT tunduk, lemah dan terkalahkan dengan terjadinya sesuatu diluar kehendak-Nya. Dengan demikian, berarti dalam kekuasaan Allah SWT bisa terjadi diluar kehendak-Nya. Inilah kerancauan berfikir mereka.

Allah SWT berfirman, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengakuinya”. (QS. Yusuf: 21). Pada ayat yang lain, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya milik Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu baginya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah SWT)”. (QS. AlAn’am: 162-163).

Ketiga ayat di atas menjelaskan bahwa semua perbuatan ikhtiyari manusia merupakan ciptaan Allah SWT semata, manusia tidak punya kekuatan untuk menciptakan pekerjaannya yang sesuai dengan keinginannya kecuali dikehendaki dan ditakdirkan Allah SWT. Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang sebenarnya. Namun, Hizbut Tahrir mengingkari eksistensi ayat tersebut di atas dengan mengadopsi asumsi bathil Mu’tazilah.

Perlu diketahui oleh para syabab HTI bahwa memang benar sebagian ulama ada yang menyamakan Ahlussunnah (Asy’ariyah) dengan Jabariyah seperti Ibnu Taimiyah dan kelompok-kelompoknya, Imam al Iji dalam kitab al Mawaqif fi Ilmil Kalam dan Imam al Jurjani dalam kitab at Ta’rifat. Namun, harus dipahami pula bahwa Imam Abul Fadl Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Ghoffar al Iji dan Imam Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani membagi Jabariyah menjadi dua, yaitu Jabariyah mutawassithoh (moderat) seperti Asy’ariyah dan Jabariyah kholishoh  (ekstrim) seperti Jahmiyah. Dalam konteks ini, Imam al Iji dan Imam al Jurjani berkata,

“Kelompok yang keenam ialah al Jabariyah. Pengertian al Jabar adalah menyandarkan perbuatan hamba kepada Allah. Jabariyah ada dua. Pertama; Mutawassithoh, yaitu golongan yang menetapkan adanya kasb bagi hamba seperti Asy’ariyah. Kedua; Kholishoh, yaitu kelompok yang tidak menetapkan kasb bagi hamba seperti Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shofwan. Jahmiyah berpendapat bahwa hamba tidak memiliki kekuasaan sama sekali, Allah tidak mengetahui sesuatu sebelum terjadinya, ilmu Allah baru dan tidak bertempat, Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang menjadi sifat selain Allah seperti ilmu dan qudrah, surga dan neraka tidak kekal, mereka sependapat dengan Mu’tazilah dalam menafikan ru’yatullah, kalam Allah makhluk dan kewajiban ma’rifat berdasarkan hukum akal. (al Mawaqif fi Ilmil Kalam karya Imam al Iji)”

Al Jabariyah dari kata al Jabar. Yaitu, menyandarkan perbuatan hamba kepada Allah. Jabriyah ada dua. Pertama; Mutawassithoh, yaitu golongan yang menetapkan adanya kasb bagi hamba seperti Asy’ariyah. (at Ta’rifat karya Imam al Jurjani)

Apabila kita baca dengan teliti pernyataan Imam al Iji di atas maka akan kita temukan bahwa ada perbedaan antara Ahlusunnah dan Jabariyah secara ideologis. Bahkan yang sebenarnya, justru ideologi Jabariyah lah yang hampir sama dengan Mu’tazilah, seperti halnya Allah SWT tidak mengetahui sesuatu sebelum terjadinya, ilmu Allah baru dan tidak bertempat, Allah SWT tidak boleh disifati dengan sifat yang menjadi sifat selain Allah SWT seperti ilmu dan qudrah, surga dan neraka tidak kekal, mereka sependapat dengan Mu’tazilah dalam menafikan ru’yatullah, kalam Allah makhluk dan kewajiban ma’rifat berdasarkan hukum akal. Hal ini berbeda dengan ideologi Asy’ariyah. Karena Asy’ariyah mempunyai akidah yang berbeda dengan aliran-aliran teologi lainnya.

Pernyataan di atas juga disetujui oleh Imam al Jurjani dalam kitab Syarhul Mawaqif.

“Kelompok-kelompok ini yaitu Mu’tazilah, Syi’ah, Khowarij, Murji’ah, Najjariyah, Jabriyah dan Musyabbihah adalah kelompok sesat yang telah sabdakan oleh Rasulullah SAW mengenai mereka semuanya masuk neraka. Adapun golongan yang selamat yang dikecuali dari kelompok tersebut yang disabdakan oleh Rasulullah SAW “Golongan yang berpegang teguh dengan ajaranku dan para sahabatku”, mereka adalah golongan Asy’ariyah, generasi salaf dari kaum ahli hadits dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Madzhab mereka bersih dari bid’ah-bid’ah dari kelompok-kelompok tersebut.” (Syarhul Mawaqif karya al Jurjani)   

Lebih lanjut, perlu disayangkan bahwa orang-orang HT tidak bisa memahami penuh interpretasi yang disampaikan oleh pentolan mereka, an Nabhani dalam kitab asy-Syakhshiyah. Dalam kitabnya ini an Nabhani mengatakan, kamu beriman kepada Qodar, baik dan buruknya, disini mereka mengartikan qodar dengan ilmu Allah. Konklusi demikian, berarti secara tersurat menyatakan bahwa an Nabhani meyakini ilmu Allah SWT ada yang baik dan ada yang buruk.

Tentunya penafsiran an-Nabhani bahwa Qodar Allah ialah ilmu Allah seperti yang dikatakan oleh syabab HTI bertentangan dengan pernyataan ulama yang otoritatif di kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah yang menafsirkan Qodar dengan muqoddar atau maqdur (sesuatu yang ditentukan dan dipastikan Allah) sebagaimana yang disampaikan oleh Imam al Baihaqi dalam kitab al I’tiqod wal Hidayah ila Sabilirrosyad hal 145.

“Qodar ialah nama bagi sesuatu yang keluar secara ditentukan atau dipastikan dari perbuatan seseorang yang menentukan. Dikatakan: ‘saya menentukan dan memastikan. Sedangkan iman dengan Qodar ialah beriman denan lebih dahulunya pengetahuan Allah terhadap apa yang akan terjadi dari perbuatan makhluk dan lainnya, serta keluarnya semuanya berdasarkan ketentuan Allah dan penciptaan-Nya, baik dan buruknya.”

Dikutip dari Muqaddimah Buku Membongkar Penyimpangan Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, MTA, LDII dan Ma’had al-Zaytun karangan KH. Muhammad Najih Maimoen, Pengasuh PP. Al-Anwar, Sarang, Rembang.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer